09/04/2015

Makalah Sumber dan Metode Hukum Islam



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Umat Islam sebagai Allah khalifah-Nya di atas bumi ini dan sebagai kelanjutan imannya kepada Allah, harus berbuat dalam kehidupan sehari hari di dunia ini sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah pencipta. Apa yang dikehendaki Allah untuk dipatuhi oleh umat itu terhimpun dalam Al-Qur’an dan penjelasannya yang diberikan oleh Nabi Muhammad dalam sunahnya. Titah Allah berkenaan dengan amaliah manusia di dunia itu tampil dalam bentuk suruhan, larangan, dalam bentuk membiarkan, dan dalam bentuk ketentuan yang berkenaan dengan itu. Titah itu dinamai hukum syara atau syariat yang dapat diperinci kembali oleh Hadis sebagai sumber hukum kedua setelah AL-Qur’an. Dan dibuat sebuah pedoman amaliah dalam kehidupan sehari hari dengan adanya fiqh yang dirumuskan oleh para fuqoha, selanjutnya fiqh ini dikenal dengan hukum Islam. Maka dapat kita ketahui bahwa sumber hukum pokok adalah Al-Qur’an dan Hadis dan selanjutnya ada pula Ushul fiqh yang juga memuat metode metode pengambilan hukum Islam  sebagai ketentuan dan aturan dalam membina kehidupan manusia untuk lebih baik dalam beribadah.

B.      Rumusan masalah
a.      Apakah pengertian sumber hukum Islam ?
b.      Peranan Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber hukum yang diutamakan ?
c.       metode metode apakah yang digunakan dalam pengambilan hukum Islam ?

C.      Tujuan penulisan
a.      Dapat mengetahui apa sumber hukum Islam ?
b.      Mengetahui secara jelas peran Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber hukum yang diutamakan
c.       Mengetahui metode metode yang digunakan dalam pengambilan hukum slam

BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian sumber hukum Islam
Sumber atau dalam bahasa Arab disebut masadir adalah wadah yang darinya digali segala sesuatu, atau tempat merujuk sesuatu. Dalam kajian usul fiqh dikenal dengan istilah masadir al-ahkam al-syari’ah, yang artinya rujukan utama dalam menetapkan hukum syara’.[1]
Hukum syara’ atau syariat pada intinya adalah titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia mukalaf. Yang demikian terdapat di antara kumpulan titah-Nya, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang bernama Al-Qur’an . dengan demikian, Al-Qur’an  itu dengan sendirinya disebut sumber hukum syara’, karena daripadanya disauk dan diambil sesuatu yang dinamakan hukum syara’ itu. Selain AL-Qur’an Hadis Nabi juga disebut sumber hukum syara’ . disamping itu dikatakan pula bahwa hukum syara’ itu adalah kalam Allah yang merupakan salah satu sifat yang melekat dalam zat Allah yang qadim. Untuk mengetahuinya diperlukan petunjuk. Salah satu dan yang utama dari petunjuk itu adalah Al-Qur’an dan bila tidak menemukannya dalam Al-Qur’an digunakan petunjuk petunjuk lainnya. Halhal yang dapat menuntun dan memberi petunjuk untuk mengenal hukum Allah itu disebut dalil hukum syara’. Dengan demikian antara sumber dan dalil itu ada perbedaannya, meskipun beberapa ahli ushul fiqh mengatakan sama. Bila dalil hukum syara’ itu disebut juga sumber hukum syara’, maka yang dimaksudnya adalah sumber hukum fiqh.[2]
Dalam kitab kitab usul fiqh, seringkali ditemukan penggunaan kata masadir atau dalail yang mencakup sumber sekaligus dalil. Di sisi lain ulama membuat klasifikasi sumber hukum menjadi dua jenis, yaitu :
1.      Dalil munsyi’ : atau dalil pokok yang keberadaannya tidak memerlukan dalil lain. Termasuk dalam kategori ini adalah Al-Qur’an dan Hadis. Pengertian ini lebih merujuk kepada arti masadir atau sumber hukum.
2.      Dalil muzhir : yaitu dalil yang menyingkap, diakui keberadaanya karena ada isyarat dari dalil munsyi’ tentang penggunaanya. Termasuk dalam kelompok ini adalah metode metode ijtihad seperti : ijma, qiyas, istihsan, istislam, istishab dan sebagainya.
Dengan demikian sumber dan metode memiliki perbedaan. Sumber dengan sendirinya mengandung aturan aturan hukum, sehingga tidak bergantung pada hal lain. Metode adalah alat atau cara untuk menggali aturan yang terdapat dalam sumber, sehingga keberadaan fungsinya tergantung pada sumber.[3]
Para ulama sepakat, dalam prinsip mengatakan bahwa dalil hukum syara’ itu ada empat. Yaitu Al-Qur’an, sunah Nabi, ijma’ ulama dan qiyas. Keempatnya disebut dalil hukum syara’ yang disepakati . Artinya setiap prinsip ulama menggunakan keempatnya sebagai dalil dalam menemukan hukum syara’ dan dalam menjadikannya sebagai sumber hukum fiqh, meskipun mereka berbeda dalam kadar dan cara penggunaanya. [4]
Yang menjadi pertannyaan para ulama adalah, bagaimana jika ada sebagian manusia yang tidak mengetahui risalah Allah dan Rasulnya ? Misalnya, orang yang hidup di pedalaman yang jauh dari dakwah Islam. Atau bagaimana jika Allah tidak menurunkan risalah ke bumi sama sekali ? apakah mungkin manusia melakukan tindakan hukum hanya berdasarkan akal, tanpa perantara risalah dari Allah dan Rasul-Nya ? apakah dengan akal saja manusia dapat  mengetahui hukum sesuai dengan yang dikehendaki Allah ? dalam kaitanya dengan masalah ini paling tidak ada tiga pendapat :[5]
1.      Menurut Asy’ariyyah (ulama pengikut Imam Abu al Hasan al-Asy’ari), manusia tidak mungkin dapat mengetahui hukum Allah dengan akal saja, tanpa risalah dari Allah dan RasulNya. Sebab, sifat dasar akal selalu berubah ubah. Padahal, kebenaran hanya satu. Terlebih, akal tidak bisa lepas sama sekali dari pengaruh hawa nafsu. Oleh karena itu, jika Allah tidak menurunkan risalah, maka manusia terbebas dari beban hukum, sehingga ia tidak mendapatkan pahala dan siksa dari perbuatannya itu. Menurutnya, benar dan salah, serta baik dan buruk, harus didasarkan pada risalah Allah. Jadi, standar utama kebenaran dan kesalahan adalah hukum syariat. Adapun akal hanya sebagai alat untuk mengetahui dan memahami hukum hukum tersebut dari sumbernya.
2.      Menurut Mu’tazilah (Pengikut Wasil bin Atha), hukum Allah dapat diketahui dengan akal saja, tanpa harus dengan perantara risalah dari Allah dan Rasul Nya. Sebab pada dasarnya, perbuatan mukalaf dapat berakibat pada kebaikan dan keburukan, manfaat dan mudarat. Akal dapat menentukan sifat sfat tersebut, termasuk akibat akibat dari perbuatan itu. Di sisi lain, hukum Allah ditetapkan sesuai dengan kemampuan akal manusia dalam memahami manfaat dan mudharatnya, sebagaimana syarat berlakunya hukum yang harus dipahami oleh mukalaf. Oleh karena itu, sesuatu yang menurut akal baik, pasti baik pula disisi Allah , dan Allah akan memberikan pahala bagi pelakunya. Demikian juga sesuatu yang menurut akal buruk, maka buruk pula dimata Allah, dan Allah akan memberikan siksa bagi pelakunya. Menurut aliran ini, perbuatan baik adalah sesuatu yang dianggap baik oleh akal , karena didalamnya terdapat manfaat, dan perbuatan buruk adalah sesuatu yang dianggap buruk oleh akal, karena didalamnya terdapat mudharat. Sesungguhnya, hukum Allah tentang perbuatan mukalaf sesuai dengan pendapat akal dalam hal menentukan baik dan buruk. Implikasinya, bagi orang yang belum pernah mendapat risalah Allah, maka ia terikat dengan pendapat akalnya tentang keburukan dan kebaikan. Sesuatu yang menurut akal baik, maka harus dikerjakan dan pelakunya mendapat pahala. Adapun yang menurut akal buruk, maka harus ditinggalkan, dan pelakunya mendapat siksa.
3.      Di antara dua pendapat yang bertentangan itu, muncul Maturidiyyah (ulama pengikut Abu Mansur al Maturidi), dengan pendapatnya yang lebih moderat. Menurutnya perbuatan mukalaf memiliki ciri khas yang berdampak pada kebaikan dan keburukan. Akal sebagai pengendali khawwas dan dampaknya dapat menetapkan baik dan buruk. Sesuatu yang menurut akal baik, maka hal itu baik, dan yang menurut akal buruk, maka hal itu buruk. Tetapi pendapat akal tidak selalu sama dengan hukum Allah, karena akal memiliki sifat yang berubah ubah dan tidak konsisten sesuai dengan persepsi dan kepentingan pemiliknya. Artinya, akal sangat terbatas dalam memahami hukum hukum Allah. Oleh karena itu manusia perlu perantara risalah wahyu dan Nabi Allah. Namun demikian, pendapat Maturidiyyah ini memiliki kesamaan dengan Mu’tazilah dalam hal kemampuan akal mengetahui baik dan buruk, tetapi berbeda pendapat dalam hal bahwa hukum Allah harus sesuai dengan pendapat akal. Di sisi lain, pendapat Maturidiyyah ini sesuai dengan pendapat Asy’ariyyahn dalam hal bahwa hukum Allah tidak dapat diketahui kecuali dengan perantara risalah dari Nya, dan berbeda pendapat dalam hal bahwa baik dan buruk semata mata ditentukan oleh syariat, tanpa ada peran akal sama sekali.

