30/04/2015

Politik Hukum Pemilihan Presiden Secara Langsung Pasca Amandemend UUD 1945

POLITIK HUKUM
Pada kesempatan kali ini saya akan menulis tentang politik hukum pasca amandemend yang lebih kepada pemilihan presiden secara langsung. Seperti yang telah kita ketahui bahwa UU hasil amandemen mengarah kepada penguatan sistem presidensial yang telah diwujudkan dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Sering ditanyakan, apakah pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung sekarang ini tidak bertentangan dengan sila keempat Pancasila yang menentukan bahwa "kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan". Jawabanya tentu tidak bertentangan sama sekali, sebab isi sila keempat Pancasila yang menyebut permusyawaratan atau perwakilan itu tidak bisa dikaitkan dengan MPR saja. Hal yang penting, keputusan keputusan negara harus dilakukan melalui pembicaraan yang hikmat dan kebijaksanaan di lembaga perwakilan yang harus dibentuk. Sila keempat Pancasila berisi perintah dibentuknya lembaga perwakilan rakyat seperti MPR, DPR, DPD, dan DPRD, bukan berisi perintah agar Presiden dipilih oleh lembaga perwakilan. Dan soal pemilihan Presiden secara langsung itu telah ditetapkan di dalam UUD melalui permusyawaratan oleh wakil wakil (perwakilan) rakyat yang ketika itu terhimpun di dalam MPR yang sebenarnya merupakan lembaga permusyawaratan wakil rakyat.

Jadi dapat ditarik suatu kesimpulan dari apa yang telah disebutkan di atas bahwa dengan adanya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, sistem perwakilan yang harus selalu melakukan permusyawaratan dengan hikmat dan bijaksana yang sampai sekarang masih ada yakni MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Nama berbagai lembaga perwakilan itu dapat saja berubah sesuai dengan ketentuan UUD sehingga bukan tidak mungkin pada suatu saat digunakan istilah Parlemen, Kongres, Majelis Syura, dan sebagainya, asalkan semuanya ditetapkan di dalam UUD. Di sinilah letak arti perwakilan yang terkandung di dalam sila keempat Pancasila tersebut.

Demikian tulisan saya tentang politik hukum pasca amandemen mengenai pemilihan presiden secara langsung tulisan ini adalah hasil kutipan saya pada buku yang berjudul "Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konsitusi" karya Mahfud MD. Sebagai tambahan saja berikut tentang ungkapan dari Mahfu MD dalam halaman 137 tentang politik dan hukum dalam pemilihan presiden;
Ketentuan konstitusi tentang pemilihan secara langsugung Presiden dan Wakil Presiden sudah final sebagai keputusan politik nasional dan telah dimasukkan dalam perubahan ketiga dan keempat UUD 1945. Bahkan ketentuan itu sudah dilaksanakan dengan sukses pada tahun 2004.
Untuk memahami secara mendalam maksud pemilihan langsung tersebut, ada baiknya dilakukan penelusuran terhadap latar belakang pilihan politik tersebut ketika ia akan dijadikan muatan dalam UUD yang kemudian mau tidak mau kita harus laksanakan sebagai kewajiban konstitusional. Penelusuran tersebut meliputi telaah tentang alasan alasan munculnya usul tentang pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden serta persoalan persoalan yang harus diantisipasi. 

20/04/2015

Penyertaan (comolity) dalam Hukum Pidana

penyertaan tindak pidana
Penyertaan (deelneming, comolity) terjadi apabila ada tindak pidana dilakukan oleh dua orang atau lebih dan masing masing mempunyai peranan yang sama atau berbeda. 

dalam KUHP, penyertaan diatur dalam Pasal 55 sampai dengan 60 dengan dua golongan besar, yaitu pembuat (dader) dan pembantu (medeplichtiger) ,,, berikut uraianya dan juga penjelasanya...
  • pembuat (dader)
adalah tiap orag yang menimbulkan akibat yang memenuhi rumusan delik. pembuat terdiri dari pelaku, yang menyuruh melakukan, yang turut serta, dan penganjur.

  • pelaku (pleger)
adalah orang yang melakukan sendiri perbuatan yang memenuhi rumusan delik atau yang dipandang bertanggung jawab terhadap suatu tindak pidana. kedudukan pelaku ini janggal karena penyertaan merupakan pelaku jamak. dalam tindak pidana yang dilakukan dalam jabatan, maka pelaku yang melakukan tindak pidana itu harus  seorang pegawai negeri.
  • orang yang menyuruh melakukan (doenpleger)
adalah orang yang melakukan perbuatan dengan perantara itu hanya digunakan sebagai alat.
ada dua pihak yakni pembuat langsung dan juga pembuat tidak langsung. jadi bukan pelaku utama itu sendiri yang melakukan tindak pidana, tetapi dengan bantuan orang lain yang hanya merupakan alat saja. meskipun demikian ia dianggap dan dihukum sebagai orang yang melakukan tindak pidana, sedang orang yang disuruh tidak dapat dihukum karena tidak dapat dipertanggungjawabkan.

