26/02/2015

Kawin Kontrak dalam Pandangan Islam




Kawin Kontrak (Nikah Mut’ah) 

BAB I PENDAHULUAN

 A. Latar Belakang 

Menurut keadaan sosial dinamis masyarakat nikah mut’ah dipandang perlu adanya. Pedoman hidup Islami harus diterapkan dengan alasan alasan jitu yang dapat diterima oleh akal pikiran, logika dan hati nurani. Dalam perkembangan dunia dewasa ini manusia mulai berontak terhadap keadaan yang berlaku bahkan terhadap diri mereka masing masing, karena soal yang dihadapi telah memerlukan tuntutan tuntutan yang jauh berlainan. Ini disebabkan oleh modernisasi dengan teknologi canggih dan pandangan hidup yang mendekatkan diri dengan dunia yang berkembang maju laju dan tidak dapat dipacu. Maka Islam harus tampil memperlihatkan tempat berdirinya untuk bertahan dalam gelombang dan arus perkembangan yang pesat ini dengan eksistensi yang legal dan internasional. Ada di antara yang mengorbankan seluruh apa yang dia miliki termasuk kehormatannya yang seharusnya dia jaga untuk mendapatkan kebahagiaan hakiki dari seorang pendamping yang benar benar diharapkan, karena tidak sedikit kaum laki laki yang hanya ingin mengecap madu seorang wanita kemudian ampasnya dibuang.

 B. Rumusan Masalah 
a. Apa pengertian nikah mut’ah ? 
b. Apa syarat dan rukun dalam nikah mut’ah ? 
c. Apa akibat dari nikah mut’ah itu sendiri ? 
d. Sejauh manakah keabsahan nikah mut’ah itu ? 

C. Tujuan Penulisan
a. Mengetahui pengertian kawin kontrak 
b. Mengetahui syarat dan rukun yang ada dalam kawin kontrak 
c. Mengetahui akibat dari nikah mut’ah itu sendiri 
d. Menngetahui keabsahan nikah mutah itu sendiri 

BAB II PEMBAHASAN 

A. Pengertian Nikah
mut’ah Kata mut’ah diambil dari bahasa Arab yang berasal dari kata متع. Secara etimologi memiliki beberapa makna diantaranya; kesenangan, alat perlengkapan, pemberian.Ja’far Murtadha dalam bukunya “Nikah Mut’ah Dalam Islam” mendefinisikan nikah mut’ah yaitu, ikatan tali perkawinan antara laki laki dan perempuan dengan mahar yang disepakati dan disebutkan dalam akad sampai pada batas waktu yang ditentukan. Dengan berlakunya waktu yang telah disepakati, atau dengan pemendekan batas waktu yang diberikan oleh laki laki, maka berakhirlah ikatan pernikahan tersebut tanpa memerlukan prosese perceraian. 

 B. Rukun dan syarat Nikah mut’ah Seperti halnya pernikahan permanen nikah mut’ah juga ada rukunnya, diantarannya; 

a. Formula Karena ini adalah akad, maka mut’ah memerlukan pernyataan dan penerimaan (ijab dan qabul). Seperti dalam pernikahan permanen, pernyataan adalah persyaratan dari wanita, ia harus terdiri dari salah satu dari tiga formula berbahasa Arab, yang juga dipakai syiah dalam pernikahan permanen. Al-Sayyid al-Murtada menambahkan bahwa budak wanita dapat menggunakan formula “aku mengizinkan engkau atau “aku telah menghalalkanmu”, tetapi kalimat kalimat ini tidak dikonfirmasikan oleh orang lain. Tetapi menurut Al-Shahid al-Thani beliau memilih formula “aku memberikan milikmu kepadamu” atau “aku berikan kepadamu hadiah”atau “aku sewakan diriku untukmu” dan sebagainya dengan ketentuam tetap memenuhi tiga formula yang dimaksud. Kalimat penerimaan dinyatakan oleh pihak pria setelah wanita mengucapkan kalimat pernyataanya. Kalimat tersebut harus menunjukan keridoan terhadap pernyataan wanita seperti “aku menerima pernikahan ini” atau “aku menerima mut’ah ini” atau cukup dengan menyatakan “aku terima atau kau ridho”. Penerimaan dari pihak pria tidak disyaratkan harus mendahului pernyataan dari pihak wanita. Menurut al-Muhaqqiq al-Hilli sebagaimana dikutip Sachiko Murata apabila pria mengatakan “aku menikahimu” lalu wanita menyatakan penerimaanya maka hal itu dibenarkan. Pihak yang menyatakan ijab dan qabul harus pihak yang berwenang untuk itu yakni pria dan wanita yang akan melakukan mut’ah atau walinya atau wakilnya. Apabila akad dilakukan oleh pihak yang tidak berhak maka akad menjadi tidak sah. Akad dalam nikah mut’ah dapat juga menggunakan kalimat sebagai barikut : “zawwijtuka, ankahtuka”. Dalam kitab al Bahr ar Raiq sebagaimana dikutip Ja’far Murtada al-Amili, apabila akadnya mengunakan kalimat tazwij maka nikah tersebut harus dihadiri oleh saksi saksi. Namun dalam kitab fath al-Qadir sebagaimana dikutip Ja’far Murtada al-Amili bahwa tidak ada perbedaan diantara nikah mut’ah dengan nikah daim. Oleh karenanya akad dalam nikah mut’ah boleh diucapkan dengan kalimat tersebut diatas. Dapat pula diucapkan dengan kalimat “matta’tu nafsi bimahri …limuddati…”. Mahar dan jangka waktu disebutkan sesuai yang telah disepakati bersama. Kemudian pihak laki laki cukup mengucapkan “qobiltu’. 

 b. Orang Seorang pria hanya boleh menikahi mut’ah wanita muslimah atau ahli kitab dan bukan musuh keluarga Nabi SAW. Sementara muslimah tidak boleh menikah mut’ah dengan laki laki non Muslim. Bagi pria yang sudah memiliki istri permanen dan ingin melakukan mut’ah dengan budak harus mendapat izin dari isterinya dan apabila budak tersebut milik orang lain harus mendapat izin dari tuannya. Seorang pria juga tidak boleh menikahi mut’ah putri dari iparnya kecuali atas seizin isterinya. Terkait saudara yang tidak boleh dinikahi sama halnya dengan ketentuan dalam pernikahan permanen. 

 c. Periode Waktu Periode waktu dalam pernikahan sementara harus ditetapkan meski hanya satu jam agar tidak ada penambahan atau pengurangan. Menurut asy Syaikh al-Ansari sebagaimana dikutip Sachiro Murata, semua hadis menunjukan diperbolehkan menikmati sampai batas waktu yang disepakati sebagaimana halnya dalam persewaan. Apabila periode waktu tidak disebutkan maka akad menjadi tidak sah berubah menjadi pernikahan permanen. Hal ini ditegaskan oleh al-Ansari bahwa pernikahan sementara dengan pernikahan permanen adalah dua realitas yang berbeda meskipun keduanya memakai kata pernikahan . berbeda halnya dengan as-Sahid at-Tani mengatakan bahwa pernikahan dengan periode waktu yang dinyatakan adalah mut’ah, sedangkan pernikahan tanpa periode waktu yang dinyatakan adalah pernikahan permanen. Kedua belah pihak dibenarkan untuk menetapkan satu tindakan hubungan seksual dalam akad atau yang semacamnya tanpa menyebutkan periode waktu. Karena pernyataan yang demikian tidak dapat menggantikan perode waktu yang ditetapkan. Namun apabila periode waktu disebutkan bersamaan dengan syarat bahwa pernikahan tersebut hanya akan meminta sejumlah hubungan seksual maka akadnya sah. Apabila pihak pria telah melakukan sejumlah hubungan seksual sesuai yang telah ditetapkan maka tidak boleh melakukan hubungan seksual lebih lanjut setelahnya meski periode waktu belum habis. Sebagaimana dalam matajir yang dikutip oleh Sachiko Murata bahwa jika dalam periode waktu memuat jumlah hubungan seksual tertentu, maka wanita akan bebas dari akewajibannya setelah jumlah itu diselesaikan walaupun belum sampai akhir periode waktu. 

 d. Mahar dalam pernikahan sementara mahar menjadi rukun nikah yang harus dipenuhi dan disebutkan dalam akad sebagaimana dalam pernikahan permanen. Apabila pria mengembalikan masa perjanjian kepada wanita segera setelah akad dan belum terjadi hubungan seksual maka wanita harus mengembalikan separuh maharnya sebagaimana halnya perceraian dalam pernikahan permanen. Namun apabila telah terjadi hubungan seksual maka wanita berhak atas seluruh maharnya. Dalam hal akad yang dilakukan tidak sah sebelum berhubungan seksual maka wanita tidak berhak atas mahar. Namun apabila akad yang tidak sah baru diketahui setelah terjadi hubungan seksual maka wanita tidak memiliki klaim atas mahar tersebut karena dalam hal ini dia telah berbuat zina, dan tidak ada mahar dalam perzinaan. Dalam syarh al-Lum’a sebagaimana dikutip Sachiko Murata bahwa jika wanita meninggal dunia pada masa periode mut’ah dan belum berhubungan seksual maka maharnya tidak boleh dikurangi sebagaimana halnya dalam pernikahan permanen. 

 C. Akibat Nikah Mut’ah 

Nikah mut’ah memiliki konsekuensi konsekuensi hukum tertentu sebagaimana dalam nikah permanen : 

a. Perceraian Dalam nikah mut’ah tidak ada talak karena pernikahan akan berakhir dengan sendirinya pada saat berakhirnya batas waktu yang ditentukan. Atau ketika laki laki mengembalikan waktu yang tersisa kepada pihak perempuan sebagaimana yang telah dijelaskan dimuka. 

b. Sumpah Sumpah tidak ada dalam nikah mut’ah karena sumpah ini berhubungan dengan perceraian yang tidak ada dalam nikah mut’ah. 

c. Melaknat Menurut Imam Ja’far sebagaimana dikutip Sachiko Murata, dalam nikah mut’ah sumpah li’an tidak berlaku kepada gadis budak, wanita non muslim yang zimmi atau istri dalam nikah mut’ah.

d. Zihar As-Sahid at-Tani, at-Taba’taba’I, dan al-Muhaqqiq al-Hilli sebagaiman dikutip Sachiko Murata berpendapat bahwa zihar terkait dengan setiap wanita yang sah untuk digauli karena dalam surat (58): 2 bersifat umum. Berbeda halnya dengan asy-Syaikh al-Ansari dan asy-Syaikh Muhammad al-Hasan sebagaimana dikutip Sachiko Murata berpendapat tidak ada zihar dalam mut’ah. Karena akibat zihar kembali pada isteri atau berakibat pada perceraian.

e. Warisan Anak yang dilahirkan dalam nikah mut’ah dapat mewarisi harta ayah dan ibunya sebagaimana dalam nikah da’im. Berbeda halnya dengan apa yang diungkapkan Sachio Murata bahwa anak yang lahir dari pernikahan sementara hanya mendapatkan warisan ayahnya setengah dari anak hasil pernikahan permanen, sedangkan warisan dari ibunya sama halnya dengan anak dari pernikahan da’im. Sedangkan antara suami dan isteri tidak ada hak saling mewarisi kecuali disebutkan secara khusus dalam akad. Sebagaimana dikemukakan oleh Imam ar-Rido yang dikutip Sachiko Murata “jika mereka menetapkan syarat (warisan), maka itu berlaku; dan jika tidak, maka itu tidak berlaku”. Namun menurut Imam Baqir sebagaimana dikutip Sachiko Murata bahwa keduanya tetap saling mewarisi selama tidak menyebut syarat lain dalam akad. 

 f. Periode Menunggu Sebagai halnya pernikahan permanen, dalam nikah mut’ah juga berlaku masa iddah. Menurut Syiah Imamiyah sebagaimana dikutip Amir Syarifuddin bahwa bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya iddahnya selama 4 bulan sepuluh hari, dan bagi perempuan hamil iddahnya sampai melahirkan. Lain hanya dengan Ja’far Murtada al-Amili yang menentukan bagi wanita yang masih haid maka iddahnya dua bulan dan ada yang mengatakan satu bulan. Bagi wanita dewasa tetapi tidak pernah mengalami haid maka iddahnya empat bulan lima hari. Asy Syaikh al-Mufid, as-Sayyid al-Murtada dan beberapa tokoh lain sebagaimana dikutip Sachiko Murata menyatakan bahwa masa idah bagi isteri yang ditinggal mati suaminya adalah dua bulan lima hari karena dua alasan, pertama, masa tunggu dua bulan lima hari adalah masa tunggu bagi budak yang juga berlaku bagi wanita dalam pernikahan sementara. Alasan kedua, Imam Ja’far mengungkapkan sebagaimana dikutip oleh Sachiko Murata bahwa masa tunggu bagi isteri ditinggal mati suaminya adalah empat puluh lima hari. Namun pendapat tersebut ditolak oleh asy-Syaikh Muhammad al-Hasan dengan alasan pendat tersebut didasarkan pada qiyas yang tidak bisa menjadi sumber valid dalam Syi’ah dan juga didasarkan pada hadis yang mursal. 

 g. Memperbarui akad Sebelum batas waktu yang ditentukan berakhir maka tidak dapat dilakukan pembaharuan terhadap akad, kecuali jika pihak laki laki mengembalikan sisa waktu kepada pihak perempuan yang menyebabkan berakhirnya pernikahan barulah keduanya dapat memperbarui akad. Bagi wanita yang menikah kembali dengan pria yang sama tidak berlaku masa tunggu. 

 h. Status anak Anak hasil perkawinan mut’ah diakui sebagai anak sah sebagaimana halnya dalam nikah da’im, walaupun suaminya pernah melakukan ‘azl. Menurut Imam Syaraf ad-Din sebagaimana dikutip Ja’far Murtada al-Amili, status anak dari nikah mut’ah diikutkan ayahnya, begitupula saudara ayah atau ibunya adalah paman dan bibinya, anak anak yang didapatkan oleh ayah atau ibunya adalah saudaranya, dan seluruh wanita yang pernah dinikahi ayahnya adalah ibunya demikian berlaku seterusnya. 

 D. Keabsahan Nikah Mut’ah 

Mayoritas ulama Ahlussunah mengartikan kalimat فما استمتعتم بة منهن sebagai kenikmatan dalam hubungan pernikahan permanen. Penekanan terletak pada adanya kenikmatan dan kelezatan hubungan jasmani, oleh karenanya maskawin dinamakan ajr yakni imbalan dan upah. Imbalan tersebut dipahami sebagai mahar yang harus dipenuhi oleh suami. Ketentuan dalam membayar mahar menurut Qurai Shihab yaitu, mahar dibayar sempurna apabila telah berhubungan badan, mahar dibayar setengahnya apabila telah berhubungan badan dan telah dijanjikan maskawin, mahar tidak wajib dibayar apabila belum terjadi hubungan badan dan belum ada maskawin yang dijanjikan namun Al-Qur’an menganjurkan untuk memberikan sesuatu sebagai imbalan pembatalan. Mayoritas ulama sepakat bahwa nikah mut’ah pernah diizinkan oleh Nabi SAW. 

Disamping itu banyak riwayat yang menyatakan pembatalan nikah mut’ah. Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat tentang nikah mut’ah telah dihapus oleh ayat ayat tentang penjagaan farji, warisan, iddah dan talak. Sebagian lain berpendapat bahwa kebolehan nikah mut’ah dihapus oleh beberapa hadis. Adapula yang berpendapat kebolehanya telah dihapus berdasarkan ijma’ bahkan hanya berdasarkan ijtihad Khalifah Umar bin Khattab. Menyandarkan pendapat kepada riwayat dari al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar dan riwayat dari ‘Aisyah. Bantahan dari Syiah atas pendapat ini bahwa : Pertama, Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat mut’ah termasuk ayat yang muhkamat dan tidak dinasakh. Kedua, ayat tentang penjagaan farji di atas adalah surah Makiyah sedangkan ayat tentang Mut’ah adalah Madaniyah. Tidak mungkin ayat yang datang lebih dahulu menghapus ayat yang datang kemudian akan tetapi sebaliknya. Ketiga, ayat tentang penjagaan farji mengindikasikan bahwa wanita yang dinikahi mut’ah tidak dapat dikategorikan sebagai isteri, namun para sahabat sendiri manamakan mut’ah sebagai pernikahan dan wanita yang dikawini mut’ah tetap disebut sebagai isteri. Keempat, ayat tentang penjagaan farji bersifat umum sedangkan ayat tentang mut’ah bersifat khusus, biasanya ayat yang umum ditakhsis oleh ayat yang bersifat khusus. Mereka yang berpendapat bahwa ayat tentang penjagaan farji sebagai penghapus ayat mut’ah sering mengaitkan dengan ayat mengenai talak, warisan, iddah dengan asumsi nikah mut’ah tidak termasuk dalam perkawinan. Sanggahnya bahwa talak bersifat umum yang berlaku pada setiap jenis pernikahan. 

Dalam hal ini ayat mut’ah sebagai takhsis dari keumuman ayat talak tersebut, demikian halnya dalam masalah ayat tentang warisan. Sedangkan pada ayat iddah dianggap tidak masuk akal jika ayat yang membicarakan tentang iddah sebagai penghapus ayat mut’ahkarena dalam mut’ah tetap berlakuketentuan iddah apabila seorang wanita akan menikah lagi dengan laki laki lain. Ibnu hajar al-Asqalani mengemukakan bahwasannya larangan nikah mut’ah yang disampaikan Khalifah Umar bin Khattab bukan semata mata dari pendapat pribadinya akan tetapi berdasarkan larangan Rasulullah SAW. Sanggahan terhadap pendapat tersebut bahwa Umar mengharamkan nikah mut’ah karena : Pertama, menurut Ibnu Hazm dan al-Baquri sebagaimana dikutip oleh Ja’far Murtada al-Amili, penyebab Umar mengharamkan nikah mut’ah karena beliau melihat ada yang menyalahgunakan nikah tersebut. Kedua, sebagian lain mengatakan Umar mengharamkan pernikahan yang tidak disaksikan oleh saksi yang adil. Ketiga, pendapat Syekh Muhammad al-Gita sebagaimana dikutip oleh Ja’far Murtada al-Amili bahwa, alasan Umar berbuat demikian kerena ia melihat suatu kejadian yang membuatnya arah sehingga beliau mengharamkannya demi tujuan kenegaraan. Fuad Mohd. Fahruddin lebih tegas menyatakan mut’ah malah membuka mata birahi seseorang dan melepaskan kehormatan melanggar peraturan sehingga tidak mendapat satupun tujuan dari pernikahan. Di suatu sisi terdapat golongan yang mencela pendapat Syiah yang membolehkan nikah mut’ah dalam kitab fatwa dan pendirian ulama Sunni terhadap aqidah Syiah karangan M.O Abdullah sebagaimana dikutip oleh Fuad Mohd. Fahruddin, dusta orang Syiah yang menggalakkan kawin mut’ah atas nama Allah dan RasulNya berkata bahwa Rasulullah pernah menyatakan barangsiapa melakukan kawin mut’ah satu kali maka derajatnya sama dengan al-Husein, barangsiapa yang melakukan dua kali derajatnya sama dengan al-Hasan, barangsiapa yang melakukan tiga kali derajatnya sama dengan Ali bin Abi Talib dan barangsiapa kawin mut’ah empat kali maka derajatnya sama denganku. Maka dari itu kebanyakan para ulama khususnya ulama Sunni menngharamkan nikah mut’ah bahkan merupakan suatu kebatilan yang nyata karena wanita hanya dianggap sebagai barang dagangan, padahal dalam perkawinan yang sesungguhnya harkat dan martabat wanita dijunjung tinggi dengan adanya mahar dari mempelai laki laki, dan dampak yang dirasakan dari nikah mut’ah akan dirasakan sepanjang hidup. 

 حَدّ ثَنَا محمّدُ بنُ خلفٍ العسقال نِىُّ حدّ ثنا الفِرىابىّ عن ابانَ بنِ ابي حازمٍ عن ابي بكرِ بنِ حفْصٍ عن ابنِ عُمر قال لمّاوليَ عمر بنُ الخطابِ جطب انّاس فقال انّ رسُول اللة علية وسلم اذِن لنا في امتعة ثال ثا ثم حرمها واللة ل اعلم احدًا يتمتع وهو محصنٌ ا لّ رجمته بالحجا رةِ ال ان ياتين باربعةٍ يشهدون ان رسول اللة احلّها بعد اذ حرمها (رواه ابن ما جه) “

Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad ibn Khalaf al-Asqalani, telah bercerita kepada kami al-Firyabi, dari Aban ibn Abi Hazim, dari Abi Bakr IBN Hafs, dari Ibn Umar, beliau berkata : ketika Umar diangkat sebagai pemimpin, dia berpidato kepada orang orang : 

“sesungguhnya Rasul Allah SAW. Memang pernah mengizinkan kita melakukan nikah mut’ah sebanyaktiga kali, kemudian ia mengharamkannya. Demi Allah, jika saya tahu ada seseorang yang melakukan nikah mut’ah, sementara ia adalah muhsan, niscaya ia akan saya rajam dengan batu, kecuali ia dapat mendatangkan empat orang saksi bahwa Rasul Allah SAW. Memang menghalalkan nikah mut’ah sesudah ia mengharamkan.” (H.R. Ibn Majah). 

Dari aspek sanad hadis ini dinilai Hasan karena ada salah satu dari rawi hadis tersebut berada pada tingkat ke lima. Juga tergolong garib karena tidak ada hadis lain yang meriwayatkan. Adapun kualitas rawinya, bisa dilihat dalam bagan di bawah ini ; No Nama Sanad Kualitas 1. Umar ibn al-Khattab I/VI Diterima 2. Abd Allah ibn Umar II/V Diterima 3. Abu Bakar III/IV Diterima 4. Aban ibn Abi Hazim IV/III Diterima 5. Al-Firyabi V/II Diterima 6. Muhammad ibn Khalaf VI/I Diterima 7. Ibn Majah VII/mukharrij al-hadis Diterima E. Penutup a. Kesimpulan Dalam perdebatan nikah mut’ah, lazimnya ada dua golongan yang berseberangan secara tegas. Dan masing masing golongan itu memiliki dasar argumennya yang dilegitimasi dengan teks Qur’an maupun hadist. Golongan pertama berpendapat, bahwa nikah mut’ah sah hukumnya sesuai dengan Hadis. Sedangkan golongan kedua, juga berpendapat bahwa nikah mut’ah tidak sah hukumnya sesuai dengan Hadis. Sedangkan golongan lainya, berpendapat bahwa Hadis tentang nikah mut’ah sewaktu umat Islam berperang haruslah dipahami dalam konteks masanya. Juga perlu diingat bahwa ketika fath al-Makkah, Nabi sudah mencabut ketentuan hukum Hadis itu, dan mengharamkanya hingga akhir zaman. Selain itu, menurut golongan ini, teks Qur’an yang menghalalkan nikah mut’ah, oleh sebagian ulama tafsir adalah teks yang terkena logika nasakh, atau dicabut ketentuan hukumnya. Sehingga umat Islam tidak perlu lagi mengacu pada ayat tersebut secara tekstual dan menjalankannya. b. Saran - Sering melakukan sosialisasi mengenai pentingnya melakukan perkawinan sesuai dengan aturan yang berlaku. - Memberikan pelatihan ketrampilan bagi mereka. - Memberikan sanksi yang mampu memberikan efek jera. 

 DAFTAR PUSTAKA 

Al Amili, Ja’far Murtadha. 1992. Nikah Mut’ah dalam Islam Kajian Ilmiah dari Berbagai Mazhab. Jakarta : Yayasan as-Sajjad. 
Fakhruddin, Fuad Mohd. 1992. Nikah Mut’ah dalam Pandangan Islam. Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya. Murata, Sachiko. 2001. Lebih Jelas Tentang Mut’ah : Perbedaan Sunni dan Syiah. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Marhumah. 2009. Memahami Perkawinan dalam Perspektif Kesetaraan : Strudi Kritis Hadis Hadis Tentang Perkawinan. Yogyakarta : PSW UIN Sunan Kalijaga.

Artikel Terkait

Kawin Kontrak dalam Pandangan Islam
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email