B.      1. Al-Qur’an sebagai sumber Hukum Islam
1.      Definisi dan fungsi Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad dalam bahasa Arab yang berisi khitab Allah dan berfungsi sebagai pedoman bagi umat Islam. Berdasarkan definisi ini, terdapat beberapa konsekuensi kedudukan Al-Qur’an,
yaitu :[6]
a.      Al-Qur’an adalah kalam Allah yang khusus diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw melalui malaikat jibril. Dengan demikian kedudukan Al-Qur’an adalah wahyu yang secara khusus diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, sehingga tidak mencakup wahyu yang diturunkan kepada selain Nabi Muhammad Saw.
b.      Al-Qur’an diturunkan dalam bahsa Arab. Oleh karena itu, semua penafsiran dan terjemahan Al-Qur’an tidak termasuk dalam pengertian Al-Qur’an. Konsekuensinya, kedudukan tafsir dan terjemah Al-Qur’an tidak sama dengan kedudukan Al-Qur’an.
c.       Lafal dan makna Al-Qur’an murni dari Allah, hal mana berbeda dengan hadis Nabawi maupun hadis Qudsi. Semua ayat Al-Qur’an bebas dari ijtihad atau penafsiran Nabi Muhammad Saw, karena posisi Nabi dalam proses pewahyuan adalah sebagai penerima wahyu. Konsekuensinya, periwayatan Al-Qur’an tidak boleh dngan makna saja, tetapi harus dengan lafalnya.