adapun unsur unsur dalam doenpleger adalah:
alat yang dipakai adalah manusia
alat yang dipakai berbuat
alat yang dipakai tidak dapat dipertanggungjawabkan
  • orang yang turut serta (medepleger)
adalah orang yang dengan sengaja turut berbuat atau turut mengerjakan terjadinya sesuatu. maka dari pada itu, kualitas masing masing peserta tindak pidana adalah sama
syaratnya adalah:
  1. ada kerjasama secara sadar atau sengaja unuk bekerja sama dan ditujukan kepada hal yang dilarang undang undang
  2. ada pelaksanaan bersama secara fisik, sehingga menimbulkan selesaianya delik tersebut.
dalam tindak pidana ini pelakunya paling sedikit harus ada dua orang, yakni yang melakukan dan juga yang turut melakukan. tetapi apabila keduanya hanya melakukan perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya membantu, maka pelaku kedua itu tidak dapat dikategorikan sebagai orang yang turut melakukan akan tetapi hanya sebagai orang yang membantu melakukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56.
  • penganjur (uitlokker)
adalah orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan sauatu tindak pidana dengan menggunakan sarana sarana yang ditentukan oleh undang undang secara limitatif, yaitu memberi atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, kekerasan, ancaman, atau penyesatan, dengan memberi kesempatan, sarana atau  keterangan, lihat Pasal 55 (1) angka2
  • pembantuan (medeplichtige)
pembantu hanya bersifat menunjang pelaksanaan tindak pidana, dan kadang ada pula yang sengaja memberi bantuan tanpa disyaratkan harus melakukan kerjasama dan tidak untuk kepentinganya sendiri, perbuatan membantu melakukan pelanggaran tidak dapat dihukum (lihat Pasal 60 KUHP), dan maksimum pidana pembantu adalah maksimum pidana yang bersangkutan (korban) dikurangi sepertiga (lihat Pasal 57 ayat 1.tetapi dalam beberapa pasal KUHP ada yang menyebutkan bahwa pembantu dipidana sama berat dengan pembuat yakni untuk kasus tindak pidana membantu merampas kemerdekaan (333 (4)), dengan cara memberi tempat untuk melakukan perampasan kemerdekaan dan juga membantu menggelapkan uang/surat oleh pejabat (415), dan lain lain. ada juga yang lebih berat dari pada pembuat yaitu pada tindak pidana membentu menyembunyikan barang titipan hakim (231 (1)), dan juga dokter yang membantu menggugurkan kandungan (349).

untuk lebih lengkapnya silahkan lihat beberapa blog di bawah ini

16/04/2015

24 Orang dilantik Menjadi Wakil Dekan UIN Sunan Kalijaga

24 Orang Dilantik Jadi Wakil Dekan UIN

24 Orang dilantik Menjadi Wakil Dekan UIN Sunan Kalijaga
Sejumlah 24 orang dilantik menjadi Wakil Dekan Fakultas di lingkungan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta periode 2015-2019 oleh Rektor UIN Suka Prof Drs KH Ahmad Minhaji MA Phd di Gedung Pusat Administrasi Umum Rektorat UIN Suka.
Ke 24 orang wakil dekan tersebut untuk delapan fakultas di UIN Suka. Rinciannya tiap fakultas terdiri tiga orang wakil dekan, terdiri wakil dekan akademik, wakil dekan bidang kemahasiswaan dan kerja sama, serta wakil dekan bidangadministrasi umum dan keuangan.
Ke delapan fakultas tersebut terdiri dari Fakultas Adab dan Ilmu Budaya, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Fakultas Syariah dan Hukum, Fakultas Ushuludin dan Pemikiran Islam, Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Fakultas Sains dan Teknologi.
Bapak Ahmad Minhaji saat melantik berpesan kepada jajaran wakil dekan fakultas agar menjunjung tinggi nilai nilai universitas, serta mengedepankan kejujuran dan kedisiplinan. Integritas pribadi, menurutnya sangat penting dalam mencitakan budaya kerja yang baik.
Sebagai kampus anti korupsi, kata Bapak Minhaji, UIN Suka terus berkembang dengan sistem penjaminan mutu berkelanjutan. Harapanya, sistem yang baik, diisi oleh orang orang yang baik pula sehingga mendapatkan kualitas kerja yang baik pula. Namun, organisasi yang dibangun dengan sistem yang buruk berimbas buruknya kualitas kerja.
Menurut Bapak Minhaji, pergantian pimpinan dalam sebuah organisasi juga sebuah hal kewajaran untuk meningkatkan kualitas kerja. Apalagi, sebuah jabatan adalah amanah yang kelak juga harus dipertanggungjawabkan, sehingga saat menjabat dalam organisasi harus dilandasi keja yag baik pula.
Dikutip dari :
Koran Kedaulatan Rakyat, tanggal 16 April 2015, halaman 2

14/04/2015

Hukum Laut Internasional


Hukum Laut Internasional meliputi juga wilayah laut. Wilayah laut adalah laut beserta tanah yang ada di bawahnya. Tanah dibawah laut terdiri dari dasar laut dan tanah di bawah dasar laut. Wilayah laut terbagi atas wilayah yang dikuasai oleh suatu negara. Konvensi PBB tentang hukum laut 1982 (UNCLOS 1982) melahirkan delapan zonasi pengatutan hukum laut:
Hukum Laut Internasional


1. Perairan pedalaman
Hukum Laut Internasional melahirkan zonasi yang pertama yakni perairan pedalaman yang merupakan perairan yang berada pada sisi darat garis pangkal. Di kawasan ini negara memiliki kadaulatan penuh, sama seperti kedaulatan negara di daratan. Pada prinsipnya tidak ada hak lintas damai di kawasan ini kecuali kawasan perairan pedalaman yang terbentuknya karena penarikan garis dasar lurus.

2. Laut teritorial
Hukum Laut Internasional melahirkan zonasi yang kedua yakni laut teritorial yang merupakan laut yang terletak pada sisi luar dari garis pangkal dan tidak melebihi dari 12 mil laut. Di kawasan ini kedaulatan negara penuh termasuk atas ruang udara di atasnya. Hak lintas damai diakui bagi kapal kapal asing yang melintas. Hak lintas damai adalah menurut konvensi hukum laut 1982 adalah hak untuk melintas secepat cepatnya tanpa berhenti dan bersifat damai tidak menggangu keamanan dan ketertiban negara pentai.

3. Zona tambahan
Zonasi Hukum Laut Internasional yang ketiga adalah zona tambahan yang merupakan laut yang terletek pada sisi luar garis pangkal. Di zona ini kekuasaan negara terbatas untuk mencegah pelanggaran pelanggaran terhadap aturan bea cukai, fiskal, imigrasi, dan perikanan.

4. Landasan kontinen
Dalam Hukum Laut Internasional juga dikenal landasan kontinen yang meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari area di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial, sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut, hingga paling jauh 350 mil laut sampai dengan jarak 100 mil laut dari garis kedalaman 2500 meter.

5. Zona ekonomi eksklusif (ZEE)
Hukum Laut Internasional juga mengatur tentang ZEE. ZEE merupakan suatu zona selebar tidak lebih dari 200 mil laut dari garis pangkal. Di zona ini negara pantai memiliki hak hak berdaulat yang eksklusif untuk keperluaneksplorasi dan eksploitasi sumber kekayaan alam semesta seta yuridiksi tertentu terhadap:
  • Pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan
  • Riset ilmiah kelautan
  • Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut
6. Laut lepas

Berbeda dengan zonasi pembagian Hukum Laut Internasiona yang disebutkan diatas, maka Laut lepas tidak dapat diletakkan di bawah kedaulatan dikuasai oleh suatu negara mana pun. Kawasan ini adalah laut yang tidak masuk dalam kawasan kawasan laut sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya di atas yakni pada poin 1-5. Dalam kawasan laut lepas berlaku berbagai prinsip kebebasan daam batas batas hukum internasional. Seperti kebebasan berlayar, penerbangan, memasang kabel dan pipa, pembuatan pulau buatan serta instalasi lain, kebebasan menangkap ikan juga penelitian ilmiah.

7. Dasar laut samudra dalam

Zonasi terakhir dalam Hukum Laut Internasional adalah dasar laut samudra dalam yaitu suatu kawasan dasar laut yang tidak terletak di dalam yuridiksi negara mana pun. Satu kemajuan sangat berarti diperoleh oleh negara negara berkembang di kawasan ini yaitu dengan diakuinya prinsip warisan bersama umat manusia serta terbentuknya badan otorita hukum laut internasional sebagai tindak lanjutnya. Kemajuan yang dimaksudkan adalah apabila era sebelumnya di kawasan ini berlaku prinsip freedom exploitation tanpa ada kewajiban memberikan kontribusi pada masyarakat internasional maka dengan diakuinya prinsip common haritage of mankind, siapapun yang mengeksploitasi kawasan tersebut harus memberikan konstribusi 1%-7% kepada masyarakat internasional yang dibayarkan melalui badan otorita hukum laut internasional.

Proses Penyelesaian Sengketa Pertanahan

Proses Penyelesaian Sengketa Pertanahan 
Mengenai proses penyelesain sengketa pertanahan ada yang melalui badan peradilan seperi pengadilan umum dan pengadilan tata usaha negara, pada kesempatan kali ini akan dijelaskan mengenai proses penyelesaian sengketa pertanahan di luar pengadilan melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau dalam bahasa Inggris dikenal disebut Alternative Dispute Resolution (ADR)… Langsung saja kita simak ulasan di bawah ini.
Proses Penyelesaian Sengketa Tanah


Mediasi adalah salah satu proses alternative penyelesaian masalah dengan bantuan pihak ketiga (mediator) dan prosedur yang disepakati oleh para pihak dimana mediator memfasilitasi untuk dapat tercapai suatu solusi (perdamaian) yang saling menguntungkan para pihak. Mediator adalah orang/pejabat yang ditunjuk jajaran BPN RI yang disepakati oleh para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan permasalahannya.

Penyelesaian sengketa melalui ADR secara implicit dimuat dalam Perpres No. 10 tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional(BPN). Dalam struktur organisasi BPN, dibentuk satu kedeputian, yakni Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketadan Konflik Pertanahan.BPN telah pula menerbitkan Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan melaui Keputusan Kep BPN RI No. 34 tahun 2007.
Dalam menjalankan tugasnya menangani senketa pertanahan BPN melakukan upaya antara lain melaui mediasi. Selanjutnya dikeluarkan peraturan yaitu Petunjuk Teknis Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 05/JUKNIS/D.V/2007 tentang Mekanisme Pelaksanaan Mediasi.

Di Amerika Serikat sebagai negara yang pertama sekali mengemukakan gagasan mengenai penyelesaian sengketa alternatif, saat ini telah dikembangkan berbagai bentuk penyelesaian sengketa alternatif, seperti:
negosiasi, mediasi, konsiliasi, mintrial, dan summary jury trial, dan settlement conference (M. Yahya Harahap, 1997). 

Salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang cukup pesat perkembangannya adalah mediasi
Indonesia, dalam hal lembaga mediasi, dulunya lebih maju dari negara lain. Hukum Acara Perdata yaitu HIR (het Herziene reglement) pasal 130 dan R.Bg. (Rechtsreglement Buitengewesten) pasal 154, misalnya, telah mengatur lembaga perdamaian, dimana hakim yang mengadili wajib mendamaikan lebih dahulu pihak yang berperkara, sebelum perkaranya diperiksa secara ajudikasi

Sementara tentang mediasi atau alternatif penyelesaian sengketa (APS) di luar pengadilan, diatur dalam pasal 6 UU No. 30 tahun 1999 tentang arbitrase penyelesaian sengketa. Lembaga-lembaga APS bisa dijumpai secara luas dalam berbagai bidang seperti UU bidang Lingkungan Hidup, Pertumbuhan, Perlindungan Konsumen dan lain sebagainya. Langkah menuju pengembangan mediasi telah dilakukan oleh Indonesia dengan Diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Di mana tentang mediasi diatur dalam Pasal 6 ayat (3) yang berbunyi: “Dalam hal sengketa atau beda pendapat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasihat ahli maupun melalui seorang mediator”.

