09/04/2015

Makalah Hukum Kekeluargaan



BAB I
PENDAHULUAN
Hukum keluarga dapat diartikan sebagai keseluruhan ketentuan atau aturan-aturan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan, keadaan tidak hadir).
Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai keluhuran yang sama. Kekeluargaan karena perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dari istri (suaminya).
Secara luas Hukum Keluarga mencakup atas :
1.        Keturunan
2.        Kekuasaan orang tua
3.        Perwalian
4.        Pendewasaan
5.        Pengampuan (Curatele)



BAB II
PEMBAHASAN
KETURUNAN
a.         Anak Sah
Seorang anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya. Dalam undang-undang ditetapkan suatu tenggang kandungan yang paling lama, yaitu 300 hari dan suatu tenggang kandungan yang paling pendek, yaitu 180 hari. Seorang anak yang lahir 300 hari setelah perkawinan orang tuanya di anggap sebagai anak yang tidak sah.

b.        Menyangkal Sahnya Anak
Jikalau seorang anak dilahirkan sebelum 180 hari setelah hari pernikahan orang tuanya, maka ayahnya berhak menyangkal sahnya anak itu, kecuali jika ia sudah mengetahui bahwa istrinya mengandung sebelum pernikahan atau ayah hadir dan mentanda tangani pembuatan surat kelahiran maka si ayah di anggap telah menerima dan mengakui anak tersebut. Pembuktian keturunan harus dilakukan dengan surat kelahiran yang diberikan oleh Pegawai Pencatatan Sipil. Jika tidak mungkin didapatkan surat kelahiran, hakim dapat memakai bukti-bukti lain yang dapat menunjukkan hubungan anak dengan ayah.[1]
Hakim yang menerima gugatan penyangkalan itu, harus ditunjuk seorang wali khusus yang akan mewakili anak yang disangkal itu. Serta ibu si anak yang disangkal harus dipanggil di muka hakim.
Anak yang lahir diluar perkawinan, dinamakan “natuurlijk kind.  Ia dapat diakui atau tidak diakui oleh ayah atau ibunya. Menurut sistem BW dengan adanya keturunan diluar perkawinan saja belum terjadi suatu hubungan keluarga antara anak dengan orang tuanya. Barulah dengan “pengakuan” (erkenning) lahir suatu pertalian kekeluargaan dengan akibat-akibatnya (terutama hak mawaris) antara anak dengan orang tua yang mengakuinya. Tetapi suatu hubungan kekeluargaan antara anak dengan keluarga si ayah atau ibu yang mengakuinya belum juga ada. Hubungan ini hanya dapat diletakkan dengan pengesahan anak (wettiging), yang merupakan suatu langkah lebih lanjut lagi dari pada pengakuan.

KEKUASAAN ORANG TUA (VAN DE OUDERLIJKE MACHT)
Kekuasaan orang tua itu mulai berlaku sejak lahirnya anak atau sejak hari pengesahannya dan berakhir pada waktu anak itu menjadi dewasa atau kawin, atau pada waktu perkawinan orang tuanya dihapuskan. Ada pula kemungkinan, kekuasaan itu boleh hakim dicabut (ontzet) atau orang tua itu dibebaskan (ontheven) dari kekuasaan itu, karena suatu alas an. Kekuasaan itu dimiliki oleh kedua orang tua bersama, tetapi lazimnya dilakukan oleh si ayah. Hanyalah apabila si ayah itu tidak mampu untuk melakukannya, misalnya sedang sakit keras, sakit ingatan, sedang berpergian dengan tidak ada ketentuan tentang nasibnya, atau sedang berada di bawah pengawasan (curatele) kekuasaan itu dilakukan oleh isterinya. [2]
Ikatan perkawinan pada dasarnya akan mengakibatkan hubungan hukum antara hak dan kewajiban; pertama, hak dan kewajiban antara suami dan isteri ; kedua, Hk dan kewajiban suami isteri terhadap anak anaknya; dan ketiga, hubungan hukum dalam kaitannya dengan pihak ketiga.
Tentang kekuasaan orang tua, dituntut juga hubungan timbal balik antara orang tua dan anak anaknya, bahwa tiap tiap anak dalam umur berapa pun juga, wajib menaruh kehormatan dan keseganan terhadap bapak dan ibunya, si bapak dan si ibu keduanya wajib memelihara dan mendidik sekalian anak mereka yang belum dewasa. Kehilangan hak untuk memangku kekuasaan orang tua untuk menjadi wali membebaskan mereka dari kewajiban, memberi tunjangan tunjangan dalam keseimbangan dengan pendapatan mereka, guna membiayai pemeliharaan dan pendidikan untuk anak anaknya (ex Pasal 298 KUH Perdata).[3]
1.      Hak dan Kewajiban antar Suami Isteri
Hak dan kewajiban harus dipikul oleh suami dan isteri dapat dibedakan menjadi dua hal, yaitu :[4]
a.      Hak dan Kewajiban sebagai Akibat yang Timbul dari Hubungan Suami Isteri
Hak dan kewajiban sebagai akibat yang timbul dari hubungan suami isteri meliputi antara lain :
1). Suami isteri saling setia, saling tolong menolong dan saling bantu membantu (Pasal   105 BW);
2). Isteri harus patuh pada suaminya (Pasal 105 BW);
3). Isteri wajib mengikuti suami (Pasal 106 Ayat 2 BW);
4). Suami wajib melindungi dan memberikan segala sesuatu yang diperlukan isterinya, sesuai kedudukan dan kemampuannya (Pasal 107 BW);
5). Suami isteri saling mengikatkan secara timbal balik untuk memelihara dan memdidik anak mereka (Pasal 104 BW dan Pasal 298 Ayat 2 BW).
Undang undang pekawinan meletakkan, bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Masing masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Menurut Pasal 34 Undang Undang Perkawinan menegaskan, bahwa: (1) Suami wajib melindungi isteri dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya; (2) Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik baiknya; (3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing masing dapat mengajukan kepada pengadilan.

b.      Hak dan Kewajiban sebagai Akibat yang Timbul dari kekuasaan Suami
Menurut Pitlo asas maritale macht harus dibedakan dari ketidak cakapan isteri. Asas maritale macht timbul sebagai akibat suatu pandangan diperlukannya satu pimpinan dalam suatu keluarga dengan memberikan wewenang kepada suami untuk mengurus sebagian besar harta kekayaan, walaupun si isteri cakap untuk melakukannya. Sedangkan asas onbekwaamheid timbul dari suatu pandangan kuno bahwa wanita tidak cakap mengurus harta kekayaan sendiri sehingga perlu adanya curator yaitu suami.
Hak dan kewajiban sebagai akibat yang timbul dari kekuasaan suami, meliputi antara lain :[5]


1)      Suami menjadi kepala keluarga dan bertanggung jawab atas isteri dan anak anaknya;
2)      Wajib nafkah; suami wajib memelihara isterinya; orang tua wajib memelihara dan mendidik anak anaknya yang belum cukup umur; anak anak yang telah dewasa wajib memelihara orang tuanya, kakek neneknya atau keluarga sedarah menurut garis lurus, yang dalam deadpan miskin; menantu wajib memelihara mertua dan sebaliknya;
3)      Isteri mengikuti kewarganegaraan suaminya;
4)      Isteri mengikuti tempat tinggal suaminya;
5)      Isteri menjadi tidak cakap bertindak;
6)      Suami berhak mengurus dan menguasai harta perkawinan gabungan jika sebelumnya tidak diadakan perjanjian harta perkawinan pisah;
7)      Isteri mengurus harta kekayaan sendiri, jika sebelumnya diadakan perjanjian harta perkawinan pisah.

2.      Hak dan Kewajiban Suami Isteri Terhadap Anak anaknya
Secara kodrati dalam sejarah peradaban manusia, anak anak selalu berada di bawah kekuasaan ayahnya. Kekuasaan itu bersifat mutlak, artinya baik orang lain, maupun negara tidak dapat melakukan campur tangan. Akan tetapi lambat laun hal tersebut berubah dan kekuasaan tersebut semakin lama berkurang, namun masih cukup besar pula. Sementara ibu sama sekali tidak mempunyai kekuasaan atas anak anaknya.

Konsep hukum alam tersebut tidak langsung berpengaruh terhadap hukum Romawi yang menjadi sumber utama hukum Perancis dan Hukum Belanda, selain itu juga Hukum Perdata Barat yang merupakan konkordasi dengan BW Nederland.
Dengan diciptakannya Undang Undang Perdata Anak, melalui Stb. 1927-31 jis Stb. 390-421, yang berlaku sejak 1 Oktober 1927, istilah kekuasaan ayah berubah menjadi kekuasaan orang tua.
Menurut Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, kekuasaan orang tua haruslah mencerminkan kesadaran akan kewajiban mereka untuk bertindak bagi kepentingan anak anaknya dan mempertahankan keseimbangan antara hak dan kewajiban mereka untuk kesejahteraan anak anaknya. Tentang kekuasaan orang tua diatur dalam KUHS atau KUH Perdata (BW) Buku 1 Titel XIV Pasal 298-329, dan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 LN 1974-1 Pasal 45 s/d Pasal 49.
Dalam bab XIV KUH Perdata pada dasarnya dibagi dalam tiga bagian, yaitu: (1) kekuasaan orang tua terhadap pribadi anak (Pasal 298-306); (2) kekuasaan orang tua terhadap harta kekayaan anak (Pasal 307-319); dan (3) hubungan arang tua dengan anak tanpa memandang umur anak dan tidak terbatas pada orang tua itu saja, tetapi juga nenek dari pihak ibu (Pasal 320-329).[6]
a.      Kekuasaan Orang Tua terhadap Pribadi Anak
1). Asas kekuasaan orang tua terhadap pribadi anak
Menurut Pasal 299 BW menyatakan bahwa kekuasaan orang tua pada hakikatnya adalah kekuasaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu selama mereka itu terikat dalam perkawinan terhadap anak anakny yang belum dewasa. Dari ketentuan Pasal 299 tersebut dapat disimpulkan tiga asas kekuasaan orang tua:
1). Kekuasaan orang tua berada pada kedua orang tua dan tidak hanya pada ayah saja;
2). Kekuasaan orang tua hanya ada sepanjang perkawinan masih berlangsung dan jika perkawinan itu bubar, maka kekuasaan orang tua itu pun berakhir;
3). Kekuasaan orang tua hanya ada sepanjang orang tua menjalankan kewajiban terhadap anak anaknya dengan baik.

      Merujuk pada ketentuan tersebut di atas, maka kekuasaan orang tua terhadap pribadi anak mulai berlaku sejak lahirnya anak atau sejak hari pengesahannya dan berakhir pada waktu anak itu menjadi dewasa atau kawin, atau pada waktu perkawinan orang tuanya dihapuskan. Akan tetapi, kekuasaan orang tua juga akan batal demi hukum apabila orang tua tidak memenuhi persyaratan dimungkinkan adanya pencabutan atau pembebasan orang tua.
      Dalam kondisi normal, kekuasaa orang tua dipegang oleh ayah sendiri. Hal ini berarti bahwa ayah adalah pihak sendiri yang berwenang menentukan pemeliharaan, pendidikan dan agama yang harus is berikan dan sebagainya. Namun demikian tidak menutup kemungkinan bahwa ayah dan ibu berunding terlebih dahulu untuk memperoleh kesepakatan, walaupun pada akhirnya ayahlah yang harus memutuskan seandainya tidak ada persesuaian pendapat. Dari segi hukum berunding ayah dan ibu perlu diadakan oleh karena terdapat kekhawatiran jika tidak ada persesuaian pendapat pada akhirnya hakim harus turut campur.
      Apabila terjadi pisah meja atau pisah ranjang antara ayah dan ibu, maka menurut Pasal 246 KUH Perdata hakim sesuai dengan tugas dan kewajibannya akan merumuskan siapakah dari keduanya yang akan menjalankan kekuasaan orang tua.
      Ibu baru akan menjalankan kekuasaan orang tua, jika ayah dipecat atau dibebaskan untuk menjelaskan kekuasaan orang tua, karena jelas ia berada diluar kemungkinan untuk menjalankan kekuasaan itu. Misalnya, adalah jika ia sakit keras, tidak diketahui tempat tinggalnya, atau tidak diketahui nasibnya. Apabila ibunya juga berada diluar kemungkinan atau tidak berwenang menjalankan kekuasaan tersebut, misalnya dipecat atau dibebaskan dari kekuasaan tersebut, maka pengadilan akan mengangkat seorang wali. Jadi dalam keadaan demikianm, anak berada di bawah perwalian meskipun perkawinan antara orang tuanya belum bubar.[7]

2 ). Akibat kekuasaan orang tua terhadap pribadi anak
      Menurut pasal 298 Ayat 1 KUH Perdata jo. 46 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974, bahwa setiap anak wajib hormat dan patuh kepada orang tuanya. Menurut Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, ketentuan ini lebih merupakan norma kesusilaan daripada norma hukum. Meskipun demikian, pelanggaran terhadap ketentuan yang dilakukan oleh anak yang masih minderjaringdapat memberikan alasan bagi ayah atau ibu yang menjalankan kekuasaan orang tua untuk mengambil tindakan tindakan koreksi terhadap si anak. Kewajiban anak tersebut tidak hanya berlaku pada anak anak sah, tetapi juga pada anak di luar kawin dan berapa pun umurnya di dalam kewajibannya terhadap orang tua yang mengakuinya.
      Sebaliknya orang tua wajib memelihara dan memberi bimbingan anak anaknya yang masih belum cukup umur sesuai dengan kemampuanya masing masing (Pasal 45 Ayat 1 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974). Kewajiban ini merupakan dasar dari kekuasaan orang tua, dan bukan sebagai akibat dari kekuasaan orang tua. Kewajiban tersebut disebabkan oleh adanya hubungan antara orang tua dengan  anak yang tercipta karena keturunan.
      Kewajiban yang diberikan kepada orang tua tersebut berupa wajib nafkah (kewajiban elimentasi) yaitu kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak anaknya yang belum cukup umur. Hal ini berarti bahwa, setiap anak yang belum dewasa, yaitu (1) bagi mereka yang berusia kurang dari 21 tahun; dan (2) belum kawin. Kepada mereka ini dianggap tidak cakap bertindak dalam lalu lintas hukum oleh undang undang. Sehingga kepadanya belum dapat mengadakan persetujuan persetujuan: maka itu orang tualah yang wajib menyelenggarakan segala kebutuhan.
      Bagi anak yang belum mencapai 21 tahun, hukum menjamin kepada mereka untuk dapat mengajukan permintaan pernyataan dewasa (Pasal 419 KUH Perdata). Pernyataan dewasa atau perlunakan tersebut dapat dilakukan melalui dua cara: Pertama, pernyataan dewasa yang diberikan oleh Presiden (Pasal 420 KUH Perdata). Pernyataan ini diberikan jika orang yang bersangkutan telah genap berumur 20 tahun. Dengan pernyataan dewasa ini mereka memiliki kedudukan yang dipersamakan dengan orang dewasa, kecuali dalam hal perkawinan yang masih memerlukan izin dari mereka yang berkepentingan. Kedua, pemberian hak hak kedewasaan tertentu oleh Pengadilan (Pasal 426 KUH Perdata). Pernyataan ini diberikan jika orang yang bersangkutan telah genap berumur 18 tahun, dan harus ada persetujuan orang tua. Dalam kasus ini merupakan suatu perlunakan terbatas, yaitu pengadilan harus secara tegas menyebutkan hak hak apa yang diberikan kepada mereka.
      Sebagai bentuk hubungan timbal balik, maka bagi anak yang telah dewasa wajib memelihara orang tuanya dan keluarganya menurut garis lurus ke atas dalam keadaan tidak mampu. (Pasal 299 KUH Perdata jis Pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974).[8]





b.      Kekuasaan Orang Tua terhadap Harta Kekayaan Anak
Kekuasaan tehadap harta kekayaan anak diatur dalam Pasal 307-318 BW. Sedangkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 diatur dalam Pasal 48.
Kekuasaan orang terhadap harta kekayaan anak meliputi: (1) mengurus harta kekayaan si anak (Pasal 307 BW); (2) bertanggung jawab atas harta kekayaan dan hasilnya, apabila diperbolehkan (Pasal 308 BW); (3) tidak memindah tangankan harta kekayaan si anak tanpa izin si anak atau pengadilan (Pasal 309 BW jo. Pasal 48 UUP);
Kekuasaan orang tua ini berlaku selama ayah dan ibunya masih hidup dalam perkawinan; mereka mempunyai hak menikmati hasil harta benda anak anaknya. Kekuasaan orang tua berhenti apabila : (1) Anak tersebut telah dewasa (sudah 21 tahun) atau telah kawin sebelum mencapai usia dewasa (umur 18 tahun); (2) Perkawinan orang tuanya putus (kematian, perceraian, dan karena putusan pengadilan); (3) Kekuasaan orang tua dipecat oleh hakim, karena: (a) pendidikannya/berkelakuan buruk sekali; (b) telah mendapat hukuman yang telah menjadi tetap; (c) Telah menyalahgunakan kekuasaanya orang tua atau terlalu mengabaikan kewajibannya memelihara atau mendidik anaknya; dan (4) Pembebasan dari kekuasaan orang tua, misalnya kelakuan si anak luar biasa nakalnya hingga orang tuanya tidak berdaya lagi.
Jadi segala hak dan kewajiban yang timbul antara anak dengan orang tua seperti akaibat akibat kakuasaan bapak terhadap si anak dan harta bendanya, pembebasan dan pemecatan kakuasaan orang tua, kewajiban timbal balik orang tua dan anak tersebut kesemuanya diatur dalam peraturan tentang kakuasaan orang tua.[9]
1). Mengurus harta kekayaan si anak
Bagi seorang ayah atau ibu, menurut undang undang tidak terdapat perkecualian untuk menjalankan kekuasaan orang tua di dalam mewakili anaknya dalam segala tindakan perdata. Hal ini berarti bahwa perwakilan orang tua tidak hanya menyangkut pribadi anak, akan tetapi juga meliputi harta kekayaan anak. Apa bila anak memiliki harta kekayaan sendiri, maka kekayaan kekayaan ini diurus oleh orang yang melakukan kekuasaan orang tua tersebut, kecuali jika mereka telah pisah meja dan tempat tidur, dan telah diputuskan oleh hakim atas permohonan atau atas kata sepakat suami isteri (Pasal 236 KUH Perdata).
Ada kemungkinan bahwa anak memiliki barang barang lain yang tidak diurus oleh ayah dan ibunya yang menjalankan kekuasaan orangtua terhadapnya, tetapi oleh seorang atau lebih pengurus yang ditunjuk oleh pemberi hadiah atau pewaris (Pasal 307 Ayat 2 KUH Perdata). Barang tersebut biasanya barasal dari hadiah, legaat atau warisan dengan testament.
Menurut ketentuan Pasal 307 Ayat 3 KUH Perdata, menyatakan bahwa pengurusan barang barang kekayaan anak yang berasal dari hadiah , legaat atau warisan degan testament akan berpindah kepada orang yang menjalankan kekuasaan orang tua bila kepengurusan karena alasan apa pun hapus, yaitu karena : (1) orang yang ditunjuk sebagai pengurus meninggal dunia; dan (2) mengundurkan diri tanpa menunjuk orang lain sebagai penggantinya.
Kepengurusan harta kekayaan yang dilakukan oleh orang tua yang menjalankan kakuasaan orang tua harus dilakukan oleh seorang ayah yang baik. Bila harta kekayaan tidak diurus dengan baik, maka ia berhak menggugat untuk kerugian yang diderita anak.



2). Bertanggung jawab atas harta kekayaan dan hasilnya, apabila diperbolehkan bertanggungjawab atas harta kekayaan dan hasilnya, apabila diperbolehkan.
Pada dasarnya, ayah yang menjalankan kekuasaan orang tua atau perwalian berhak menikmati hasil atas harta kekayaan anak anaknya. Sepanjang perkawinan ayah dan ibunya masih berlangsung, dan mereka tidak dalam status pisah meja dan pisah tempat tidur; normalitas ayah yang menjalankan kekuasaan orang tua, sehingga ayahlah berhak atas penikmatan hasil. Jika ayah dan ibunya kawin dengan “kebersamaan harta”, maka hasil harta kekayaan anak masuk dalam kebersamaan harta mereka.[10]
Jika ayah dipecat atau dibebaskan dari kekuasaan orang tua atau perwalian, maka ibulah yang menjalankan kekuasaan itu, sehingga ibu yang berhak atas penikmatan hasil dari harta kakayaan anak anak yang masih minderjaring itu. Jika ayah maupun ibu dibebaskan dari kekuasaan orang tua atau perwalian, maka kedua orang tua tersebut bersama sama behak atas vruchgnot. Dan jika salah seorang diantara mereka meninggal dunia atau dipecat dari kekuasaan orang tua atau perwalian, dan kemudian orang tua yang lain melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian dipecat, maka hal tersebut tidak mengurangi hak mereka atas penikmat hasil.
Penikmat hasil, kekuasaan orang tua berakhir apabila; (1) anak meninggal dunia (Pasal 314 KUH Perdata); (2) anak menjadi minderjaring (Pasal 311 Ayat 1 jo. Pasal 299 KUH Perdata); (3) meninggalnya kedua orang tua ; (4) pencabutan kedua orang tua dari kekuasaan orang tua; (5) meningalnya salah seorang dari orang tua dan orang tua yang lain dipecat; dan (6) merupakan pidana terhadap isteri atau suami yang  hidup terlama, jika ia lalai membuat daftar boedel atas kebersamaan harta menurut ketentuan Pasal 127 KUH Perdata (Pasal 315 KUH Perdata).



3). Tidak memindahtangankan harta kekayaan si anak tanpa izin si anak atau pengadilan
Menurut Pasal 309 KUH Perdata menyatakan bahwa orang yang menjalankan kekuasaan orang tua tidak boleh melakukan perbuatan perbuatan yang bersifat memutuskan atas harta kekayaan anak anaknya yang masih minderjaring tanpa memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Bab XV Buku Pertama KUH Perdata. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 393, dinyatakan bahwa orang yang menjalankan kekuasaan orang tua hanya dapat memindahkan atau membebani barang barang anaknya hanya dengan kuasa pengadilan.
c.       Hubungan Orang Tua dengan Anak
Di depan telah disebutkan bahwa ayah dan ibu yang memegang kekuasaan orang tua memiliki kewajiban memelihara dan memberi bimbingan anak anaknya yang belum cukup umur sesuai dengan kemampuannya masing masing. Walaupun demikian seorang anak tidak berhak menuntut suatu kedudukan tetap dari kedua orang tuanya, dengan cara menyediakan segala sesuatu untuk sesuatu sebelum ia kawin, atau dengan cara lain (Pasal 320 KUH Perdata).
Bentuk hubungan timbal balik dari kewajiban ayah dan ibu yang memegang kekuasaan orang tua, maka bagi anak yang telah dewasa wajib memelihara orang tuanya dan keluarganya menurut garis ke atas dalam keadaan tidak mampu.
Ketentuan memelihara orang tua dan keluarganya menurut garis lurus ke atas tersebut tidak terkecuali bagi anak anak menantu laki laki atau perempuan (Pasal 322), ataupun anak anak luar kawin dan diakui menurut undang undang (Pasal 328) sebatas kemampuan.
Kewajiban memelihara orang tuanya dan keluarganya menurut garis lurus ke atas bagi anak anak menantu laki laki atau perempuan akan berakhir apabila; (1) si ibu mertua menyeburkan diri untuk kedua kalinya dalam perkawinan; (2) si suami atau si isteri yang mengakibatkan adanya pertalian keluarga semenda dan anak anak yang berasal dari perkawinannya dengan isteri atau suaminya, telah meninggal dunia.[11]                 
3.      Hubungan Hukum bagi Pihak Ketiga
Sebuah ikatan perkawinan penting artinya bagi keturunan dan hubungan kekeluargaan; sedangkan bagi pihak ketiga terutama penting untuk mengetahui kedudukan harta perkawinan dan kedudukan anak.
Oleh hukum seseorang dianggap tidak cakap bertindak di dalam lalu lintas apabila;
1)      Anak anak yang belum dewasa (belum 18 tahun dan tidak lebih dahulu menikah).
2)      Orang orang yang ada dibawah pengampuan.
3)      Wanita yang bersuami.
Apabila seseorang yang belum dewasa kawin, dan perkawinannya itu kemudian perkawinanya itu dibubarkan sebelum ia berumur genap 18 tahun, maka orang itu tetap dianggap dewasa dan ia tetap dianggap cakap bertindak dalam lalu lintas hukum.
Sebaliknya, seseorang yang cakap bertindak, akan tetapi oleh hukum dicabut haknya untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu, maka ia disebut tidak berwenang bertindak, misalnya seorang juru lelang tidak berwenang bertindak untuk membeli barang barang tetap yang ia lelangkan.
Adapun mengenai kedudukan anak yang berkaitan dengan pihak ketiga sangatlah penting, karena untuk mengetahui asal usul seorang anak sebagai ahli waris orang tuanya. Seorang anak waris yang harus mempunyai hubungan hukum dengan pewaris agar ia berhak sebagai waris yang sah.[12]





PERWALIAN (VOOGDIJ)
1.      Konsep Dasar Perwalian
Perwalian berasal dari dua kata wali mempunyai arti orang lain selaku pengganti orang tua yang menurut hukum diwajibkan mewakili anak yang belum dewasaatau belum akil balig dalam melakukan perbuatan hukum, demikian menurut Prof. Subekti.[13]
Pada dasarnya setiap orang mempunyai “kekuasaan berhak” karena ia merupakan subyek hukum. Tetapi tidak setiap orang cakap melakukan perbuatan perbuatan hukum. Secara umum, orang orang yang disebut meerderjarigheiddapat melakukan perbuatan perbuatan hukum secara sah, kecuali jika undang undang tidak menentukan demikian. Misalnya, seorang pria yang telah genap mencapai umur 18 tahun sudah dianggap cakap untuk melangsungkan perkawinan.
Batasan umur seseorang agar dianggap sebagai meerderjaring atau minderjaring tidak sama untuk tiap negara. Menurut Pasal 330 KUH Perdata, terdapat tiga ketentuan penting yang berkaitan dengan status hukum anak apakah sebagai meerderjaring atau minderjaring.
Ayat 1 : batas antara meerderjaring dengan minderjaring, yaitu 21 tahun kecuali jika :[14]
a.       Anak tersebut sudah kawin sebelum mencapai umur genap 21 tahun; dan
b.      Perlunakan (Pasal 419 KUH Perdata), dan selanjutnya.
Ayat 2 : pembubaran perkawinan yang terjadi pada seorang yang belum mencapai umur genap 21 tahun, tidak berpengaruh terhadap status meerderjarigheid yang telah diperolehnya;
Ayat 3 : Mereka yang masih minderjarigheiddan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua akan berada di bawah perwalian.

Anak yang berada di bawah perwalian, adalah:
A.    Anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua.
B.     Anak sah yang orang tuanya telah bercerai.
C.     Anak yang lahir diluar perkawinan.[15]
Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, yang berfikir sehat, jujur dan berkelakuan baik.[16] Ada golongan orang yang tidak dapat diangkat menjadi wali mereka itu, ialah orang yang sakit ingat, orang yang belum dewasa, orang yang di bawah curatele, orang yang telah dicabut kekuasaanya sebagai orang tua, jika pengankatan sebagai wali itu untuk anak yang menyebabkan pencabutan tersebut. Lain dari itu, Kepala dan anggota-anggota Balai Harta Peninggalan (weeskamer) juga tak dapat diangkat menjadi wali, kecuali dari anak-anaknya sendiri.

2.      Asas Perwalian               
Ketentuan tentang perwalian diatur dalam KUH Perdata Pasal 331 sampai dengan Pasal 344 dan Pasal 50 sampai dengan Pasal 54 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata Perwalian ini mempunyai bebrapa asas. Pertama, asas tak dapat dibagi bagi. Kedua, asas persetujuan dari keluarga. Ketiga, orang orang yang dipanggil menjadi wali atau yang diangkat menjadi wali.[17]
Perwalian adalah pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa jika anak itu tidak berada di tangan kekuasaan orang tua. Jadi bagi anak yang orang tuanya telah bercerai atau jika salah satu dari mereka atau semua telah meninggal dunia , berada di bawah perwalian. Terhadap anak di luar kawin, maka karena tidak ada kekuasaan orang tua anak ini selalu di bawah perwalian.
Anak yatim piatu dan anak anak belum cukup umur dan tidak dalam kekuasaan orang tua memerlukan pemeliharaan dan bimbingan; karena itu harus ditunjuk wali yaitu orang atau perkumpulan perkumpulan yang akan menyelenggarakan keperluan keperluan hidup anak anak tersebut (Pasal 331 BW jo. Pasal 50  UU No. 1 Tahun 1974).[18]



a)      Asas tak dapat Dibagi bagi
Pada setiap perwalian hanya ada satu orang wali saja (Pasal 331 BW), hal ini yang dikenal dengan istilah asas tak dapat dibagi bagi. Asas ini mempunyai perkecualian dalam dua hal, yaitu (1) jika perwalian dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup terlama jika ia kawin lagi, suaminya menjadi wali peserta (Pasal 351); dan (2) jika dirasa perlu, dilakukan penunjukan seorang pelaksana pengurusan yang mengurus harta kekayaan minderjaringdi luar indonesia berdasarkan Pasal 361 BW.

b)     Asas Kesepakatan dari Keluarga
Menurut Pasal 359 BW menentukan bahwa pengadilan dapat menunjuk seorang wali bagi semua minderjaringyang tidak berada dibawah kekuasaan orang tua. Hakim akan mengangkat seorang wali setelah mendengar pendapat atau memanggil keluarga sedarah atau semenda atau periparan.
Ketentuan ini mempunyai makna, bahwa keluarga harus diminta kesepakatanya mengenai perwalian. Apabila sudah ada pemanggilan pihak keluarga tidak datang menghadap, maka dapat dituntut berdasarkan ketentuan Pasal 54 KUH Perdata.

                             
c)      Orang orang yang Dipanggil menjadi Wali
Perwalian menurut hukum perdata terdiri dari 3 macam, yaitu :[19]
-          Perwalian menuntut undang undang, yaitu perwalian dari orang tua yang masih hidup setelah salah seorang meninggal dunia lebih dahulu (Pasal 345-354 KUH Perdata);
Pasal 354 KUH Perdata menentukan bahwa orang tua yang hidup terlama dengan sendirinya menjadi wali. Ketentuan ini tidak mengadakan perkecualian bagi suami isteri yang hidup terpisah karena perkawinan yang bubar oleh perceraian atau pisah meja dan tempat tidur. Jadi, apabila ayah menjadi wali setelah perceraian, dan kemudian ia meninggal dunia, maka dengan sendirinya ibu menjadi wali atas anak tersebut.
Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsip dari perwalian orang tua. Perbedaan hanya ada dalam dua hal yaitu :
a.       Curator (Pasal KUH Perdata)
Apabila ayah meninggal dunia saat itu ibu dalam keadaan mengandung, maka balai harta peninggalan menjadi pengampu atas anak yang berada dalam kandungan dengan cara cara seperti yang telah ditetapkan dalam pengangkatan wali. Jika anak itu lahir, maka ibu dengan sendirinya menjadi wali dan balai peninggalan harta sebagai pihak pengampu akanmenjadi pengampu pengawas.
b.      Perkawinan Baru
Jika ibu selaku wali kawin lagi, maka suami yang tidak dikecualikan sebagai wali dengan sendirinya menjadi wali peserta. Suami bersama sama isterinya, yang berperan sebagai wali ibu, harus bertanggung jawab secara tanggungrenteng terhadap semua perbuatan yang dilakukan setelah perkawinan berlangsung.
Perwalian peserta suami isteri akan dihapus dalam kasus kasus, antara lain: (1) perpisahan meja dan tempat tidur atau jika terdapat perpisahan kebersamaan atau persatuan harta perkawinan; (2) jika suami dipecat dari medevoogdij; dan (3) jika peran wali ibu berhenti.

-          Perwalian karena wasiat orang tua sebelum ia meninggal, yaitu perwalian yang ditunjuk dengan surat wasiat oleh salah seorang dari orang tuanya;
Menurut Pasal 355 Ayat (1) BW, menentukan bahwa masing masing orang tua yang melakukan kekuasaan orang tua atau menjalankan perwalian atas seorang anak atau lebih, berhak mengangkat seorang wali atas anak anak itu jika sesudah ia meninggal dunia perwalian itu tidak terdapat pada orang tua lain, baik dengan sendirinya atau karena putusan hakim. Ketentuan ini mengandung makna, bahwa masing masing orang tua menjadi wali atau memegang kekuasaan orang tua, berhak mengangkat wali jika perwalian tersebut memang masih terbuka.
Dengan pengangkatan seorang wali mengakibatkan orang tua yang mengangkat itu secara hukum tidak menjadi wali atau melakukan kekuasaan orang tua pada saat ia meninggal (Pasal 356 BW).
-          Perwalian yang ditentukan oleh hakim.
Pada dasarnya perwalian dapat terjadi karena : (1) perkawinan orang tua putus baik disebabkan salah seorang meninggal, perceraian atau karena putusan pengadilan; dan (2) kekuasaan orang tua dipecat atau dibebaskan. Oleh sebab itu, menurut Pasal 359 BW menentukan bahwa pengadilan dapat menunujuk seorang wali bagi semua minderjarige yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua. Hakim akan mengangkat seorang wali yang disertai wali pengawas yang harus mengawasi pekerjaan wali tersebut.
Sedapat mungkin wali diangkat dari orang orang yang mempunyai pertalian darah terdekat dengan si anak itu atau bapaknya yang karena suatu hal telah bercerai atau saudara saudaranya yang dianggap cakap untuk itu. Hakim juga dapat menetapkan seseorang atau perkumpulan sebagai wali.

d)     Berakhirnya Perwalian
Berakhirnya perwalian dapat ditinjau dari dua segi, yaitu :[20]
(1)   dalam hubungan dengan keadaan anak.         
dalam hubungan ini, perwalian akan berakhir karena : a) si anak yang di bawah perwalian telah dewasa; b) si anak meninggal dunia; c) timbulnya kembali kekuasaan orang tuanya; dan d) pengesahan seorang anak luar kawin.




(2)   dalam hubungan dengan tugas wali.
Berkaitan dengan tugas wali, maka perwalian akan berakhir karena : (1) wali meninggal dunia; (2) dibebaskan atau dipecat dari perwalian; dan (3) ada alasan pembebasan dan pemecatan dari perwalian (Pasal 380 BW). Sedangkan syarat utama untuk dipecat sebagai wali, ialah karena disandarkan pada kepentingan minderjarige itu.
     Pada setiap akhir perwaliannya, seorang wali wajib mengadakan perhitungan tanggung jawab penutup. Perhitungan ini dilakukan dalam hal : (1) perwalian yang sama sekali dihentikan, yaitu kepada minderjarige atau kepada ahli warisnya; (2) perwalian yang dihentikan karena dari wali, yaitu kepada yang menggantinya; dan (3) minderjarige yang sesudah berada di bawah kekuasaan orang tua, yaitu kepada bapak atau ibu minderjarige itu (Pasal 409 BW).










            PENGAMPUAN (CURATELE)
1.      Konsep Dasar Pengampuan
Istilah pengampuan berasal dari Bahasa Belanda curatele, yang dalam bahasa inggris disebut custody atau interdiction (Peraancis). Lembaga pengampuan sudah dikenal sejak zaman Romawi. Dalam undang undang uua meja dari zaman itu, orang yang sakit ingatan dan juga orang orang yang pemboros yang menyalah gunakan kecakapan berbuatnya, yang karena perbuatan perbuatanya dapat membahayakan harta kekayaannya, maka untuk kepentingannya sendiri ada orang lain yang mengaturnya, sehingga ia harus berada di bawah pengampuan. Dalam KUH Perdata/BW ketentuan tentang pengampuan diatur pada Pasal 433 sampai dengan 462.[21]
Pengampuan hakikatnya merupakan bentuk khusus dari pada perwalian, yaitu diperuntukkan bagi orang dewasa tetapi berhubungan dengan sesuatu hal (keadaan mental atau fisik tidak atau kurang sempurna) ia tidak dapat bertindak dengan leluasa.
Pengampuan mulai berlaku mulai saat putusan pengdilan diciptakan. Kedudukan seorang yang telah ditaruh dibawah pengampuan, adalah seperti seorang yang belum dewasa. Dia tidak dapat lagi melakukan perbuatan perbuatan hukum secara sah.[22]
Seperti halnya dalam perwalian, dalam pengampuan juga dikenal adanya asas “pembatasan kebebasan berbuat” oleh curandus, antara lain : (1) dalam hal perkawinan, curandus yang karena boros atau mabuk, begitupun dengan curandus yang lemah akal budi dan fiisiknya; (2) seorang curandus yang sudah kawin dalam hal menentukan domisili harus meminta bantuan isterinya; (3) dalam hal membuat perjanjian kawin juga harus meminta bantuan curator-nya; (4) dilarang untuk menjadi wali; (5) dilarang menjalankan kekuasaan orang tua; (6) tidak boleh meminta pembubaran kebersamaan harta perkawinan; dan (7) tidak boleh meminta pembagian harta bersama karena warisan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa persamaan antara kekuasaan orang tua, perwalian dan pengampu adalah kesesuaian mengawasi dan menyelenggarakan hubungan hukum orang orang yang dinyatakan tidak cakap bertindak. Sedangkan perbedaan ketiganya :[23]






Subyek
Perbedaan
Kekuasaan orang tua
Kekuasaan asli dilaksanakan oleh orang tuanya sendiri yang masih terikat perkawinan terhadap anak anaknya yang belum dewasa.
Perwalian
Pemeliharaan dan bimbingan dilaksanakan oleh wali, dapat salah satu ibunya atau bapaknya yang tidak dalam keadaan ikatan perkawinan lagi atau orang lain terhadap anak anak yang belum dewasa.
Pengampuan
Pemeliharaan atau bimbingan dilaksanakan oleh kurator (yaitu keluarga sedarah atau orang yang ditunjuk) terhadap orang orang dewasa yang sebab dinyatakan tidak cakap bertindak di dalam lalu lintas hukum.

2.      Alasan Pengampuan
Undang undang menyebut 3 alasan untuk pengampuan, yaitu karena : (1) keborosan; (2) lemah akal budinya; dan (3) kekurangan daya berpikir, misal sakit ingatan, dungu, dan dungu disertai sering mengamuk diatur dalam Pasal 433 sampai Pasal 434 BW.
Orang yang telah dewasa tetapi sakit ingatan, pemboros, lemah daya atau tidak sanggup mengurus kepentingannya sendiri dengan semestinya, disebabkan kelakuan buruk di luar batas atau menggangu keamanan, memerlukan pengampuan. Oleh sebab itu, diperlukan adanya pengampu (curator); biasanya suami jadi pengampu atas isterinya atau sebaliknya, akan tetapi mungkin juga hakim mengangkat orang lain atau perkumpulan perkumpulan sedangkan sebagai pengampu pengawas ialah Balai Harta Peninggalan.
Sesuai dengan Pasal 436 BW, menetapkan bahwa yang berwenang menetapkan pengampuan, ialah pengadilan negeri yang berada di bawah pengampuan. Adapun orang orang yang berhak mengajukan pengampuan, antara lain : (1) Bagi yang boros, adalah setiap anggota keluarga sedarah dan sanak saudara dalam garis kesamping sampai derajat ke-4 dan isteri/suaminya; (2) bagi yang lemah akal budinya, adalah pihak yang bersangkutan merasa tidak mampu untuk mengurus kepentingan sendiri; dan (3) bagi yang kekurangan daya pikir, adalah setiap keluarga sedarah dan isteri/suami atau jaksa, dalam hal curandus tidak mempunyai isteri/suami ataupun keluarga sedarah di wilayah Indonesia.
Penetapan di bawah pengampuan dapat dimintakan suami atau isteri, keluarga sedarah, kejaksaan dan dalam hal lemah daya hanya boleh atas permintaan yang berkepentingan saja. Orang yang di bawah pengampuan disebut curandus; dan akibatnya ia dinyatakan tidak cakap bertindak.[24]

3.      Jabatan Pengampu dan Berakhirnya Pengampuan
Seorang curandus yang mempunyai isteri atau suami, maka isteri atau suaminyalah yang diangkat sebagai curator, kecuali ada alasan alasan yang penting menyebabkan bahwa seyogyanya orang lainlah yang diangkat sebagai curator (Pasal 451 BW).
Jika curandus mempunyai anak atau anak anak yang masih minderjarige, maka menurut ketentuan Pasal 451 BW, karena hukum curator menjadi wali anak anak tersebut, jika orang tua yang lain tidak dapat melakukan kekuasaan orang tua.
Pengampuan berakhir apabila alasan alasan itu sudah tidak ada lagi. Tentang hubungan hukum antara kurandus dan kurator, tentang syarat syarat timbul dan hilangnya pengampuan dan sebagainya itu diatur dalam peraturan tentang pengampuan, antara lain :
(1)   Secara absolut; curandus meninggal atau adanya putusan pengadilan yang menyatakan sebab sebab dan alasan di bawah pengampuan telah hapus.
(2)   Secara relatif; curator meninggal, curator dipecat; atau suami diangkat sebagai curator yang dahulunya berstatus sebagai curandus.
Dengan berakhirnya pengampuan, yang berarti berakhirnya tugas dan kewajiban curator, hal ini membawa serta berakhirnya tugas curator sebagai pengampu pengawas.
Berakhirnya perwalian, berlaku pula untuk berakhirnya pengampuan di samping apa yang dijelaskan dalam Pasal 459 KUH Perdata yang menyebutkan; “tiada seorangpun kecuali suami isteri dan keluarga sedarah dalam garis ke atas atau ke bawah, wajib menjalankan suatu pengampuan lebih dari delapan tahun lamanya. Setelah lampau waktu itu, bolehlah pengampuan menunutut kebebasannya.[25]
Menurut ketentuan Pasal 141 BW, bahwa berakhirnya pengampuan harus diumumkan sesuai dengan formalitas formalitas yang harus dipenuhi seperti pada waktu permulaan pengampuan. Di samping itu, bahwa ketentuan ketentuan beakhirnya perwalian seluruhnya mutatis mutandis berlaku pula berakhirnya pengampuan (Pasal 452 Ayat 2 BW).[26]


[1]Prof. Subekti, SH, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke XX , Jakarta: PT. Intermasa, 1985, hlm. 49.
[2] Prof. Subekti, SH, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke XX , Jakarta: PT. Intermasa, 1985, hlm. 51.
[3] Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Cet. 2, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hlm. 48
[4] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, cet. Ke-2, (Jakarta : Kencana,  2010), hlm. 76
[5] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 77
[6] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 79
[7] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 80
[8] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 82
[9] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 83
[10] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 84
[11] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 86
[12] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 86
[13] Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Cet. 2, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), hlm. 55
[14] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 89
[15]Prof. Subekti, SH, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke XX , Jakarta: PT. Intermasa, 1985, hlm. 53.
[16] Sulistini, Elisa T. Penunjuk praktis menyelesaikan perkara perdata, 1987, hlm. 101.
[17] Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, hlm. 56
[18] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 88
[19] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 89
[20] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 91
[21] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 92
[22] Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, hlm. 54
[23] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 94
[24] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 95
[25] Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, hlm. 54
[26] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 96

untuk mengunduhnya silahkan ikuti link berikut "makalah hukum kekeluargaann"

Artikel Terkait

Makalah Hukum Kekeluargaan
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email