                Secara umum, fungsi Al-Qur’an adalah sebagai petunjuk bagi umat manusia. Menurut Ali Syari’ati, petunjuk yang terkandung dalam Al-Qur’an berupa tiga hal. Pertama, petunjuk yang berupa dokrin atau pengetahuan tentang struktur kenyataan dan posisi manusia di dalamnya, seperti : petunjuk moral dan hukum yang menjadi dasar syari’at, metafisika tentang Tuhan dan kosmologi alam, serta penjelasan tentang sejarah dan eksistensi manusia. Kedua, petunjuk yang terdapat dalam rigkasan sejarah manusia baik para raja, orang orang suci, nabi, kaum, dan sebagainya. Ketiga, petunjuk yang berupa mukjizat, yaitu kekuatan yang berbeda dengan apa yang dipelajari. Banyak ayat ayat Al-Qur’an yang mempunyai kekuatan lain, atau difugsikan lain oleh umat Islam. Artinya, tidak ada kesesuaian antara makna ayat dengan fungsi yang diinginkan.
2.      Kandungan Al-Qur’an
Berdasarkan periodisasi turunnya, maka kandungan umum Al-Qur’an dapat dikelompokan ke dalam dua fase, yaitu fase Makkah dan fase Madinah. Terdapat perbedaan fokus dan sasaran ayat Al-Qur’an di kedua fase tersebut. Dalam kajian Ulumul Qur’an dirinci lebih detail lagi terkait dengan perbadaan antara ayat ayat yang turun pada fase Mekkah dengan ayat ayat yang turun pada fase Madinah.
Pada fase Makkah, yang bermula dari diangkatnya Muhammad menjadi Rasul hinga hijrahnya Rasul dan umat Islam ke Madinah, wahyu yang turun berhubungan dengan pembangunan ajaran ajaran agama Islam. Topik topik wahyu yang turun berdasarkan masalah : tauhid, eksistensi Allah Swt, masalah eskatologis, kisah kisah umat terdahulu, salat, dan tantangan bagi orang orang kafir.
Fase Madinah, yang dimulai sejak awal hijriyah hingga wafatnya Rasul, wahyu yang turun berbeda topiknya dengan masa sebelumnya. Pada fase ini, kebanyakan wahyu yang turun behubungan dengan masalah hukum yang dibutuhkan guna membangun masyarakat Islam yang baru terbentuk tersebut. Berdasarkan kandungannya, maka ayat ayat yang diwahyukan pada periode Madinah meliputi masalah hukum, jihad, ahlul kitab, dan orang orang munafiq.
Berdasarkan kandungannya, para ulama fiqh maupun ushul fiqh membagi ayat Al-Qur’an kedalam dua jenis, yaitu ayat hukum dan ayat non hukum. Ayat hukum adalah ayat ayat yang isinya mengandung ketetapan hukum dan dapat menjadi dalil fiqh. Sementara ayat non hukum adalah kebaikannya. Oleh karena itu, ayat non hukum tidak dapat dijadikan dalil untuk menetapkan sebuah hukum.
Ayat ayat hukum dalam Al-Qur’an dapat dibagi lagi dalam dua kategori dasar yaitu :[7]
1.      Hukum yang mengatur hubungan antara Allah dengan manusia. Aturan aturan ini mengenai masalah ibadah.
2.      Hukum yang mengatur hubungan antar sesama manusia. Hukum dalam kategori ini dapat dibagi dalam empat macam, yaitu :
a.      Hukum yang menjamin dan melindungi penyebaran Islam, mencakup aturan aturan tentang jihad.
b.      Hukum keluarga, yang bertujuan untuk membina dan melindungi struktur keluarga.
c.       Hukum perdagangan, yang mengatur masalah transaksi bisnis, kontrak atau akad, dan sebagainya.
d.      Hukum kriminal, yang mencakup permasalahan pelanggaran keamanan dan ketertiban publik, seperti qiyas, hudud, dan ta’zir.
Dalam memahami  kandungan kandungan Al-Qur’an ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
a.      Al-Qur’an adalah suatu kesatuan. Ayat ayat Al-Qur’an berfungsi saling menjelaskan, sehingga ayat tertentu pada surat tertentu memiliki penjelasan, penjabaran, atau menghkususkan pada ayat lain di surat yang lain. Oleh karena itu tugas para ulama adalah untuk meneliti keterkaitan antara ayat Al-Qur’an yang mengatur masalah yang sama.
b.      Sebagian besar ayat Al-Qur’an memiliki asbabun nuzul. Asbabun nuzul sangat penting dipahami dalam rangka mendapatkan pemaknaan yang tepat untuk sebuah ayat.
c.       Terdapat penghapusan berita atau ketentuan yang berasal dari masa sebelumnya disebut dengan syar’u man qablana. Keberadaan ajaran ini hanya sebagai ilustrasi historisitas umat terdahulu yang tidak secara langsung dinyatakan berlaku untuk umat Islam.
d.      Pemahaman konmperhensif terhadap hukum yang ditetapkan secara bertahap. Salah satunya dengan cara bertahap, sehingga perlu diteliti  bagaimana sejarah penetapan sebuah hukum.

3.      Penjelasan dan petunjuk Al-Qur’an
Ditinjau dari segi bagaimana penjelasan yang terdapat dalam ayat ayat Al-Qur’an, para ulama mengkategorisasikan ke dalam dua bentuk, yaitu :[8]
a.      Ijmali : yaitu ayat Al-Qur’an yang kandungannya masih memerlukan penjelasan lebih lanjut dalam pelaksanaannya. Artinya, penjelasan dalam ayat tersebut tidak implementatif, tidak bisa langsung diamalkan karena penjelasannya yang masih umum. Untuk mempraktekkanya diperlukan petunjuk lain yang berasal dari hadis Nabi. Contoh : masalah sholat.
b.      Tafshili : yaitu ayat yang kendungannya sudah jelas dan sempurna, dalam arti dapat langsung diamalkan. Ayat yang termasuk kategori ini tidak memerlukan lagi penjelasan dari dalil lain. Termasuk dalam kelompok ini adalah ayat ayat tentang masalah akidah, hukum waris, dan sebagainya.
Persoalan lain yang mendapat perhatian khusus dalam kajian fiqh dan ushul fiqh adalah tentang konsep Qat’y dan Zhanny. Konsep ini berhubungan dengan dalalah atau petunjuk yang terdapat dalam ayat ayat Al-Qur’an. Dalam penerapannya, konsep ini menyangkut dua hal ; yaitu al tsubut (kebenaran sumber) dan al dalalah (kandungan makna). Al-Qur’an adalah sesuatu yang jelas bersumber dari wahyu Allah, sehingga sudah sangat jelas, aksiomatik, dalam ajaran agama. Namun demikian, tidak semua ayat Al-Qur’an seperti itu, tetapi banyak mengandung interpretasi.[9]
Qat’y adalah lafal yang mengandung pengertian tunggal dan tidak bisa dipahami dengan makna lainnya, yang tidak memerlukan ijtihad dan ta’wil.[10] Sedangkan Zanny adalah lafal yang mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk ditakwil dan dapat diijtihadi, artinya ayat ini dapat menimbulkan makna yang bervariasi, sehingga terbukalah ruang untuk berijtihad untuk menentukan makna yang tepat.

Qat’y dan Zanny adalah konsep atau teori untuk memahami nas Al-Qur’an dalam rangka penalaran fiqh. Konsep ini tidak terdapat dalam Al-Qur’an, tetapi dirumuskan oleh ulama fiqh dan ushul fiqh dengan penekana pada sudut bahasa dan bukan pada ide. Konsep ini pada mulanya berakar dari pemikiran Imam Syafi’I dalam kitab Ar-Risalah, yaitu dalam pembahasan tentang pengetahuan hukum yang diperoleh berdasarkan khabar ahad dan penjelasan tentang otoritas qiyas.[11]
Munculnya konsep Qat’y zanny dipengaruhi oleh tiga hal : pertama, tradisi yang diperkenalkan oleh ayat Al-Qur’an sendiri, larangan megikuti sasuatu yang zann. Kedua, tuntunan pikiran norma setiap manusia. Ketiga, pengaruh logika Aristoteles, akibat penerjemah karya karya Yunani ke dalam bahasa Arab.
Dari segi kuantitas, jumlah ayat yang memiliki petunjuk qat’y sangat terbatas, penetapanya biasanya melalui qiyas, misalnya contoh nash tentang sholat “ wa aqimus salat”. Ayat ini tidak menunjukan pada wajibnya salat, meskipun redaksinya berbentuk perintah. Kepastian perintah salat datang dari pemahaman nas nas lain yang mengandung makna sama, sehingga kewajiban salat dianggap qat’y. tidak ada arti lain selain wajibnya salat.
Disisi lain ditemukan bahwa satu ayat dapat mengandung qat’y dan zanny sekaligus. Misalnya ayat tentang wudu yang berbunyi… wamsahu biru usikum.. nas ini adalah qat’y dalalah, tetapi nas ini juga zanny dalam hal batas dalam hal batas atau kadar kepala yang harus diusap, perkembangan ba selau berbeda antar ulama satu dan lainnya.[12]
Dalam perkembangannya, terjadi reformulasi terhadap konsep qat’y zhanny. Upaya ini dilakukan oleh para ahli hukum modern yang menganggap bahwa konsep tersebut hanya berpijak pada aspek kebahasaan saja dan bukan pada substansi ayat. Masdar Farid Mas’udi misalnya, mengkonsepsikan bahwa yang qat’y adalah ayat yang berisi prinsip prinsip dasar yang kebenarannya bernilai universal, seperti ayat tentang keesaan Allah, keadilan, persamman hak dasar kemanusiaan, kesetaraan, kebebasan beragama, dan musyawarah.[13]
Ibrahim Hosen  membagi qat’y menjadi dua yakni pasti dalam segala kondisi, contohnya : salat maghrib tidak dapat diqasar. Dan pasti dalam sebagian kondisi, contohn ya : hukum potong tangan, berzina, membunuh, dan lainnya penerapannya bisa berubah tergantung apakah sipelaku mau bertobat atau tidak.

2.B Hadis sebagai sumber Hukum
1.      Pengertian dan kedudukan Hadis
Hadis adalah peraturan sahabat tentang Rasulullah baik mengenai perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya. Pengertian hadis sering diidentikan dengan sunnah, meskipun para ulama hadis membedakannya. Sunnah diartikan secara khusus untuk tradisi yang diyakini berasal dari perbuatan atau kebiasaan Rasulullah yang berkaitan dengan ajaran Islam. Istilah lain yang sering muncul muncul dalam pembahasan hadis adalah khabar dan atsar. Khabar adalah berita yang sumbernya berasal dari para sahabat, sedangkan atsar adalah berita yang berasal dari para Tabi’in.
          Berdasarkan pengertian ini maka sebuah hadis memiliki batasan sebagai berikut :[14]
1.      Sumber ; bahwa yang disebut hadis adalah sesuatu yang bersumber dari Muhammad setelah diangkat sebagai Rasul. Oleh karena itu, hadis tidak mencakup perkataan maupun perbuatan Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasulullah.
2.      Materi ; secara materiil yang disebut dengan hadis bukan semua hal yang berasal dari Rasulullah, tetapi hanya yang berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan. Batasan ini berarti mengesampingkan sifat sifat Rasul, cita cita Rasul sebagai hadis.
3.      Sunstansi ; bahwa tidak semua perkataan, perbuatan, dan ketetapan Rasul adalah hadis, tetapi hanya yang berhubungan dengan ajaran Islam. Jika yang bersumber dari Rasulullah tersebut tidak berhubungan dengan ajaran agama Islam, maka tidak disebut sebagai hadis.
2.      Kesahihan Hadis
          Para ulama Hadis mebagi jenis jenis hadis berdasarkan kuantitas dan kualitas rawinya. Berdasarkan kuantitas rawi, hadis dibagi dua, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad. Jumhur muhaddisin menerima secara langsung hadis mutawatir sebagai dalil, sedangkan terhadap hadis ahad penerimaannya sebagai dalil harus melalui takhrij atau penelitian kesahihan.
          Berdasarkan kualitasnya, maka hadis dibagi menjadi tiga, yaitu hadis sahih, hasan, dan da’if. Dari jenis jenis hadis diatas, jumhur ulama fiqh berpendapat bahwa yang dapat digunakan sebagai sumber hukum adalah hadis mutawatir, hadis sahih dan hadis hasan. Hadis dha’if tidak dapat digunakan sebagai hujah hukum. Namun sebagian ulama, seperti Imam Hambal Ibn Hambal dan Ibnu Hajar al-Asqalani membolehkan menggunakan hadis dhaif sebagai dalil dengan syarat kedha’ifanya tidak terlalu lemah, memiliki beberapa jalur sanad, dan tidak mengatur masalah yang pokok, hanya sampai hukum sunnah atau makruh.
          Dalam kajian fiqh ushul fiqh, hadis yang dapat dijadikan sebagai dalil hukum, disamping tiga jenis yang sudah disebutkan di atas, juga isinya mengandung ketetapan hukum. Hadis kategori ini disebut dengan istilah hadis hukum. Para ulama menyusun kitab hadis yang khusus berisi tentang persoalan hukum. Kitab ini disebut dengan Kitab Hadis Ahkam, yaitu karena disusun dengan menggunakan sistematika fiqh. Contohnya adalah : Subulus Salam karangan as Shan’ani, Naylul Authar karangan as Syaukani, Lu’lu’ wal marjan karangan Fuad Abdul Baqi, dan Koleksi Hadis Hukum karangan Hasbi as Shiddieqy.[15]
3.      Fungsi Hadis terhadap Al-Qur’an
Sebagai sumber hukum Islam, Al-Qur’an dan Hadis memiliki hubungan tertentu. Berdasarkan kedudukannya, hadis berfungsi sebagai penafsir atau penjelas ayat ayat Al-Qur’an.
Para ulama membagi fungsi hadis terhadap Al-Qur’an sebagai berikut :
1.      Penjelasan tersebut berupa :[16]
a.      Merinci yang mujmal, yaitu hadis berfungsi menjelaskan rincian ketentuan Al-Qur’an yang ringkas atau singkat. Karena kandungannya belum operasional, sehingga memerlukan petunjuk lain untuk mengaplikasikannya. Seperti ayat tentang perintah shalat. Al-Qur’an hanya menjelaskan tentang hukum wajibnya salat, tetapi tidak menjelaskan bagaimana tata cara pelaksanaanya. Perincianya terdapat dalam hadis yang berbunyi :
“salatlah sebagaimana kamu melihatku salat”
b.      Mentaqyid yang mutlak,artinya memberikan batasan bagi ketentuan Al-Qur’an yang bersifat mutlak, menunjuk pada hakikat kata itu sendiri apa adanya. Contoh ayat Al-Qur’an tentang pencurian, yang meberikan hukuman potong tangan bagi pencuri, sebagaimana terdapat dalam surah Al-Maidah ayat 38 :

“pencuri laki laki dan pencuri perempuan, potonglah tangan keduanya(sebagai) pembalasan atas apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan atas Allah…”

Kata pencuri dalam ayat di atas bersifat mutlak, mencakup semua kategori pencuri, tanpa memandang sedikit banyaknya barang yang dicuri. Kemutlakannya berakibat bahwa semua pencuri sama sama dikenakan hukum potong tangan Namun kemutlakan ayat di atas dibatasi oleh hadis yang berbunyi :
“tidak dipotong tangan pencuri kecuali pada (pencurian senilai) seperempat dinar atau lebih”.

c.       Mentakhsis yang A’m, yaitu mengkhususkan atau mengecualikan berlakunya ayat Al-Qur’an yang bersifat umum. Contohnya ayat tentang warisan, yang menyebutkan bahwa secara umum semua ahli waris mendapatkan bagian warisan, sebagaimana dijelaskan dalam surah An-Nisaa ayat 11 :
“Allah mensyariatkan bagimu (tentang pembagian warisan) kepada anak anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki laki sama dengan bagian dua anak perempuan…
Ayat ini bersifat umum, karena ketentuannya mencakup semua ahli waris mendapatkan bagian sesuai dengan porsi masing masing. Namun keumuman berlakunya ayat tentang warisan itu dikecualikan berlakunya oleh hadis yang berbunyi :
“pembunuh tidak berhak menerima warisan”
Hadis ini mengecualikan ahli waris yang berstatus sebagai pembunuh pewaris. Artinya, pembunuh pewaris kehilangan hak warisnya dari orang yang dibunuhnya, sehingga keumuman berlakunya ayat di atas diberikan pengecualian oleh hadis. Hukum yang dapat ditetapkan adalah : bahwa semua ahli waris mendapatkan bagian warisan kecuali ahli waris yang membunuh pewaris.  Dilihat dari fungsinya, hadis tersebut mentakhsis keumuman ayat tentang warisan.
2.      Bayan Taqrir, yaitu menguatkan apa yang terdapat dalam Al-Qur’an. Dalam hubungannya dengan fungsi ini, hadis menjelaskan hukum yang sama dengan yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Contohnya : tentang wudlu, Al-Qur’an menjelaskan tentang wajibnya wudlu bagi orang yang mau salat, sebagaimana yang tercantum dalam surah Al-Maidah ayat 6 :
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki…”
Di sisi lain terdapat hadis yang menjelaskan hal yang sama yaitu :
“tidak diterima salat seseorang yang berhadas sampai ia berwudhu”.
Hadis ini menjelaskan tentang status hukum wudhu sebagai syarat sah salat, hal mana juga ditegaskan dalam Al-Qur’an. Penjelasan inilah yang menempatkan hadis tersebut sebagai bayan taqrir.

3.      Bayan Tasyri’, yaitu hadis yang menetapkan berlakunya hukum baru yang belum ada ketetapannya di dalam Al-Qur’an. Contohnya : hadis yang menjelaskan tentang penetapan zakat fitrah yang berbunyi :
“bahwasanya Rasulullah Saw mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan (sebanyak) satu sha’ kurma atau gandum untuk setiap orang, baik yang merdeka, atau budak, laki laki maupun perempuan.”

Dalam penggunaannya sebagai sumber ijtihad, para ulama cenderung menganggap Al-Qur’an sebagai satu kesatuan dan hadis sebagai satu kesatuan. Ayat mana saja boleh ditafsirkan dengan hadis mana saja tanpa memperhatikan unsur waktu dan keterkaitan antara keduanya. Disamping itu terdapat ulama yang memandang kedudukan hadis lebih rendah dari Al-Qur’an. Hal ini berseberangan dengan fungsi hadis sebagai penjelas Al-Qur’an, yang mana antara penjelas dengan yang dijelaskan harus memiliki hubungan sebab akibat. Oleh karena itu, pemahaman terhadap fungsi hadis sebagai penjelas Al-Qur’an dalam tataran praktisnya, mukanlah sesuatu yang mudah. Diperlukan berbagai ilmu pendukung, khususnya aspek historis, guna melihat keterkaitan antara penjelasan dalam hadis dengan ketentuan dalam Al-Qur’a. kaian seperti ini akan menghindarkan adanya pertentangan antara ketentuan dua sumber hukum Islam tersebut.


C. Metode Hukum Islam
            Metode yang dimaksud disini adalah cara, teori, atau kerangka konseptual yang dipergunakan para ulama dalam menetapkan hukum suatu persoalan. Metode-metode ijtihad dikelompokkan menjadi dua, yaitu metode yang disepakati berlakunya oleh jumhur ulama (fuqaha dan usuliyyin) dan metode yang diperselisihkan di antara mereka. Metode yang disepakati berlakunya adalah Ijmak dan Qiyas, sedangkan metode yang tidak disepakati antara lain: istihsan, istishah, maslahah mursalah, ‘urf, dan saddudz dzari’ah.



1.      Ijma
Secara etimologi, ijma berarti “kesepakatan” atau konsensus, dan ketetapan hati untuk melakukan sesuatu.[17] Mayoritas ulama mendefinisikan ijmak sebagai kesepakatan seluruh mujtahid pada suatu masa terhadap suatu hukum syara’ setelah wafatnya Rasulullah. Pengertian ini mengindikasikan sebuah musyawarah formal yang dihadiri para mujtahid (ulama) yang berakhir dengan keputusan mufakat. hal ini pada masa sekarang tentu mengalami kesulitan teknis, mengingat jumlah umat dan wilayah Islam yang banyak dan meluas. Sehingga ijmak dalam pengertiannya yang kaku seperti di atas mustahil untuk dicapai pada masa sekarang.[18]
            Fungsi ijmak antara lain:
a.  mengeliminir kesalahan-kesalahan dalam berijtihad, yang mungkin saja terjadi jika ijtihad dilakukan secara individual saja.
b. menyatukan pendapat-pendapat yang berbeda melalui kesepakatan yang dicapai, dan
c. menjamin penafsiran yang tepat atas Al-Qur’an dan keotentikan hadis.
            Menurut ulama, keabsahan produk ijmak sangat tergantung pada terlaksananya rukun ijmak atau tidak. Rukun ijmak meliputi dua hal; yaitu mujtahid dan kesepakatan yang dihasilkan. Mujtahid syaratnya harus hadir seluruhnya, dan seluruh yang hadir menyetujui kesepakatan tersebut. Kesepakatan yang dihasilkan harus merupakan keputusan yang tegas dan bulat. Jika kedua rukun ini terpenuhi, maka ijmaknya disebut dengan ijmak sarih dan dapat dijadikan sebagai hujjah. Jika dalam ijmak ada mujtahid yang tidak tegas menyatakan kesepakatannya, atau hanya diam saja, ijmaknya disebut ijmak sukuti. Ijmak jenis ini tidak dapat di jadikan sebagai hujjah.

            Secara historis ijmak merupakan suatu proses alamiah bagi penyelesaian persoalan melalui pembentukan pendapat mayoritas umat secara bertahap. ijmak bermula dari pendapat pribadi dan berpuncak pada penerimaan universal oleh umat dalam jangka panjang. dengan demikian ijmak adalah penerimaan mayoritas umat Islam tentang suatu ketetapan hukum, yang bisa jadi ketetapan hukum tersebut berasal dari seorang ulama saja. Penerimaan umat inilah yang kemudian disebut sebagai kesepakatan atau ijmak[19].
            Para ulama berbeda pendapat tentang operasional ijmak. Syafi’i, Hambali, dan Zahiri berpendapat bahwa ijmak hanya terjadi pada masa sahabat. Sementara itu Imam Malik menganggap praktek orang Madinah sebagai ijmak. Alasannya adalah realitas anthropologis, bahwa tradisi atau kebiasaan orang Madinah dibentuk oleh nabi dan sahabatnya. Madinah adalah kota dibangun sekaligus tempat domisili nabi, sehingga apa yang dilakukan oleh penduduknya adalah mengikuti apa yang dipraktekkan nabi.
            Kelompok Syiah berpandangan bahwa ijmak adalah kesepakatan para anggota keluarga Rasul (ahlul bait). Pendapat ini tidak lepas dari keyakinan mereka tentang konsep imamah, yang hanya memberi wewenang kepada keturunan Rasulullah(dari jalur Fatimah Az-Zahra dengan Ali bin Abi Talib) dalam hal kekuasaan politik dan agama.
            Ulama kontemporer, seperti Muhammad Abduh dan Muhammad Iqbal memberikan definisi yang berbeda dan moderat. Abduh misalnya, mendefinisikan ijmak adalah mufakat orang yang berwenang (ulul amri), dan dapat dibatalkan oleh generasi berikutnya. Tidak ada ketentuan teknis tentang ijmak dalam Al-Qur’an, sehinnga implementasinya dapat disesuaikan dengan perkembangan peradaban, termasuk system politik yang berlaku. Muhammad Iqbal berpendapat bahwa, bentuk ijmak yang mungkin pada masa kini adalah pengalihan kekuasaan ijtihad kepada lembaga legislatif. Lembaga ini merupakan perwakilan umat, sehingga kesepakatannya merupakan representasi dari kesepakatan masyarakat secara keseluruhan.
            Dari pendapat para ulama tentang ijmak di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat dua sudut pandang yang berbeda perspektifnya. Ulama klasik menempatkan ijmak sebagai produk yang berorientasi masa lalu dan bernilai qat’y. Keberadaannya saat ini tak lebih sebagai ketetapan materi hukum yang bersifat infallibility, tak mungkin salah, sehingga tidak dapat diijtihadi lagi. Hal ini dapat dilihat dari pendapat Syafi’I yang menyebutkan bahwa ijmak hanya terjadi pada masa sahabat, dan tidak mungkin terjadi pada masa sesudah generasi ini.
            Ulama kontemporer berpendapat lebih dinamis, dengan menempatkan ijmak tetap sebagai metode ijtihad yang dapat diaplikasikan sepanjang masa. Ketetapan hukum yang dihasilkan melalui metode ijmak tidak bersifat qat’y, tetapi statusnya seperti produk hukum metode ijtihad yang lain. Kekuatan produk ijmak terletak pada sifatnya yang reliability, terpercaya, karena ditetapkan secara kolektif oleh para ulama pada masanya. Dengan kata lain ijmak dalam pengertian ini berorientasi masa depan, yang berfungsi sebagai pemersatu umat dalam memecahkan masalah kehidupan.
            Mayoritas ulama ushul fiqh mengatakan bahwa landasan ijmak itu bisa dari dalil yang qath’I, yaitu al-Qur’an, sunnah mutawatir serta bisa juga berdasarkan dalil zhanni seperti hadis ahad dan qiyas.[20]

2.      Qiyas
                Yang secara etimologis berarti “mengukur”, “membandingkan” sesuatu dengan sesuatu yang lain, didefinisikan oleh para ahli hukum Islam dengan menyamakan hukum cabang kepada hukum asal, karena sama alasannya.[21]

Metode kedua yang disepakati oleh para ulama adalah qiyas. Qiyas adalah menganalogikan suatu masalah yang belum ada ketetapan hukumnya (nash/dalil) dengan masalah yang sudah ada ketetapan hukumnya karena adanya persamaan ‘illat. Menganalogikan diartikan sebagai mempersamakan dua persoalan hukum sekaligus status hukum di antara keduanya. ‘Illat adalah sebab atau hikmah yang menjadi dasar penetapan hukum tersebut. Dengan demikian, metode qiyas bukan untuk menetapkan hukum dari awal, melainkan hanya menyingkap hukum yang ada pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya.
            Secara historis, metode qiyas merupakan sistematisasi dari penggunaan ra’y atau akal dalam berijtihad. Ulama yang dianggap mensistematiskan konsep qiyas adalah Imam Syafi’i. Pada awalnya pengguanaan qiyas bentuknya tidak kaku dan formal, karena tidak memiliki batasan yang spesifik. Akibatnya, penggunaan qiyas menjadi tidak terkendali, karena penggunaan ra’y mengarah pada sikap arbiter, menurut kehendak penafsir. Oleh karena itu, perlu dirumuskan konsep untuk mengarahkan penggunaan ra’y yang tidak keluar dari ketetapan nash. Ra’y harus dikendalikan dengan tetap berpijak nash, yaitu dengan mencari analogi. Alasan inilah yang kemudian menjadi faktor dimunculkannya metode qiyas. Mayoritas ulama menerima metode ini, kecuali kelompok Syi’ah dan Mazhab Az-Zahiri.
            Dalam pelaksanaanya, qiyas harus memenuhi rukun-rukun sebagai berikut:
a.      Ashl (Maqis alaih): yaitu masalah yang sudah ada ketetapan hukumnya atau sudah ada nashnya, baik dari Al-Qur’an maupun hadis
b.      Furu’ (Maqis): yaitu masalah yang sedang dicari ketetapan hukumnya
c.       Hukm Ashl: yaitu hukum masalah yang sudah ditetapkan oleh nash.
d.      Illat: yaitu sifat yang terdapat dalam ashl, dengan syarat: sifatnya nyata dan dapat dicapai dengan indera, konkrit tidak berubah, dan sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai.
            Contoh implementasi metode qiyas adalah dalam penetapan boleh tidaknya menjadikan jagung sebagai alat pembayar zakat fitrah. Sebagaimana diketahui, bahwa hadis tentang zakat fitrah menyebutkan alat pembayarannya adalah kurma atau gandum. Bolehkan berzakat fitrah dengan jagung? Masalah ini dapat diselesaikan dengan metode qiyas dengan cara sebagai berikut:
a.      Ashl: Ketentuan mengeluarkan zakat fitrah dengan gandum satu sha’
b.      Furu’: berzakat fitrah dengan jagung
c.       Hukum Ashl: Zakat fitrah dengan gandum adalah boleh berdasarkan nash hadis:
d.      Illat : terdapat kesamaan sifat anatara gandum dengan jagung, yaitu fungsinya sebagai makanan pokok bagi masyarakat. Keduanya (gandum dan jagung) termasuk jenis biji-bijan yang mengenyangkan.
e.      Natijah (kesimpulan): boleh zakat fitrah dengan jagung, karena jagung memiliki sifat yang sama dengan gandum.
            Para ulama membagi tingkatan qiyas berdasarkan kekuatan hukum pada furu’ jika dibandingkan dengan hukum pada ashl. Tingkatan tersebut adalah:
a.      Qiyas Aulawi
            Jika hukum pada furu’ lebih kuat daripada ashl, seperti mengqiyaskan memukul dengan kata “ah”. Hukum pada ashl adalah larangan berkata “ah” kepada orang tua, sedangkan hukum yang sedang dicari ketetapannya (furu’) adalah “memukul” orang tua. Dalam kasus ini hukum “memukul” dianggap lebih kuat daripada berkata “ah”.
b.      Qisas Musawi
            Jika hukum pada furu’ sama kuatnya dengan hukum pada ashl, seperti hukum memakan harta anak yatim diqiyaskan dengan hukum membakar harta anak yatim. Antara hukum “memakan” dengan “membakar” sama kuatnya, yaitu sama-sama menghabiskan.





c.       Qiyas Adna
            Jika hukum pada furu’  lebih lemah dari pada hukum ashl, seperti mengqiyaskan apel dengan gandum dalam halzakat fitrah. Hukum ashlnya adalah membayar zakat fitrah dengan gandum, sedangkan hukum furu’ yang sedang dicari ketetapannya adalah berzakat dengan apel. Kedudukan “apel” dianggap lebih lemah daripada “gandum” karena gandum adalah jenis makanan pokok, sedangkan apel hanya jenis buah-buahan yang tidak termasuk makanan pokok.


3.      Istihsan
          Artinya memandang dan menyakini baiknya sesuatu menurut Syatibi, istihsan adalah meberlakukan kemaslahatan parsial ketika berhadapan dengan kaidah umum, atau mendahulukan maslahah mursalah dari qiyas.
          Dalam hal ini, ada dua alternatif jawaban, yaitu syara atau akal. Perbedaan persepsi tentang mustahsin inilah yang menjadi starting point silang pendapat para ahli hukum Islam dalam pengakuanya sebagai landasan hukum. Dalam pandangannya, manakala mustahsin tersebut adalah syara’, maka sebenarnya tidak perlu disebut sebagai istihsan, karena baik dan buruknya sesuatu telah ditentukan oleh dalil syara’.[22]
Dapat disimpulkan bahwa, istihsan adalah mengalihkan hukum sesuatu kepada hukum baru karena adanya alasan yang lebih kuat, atau lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.
Contoh contoh penerapan hukum dengan metode istihsan :
a.      Pengalihan hukum berdasarkan ketetapan nash hadis, contohnya dalam kasus seseorang yang sedang berpuasa makan dan minum karena lupa. Menurut qiyas, orang tersebut batal puasanya dan harus berbuka, namun berdasarkan istihsan, orang tersebut boleh melanjutkan puasanya.
b.      Pengalihan hukum berdasarkan ketetapan ijmak atau ‘urf, seperti akad jual beli barang sekaligus dengan tukangnya. Akad ini berdasarkan qiyas tidak sah, karena barang yang diperjual belikan tidak ada dit empat akad. Akan tetapi praktek ini sudah dilaksanakan oleh masyarakat, sehingga dianggap disepakati berlakunya.
c.       Pengalihan hukum berdasarkan darurat, seperti hukum menjual kotoran binatang. Manurut qiyas, hukum jual beli kotoran binatang adalah haram, karena disamakan dengan hukum memakannya. Namun, menurut istihsan hukum jual beli tersebut boleh, karena dapat memenuhi sebagian kebutuhan yang mendesak, khususnya dibidang pertanian.

Istihsan adalah hukum yang diperselisihkan oleh ulama :
·         Yang membolehkan : mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali, karena menganggap merupakan hukum yang kuat dalam menetapkan hukum syara.
·         Yang melarang : imam Syafi’I, Az-Zahiri, Syi’ah dan Mu’tazilah.
4.      Istishab
            Secara etimologi, istishab artinya membandingkan sesuatu dan mendekatkannya. Dalam kajian metode ijtihad, istishab adalah memberlakukan hukum asal yang ditetapkan berdasarkan nash sampai ada dalil lain yang menunjukkan perubahan hukum tersebut. Jika suatu perkara sudah  ditetapkan hukumnya pada suatu waktu, maka ketetapan tersebut akan tetap berlaku sampai ada dalil baru yang mengubahnya.


      Ulama membagi metode istishab ke dalam lima kategori:
a.      Istishab hukmi al-ibadah al-asliyyah,
            Istishab hukmi al-ibadah al-asliyyah yaitu menetapkan bahwa hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama belum ada dalil yang menyatakan keharamannya.
Contoh: Pepohonan yang ada di hutan adalah milik bersama umat manusia., sehingga setiap orang berhak memanfaatkannya, sampai ada bukti bahwa hutan itu telah menjadi milik seseorang.
b.      Istishab al-wasful tsabit li al-hukmi hatta yutsbitu khilafuh
      Istishab al-wasful tsabit li al-hukmi hatta yutsbitu khilafuh adalah sifat yang melekat pada suatu hukum sampai ditetapkan hukum yang berbeda dengan itu
Contoh: Hak milik suatu benda adalah tetap dan berlangsung terus, sebagai akibat dari adanya transaksi, sampai ada sebab lain yang mengakibatkan hak milik itu berpindah ke tangan orang lain.
c.       Istishab terhadap dalil yang bersifat umum sampai ada dalil yang mengkhususkannya atau menasakhkannya.
Contoh: Kewajiban puasa (Surah Al-Baqarah ayat 183), adalah wajib bagi umat Islam            dan umat sebelum Islam, selama belum ada nas lain yang membatalkannya.
d.      Istishab terhadap hukum akal sampai datangnya hukum syara’.
Contohnya dalam masalah gugatan. Seorang penggugat wajib mengemukakan saksi dan bukti gugatannya, jika tidak, maka tergugat akan bebas dari gugatan.
e.      Istishab terhadap hukum yang ditetapkan berdasarkan ijmak.
Contoh: orang yang hendak salat tidak menemukan air untuk berwudhu. Kemudian    dia bertayammum. Ketika sedang salat ia melihat ada air, apakah dia tetap         meneruskan shalatnya atau membatalakan shalatnya untuk berwudhu? dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah menyatakan bahwa             orang tersebut tetap melanjutkan shalatnya, karena adanta ijmak bahwa shalat itu sah apabila dikerjakan sebelum melihat air.
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah             berpendapay sebaliknya. Orang tersebut harus membatalkan salatnya. Ijmak tersebut hanya berlaku dalam hal ketiadaan air dan tidak berlaku dalam keadaan     tersedianya air.