Mahkamah Agung RI juga telah memasukkan mediasi dalam proses peradilan tingkat pertama, melalui Peraturan Mahkamah Agung RI (PERMA) Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, yang mulai diberlakukan sejak 11 September 2003.

ALASAN ALASAN MEDIASI ?
Pertama, dalam masyarakat Indonesa yang dikenal sebagai masyarakat konsensus, cara penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga netral (mediasi) ini mempunyai basis sosial yang kuat, baik di perdesaan (rural community) maupun perkotaan (urban community).
Kedua, dengan melihat pengalaman yang terjadi di Amerika sebagai negara di mana masyarakatnya dikenal kecenderungannya menggunakan Pengadilan cukup tinggi (litigation minded), ternyata mediasi perkembangannya sangat pesat. Di mana hingga tahun 1986 telah tercatat sebanyak 220 jaringan umum mediasi (public mediate network) yang beroperasi di seluruh 40 negara bagian, yang menangani sekitar 250.000 kasus per tahun, dengan sejumlah 1,5 juta orang yang terlibat di dalamnya
(M. Yahya Harahap, 1997).

Christopher W. Moore (1995) mengemukakan ada beberapa keuntungan yang seringkali Didapatkan dari hasil mediasi, yaitu:
  • keputusan yang hemat, mediasi biasanya memakan biaya yang lebih murah dibandingkan dengan biaya-biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan litigasi;
  • penyelesaian secara cepat;
  • hasil yang memuaskan bagi semua pihak;
  • kesepakatan-kesepakatan komprehensif dan “customized”;
  • praktik dan belajar prosedur-prosedur penyelesaian masalah secara kreatif;
  • tingkat pengendalian lebih besar dan hasil yang bisa diduga;
  • pemberdayaan individu
  • melestarikan hubungan yang sudah berjalan atau mengakhiri hubungan dengan cara yang lebih ramah;
  • keputusan-keputusan yang bisa dilaksanakan;
  • kesepakatan yang lebih baik dari pada hanya menerima hasil kompromi atau prosedur menang-kalah;
  • keputusan yang berlaku tanpa mengenal waktu.





Contoh Kasus Sengketa Tanah di Kebon Jeruk

Kasus Sengketa Tanah di Kebon Jeruk
kasus sengketa tanah

Tanah sengketa yang terletak di Jalan Anggrek, Kebun Jeruk dengan luas 37.690 meter persegi. Tanah ini merupakan bekas hak eigendom no. 5894 ini SHGB nya telah terbit tahun 1966 yakni no. 3/sukabumi ilir atas nama Ujat Natakusuma. Kaveling ini sebagian (20.120 m/2) dibeli Imam Soepardi sehingga terbit SHGB no. 4/sukabumi ilir atas nama dia tahun 1966. Untuk sisanya terbit SHGB no. 3 sisa/Sukabumi ilir atas nama Saimot Bapa Madie. Tahun 1970 kaveling ini dipugar dan disana dibangun gudang PT ISA Contractor milik imam Soepardi.
Ternyata tahun 1976 BPN menerbitkan SHGB no.7/Sukabumi Udik atas nama Hauw Kang Seng seluas 49.000 m/2. Lokasinya persis di atas tanah milik Imam Soepardi. Sengketa pun terjadi sejak tahun 1976 hingga sekarang (31 tahun tanpa berhenti). Pengadilan tetap saja memproses perkara ini kendati mereka seharusnya menolak karena ne bis in idem. Selama masa perkara yang panjang ini telah keluar sejumlah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum berikut:
Pengedilan umum:
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat
Putusan MA RI No. 951 K/Pdt/1985 tanggal 29 September 1986 jo Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jaya No. 34/1982 PT Perdata Jo Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 294/1979/JB tanggal 25 Februari 1981
Objek sengketa: Tanah Jl. Kebon Jeruk dan Jl. Anggrek di Kebun Jeruk, Jakarta Barat
Kasus Posisi:
Gugatan Hauw Kang Seng agar SHGB No.7/Sukabumi ilir seluas 43.040 m/2 di persil yang telah bersertifikat atas nama Imam Soepardi HGB No.4/Sukabumi ilir yang merupakan pecahan dari SHGB No. 3/Sisa Sukabumi ilir atas nama Udjat Natakusuma-tidak dapat diterima.
Putusan Mahkamah Agung
Putusan Mahkamah Agung RI No. 1585 K/Pdt/2000 tanggal 25 April 2002 Jo Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 844/Pdt/1998/PT.DKI.Jkt. tanggal 27 April 1999 Jo Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 369/Pdt.G/1997/PN.Jkt. tanggal 4 Agustus 1998.
Objek sengketa: Tanah terletak di Jl. Kebon Jeruk Raya dan Jl. Anggrek di Kebon Jeruk Jakarta Barat.
Kasus posisi:
Gugatan dari ahli waris Imam Soepardi, pemegang Sertifikat HBG No. 4/Sukabumi ilir atas nama Imam Soepardi, adalah gugatan perbuatan melawan hukum oleh King Yuwono, dkk/PT Dirga Aditata Aneka yang mendapat hibah dari Hauw Kang Seng, pemegang Sertifikat HGB No.7/Sukabumi ilir atas nama Hauw Kang Seng. Sudah 11 tahun habis masa berlaku sertifikatnya, PT Dirga Aditata masih melakukan penyerobotan, pengrusakan, serta memagari tanah tersebut. Di lahan tersebut PT Total Bangun Persada kemudian membangun gedung Universitas Bina Nusantara.
Ahli waris Imam Soepardi lantas mengajukan gugatan. Dikabulkan. Putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap. Salah satu amarnya, tanah tersebut harus diserahkan kepada ahli waris Imam Soepardi dalam keadaan kosong. Saat eksekusi hendak dilakukan, pihak Universitas Bina Nusantara sebagai pemilik gedung mengajukan bantahan terhadap pelaksanaan putusan MA RI No. 1585K/Pdt/200.
Sekian mengenai jalannya proses peradilan di Pengadilan Umum sebenarnya masih ada banyak lagi proses gugat menggugat yang terjadi dan lain lain dapat disambung lain kali saja….hehehe


Memahami Hukum Kekeluargaan Adat

hukum kekeluargaan adat
Keturunan: Ketunggalan leluhur (adanya hubungan darah antara seseorang dengan orang lain, dua orang atau lebih. Bersifat lurus dan menyimpang. Lurus= yg satu merupakan keturunan langsung dari yg lain, Lurus ke bawah kakek, bapak dan anak.Lurus ke atas anak, bapak dan kakek. Menyimpang= apabila antara 2 org atau lebih terdapat ketunggalan luluhur, misal bapak ibunya sama (saudara kandung)
Hubungan anak dengan orang tua:Anak memiliki kedudukan yg penting dalam masyarakat adat, yakni sebagi penerus generasi, sebagai wadah harapan ortu digantungkan, pelindung ortu di masa tuanya.
Anak yg lahir dlm perkawinan yg sah antara seorang pria dg seorang wanita mempunyai ibu sebagai wanita yg melahirkan dan bapak sebagai pria wanita dimaksud (hubungan normal).
Anak lahir di luar perkawinan: Mentawai, Minahasa, dan Ambon wanita yg melahirkan anak tsb dianggap sebagai ibunya (biasa spt kejadian normal). Di beberapa tempat lain ibu yg melahirkan di luar kawin dicela. Bahkan ada yg mengucilkan/membuang dari persekutuannya (tdk diakui lagi), dan kadang-kadang dibunuh. Alasannya, takut melihat adanya kelahiran yg tdk didahului oleh perkawinan. Di Sumatera Selatan, Bali, pria yg menghamili dipaksa mengawani wanita yg dihamilinya. Di Jawa dan Bugis ada cara lain, yakni mengawinkan wanita yg hamil itu dg laki-laki lain, yg disebut dg nikah tambelan (Jawa), Pattongko siri (Bugis).Anak yg spt ini di Jawa disebu haram jadah, Minahasa hubungan anak dg pria yg mengawini ibunya spt antara anak dg bapak. Di Ambon (memeluk Kristen anak sah)
BW pengakuan anak luar kawin pasal 280: dengan pengakuan thd seorang anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara si anak dengan bapak atau ibunnya.
UU No.1 th 1974, = Pasal 42 Anak yang sah anak yang lahir dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal 43 (1) anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya, keluarga ibunya. (Pasal ini telah diamandemen oleh MK sehingga anak-anak yg lahir di luar perkawinan mempnyuai hubungan biologis dg laki-laki yg menyebabkan kelahirannya. Pasal 44 (1) seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yg dilahirkan  oleh istrinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat dari perzinaan tersebut.  Pasal  53 KHI= Seorang wanita hamil di luar  nikah dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Pasal 99 Anak yang sah anak yang lahir dalam atau akibat perkawinan yang sah., Pasal 100  anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya.(lihat keterangan Pasal 43 ayat (1)).
Anak lahir krn hubungan perzinahan: anak lahir krn hubungan gelap antara seorang istri dg pria yg bukan suaminya. Menurut hukum adat suaminya menjadi bapak anak yg dilahirkan tsb. Kecuali si suami keberatan dg alasan2 yg dpt diterima. Berbeda dengan hukum Islam, dalam hubungan adat tdk ada keharusan minimal 6 bulan setelah menikah sbg syarat kelahiran anak yang sah.
 Anak yang lahir setelah perceraian: mempunyai bapak bekas suami wanita yg melahirkan apabila kelahiran masih dalam batas-batas waktu mengandung.
Hubungan anak dg ortu menimbulkan akibat hukum: larangan kawin antara anak bapak atau anak ibu, saling berkewajiban memelihara dan memberi nafkah.
Hubungan anak dengan keluarga: sangat tergantung dari keadaan sosial masyarakat yg bersangkuan. Dalam persekutuan masyararakat parental/bilateral hubungan anak dg keluarga bapak dan ibu sama. Lain halnya dg kekeluargaan yg unilateral (garis bapak atau ibu). Dalam hubungan patrilineal hubungan dg pihak bapak dianggap lebih penting. Demikian pula sebaliknya dengan kekeluargaan matrilineal, hubungan dengan keluarga pihak ibu lebih penting. 
Memelihara anak piatu: Apabila salah satu ortu tidak ada lagi, maka kalau masih ada anak-anak yg belum dewasa, keturunan bapk-ibu  yg masih hidup yg memelihara. Jika kedua-duanya tdk ada, yg memelihara salah satu dari keluarga pihak bapak atau ibu. Di Minangkabau jika bapak yang wafat, ibu yg meneruskan, tetapi jika ibu yg wafat maka anak-anak tetap dalam kerabat ibunya. Di Tapanuli jika bapak yg meninggal, ibunya yg memelihara anak2nya dalam lingkup keluarga bapaknya, ttp jika si janda ingin pulang atau kawin lagi anak-anak tetap dalam keluarga bapaknya.

Mengangkat Anak/ Adopsi: pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri. Macam pengangkatan anak: (1) mengangkat anak bukan warga keluarga= lazimnya dg disertai dg penyerahan barang-barang magis atau sejumlah uang kpd keluarga anak yg diangkat= kedudukannya sama dg anak kandung, spt di daerah Gayo, Lampung, Pulau Nias, dan Kalimantan, (2) memelihara anak di kalangan keluarga: Di Bali dilakukan dg upacara membakar benang sebagai simbul hubungan anak dan keluarganya putus, membayar menurut adat 1000 kepeng dan pakaian wanita lengkap, (3) mengangkat anak dari kalangan keponakan: di Jawa, Sulawesi, dll. Lazimnya tanpa upacara dan pemmbayaran, ttp di Jatim sekedar sebagai tanda putus dg ortunya diserahkan magis uang sejumlah rongwong segebong (17.5 sen)   Sumber: Surojo Wignjodipuro,Pengantar dan Asas-asas Hukum adat, 108-121,  C. Dewi Wulansari, Hukum. Adat Indonesia Suatu Pengantar, 34-44

13/04/2015

ALASAN HAPUSNYA KEWENANGAN MENUNTUT PIDANA SERTA PERKEMBANGANNYA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA

A. Alasan Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana
            Kewenangan menuntut pidana dapat hapus dengan alasan alasan sebagai berikut:[1]
1.      Tidak adanya pengaduan pada delik delik aduan.
Dalam Bab VII Pasal 72-75 diatur mengenai siapa saja yang berhak mengadu dan tenggang waktu pengaduan. Namun ada pasal pasal khusus mengenai dellik aduan ini, yaitu Pasal 284 (perzinahan) yang berhak mengadu adalah suami/istrinya, dan Pasal 332 (melarikan wanita) yang berhak mengadu adalah (1)  jika belum cukup umur oleh wanita yang bersangkutan atau orang yang memberikan izin bila wanita itu kawin, (2) jika sudah cukup umur oleh wanita yang bersangkutan atau suaminya.
alasan hapusnya kewenangan menuntut pidana

2.      Ne bis in idem (telah dituntut untuk kedua kalinya)
Ne bis in idem yang diatur dalam Pasal 76 KUHP ini disyaratkan:
a.       Telah ada keputusan hakim yang berkekuatan hukum tetap
Apa artinya putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, ialah putusan yang tidak dapat lagi dilawan dengan upaya hukum biasa. Upaya hukum biasa itu ialah verzet, banding, dan kasasi, sedangkan upaya hukum luar biasa yang biasa disebut oleh Pasal 76 Ayat 1 dengan kalimat: “kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi”, ialah apa yang dimaksud dengan “berziening”, yang kini dikenal dengan “peninjauan kembali” disingkat PK (Pasal 263-269). Demikian pula “kasasi untuk kepentingan hukum” termasuk juga upaya hukum luar biasa (259-262 KUHP).[2]  
b.      Orang terhadap siapa putusan itu dijatuhkan adalah sama
c.       Perbuatan yang dituntut adalah sama dengan yang pernah diputus dahulu.

3.      Matinya terdakwa (Pasal 77)
Pasal 77 menentukan bahwa “kewenangan menuntut pidana hapus jika terdakwa meninggal dunia”. Ketentuan ini berlatar belakang pada sifat pribadi dari pertanggung jawaba pidana dan pembalasan dari suatu pidana, yang dengan demikian tidak diperlukannya lagi pidana bagi orang yang sudah meninggal.[3]
Undang Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Pada pasal 34 menentukan apabila kematian terjadi pada saat proses pemeriksaan pengadilan sedang berlangsung, dan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka Jaksa Penuntut Umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang kepada Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.[4] Hal tersebut bukanlah pengecualian dari pasal 77 KUHP melainkan hanya upaya negara untuk memulihkan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh almarhum terdakwa.
Adapun ada pasal dalam perkara tindak pidana korupsi yang merupakan pengecualian dari pasal 77 KUHP, yakni terdapat dalam Pasal 38 Ayat (5) UU No. 31 Tahun 1999, yang menentukan bahwa “dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang barang yang telah disita”.[5]
4.      Daluwarsa
Pasal 78 mengatur tentang waktu, yaitu:
a.       Untuk semua pelanggaran dan kejahatan percetakan sesudah 1 tahun.
b.      Untuk kejahatan yang diancam dengan denda, kurungan atau penjara maksimal 3 tahun, daluwarsanya sesudah 6 tahun.
c.       Untuk kejahatan yang diancam pidana penjara lebih dari 3 tahun, daluwarsanya 12 tahun.
d.      Untuk kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau seumur hidup, daluwarsanya sesudah 18 tahun.
Sebagai contoh daluwarsa: A melakukan tindak pidana pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP) pada tanggal 1 januari 2004 yang diancam pidana maksimal 15 tahun penjara. Jika A kemudian menghilang dan tidak tertangkap polisi, maka kewenangan penuntutan terhadap A akan berakhir setelah waktu 12 tahun (1 Januari 2016).
Daluwarsa ini berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan kecuali hal hal tertentu, seperti ditangguhkan karena ada perselisihan dalah hukum perdata. Kecuali dalam tiga hal, yaitu:[6]
a.       Mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, adalah pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak itu digunakan;
b.      Mengenai kejahatan dalam Pasal pasal: 328, 329, 330, dan 333, dimulainya adalah pada hari sesudah orang yang langsung terkena kejahatan (korban) dibebaskan atau meninggal dunia;
c.       Mengenai pelanggaran dalam Pasal 556 sampai dengan Pasal 558a, adalah mulai pada hari sesudah daftar daftar yang memuat pelanggaran pelanggaran itu telah disampaikan pada Panitera Pengadilan yang bersangkutan.          
5.      Telah ada pembayaran denda maksimum kepada pejabat tertentu untuk pelanggaran yang hanya diancam dengan denda saja (Pasal 82).
Pasal 82 memberikan kemungkinan suatu perkara pidana tertentu dengan cara tertentu dapat diselesaikan tanpa harus menyidangkan si pembuatnya dan menjatuhkan pidana kepadanya. Tidak semua perkara pidana dapat diselesaikan di luar sidang pengadilan, tetapi hanyalah perkara pidana pelanggaran yang diancam dengan pidana denda saja, dengan cara “secara sukarela si pembuat membayar maksimum denda dan biaya biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah dimulai”. Dengan telah dibayarnya denda maksimum dan biaya biaya tersebut, maka hapuslah kewenangan negara untuk melakukan penuntutan pidana terhadap diri pembuat. Lembaga ini disebut dengan afkoop atau penebusan tuntutan pidana, yang hanya ada dalam hal tindak pidana pelanggaran, khususnya yang diancam dengan pidana denda saja.[7]
6.      Ada abolisi atau amnesti
Dengan pemberian amnesti, semua akibat hukum pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana dihapuskan. Sedangkan dengan pemberian abolisi, hanya dihapuskan penuntutan terhadap mereka. Oleh karena itu, abolisi hanya dapat diajukan sebelum adanya putusan.
            Alasan yang dapat menghapuskan kewenagan menuntut pidana ada juga selain yang diatas disebutkan (dalam KUHP). Di luar KUHP juga ada dasar dasar yang dapat menyebabkan hapusnya kewenangan menuntut pidana terhadap pembuat tindak pidana, yakni terdapat dalam Pasal 14 UUD 1945, dengan apa yang disebut abolisi dan amnesti. Menurut Pasal 14 Ayat (2) UUD 1945 (setelah diamandemen) “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”.[8]
            Persamaan antara amnesti dan abolisi ialah pada keduanya-mengakhiri suatu perkara pidana tanpa menyelesaikan melalui sidang pengadilan formal. Juga pada kedua duanya diberikan pada orang atau orang orang yang melakukan tindak pidana yang berhubungan erat dengan masalah masalah politik. Sedangkan perbedaanya ialah:[9]
a.       mengenai luas akibat hukumnya, pada amnesti: mengakhiri/menghentikan segala bentuk tindakan hukum dalam proses hukum perkara pidana. Sedangkan abolisi hanya mengakhiri/menghentikan penuntutan pidana saja. Jadi akibat hukum dari pemberian abolisi adalah lebih sempit dari pemberian amnesti.
b.      Mengenai sifatnya, ialah: pada amnesti tidak bersifat pribadi, artinya tidak ditujukan pada pribadi tertentu, malainkan pada orang orang dalam hal atau mengenai tindak pidana tertentu atau suatu peristiwa tertentu. Sedangkan pada pemberian abolisi ditujukan pada pribadi tertentu karena tindak pidana yang dilakukannya.

 B. Alasan Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dalam Rancangan KUHP 2013[10]
a.       Telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap;
b.      Terdakwa meningggal dunia;
c.       Daluwarsa;
d.      Penyelesaian di luar proses;
e.       Maksimum pidana denda dibayar dengan secara sukarela bagi tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II;
f.       Maksimum pidana denda dibayar denga sukarela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III;
g.      Presiden memberi amnesti atau abolisi;
h.      Penuntutan dihentikan karena penuntutan diserahkan kepada negara lain berdasarkan perjanjian;
i.        Tindak pidana aduan yang tidak ada pengaduan atau pengaduannya ditarik kembali; atau
j.        Pengenaan asas oportunitas oleh Jaksa Agung;
Alasan hapusnya kewenangan menuntut pidana karena kedaluwarsa dalam Rancangan KUHP berbeda dengan aturan dalam KUHP, yaitu disebut dalam Pasal 139 Rancangan KUHP 2013:
1)      Kewenangan penuntutan gugur karena daluwarsa:
a.       Sesudah lampau waktu 1 (satu) tahun untuk tindak pidana yang dilakukan dengan percetakan;
b.      Sesudah lampau waktu 2 (dua) tahun untuk tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana dentau atau semua tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama satu (satu) tahun;
c.       Sesudah lampau waktu 6 (enam) tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana pemjara paling lama 3 (tiga) tahun;
d.      Sesudah lampau waktu 12 (dua belas) tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 3 (tiga) tahhun;
e.       Sesudah lampau waktu 18 (delapan belas) tahun untuk tindak pidana yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.
2)      Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun, tenggang waktu gugurnya kewenangan menuntut karena daluwarsa menjadi 1/3 (satu per tiga).
Daluwarsa dihitung sejak tanggal sesudah perbuatan dilakukan, kecuali:
a.       Tindak pidana pemalsuan atau merusak mata uang, daluwarsa dihitung 1 (satu) hari berikutnya sejak tangal sesudah orang yang bersangkutan menggunakan mata uang palsu atau yang dirusak untuk melakukan pembayaran;
b.      Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 567, Pasal 568, Pasal 569, Pasal 570, dan Pasal 573, daluwarsa dihitung 1 (satu) hari berikutnya sejak tanggal setelah korban tindak pidana dilepaskan atau mati sebagai akibat langsung dari tindak pidana tersebut.

C. Contoh Contoh Abolisi dan Amnesti di Indonesia[11]
# Abolisi
a.       Presiden Sukarno memberikan abolisi dengan UU Drt No. 11 Tahun 1954 kepada semua orang yang sebelum tanggal 27 Desember 1949 telah melakukan sesuatu tindak pidana yang nyata akibat dari persengketaan politik antara Republik Indonesia (Yogyakarta) dan Kerajaan Belanda.
b.      Presiden Soekarno memberikan abolisi dengan Keppres No. 322 Th. 1961 kepada Alex Kawilarang atas tindakannya bergabung dalam pemberontakan PRRI (1958).
c.       Presiden Soekarno memberikan abolisi dengan Keppres No. 449 Th. 1961 kepada mereka yang terlibat pemberontakan Daud Beureuh (Aceh), PRRI/Permesta (di berbagai propinsi), Kahar Muzakar (Sulsel), Sekartadji Kartosoewiryo (Jabar) dan RMS (Republik Maluku Selatan).
d.      Presiden Abdurrahman Wahid memberikan abolisi dengan Keppres No. 158 Th. 1999 kepada Bernardo Da Silva (Timtim) atas tindak pidana politik yang dilakukannya tahun 1999.
e.       Presiden Abdurrahman Wahid memberikan abolisi dengan Keppres No. 93 Th. 2000 kepada R. Sawito Kartowibowo atas tindak pidana subversi yang dilakukannya tahun 1976.
f.       Presiden Abdurrahman Wahid memberikan abolisi dengan Keppres No. 115 Th. 2000 kepada Theys H. Eulay atas tindak pidana makar (pengibaran bendera bintang kejora) yang dilakukannya tahun 2000.
g.      Presiden Abdurrahman Wahid memberikan abolisi dengan Keppres No. 88 Th. 2001 kepada Wimanjaya Keeper Liotohe atas tindak pidana makar kepada Soeharto yang dilakukannya tahun 1994.
h.      Presiden SBY dengan Keppres No. 22 Th. 2005 memberikan abolisi kepada setiap orang yang terlibat dalam GAM.

# Amnesti
No.
Presiden
Keppres
Subyek
1.
Habibie
69/1999
Dita Indah Sari
2.
Habibie
109/1999
Xanana Gusmao
3.
Gus Dur
157/1999
Marsudi, dll
4.
Gus Dur
158/1999
Fransisco Soares, dll
5.
Gus Dur
159/1999
Budiman Sujatmiko, dll
6.
Gus Dur
160/1999
Petrus Hariyanto
7.
Gus Dur
173/1999
Marthen Rumbiak
8.
SBY
22/2005
GAM







BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Alasan hapusnya kewenangan menutut pidana ada yang bersumber dalam KUHP dan ada juga yang bersumber dari luar KUHP, misalnya: amnesti dan juga abolisi. Yang bersumber dari KUHP diantaranya: tidak adanya aduan pada delik aduan, ne bis in idem, meninggalnya terdakwa, daluwarsa, dan telah adanya pembayaran denda maksimum kepada pejabat tertentu untuk pelanggaran yang hanya diancam dengan denda saja. Seiring dengan perkembangan waktu maka alasan alasan di dalam KUHP dibilang sudah tidak relefan lagi dalam hukum pidana di Indonesia, maka pemerintah mulai menyusun RUU KUHP 2013 hasil dari perombakan RUU tahun tahun sebelumnya, diharapkan RUU KUHP 2013 inilah yang akan menjadi dasar dalam melaksanakan penegakan hukum di Indonesia. Adapun alasan hapusnya kewenangan yang ada dalam RUU KUHP 2013 diantaranya: telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap, terdakwa meningggal dunia, Daluwarsa, Penyelesaian di luar proses, Maksimum pidana denda dibayar dengan secara sukarela bagi tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II, Maksimum pidana denda dibayar denga sukarela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III, Presiden memberi amnesti atau abolisi, Penuntutan dihentikan karena penuntutan diserahkan kepada negara lain berdasarkan perjanjian, Tindak pidana aduan yang tidak ada pengaduan atau pengaduannya ditarik kembali; atau, Pengenaan asas oportunitas oleh Jaksa Agung;
B.     Saran
Kami selaku penulis mohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan, maka diperlukan kritik dan juga saran yang membangun demi perbaikan kedepan.

DAFTAR PUSTAKA

Soeroso, R. 2001. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Kusumaatmadja, Mochtar dan Sidharta, Arief. Pengntar Ilmu Hukum, 2000. Bandung: Alumni.

Bahiej, Ahmad. 2008. Hukum Pidana. Yogyakarta: Bidang Akademik Uin Sunan Kalijaga.

Chazawi, Adami. 2005. Pelajaran Hukum Pidana 2. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

RUU KUHP 2013

Materi Hand Out Hukum Pidana II Ahmad Bahiej S.H., M. Hum




[1] Ahmad Bahiej, Hukum Pidana, (Yogyakarta: Bidang Akademik Uin Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 45
[2] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 153
[3] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 169
[4] Ibid., 171
[5] Ibid., 172
[6] Ibid., 178
[7] Ibid., 182
[8] Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 2, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 183
[9] Ibid., 184
[10] RUU KUHP 2013
[11] Materi Hand Out Hukum Pidana II Ahmad Bahiej S.H., M. Hum

untuk mengunduh makalah para pembaca setia bisa mengunduhnya pada: