09/04/2015

Makalah Hukum Waris dalam KUHPerdata



Hukum Waris
Pengertian Hukum Waris
Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum. Pengertian itu adalah sebagai berikut :[1]
1.      Prof Mr. A. Pitlo
Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.
2.      Prof. Subekti
Hukum warisan itu mengatur akibat-akibat hubungan kekeluargaan terhadap harta peninggalan seseorang.
3.      Prof. Soediman Kartohadiprodjo, SH
Hukum waris adalah semua kaidah hukum yang mengatur bagaimanakah nasib kekayaan seorang yang meninggal dunia, dan siapa-siapakah yang berhak atas kekayaan itu.

Menurut Kompilasi Hukum Islam, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur mengenai harta peninggalan dari orang yang meninggal dunia kepada orang yang masih hidup atau yang ditinggalkannya.
Jadi di dalam hukum waris ini selalu terkait adanya 3 (tiga) unsur :[2]
1.      Pewaris, yaitu orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta kekayaan.
2.      Ahli waris, yaitu orang yang menggantikan kedudukan pewaris dalam bidang hukum kekayaan karena meninggalnya si pewaris dan berhak menerima harta peninggalan pewaris.
3.      Harta warisan, yaitu keseluruhan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh si pewaris setelah dikurangi dengan semua utangnya.   
Hukum Waris menurut KUHPerdata
A.     Wujud Warisan
Dalam hukum waris berlaku suatu prinsip, bahwa yang berpindah di dalam pewarisan adalah kekayaan pewaris. Yang dimaksud dengan kekayaan adalah segala sesuatu yang dapat bernilai ekonomis. Sehingga segala hal yang bisa diperjuabelikan, dapat diwariskan.

Namun mengenai hal tersebut, ada pula hal-hal yang dikecualikan, adalah :
1.      Pemberian kuasa berakhir dengan meninggalnya si pemberi kuasa (Pasal 1813)
2.      Hubungan kerja yang bersifat sangat pribadi tidak beralih kepada ahli waris (Pasal 1601)
3.      Keanggotaan dalam perseroan tidak beralih kepada ahli warisnya (Pasal 1646)
4.      Hak pakai hasil berakhir dengan meninggalnya orang yang mempunyai hak tersebut (Pasal 807)

Sedangkan mengenai hak dalam lapangan hukum keluarga juga tidak beralih, seperti hak suami sebagai kepala rumah tangga, dan juga adanya hak pengampuan. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa yang dapat beralih kepada ahli waris hanyalah hak dan kewajiban pewaris di bidang harta kekayaan saja. Dengan meninggalnya pewaris, maka seketika itu juga beralihlah hak dan kewajiban berkaitan dengan harta kekayaan kepad ahli warisnya.[3]

B.      Pewarisan Karena Kematian
Pewarisan hanya dapat terjadi karena kematian.[4] Dengan demikian, sejak detik kematian tersebut, maka segala hak dan kewajiban pewaris beralih kepada ahli warisnya.[5] Konsekuensi logis dari adanya Pasal itu adalah bahwa kita belum dapat berbicara tentang warisan kalau si pewaris masih hidup.[6]
Pengecualian terhadap prinsip tersebut adalah dalam hal seorang telah meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa diketahui kebaradaannya. Terhadap hal ini maka yang berkepentingan dapat mengajukan kepada Pengadilan Negeri agar orang yang meninggalkan tempat kediaman itu dinyatakan/diduga meninggal.

C.      Keraguan dalam Menentukan Kematian Seseorang
Hal ini terjadi jika ada beberapa orang yang meninggal secara bersamaan dan tidak diketahui siapa yang meninggal lebih dahulu. Maka harus dianggap meninggal secara bersamaan.
D.     Prinsip Mengenai Barang Warisan
KUHPerdata tidak memandang mengenai asal-usul harta warisan. Entah itu dari bapak atau dari ibu, maka dianggap sebagai harta warisan.
E.      Syarat-syarat Mewaris
1.      Ahli waris harus sudah ada dan masih ada pada saat warisan terbuka.
2.      Mempunyai hubungan darah dengan pewaris
3.      Bukan orang yang tidak patut untuk mewaris
4.      Tidak menolak warisan
F.       Cara Mewaris
1.      Mewaris berdasarkan Undang-undang, terdiri atas :[7]
a.      Mewaris berdasarkan kedudukan sendiri. Artinya, ahli waris tampil mewaris secara langsung dari pewaris kepala demi kepala.
b.      Mewaris berdasarkan penggantian (representasi). Artinya, ahli waris tampil mewaris karena menggantikan kedudukan dari ahli waris yang sebenarnya berhak mewaris yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris. Misalnya, Si A meninggal dunia dan meninggalkan 2 orang anak (B dan C). sedang B telah meninggal dunia terlebih dahulu dari A. Sedangkan B mempunyai 3 orang anak (D,E,F). dengan demikian, C tampil mewaris berdasarkan kedudukan sendiri, sedang D, E,F mewaris berdasarkan penggantian.
Penggantian tempat hanya dapat diperoleh karena kematian.
Dengan demikian, syarat mewaris karena penggantian adalah:
-          Orang yang digantikan harus meninggal dunia lebih dahulu dari si pewaris.
-          Orang yang menggantikan harus keturunan sah dari orang yang digantikan.
-          Orang yang menggantikan harus memenuhi syarat umum untuk mewaris.
2.      Mewaris berdasarkan Surat Wasiat
Pewarisan berdasarkan surat wasiat disebut juga dengan pewarisan ad-testamento, sedangkan ahli warisnya disebut testamentair. Apabila ada surat wasiat, maka harus dilaksanakan lebih dahulu dengan memperhatikan batasan UU (Pasal 874)

Ahli Waris Menurut Undang-undang[8]
1.      Ahli waris berdasarkan hubungan darah
Menurut UU, yang berhak untuk menjadi ahli waris ialah para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin dan suami isteri yang hidup terlama (Pasal 832). Dengan demikian, seseorang harus mempunyai hubungan darah dengan pewaris.
2.      Janda atau duda yang ditinggal mati saling mewaris
Pada mulanya, janda atau duda yang hidup terlama baru mewaris sesudah keluarga saudara sampai derajat yang ke-12 tidak ada. Dengan demikian, janda atau duda jarang sekali mewaris. Dalam pasal 852a ditentukan, bahwa di samping keluarga sedarah, undang-undang menentukan suami atau isteri yang hidup terlama  sebagai ahli waris. Perubahan ini terjadi pada tahun 1935 No. 486 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1936. Berdasarkan hal tersebut, maka suami-isteri saling mewaris. Suami isteri yang bercerai tidak saling mewaris, karena perkawinan mereka putus dengan perceraian. Sedangkan yang pisah meja dan tempat tidur tidak saling mewaris, karena perkawinan mereka masih berlangsung.
3.      Keluarga yang lebih dekat kepada pewaris yang berhak mewaris.
Tidak semua keluarga yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris tampil untuk mewaris. Kedudukan sebagai keluarga sedarah baru memberikan kemungkinan untuk mewaris. Keluarga yang lebih dekat dengan pewaris yang akan tampil untuk mewaris. Dengan demikian, menutup kemungkinan mewaris keluarga yang lebih jauh. Ahli waris dibagi ke dalam 4 golongan:
a.      Golongan I:
Terdiri suami isteri dan anak berserta keturunannya.
b.      Golongan II
Terdiri dari orang tua dan saudara-saudara beserta keturunannya.
c.       Golongan III
Terdiri kakek dan nenek serta seterusnya ke atas.
d.      Golongan IV
Terdiri dari keluarga dalam garis menyamping yang lebih jauh termasuk saudara-saudara ahli waris golongan III beserta keturunannya.
4.      Negara sebagai penerima warisan
Menurut Pasal 832 ayat (2) KUHPerdata, negar sebagai penerima warisan jika tidak ada lagi ahli waris (keluarga sedarah maupun suami atau isteri yang hidup terlama). Kedudukan negara sebagai penerima warisan hanya berkewajiban membayar hutangnya jika aktiva mencukupi (Pasal 832 ayat 2). Dan harus melalui putusan Hakim (Pasal 833 ayat 3) 
Bagian Ahli Waris Menurut Undang-undang :
Golongan yang berhak menerima waris ada 4. Golongan itu adalah sebagai berikut :
1.      Golongan I, terdiri atas:
a.      Anak beserta keturunannya.
Dalam hal ini anak tidak dapat mewaris bersama keturunannya. Anak akan menutup ahli waris yang lain, kecuali jika terjadi penggantian. Anak yang mewaris dalam derajat I mendapat bagian yang sama besar. Jika keturunan anak menggantikan anak, maka berdasarkan kedudukannya sebagai pengganti. Menurut Pasal 852, asas persamaan anak-anak atau sekalian keturunan mereka mewaris dari pewaris, meskipun mereka lahir dari perkawinan yang lain.
b.      Suami isteri yang hidup terlama.
Sejak tanggal 1 Januari 1936, janda atau duda (suami atau isteri) adalah ahli waris dan termasuk dalam golongan pertama. Berdasarkan Pasal 852a, suami isteri bagiannya sama dengan bagian anak. Namun pewarisan yang menyatakan bagian janda atau duda dengan anak hanyalah pewarisan karena undang-undang. Jadi bagian janda atau duda tidak selalu sama dengan anak. Karena janda atau duda tidak berhak atas legitieme portie (bagian mutlak). Hak warisan suami atau isteri tidak boleh lebih besar dari bagian yang terkecil dari yang diterima seorang anak atau keturunan mereka. Dengan demikian, bagian mereka tidak boleh lebih dari ¼.
2.      Golongan II, terdiri atas : orang tua, saudara laki-laki, atau perempuan, dan keturunannya. Apabila tidak ada ahli waris dalam golongan I, maka warisan jatuh kepada golongan II.
a.      Bagian ayah dan ibu:
-          Apabila ayah dan ibu mewaris tanpa saudara laki-laki ataupun perempuan, maka mereka mewaris seluruh warisan dan masing-masing mendapat setengah bagian. (Pasal 859)
-          Apabila ayah dan ibu mewaris bersama dengan saudara laki-laki atau perempuan, mak masing-masing mendapat bagian yang sama besar. Masing-masing mendapat 1/3.
-          Jika ada saudara laki-laki dan perempuan, maka masing-masing mendapat ¼.
-          Apabila ada lebih dari dua orang saudara, maka bagian ayah dan ibu diambilkan terlebih dahulu sebesar ¼. Lalu sisanya dibagi untuk saudara dengan bagian sama besar.
-          Orang tua menerima bagian yang sama dengan saudara laki-laki dan perempuan, namun tidak boleh lebih dari ¼ bagian.
v  Dalam menghitung jumlah banyaknya saudara yang turut mewaris bersama-sama dengan ayah dan ibu, tidak dibedakan antara saudara kandung dan saudara tiri, baik seayah maupun seibu.
b.      Bagian saudara sebagai ahli waris.
Apabila pewaris meninggal dunia, dengan tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau isteri, sedangkan baik ayah maupun ibunya sudah meninggal terlebih dahulu, maka seluruh warisan adalah hak sekalian saudara laki-laki dan saudara perempuan (Pasal 856)
c.       Bagian saudara kandung dan saudara tiri.
Pada prinsipnya menurut Pasal 857 KUHPerdata, mereka mendapat bagian yang sama besar, yaitu antara pewaris dengan saudara yang mewaris adalah saudara kandung. Bagian mereka adalah sama besar dengan tidak membedakan laki-laki dan perempuan. Selanjutnya, dalam hal mereka berasal dari lain perkawinan, maka warisan dibagi dalam 2 bagian terlebih dahulu, yaitu yang setengah untuk saudara dalam garis bapak, dan yang setengah lainnya dalam garis ibu. Saudara laki-laki dan perempuan sekandung, menerima bagian dari kedua garis tersebut. Sedangkan untuk saudara tiri, hanya mendapat bagian dari dari garis ayah atau ibu saja. Maka kemudian mengesampingkan yang lain.
3.      Golongan III
Golongan ini terdiri dari keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas sesudah orang tua, baik dari pihak ayah maupun ibu (Pasal 853). Yang dimaksud keluarga sedarah dalam garis ibu dan garis ayah ke atas adalah kakek dan nenek, kakek buyut dan nenek buyut terus ke atas garis dari garis ayah maupun ibu. Berdasarkan Pasal 853 KUHPerdata, pembagian warisan dibagi dalam 2 bagian terlebih dahulu (kloving). Kemudian masing-masing dibagi secara mandiri yang seolah-olah merupakan kesatuan yang berdiri sendiri. Jika ada penolakan, maka hanya berlaku di dalam garis yang bersangkutan saja. Jika dalam garis yang satu tidak ada keluarga sedarah dalam derajat yang mengijinkan untuk mewaris, maka segala keluarga sedarah dalam garis yang lain memperoleh seluruh warisan.
Mengenai bagiannya adalah sama besarnya. Sedangkan yang perderajatannya lebih jauh, maka akan ditutup oleh mereka yang perderajatannya lebih dekat.
4.      Golongan IV
Menurut Pasal 858 ayat (1) dalam hal tdk ada gol II dan gol III, maka setengah bagian menjadi bagian keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas yang masih hidup. Sedangkan setengah bagian lainnya menjadi bagian sanak saudara dalam garis yang lain. Pengertian “sanak saudara” adalah para paman dan bibi.
Dalam hal terjadi kloving, maka dimungkinkan adanya pewarisan bersama-sama antara Golongan III dan Golongan IV atas suatu peristiwa yang sama.

Mereka yang Tidak Patut Mewaris
Pada dasarnya, setiap orang (termasuk bayi yang baru lahir) cakap untuk mewaris. Di dalam hukum waris, dikenal istilah “tidak patut mewaris”. Menurut Pasal 838, yang tidak patut mewaris itu adalah :
1.      Mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan membunuh atau mencoba membunuh di pewaris.
2.      Mereka yang dengan putusan hakim pernah dipersalahkan telah memfitnah si pewaris yang terancam dengan hukuman penjara 5 tahun atau lebih
3.      Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah pewaris untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya.
4.      Mereka yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat pewaris.
Menurut Pasal 839 KUHPerdata, tiap-tiap ahli waris yang karena tidak patut mewaris telah dikecualikan dari pewarisan, maka diwajibkan mengembalikan segala hasil dan pendapatan yang telah dinikmatinya semenjak warisan terbuka. Akibat tidak patut mewaris, menyebabkan warisan jatuh kepada ahli waris lainnya. Selanjutnya menurut Pasal 840 KUHPerdata, anak-anak dari orang yang tidak patut mewaris yang menurut UU terpanggil menjadi ahli waris, tetap menjadi ahli waris menurut gilirannya. Jadi, bukan karena kesalahan orang tuanya tadi, maka anak-anak dikecualikan menjadi ahli waris. Dalam hal ini, anak-anak itu mewaris secara pribadi dan bukan menjadi pengganti.   



[1] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 243
[2] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 243
[3] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 246
[4] Pasal 830 KUHPerdata
[5] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 246
[6] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 246
[7] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 249
[8] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 252

Artikel Terkait

Makalah Hukum Waris dalam KUHPerdata
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email