5.      Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah adalah penetapan hukum berdasarkan kemaslahan yang tidak didukung oleh dalil nash secara terperinci., tetapi didukung oleh makna sejumlah nash. Metode maslahah mursalah merupakan hasil induksi dari logika sekumpulan nash, bukan nash parsial sebagaimana dalam metode qiyas
      Dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan, para ahli ushul fiqh membaginya kepada tiga macam, yaitu:
a.      Maslahah Dharuriyyah
      Maslahah Dharuriyyah yaitu maslahah primer bagi kehidupan kehidupan manusia, yang meliputi penjagaan atau pemeliharaan terhadap lima hal yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Contohnya:  berjihad diwajibkan karena untuk memelihara jiwa, larangan membunuh bertujuan untuk memelihara jiwa, keharaman minuman keras adalah untuk menjaga akal manusia, larangan berzina berfungsi untuk menjaga kesucian keturunan, dan pencurian dilarang untuk tujuan pemeliharaan harta.

b.      Maslahah hajiyah
      Maslahah hajiyah adalah maslahah sekunder, bukan pokok, tetapi keberadaannya mendukung terwujudnya kemaslahatan primer. Jika kemaslahatan ini tidak terwujud akan menimbulkan kesulitan atau kesempitan.
Contohnya: qasar salat, buka puasa bagi musafir (dalam masalah ibadah), jual beli salam atau pesanan (dalam bidang muamalah), berpakaian yang rapid an indah  (dalam hal kebiasaan hidup)

c.       Maslahah Tahsiniyah
      Maslahah tahsiniyah adalah maslahah tersier, bukan pokok atau pendukung, tetapi pelengkap atau penyempurna. Keberadaan maslahah ini akan menyempurnakan maslahah pokok, meskipun jika tidak terpenuhi tidak akan menimbulkan kesulitan atau kesempitan. Keberadaanya akan memberikan kemudahan hidup manusia.
Contohnya: memperbanyak ibadah sunnah, menjaga etika makan dan minum, dan sebagainya


6.      Urf (Adat Kebiasaan Masyarakat)
Secara etimologi, ‘urf berarti sesuatu yang dipandang baik, yang dapat diterima akal sehat. Menurut ulama usul fiqh, ‘urf adalah kebiasaan mayoritas masyarakat baik dalam perkataan maupun perbuatan. Atas dasar definisi ini ulama membagi ‘urf dalam tiga macam :
1.      Daris segi objeknya, ‘urf lafzi dan ‘urf lafdi adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal tertentu untuk maksud tertentu. Contoh kata “daging menurut urf masyarakat dikhususkan untuk daging sapi, meskipun kata tersebut makna asalnya mencakup semua jenis daging. Namun, dalam keseharian yang dipakai adalah makna yang berdasarkan urf masyarakat. Urf amaly adalah kebiasaan masyarakat yang berupa perbuatan. Seperti jual beli di swalayan atau supermarket yang dilaksanakan tanpa ijab qabul antara penjual dan pembeli. Jual beli seperti ini sah, karena sudah menjadi kebiasaan yang diterima masyarakat.
2.      Dari segi cakupannya, urf duibagi dua : urf am dan urf khas. Urf am artinya kebiasaan yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat, seperti jual beli mobil selalu disertai dengan alat untuk memperbaiki. Urf khas artinya kebiasaan yang berlaku di daerah atau masyarakat  tertentu, seperti menggunakan jasa pengacara harus membayar sebagian biaya di muka.
3.      Dari segi kebasahannya menurut hukum syara’, urf dibagi dua : urf sahih dan urf fasid. Urf sahih adalah kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash, sedang urf fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan nash.

7.      Saddudz Dzari’ah
          Secara bahasa Saddudz Dzari’ah berarti melarang jalan yang menuju kepada sesuatu. Para ulama mendifinisikannya dengan “mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan, atau menyumbat jalan yang dapat menyampaikan seseorang pada kerusakan”. Jika ada suatu perbuatan baik tetapi dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan, maka menurut metode ini perbuatan tersebut harus dicegah atau dilarang.
Mayoritas ulama menerima kehujjahan Saddudz Dzari’ah. Imam Malik menggunakan metode ini seperti ketika menggunakan maslahah mursalah, sementara Ibnu Qoyyim menganggap bahwa Saddudz Dzari’ah merupakan hal yang penting dalam urusan agama. Imam Syafi’I mencontohkan, jika ada seorang yang sakit, maka dia boleh meninggalkan salat jum’at dan menggantinya dengan salat zuhur. Namun. Agar tidak menimbulkan aggapan buruk, maka dia harus melakukannya secara diam diam, supaya orang tidak menyangkanya sengaja meninggalkan salat jum’at.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam mengambil setiap hukum pastilah ada rujukan atau tempat diambilnya suatu keputusan, yaitu sumber hukum Islam yang tentunya sumber yang pokok dan utama adalah Al-Qur’an dan diperjelas oleh Hadis. Disamping itu ada pula bermacam macam metode yang merupakan produk dari penemuan para ulama yang selanjutnya terus mengalami perkembangan dengan pesat berdasarkan permasalahan yang semakin kompleks. Diantara metode tersebut adalah : ijma, qiyas, istihab, istihsan, urf, saddus dzariah.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini pastilah ada banyak kesalahan baik dari segi susunan kata maupun dari materi yang disampaikan didalamnya maka kami pihak penyusun berharap agar ada bimbingan bimbingan ke depan kepada adik adik kami kelak agar dapat mengembangkan pengetahuan yang ada dari apa yang tertulis pada makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA

Mughits, Abdul. 2008. Ushul Fikih Bagi Pemula. Jakarta Barat : CV. Artha Rivena.
Syarifuddin, Amir. 2012. Garis Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Ibrahim, Duski. 2008. Metode Penetapan Hukum Islam. Yogyakarta : Ar Ruzzmedia.
Sodiqin, Ali. 2013. Fiqh Ushul Fiqh. Yogyakarta : Beranda.




[1] Ali Sodiqin, Fiqh dan Ushul fiqh, hlm. 65
[2] Amir syarifuddin, Garis Garis Besar Ushul Fiqh, hlm. 31
[3] Ali Sodiqin, Fiqh dan Ushul fiqh, hlm. 65
[4] Amir syarifuddin, Garis Garis Besar Ushul Fiqh, hlm. 32
[5] Abdul Muglits, Ushul Fiqh Bagi Pemula, hlm. 60
[6] Ali Sodiqin, Fiqh dan Ushul fiqh, hlm. 66

[7] Ali Sodiqin, Fiqh dan Ushul fiqh, hlm. 69



[8] Ali Sodiqin, Fiqh dan Ushul fiqh, hlm. 70

[9] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Cetakan ke XXVIII (Bandung : Mizan, 2004), hlm. 137
[10] Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 35.
[11] Ali Sodiqin, Fiqh dan Ushul fiqh, hlm. 72

[12] Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, hlm. 141
[13] Ali Sodiqin, Fiqh dan Ushul fiqh, hlm. 74
[14]Ali Sodiqin, Fiqh dan Ushul fiqh, hlm. 76

[15] Ali Sodiqin, Fiqh dan Ushul fiqh, hlm. 78
[16] Ali Sodiqin, Fiqh dan Ushul fiqh, hlm. 79

[17] Nasrun Harun, Ushul Fiqh 1, Ciputat: Logos Publishing House, 1996, hal.51
[18] Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh, Yogyakarta: Beranda Publishing, 2012, hal. 84
[19] Ibid, hal. 84-85
[20] Nasrun harun, op. cit., hal. 59
[21] Duski Ibrahim, Metode Penetapan Hukum Islam, hlm. 134
[22] Duski Ibrahim, Metode Penetapan Hukum Islam, hlm. 142

untuk mendownloadnya silahkan "download contoh makalah sumber dan metode hukum Islam"


Artikel Terkait

Makalah Sumber dan Metode Hukum Islam
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email

1 komentar: