09/04/2015

Makalah Perdagangan Orang di Indonesia




BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam sejarah bangsa Indonesia perdagangan orang pernah ada melalui perbudakan atau penghambaan. Masa kerajaan kerajaan di jawa, perdagangan orang, yaitu perempuan pada saat itu merupakan bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal. Pada masa itu konsep kekuasaan raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung dan mulia. Kekuasaan raja tidak terbatas, hal ini tercermin dari banyaknya selir yang dimilikinya. Beberapa orang dari selir tersebut adalah putri bangsawan yang diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan. Sebagian lain adalah persembahan dari kerajaan dan ada juga selir yang berasal dari lingkungan masyarakat bawahyang dijual atau diserahkan oleh keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut mempunyai keterkaitan dengan keluarga istana, sehingga dapat meningkatkan statusnya. Perempuan yang dijadikan selir berasal dari daerah tertentu. Sampai sekarang daerah daerah tersebut masih merupakan legenda.[1]
Dalam prostitution in Colonial Java dalam DP Chandler and M.C Ricklefs bahwa prostitusi di Indonesia mengalami puncaknya sekitar tahun 1811, yaitu pada saat pembangunan jalan dari Anyer-Panarukan dan dilanjutkan pembangunan jalan dan stasiun kereta api oleh Deandels. Sekarang juga masih terjadi di mana lokalisasi prostitusi dekat stasiun kereta api. Perkembangan prostitusi kedua adalah tahun 1870 ketika pemerintah Belanda melakukan privatisasi perkebunan atau kulturstelsef.[2]
Begitu juga periode penjajahan Jepang, perdagangan orang berbentuk kerja rodi dan komersial seks terus berkembang. Selain memaksa perempuan pribumi menjadi pelacur, Jepang juga banyak membawa perempuan ke Jawa dari Singapura, Malaysia, dan Hongkong untuk melayani perwira tinggi Jepang.[3]
B.     Rumusan
a.       Apakah faktor faktor penyebab terjadinya perdagangan orang di Indonesia?
b.      Bagaimanakah penegakan hukum terhadap pelaku perdagangan orang di Indonesia?
C.     Tujuan
a.       Mengetahui berbagai faktor terjadinya perdagangan orang di Indonesia.
b.      Mengetahui upaya hukum dalam menjerat pelaku perdagangan orang di Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Aspek Hukum Tentang Perdagangan Orang
Perdagangan secara eksplisit dalam KUH Pidana dan Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai berikut.
Pasal 297 KUH Pidana menyatakan bahwa:
“Perdagangan wanita (umur tidak disbutkan) dan perdagangan anak anak laki laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lamaenam tahun.[4]
            Pasal 65 Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa:
“Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotik, psikotropika, dan zat aditif lainya.[5]
            Hak Asasi Manusia merupakan hak hak dasar atau hak hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak hak asasi ini menjadi dasar daripada hak hak dan kewajiban kewajiban yang lain. Hak yang melekat pada manusia, yaitu hak hidup dengan selamat, hak kebebasan dan hak kesamaan yang sifatnya tidak boleh dilanggar oleh siapapun juga.[6] Hak asasi manusia dihubungkan dengan kodrat, harkat, dan martabat manusia, maka hak asasi manusia bersumber pada kodratnya sebagai makhluk Allah.
            Manusia menurut kodratnya memiliki hak yang melekat tanpa pengecualian seperti hak untuk hidup, hak atas keamanan, hak bebas dari segala macam penindasan dan lain lain hak yang bersifat universal disebut HAM. Istilah HAM berarti hak tersebut ditentukan dalam hakikat kemanusiaan dan demi kemanusiaan.[7] Indonesia sebagai salah satu negara yang berdasarkan rule of lawsangat menjunjung tinggi HAM yang diwujudkan dengan mengaturkan dalam berbagai peraturan, diantaranya dalam Undang Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar. Pada bagian pembukaan UUD 1945 mengamanatkan bahwa negara dan pemerintah didirikan untuk melindungi segenap bagsa dan kesejahteraan umum.[8]
            Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perbudakan diartikan sama dengan hamba atau memperlakukan sebagai budak, segala sesuatu mengenai budak belian.[9] Perdagangan orang bertentangan dengan hak asasi manusia karena perdagangan orang melalui cara ancaman, pemaksaan, penculikan, penipuan, kecuragan, kebohongan dan penyalahgunaan kekuasaan serta bertujuan prostitusi, pornografi, kekerasan atau eksploitasi, kerja paksa, perbudakan atau praktik praktik serupa. Jika salah satu cara tersebut di atas terpenuhi, maka terjadi perdagangan orang yang termasuk sebagai kejahatan yang melanggar hak asai manusia.
            Asas yang berlaku dalam hukum pidana adalah tidak ada pidana tanpa ketentuan yang mendahuluinya.[10] Seseorang hanya dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana apabila orang tersebut melakukan perbuatan yang telah dirumuskan dalam ketentuan undang undang sebagai tindak pidana. Tidak terpenuhinya salah satu unsur pidana tersebut mambawa konsekuensi dakwaan atas tindak pidana tersebut tidak terbukti.
            Tindak pidana digambarkan oleh Utrecht sebagai peristiwa pidana mempunyai unsur unsur adalah sebagai berikut.[11]
1.      Suatu ketentuan yang bertentangan dengan hukum.
2.      Suatu kelakuan yang diadakan karena pelanggar bersalah.
3.      Suatu kelakuan yang dapat dihukum.
Unsur unsur tindak pidana di atas dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu[12]unsur objektif yang terdapat di luar pelaku yang berupa perbuatan yang dilarang dan diancam undang undang, akibat, keadaan atau masalah masalah tertentu yang dilarang dan diancam oleh undang undang. Unsur subjektif, yaitu unsur unsur yang terdapat dalam diri pelaku yang berupa hal yang dapat dipertanggungjawabkan dan kesalahan.
Didalam peraturan perundang undangan pidana peran dan kedudukan korban belum jelas dirumuskan, sehingga kurangnya perhatian terhadap korban. Sehubungan dengan korban kejahatan perdagangan orang, di mana kebanyakan korban perdagangan orang adalah anak dan perempuan yang merupakan tunas, potensi, dan kelompok strategis bagi keberlanjutan bangsa di masa depan, maka perlu diperhatikan. Korban kejahatan yang merasa kurang mendapat perhatian atau kurang mendapat perlindungan hukum hanya salah satu segi saja. Perlindungan hukum berkaitan dengan hak hak korban dan perlindungan yang diberikan bersifat reaktif. Ada beberapa bentukperlindungan, yaitu restitusi, kompensasi, rehabilitasi, dan reinteg-rasi.[13]
B.     Faktor Faktor Terjadinya Perdagangan Orang di Indonesia
a.       Faktor ekonomi
Faktor ekonomi menjadi penyebab terjadinya perdagangan manusia yang dilatarbelekangi kemiskinan dan lapangan kerja yang tidak ada atau tidak memadai dengan besarnya jumlah penduduk, sehingga kedua hal inilah yang menyebabkan seseorang untuk melakukan sesuatu, yaitu mencari pekerjaan meskipun harus keluar dari daerah asalnya dengan risiko yang tidak sedikit Menurut Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2004, bahwa jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 37,7 juta jiwa termasuk 13,2 juta di daerah perkotaan dari 213 juta pendudukan Indonesia pada saat ini hidup di bawah garis kemiskinan yang diterapkan oleh pemerintah, dengan penghasilan kurang dari Rp9.000,00 per hari dan pengangguran di Indonesia pun semakin meningkat jumlah perharinya.[14]
b.      Faktor ekologis
Penduduk Indonesia amat besar jumlahnya, yaitu 238 juta jiwa (sensus 2010), dan secara geografis, Indonesia terdiri atas 17.000 pulau dan 33 provinsi. Letak Indonesia amat strategis sebagai negara asal maupun transit dalam perkembangan orang, karena memiliki banyak pelabuhan udara dan pelabuhan kapal laut serta letakmya berbatasan dengan negara lain, terutama di perbatasan darat seperti Kalimantan Barat dan dengan Sabah, Australia di bagian selatan, Timor Leste di bagian timut, dan Irian Jaya dengan Papua Nugini.[15]
Misalnya di Pulau Jawa, yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kepadatan penduduk di Jawa Tengah adalah 959 jiwa pada tahun 2000, dan Jawa Tengah merupakan daerah pengirim untuk perdagangan domestik dan Internasional. Perdagangan internasional perempuan dan anak dengan tujuan kerja seks dan perhambaan dalam rumah tangga. Begitu juga dengan Jawa Timur dengan ibu kota provinsi Surabaya yang merupakan daerah pengirim, penerima, dan transit bagi perdagangan, baik domestik maupun internasional dan sebagai salah satu daerah pengirim buruh imigran terbesar di Indonesia, khsusnya buruh migran perempuan, hal ini peluang terjadinya perdagangan orang.[16]
c.       Faktor sosial budaya
Secara geografis, Indonesia terdiri atas 17.000 pulau dan 33 provinsi. Bahasa Indonesia adalah bahas resmi, lebih dari 400 bahasa berbeda digunakan di Indonesia. Keragaman budaya dimanifestasikan dalam banyak macam suku bangsa, tradisi, dan pola pemukiman yang kemudian menghasilkan keragaman gugus budaya dan sosial. Secara keseluruhan, pola keturunan paling umum di Indonesia adalah pola bilateral, dengan patrilineal sebagai pola keturunan kedua paling lazim, tetapi ada banyak variasi.[17]
Menurut Irwanto, Farid, dan Anwar bahwa adanya kepercayaan dalam masyarakat bahwa berhubungan seks dengan anak anak secara homoseksual ataupun heteroseksual akan maningkatkan kakuatan magis seseorang (misalnya di Ponorogo), atau adanya kepercayaan bahwa berhubungan seks dengan anak anak mambuat awet muda, telah membuat masyarakat melegitimasi kekerasan seksual dan bahkan memperkuatnya.[18]
Adapun menurut Sutherland dalam Hendorojono bahwa perilaku kriminal merupakan perilaku yang dipelajari di dalam lingkungan sosial. Semua tingkah laku dipelajari dengan berbagai cara. Dengan kata laintingkah laku kejahatan yang dipelajari dalam kelompok melalui interaksi dan komunikasi. Ini disebut dengan teori asosiasi diferensial.[19]
Munculnya teori di atas didasarkan pada 3 hal, yaitu:
1.      Setiap orang akan menerima dan mengikuti pola pola perilaku yang dapat dilaksanakan;
2.      Kegagalan untuk mengikuti pola tingkah laku menimbulkan inkonsistensi dan ketidakharmonisan;
3.      Konflik budaya merupakan prinsip dasar dalam menjelaskan kejahatan.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa menurut teori asosiasi diferensial, tingkah laku jahat dipelajari dalam kelompok melalui interaksi dan komunikasi, yang dipelajari dalam kelompok kelompok tersebut adalah teknik untuk melakukan kejahatan dan dengan alasan nilai ataupun motif yang mendukung perbuatan jahat tersebut. Sebagaimana yang telah diungkapkan di atas bahwasanya teori tentang asosiasi diferensial, merupakan salah satu faktor peyebab terjadinya kejahatan. Dari apa yang telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa kaitan teori ini dengan perdagangan orang tidak terlepas penyebab terjadinya melalui interaksi dan komunikasi baik dengan orang atau melalui interaksi langsung meupun melalui media, sehingga seseorang berusaha untuk memenuhi dorongan melalui jalan pintas. Hal ini berkembang dan juga hidup di tengah tengah masyarakat dengan bentuk bentuk perdagangan orang yang beraneka ragam.[20]
d.      Ketidakadaan kesetaraan gender
Nilai sosial budaya petriarki yang masih kuat ini menempatkan laki laki dan perempuan pada kedudukan dan peran yang berbeda dan tidak setara. Hal ini ditandai dengan adanya pembakuan peran, yaitu sebagai istri, sebagai ibu, pengelola rumah tangga, dan pendidikan anak anak di rumah, serta pencari nafkah tambahan dan jenis pekerjaannya pun serupa dengan tugas di dalam rumah tangga, misalnya menjadi pembantu rumah tangga dan mengasuh anak. Selain peran perempuan tersebut, perempuan juga mempunyai beban ganda, subordinasi, marjinalisasi, dan kekerasan terhadap perempuan, yang kesemuanya itu berawal dari diskriminasi terhadap perempuan yang menyebabkan mereka tidak atau kurang memiliki akses, kesempatan dan kontrol atas pembangunan, serta tidak atau kurang memperoleh manfaat pembangunan yang adil dan setara dengan laki laki. Oleh sebab itu, disinyalir bahwa faktor sosial budaya yang merupakan penyebab terjadinya kesenjangan gender.[21]
Dari banyak penelitian penelitian bahwa banyak perempuan yang menjadi korban, hal ini karena dalam masyarakat terjadi perkawinan usia muda yang dijadikan cara untuk keluar dari kemiskinan. Dalam keluarga seorang anak perempuan seringkali menjadi beban ekonomi keluarga, sehingga dikawinkan pada usia muda. Mengawinkan anak dalam usia muda telah mendorong anak memasuki eksploitasi seksual komersial, karena yang pertama, tingkat kegagalan pernikahan semacam ini sangat tinggi, sehingga terjadi perceraian dan rentan terhadap perdagangan orang. Setelah bercerai harus menghidupi diri sendiri walaupun mereka masih anak anak. Pendidikan rendah karena setelah menikah mereka berhenti sekolah dan rendahnya keterampilan mengakibatkan tidak banyak pilihan yang tersedia dan dari segi mental, ekonomi atau sosial tidak siap untuk hidup mandiri, sehingga cenderung memasuki dunia pelacuran sebagai salah satu cara yang paling potensial untuk mempertahankan hidup. Kedua, pernikahan dini seringkali mengakibatkan ketidaksiapan anak menjadi orang tua, sehingga anak yang dilahirkan rentan untuk tidak mendapat perlindungan dan seringkali berakhir pula dengan masuknya anak kedalam dunia eksploitasi seksual komersial. Ketiga, adanya ketidak setaraan relasi antara laki laki dan perempuan yang membuat perempuan terpojok dan terjebak pada persoalan perdagangan orang. Ini terjadi pada perempuan yang mengalami perkosaan dan biasanya sikap atau respon masyarakat umumnya tidak berpihak pada mereka. Perlakuan masyarakat itu yang mendorong perempuan memasuki dunia eksploitasi seksual komersial. Sebenarnya, keberadaan perempuan di dunia eksploitasi seksual komersial lebih banyak bukan karena kemauan sendiri, tetapi kondisi lingkungan sosial budaya di mana perempuan itu berasal sangat kuat mempengaruhi mereka terjun ke dunia eksploitasi sosial terutama untuk dikirim ke kota kota besar.[22]
e.       Faktor penegakan hukum
Inti dari arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan nilai nilai yang terjabarkan di dalam kaidah kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.[23]
Kaidah kaidah tersebut menjadi pedoman bagi perilaku atau sikap tindak yang diangap pantas atau yang seharusnya. Perilaku atau sikap tindak tersebut bertujuan untuk menciptakan, memelihara, dan memepertahankan kedamaian. Dapat juga dikatakan bahwa penegakan hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerja hukum dalam mengatur dan memaksa masyarakat karena ketidak serasian antara nilai, kaidah, dan pola perilaku. Oleh karena itu, permasalahan dalam penegakan hukum terletak pada faktor faktor yang mempengaruhi hukum itu sendiri.[24]Faktor faktor yang mempengaruhi faktor penegakan hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat, dan faktor kebudayaan.[25]






C.    Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia[26]
Membahas pengaturan tindak pidana perdagangan orang, dapat dimulai dari konsep hukum alam. Hukum alam adalah hukum yang berakar pada batin manusia, atau masyarakat, dan hukum alam itu terlepas dari konvensi, perundang undangan, atau lain lain alat kelembagaan.[27] Hukum alam pada mulanya berasal dari konsep Yunani kuno, yaitu setiap gerak alam semesta diatur oleh hukum abadi yang tidak pernah berubah ubah. Perbedaan yang terjadi tentang ukuran adil selalu terkai dengan sudut pandang pendekatannya, adil menurut hukum alam atau adil menurut hukum kebiasaan. Aliran ini disebut Stoa/Stoica yang disampaikan oleh Zeno (336-264 SM). Zeno memberikan gambaran yang cukup luas tentang hukum alam yang bersifat universal. Akal merupakan pusat kendali untuk mengungkap dan menguasai segala hal, termasuk hukum alam.[28]
Menurut sejarah, asal mula munculnya perkembangan hukum hak asasi manusia diawali di Eropa Barat khususnya Inggris pada tahun 1215 dengan lahirnya Magna Charta yang mengatur mengenai pembatasan kewenangan raja dalam perbuatan perbuatan tertentu harus mendapat persetujuan dari kaum bangsawan. Magna Charta berisi 63 pasal. Latar belakang lahirnya Magna Charta adalah akibat kesewenang wenangan Raja John yang memicu pemberontakan kaum bangsawan yang memaksanya mengakui hak hak kebangsaan dari rakyat Inggris.[29]

Setelah lebih dari empat abad, tepatnya tahun 1628 muncul Petition on Right yang merupakan petarungan antara parlemen Raja Charles 1 yang hendak menghapuskan parlemen di Inggris, dan kemudian pada tahun 1679 muncul reaksi terhadap kesewenang wenangan Militer Inggris yang melakukan penagkapan warga, rakyat Inggris melakukan penekanan terhadap parlemen Inggris untuk mengumumkan suatu dokumen yang dinamakan Habeas Corpus. Dokumen Habeas Corpus memberi inspirasi bagi Amerika untuk menulis konstitusinya.[30] Setelah Dokumen Habeas Corpus di Inggris pada tahun 1689 muncullah Bill of Rights, yang merupakan perundang undangan modern Inggris dan kemudian mempengaruhi beberapa konstitusi modern di beberapa negara dunia, diantaranya ke Amerika dan Prancis.
Pada tahun 1791 di Amerika, lahirlah Bill of Rights, dimana lahirnya undang undang dan piagam yang berbicara tentang hak hak dasar manusia. Hak kodrat manusia itu merupakan hak yang setara pada manusia yang merupakan hak kodrati ciptaan Sang Pencipta (Tuhan), seperti hak hidup, hak kemerdekaan, hak untuk mendapatkan kebahagiaan dan hak hak lainnya. Setelah itu, organisasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1948 mencetuskan Universal Deklaration of Human Rights.[31]
Beberapa peraturan hukum tersebut semuanya bertujuan untuk melindungi HAM. Hal yang lebih spesifik adalah usaha untuk menghapuskan praktek perdagangan orang melalui instrumen internasional. Usaha penghapusan praktek perdagangan tersebut ditandai dengan diselenggarakannya beberapa konvensi internasional dan konvensi mengenai perdagangan orang pertama kali, yaitu konvensi mengenai perdagangan wanita Trafficking in women yang diadakan di Paris tahun 1895. Sembilan tahun kemudian, pada tahun 1904, di kota yang sama, 16 negara kembali mengadakan pertemuan yang menghasilkan kesepakatan internasional pertama menentang perdagangan “budak berkulit putih” yang dikenal dengan istilah International Agreement the Supression of White Slave Traffic.[32]
Secara filosofis, hak adalah kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu. Jadi, hak merupakan pernyataan pernyataan tentang kebutuhan dasar dan keinginan dasar. Sedangkan, pengertian Hak Asasi Manusia menurut pandangan Utilitarian yang merupakan ajaran bahwa tujuan dari segala tindakan manusia adalah kebahagiaan. Kebahagiaan ini merupakan ukuran yang membedakan tindakan yang baik dan buruk. Mazhab Utilitarian yang terkenal di Inggris dipelopori oleh tiga orang filsuf, yaitu Jeremy Bentham, John Struart Mill dan Thomas Hobbes. Menurut Jeremy Bentham,  tujuan hukum adalah kebahagiaan. Kebahagiaan yang sebesar besarnya ditujukan sebanyak mungkin orang.[33]








D.    Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Perdagangan Orang di Indonesia
Perdagangan manusia merupakan fenomena regional dan global yang tidak selalu dapat ditangani secara efektif pada tingka nasional. Sebuah respon nasional sering berakibat para pelaku perdagangan manusia berpindah operasi ke tempat lain. Kerjasama internasional baik multilateral maupun bilateral sangat berperan penting dalam memberantas perdagangan orang. Kerjasama seperti ini dapat mengupas secara krisis antara negara yang terlibat pada tahap tahap yang berbeda dalam lingkaran perdagangan manusia.[34]
Dalam kerjasama antar negara dalam memberantas kejahatan perdagangan orang, PBB mengeluarkan pedoman bahwa Negara dan antarlembaga pemerintah dan organisasi nonpemerintah untuk selalu mempertimbangkan beberapa hal yang tercantum dalam suatu Prinsip Prinsip dan Pedoman Pedoman yang Direkomendasikan Mengenai HAM PBB kepada dewan Ekonomi dan Sosial PBB.[35]
Dengan demikian, tindak pidana perdagangan orang yang merupakan kejahatan transnasional tidak dapat ditanggulangi secara parsial atau secara sendiri sendiri oleh masing masing negara. Negera negara yang tidak setuju perbudakan dan melindingi warga negaranya harus bersatu padu bekerja sama menanggulangi dan mencegah agar tidak terjadi perdagangan orang. Kerjasama antar pemerintah, antar LSM, antarorganisasi mesyarakat dan perorangan dalam dan juga luar negeri harus dibina dan dikembangkan, sehingga terbentuk kakuatan yang dapat menanggulangi dan memberantas serta mencegah tindak pidana perdagangan orang yang terorganisir tersebut.[36]
Dalam rangka menanggulangi perdagangan orang di Asia diadakan kampanye regional yang merupakan bagian dari kampanye internasional disebut Asia Againts Child Trafficking (Asia ACT) yang dipimpin oleh Terre des Hommes, Jerman dan Federasi Internasional Terre des Hommes. Asia ACT mendesak pemerintah atau pejabat yang berwenang untuk segera mengimplementasikan standar standar hak asasi manusia bagi anak yang diperdagangkan dengan cara: membuat aturan nasional dan mengesahkan atau meratifikasi instrumen instrumen internasional, dan juga menciptakan mekanisme regional untuk perlindungan dan rehabilitasi untuk anak,  menginisiasikan dan mengimplementasikan kerjasama bilateral dan internasional dalam upaya menulusuri , repatriasi dan rehabilitasi para korban korban perdagangan, mengimplementasi tindakan tindakan atau ukuran ukuran pencegahan misalnya pengurangan kemiskinan, kampanye kesadaran komunitas, melaksanakan secara nasional juga melaksanakan secara nasional maupun internasional tindakan polisi untuk menuntut para pelanggar.[37]
Pada tanggal 29-30 Maret 2004 diadakan Konferensi tentang Perdagangan Anak untuk tujuan seksual di Asia Tenggara yang diselenggarakan di Medan, peserta konferensi ini berasal dari Laos, Kamboja, Indonesia, Malaysia, Mongolia, Myanmar, Philipina, Taiwan, Thailand, Timor Leste, Vietnam dan peserta ahli dari India dan Nepal. Peserta tersebut menyadari bahwa perdagangan anak untuk dijadikan pekerja seks merupakan masalah yang serius. Dalam kerangka kerja Asia Timur dan Komitmen dan Rencana Aksi Melawan Komersialisasi Eksploitasi Seksual pada Anak di Regional Pasifik diadopsi pada tahun 2001 dan menegakkan Agenda Stockholm untuk Aksi dan Komitmen Global Yokohama, sehingga penting untuk diadakan kerjasama transnasional. Hasil dari konferensi tersebut menghasilkan komitmen untuk Melawan Komersialisasi Eksploitasi Seksual pada Anak.[38]
E.     Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Dalam sejarah politik hukum di Indonesia, sistem hukum Indonesia dipengaruhi oleh sistem hukum kolonial Belanda yang terbiasa dengan hukum tertulis dan terkodifikasi. Corak dan tradisi hukum kolonial dipengaruhi oleh ajaran Positivisme Hukum, yang sampai saat ini masih mempengaruhi sistem hukum Indonesia yang selalu melakukan unifikasi dan kodifikasi hukum, sehingga kepastian hukum lebih terjamin karena putusan hukum bersumber dari peraturan peraturan yang tertulis yang bekerja secara mekanik, deterministik, dan terpisahkan dari hal hal diluar hukum. Menurut Satjipto Rahardjo, sistem hukum warisan kolonial Belanda bersifat feodal dan liberal karena bersifat mengatur dan membetasi hak hak yang ada pada masyarakat, dan cenderung diskriminatif, padahal kondisi masyarakat Indonesia pluralisme.[39] Hukum sudah menjadi refleksi sejak dahulu kala, maka kegiatan berfikir tentang hukum tidak dapat bertolak dari titik nol. Artinya, pemikiran tentang hukum merupakan kelanjutan pemikiran hukum pada jaman dulu. Dalam lintas sejarah, pikiran pikiran tersebut berubah sesuai dengan perkembangan kebudayaan dan semangat zaman.[40]
Demikian juga dengan Indonesia yang melakukan upaya pembaharuan sistem hukum sudah dimulai sejak lahirnya UUD 1945, yang merupakan landasan, dasar dan tujuan yang ingin dicapai oleh bangsa Indonesia yaitu kesejahteraan masyarakat. Pembaharuan yang dilakukan sebaiknya tidak terlepas dari nilai nilai sosial dan budaya masyarakat, sehingga sesuai dengan jiwa bangsa. Selain itu, dalam pembaharuan dan pembangunan hukum harus berorientasi pada nilai nilai, baik nilai nilai kemanusiaan, maupun nilai nilai identitas suatu budaya, nilai nilai moral, dan agama yang hidup dalam masyarakat. Karena itu, pendekatan yang dilakukan dalam pembaharuan hukum harus didasarkan pada pendekatan humanis, kultural, religius, yang rasional dan berorientasi pada kebijakan. Oleh karena itu kebijakan hukum bukan hanya sekedar produk hukum yang merupakan produk politik, melainkan harus menghasilkan undang undang yang dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat.[41]
Hubungan hukum dengan pembangunan sangatlah imperatif, karena hukum dapat membantu mengantarkan masyarakat kearah pembangunan serta menampung akibat akibat yang timbul dari suatu pembangunan, pembangunan selalu berhubungan dengan perubahan sosial, sehingga peranan hukum tidak hanya mengatur, melainkan lebih luas lagi sebagai pemenuhan segala macam kebutuhan dan juga tuntutan yang timbul dalam masyarakat. Dalam memenuhi kebutuhan itu, tidak jarang terjadi konflik, oleh karena itu peranan hukum dalam pembangunan adalah sebagai penunjang karena melibatkan berbagai kegiatan. Menurut Sunaryati Hartono,hukum berperan sebagai sarana untuk mencegah konflik atau apabila konflik itu sudah terjadi, maka hukum berperan sebagai sarana untuk menyelesaikan atau mengatasi konflik dengan cara damai dan tertib.[42]
Perubahan perubahan di dalam masyarakat dapat mengenai sistem nilai nilai, norma norma, pola pola perilaku, organisasi, susunan lembaga lembaga sosial, stratifikasi, kekuasaan, interaksi sosial dan sebagainya.[43] Oleh karena itu, perubahan sosial masyarakat sangat dipengaruhi oleh faktor faktor tersebut diatas. Mengatasi perubahan masyarakat sebagai konsekuensi dari pembangunan, dapat dilakukan melalui perubahan nilai yang diwujudkan dalam peraturan hukum. Pembaharuan hukum dengan menggunakan sarana hukum sesuai dengan konsep dari Roscoe Pound dalam bukunya yakni An Introduction to the Philosophy of law yang terkenal dengan konsep law is a tool of sosial engineering yang merupakan inti pemikiran dari aliran Pragmatic Legal Realism.[44]
Menurut Mochtar Kusumaatmadja,  pembaharuanhukum akan dapat dilakukan melalui sarana yang berupa suatu undang undang, yurisprudensi, atau undang undang dan yurisprudensi sekaligus. Hal ini berarti dapat dilakukan dengan pembaharuan sistem hukum, yaitu melalui proses legitimasi yang dilakukan oleh pembuat undang undang dan hakim.[45]
Teori Hukum Pembangunan Mochtar Kusumaatmadja adalah teori hukum yang mentransformasi konsep pembangunan hukum dari Amerika yang difokuskan pada kelembagaanya, bentuk hukumnya, prosedur, dan peradilannya. Menurut Sunaryati Hartono,  harusnya pembangunan sistem hukum dimulai dari budaya hukum nasional yang akan mempengaruhi kakuatan dan efektifitas berlakunya dan ditetapkannya berbagai kaidah hukum nasional. Namun menurutnya, keadaan Indonesia dewasa ini sangat memprihatinkan karena orang Indonesia pada abad ke-21 ini cenderung egoisme dan individualisme yang disebabkan oleh perubahan teknologi, materi, dan kehidupan sosial yang lebih maju dan terbuka akibat kecepatan komunikasi antar bangsa secara global, tanpa terasa juga menimbulkan pergeseran dari identitas nasional ke identitas internasional di satu pihak (masyarakat tradisional). Inilah ciri bahwa masyarakat sedang mengalami krisis, terutama krisis moral yang ditandai dengan dekadensi moral, dan juga kecenderungan otoritarianisme, dan pemiskinan spiritual. Krisis ini berdampak pada kehidupan kemasyarakatan yang pada akhirnya dapat berimbas pada krisis hukum, krisis kepercayaan, dan juga krisis legitimasi kekuasaan dan pada akhirnya krisis ekonomi.[46]
Keadaan ini dapat menimbulkan berbagai macam masalah dalam kehidupan dan bermasyarakat. Masalah dalam kehidupan bermasyarakat dapat bermacam ragam dan bentuknya, diantaranya keluarga dengan ekonomi yang sangat lemah dan kemiskinan, keadaan atau kondisi keluarga dengan pendidikan yang sangat rendah, keterbatasan kesempatan kerja, gaya hidup konsumtif, kesenjangan sosial, pertambahan penduduk yang tidak merata, keadilan sosial, kerusakan ekologi, penyalah gunaan wewenang dan kekuasaan, bahkan sampai pelanggaran hak asasi manusia, merupakan faktor yang melemahkan ketahanan keluarga dan masyarakat. Sementara itu, nilai nilai sosial budaya memperlakukan anak sekolah merupakan hak milik yang dapat diperlakukan sekehendak orang tuanya, ketidak adilan gender, atau posisi perempauan yang dianggap lebih rendah, masih tumbuh di tengah kehidupan masyarakat.[47]
Pemahaman masyarakat terhadap tindak pidana perdagangan orang berhubungan dengan sikap kesadaran hukum mengenai betapa pentingnya aturan yang berupa hukum positif, dan berhubungan pula dengan tingkat kesadaran hukum. Karena itu, pemahaman terhadap hukum tidak hanya pada lingkup pengertian pemberlakuan perundang undangan saja, tetapi lebih pada tataran implementasi, sehingga dapat dipahami tindak pidana perdagangan orang tidak hanya pada tatarann konsep, tetapi lebih diutamakan pada tataran implementasi yang berhubungan dengan kesadaran hukum. Jika peraturan sudah dirasa sebagai kebutuhan, maka akan terjadi perasaan hukum, sehingga suatu peraturan hukum akan dapat berlaku sesuai kebutuhan dan bukanlah karena keterpaksaan. Dengan demikian, tujuan hukum dan penegakan hukum akan berjalan sesuai dengan supremasi hukum. Namun hukum tidak boleh merugikan kepentingan individu.[48]
Dewasa ini, dalam pembaharuan hukum, Indonesia berhasil melahirkan peraturan peraturan tentang hukum hak asasi manusia dan meratifikasi beberapa konvensi internasional, khususnya perdagangan orang yang merupakan pelanggaran harkat martabat manusia dan perbudakan, tetapi beberapa aturan hukum tersebut ternyata tidak membuat jera para pelaku untuk berhenti melakukan perdagangan orang, bahkan akhir akhir ini perbuatan tersebut cenderung menigkat. Perdagangan orang dianggap sama dengan perbudakan, yang berarti sebagai suatu kondisi seseorang yang berada di bawah kepemilikan orang lain.[49] Perbudakan adalah tindakan menempatkan seseorang dalam kekuasaan orang lain, sehingga orang tersebut tidak mampu menolak suatu pekerjaan yang secara melawan hukum diperintahkan oleh orang lain kepadanya, walaupun orang tersebut tidak menghend- akinya. Tindak pidana perdagangan orang juga dikatakan sebagai bentuk modern dari perbudakan manusia, yang merupakan perbuatan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Atas dasar itu, masalah tindak pidana perdagangan orang menjadi perhatian serius dari beberapa negara termasuk pemerintah Indonesia. Alasan alasan tersebut di atas, dilandasi nilai-nilai luhur dan komitmen nasional dan internasional untuk melakukan pencegahan dan penaggulangan sejak dini, dengan penindakan terhadap pelaku dan perlindungan terhadap korban, diperlukan adanya kerjasama nasional, regional dan universal, serta yang terpenting adalah kebijakan hukum.[50]

Kebijakan hukum perlu dilakukan khususnya dalam masalah penaggulangan dan penegakan hukum terhadap tindak pidana yang berupa perdagangan orang, agar hukum dapat berjalan secara efektif dan sesuai dengan harapan.Menurut Mochtar Kusumaatmadja,  suatu hukum tanpa kekuasaan adalah angan angan,sedangkan kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman.[51]
Menanggulangi perdagangan orang melalui produk hukum berupa undang undang, pada dasarnya merupakan salah satu wujud dari kebijakan penanggulangan kejahatan atau bagian dari politik atau kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal menurut Soedarto memiliki tiga pengertiaan, yaitu:
1.      Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang akan menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana.
2.      Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan juga polisi.
3.      Dalam arti paling luas, keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang undangan dan badan badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma norma sentral dari suatu masyarakat.[52]
Dari ketiga pengertian tersebut diatas,  Sudarto memberikan pengerian singkat tentang politik kriminal,yaitu suatu usaha yang rational dari masyarakat dalam menaggulangi kejahatan.[53]
Sarana penal policy (politik hukum pidana) menurut  Marc Ancel  dalam Modern  Criminal Science adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungk-inkan peraturan hukum positif dirumuskan secara baik dan untuk memberi pedoman, tidak hanya kepada pembuat undang undang saja, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang undang, juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.[54]
Sedangkan dalam pengertian praktis, politik hukum pidana merupakan segala usaha yang rasional dari masyarakat untuk meng-atasi kejahatan. Usaha ini meliputi pembentukan undang undang dan aktifitas aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan pengawas lapas/pelaksana eksekusi), sesuai dengan tugas dan fungsinya masing masing. Pada akhirnya politik hukum pidana tidak dapat bekerja sendiri, karena berhubungan dengan penegakan hukum baik hukum perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi.[55]
Hal tersebut di atas merupakan bagian dari kebijakan sosial, yaitu merupakan usaha nasional dari masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Usaha penaggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum. Oleh karena itu politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan dari penegakan hukum. Hal ini didasarkan pada sistem peradilan pidana yang terdiri dari sub sistem penyidikan, sub sistem penuntutan, sub sistem peradilan, dan sub sistem pemasyarakatan.[56]
Menurut Dwidja Priyatno,  pelaksanaan politik kriminal dapat dilakukan dengan cara pemberian pidana atau pemidanaan yang juga merupakan bagan dari penderitaan,  tetapi tidak merupakan keharusan aau kebutuhan,  karena pemidanaan dapat dilaksanakan tanpa adanya penderitaan. Atas dasat itu, harus dibedakan antara:
a.       Penderitaan yang sengaja dituju oleh pemberi pidana;
b.      Penderitaan yang oleh sipemberi pidana dipertimbangkan tidak dapat dihindari; dan
c.       Penderitaan yang tidak sengaja dituju.[57]
Atas dasar itu, setiap perubahan masyarakat yang tidak diikuti oleh perkembangan hukum akan mubazir, terutama dalam proses pen-egakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan keinginan hukum menjadi kenyataan. Adapun yang dimaksud dengan keinginan keinginan hukum adalah pikiran pikiran badan pembuat undang undang yang dirumuskan dalam peraturan peraturan hukum itu. Proses penegakan hukum menjangkau pula proses pembuatannya yang merupakan perumusan pikiran yang dituangkan dalam peraturan hukum. Hal tersebut turut menentukan bagaimana pelaksanaan pene-gakan hukum. Oleh karena itu, penegakan hukum sebenarnya dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan dibuat.[58]
Atas dasar itu,  Muladi kemudian menyebutkan adanya suatu hubungan antara penegakan hukum dengan politik kriminal, dan juga politik sosial, atau penegakan hukum pidana merupakan bagian dari penaggulangan kejahatan (politik kriminal).[59] Untuk itu, proses pene-gakan hukum terhadap perdagangan orang, tidak hanya berpegang pada ketentuan ketentuan hukum, tetapi harus dihubungkan dengan lingkungan sosial masyarakat. Bekerjanya hukum dalam masyarakat tidak hanya ditekankan pada peraturan yang berlaku saja, tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial masyarakatnya. Demikian halnya dengan penanggulangan dan penegakan hukum terhadap perdagangan orang, tidak hanya cukup dengan pembuatan peraturan hukum yang melarang saja, tetapi perlu peran serta masyarakat dan pemerintah.[60]
Sekalipun perdagangan orang sudah diatur dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007, dan diancam dengan sanksi pidana, tetapi dalam pelaksanaanya perbuatan ini masih banyak dilakukan, bahkan dijadikan mata pencaharian atau sumber nafkah kehidupan keluarga. Dilihat dari efektifitasnya, ternyata peraturan ini tidak efektif. Penye-babnya tentu berbagai macam alasan, dapat disebabkan faktor faktor ekonomi, faktor pendidikan, faktor lingkungan, dan faktor lainnya, sehingga proses penegakan hukum yang tidak efektif atau ketidakper-cayaan masyarakat terhadap institusi hukum, karena menganggap tidak akan mendapat keadilan. Perdagangan orang sendiri juga banyak melibatkan jaringan kerja sindikat yang sulit diketahui. Dalam hal ini, ada orang orang yang merekrut, sehingga harus diketahui kantung kantung di mana banyak terjadi kasus perdagangan orang. Kerjasama dengan departemen atau instansi tertentu dan yang harus ditingkatkan adalah dengan lembaga lembaga yang bergerak dalam pemberdayaan perempuan di daerah. Sebetulya, banyak pihak yang jika gagasan ini sudah dilakukan, maka dapat dilakukannya secara sendiri sendiri. Gagasan perdagangan orang harus disebarluaskan dan disosialisasi-kan dengan lebih menekankan pada meningkatkan peranan berbagai pihak.[61]
Selain hal-hal tersebut di atas, yang tidak kalah penting dalam penanggulangan perdagangan orang, perlu dibentuk gugus tugas dan keterlibatan masyarakat. Tugasnya dibagi menjadi beberapa sub gu-gus tugas, yaitu penegakan hukum, pencegahan, perlindungan korban termasuk rehabilitasi kesehatan dan rehabilitasi sosial. Masing masing gugus tugas dikoordinasikan oleh sektor terkait yang secara fungsi-onal mempunyai urusan dengan gugus tugasnya masing masing. Ada pun peran serta masyarakat adalah harus lebih menyadari bahwa per-dagangan orang itu sudah di depan mata.[62]
Pelanggaran HAM yang berupa perbudakan, umumnya berupa perampasan kebebasan dari seseorang yang dilakukan oleh kelompok ekonomi kuat kepada kelompok ekonomi lemah. Korban umumnya datang dari kelompok miskin, dengan pendidikan rendah, budaya hukumdan tingkat kesadaran hukum masyarakat yang relatif kurang. Keadaan ini akan mendukung para traffickeruntuk melakukan eksploitasi dan perekrutan para korban melalui legitimasi kekuasaan, sosial dan politk. Untuk menangani masalah ini, diperlukan aturan hukum yang berfungsi untuk menyelesaikan konflik konflik yang timbul dalam masyarakat, karena itu sifatnya harus komperhensif dan integral, aparat penegak hukum yang tegas dan berwibawa, serta pembuat kebijakan baik tataran perundangan maupun keputusan hukum dari hakim harus dapat bekerja sasuai dengan tujuan hukum, yaitu mencapai keadilan dan kesejahteraan masyarakat.[63]
Atas dasar yang jelas maka, pencegahan perdagangan orang dalam perspektif hukum HAM harus dilakukan secara komperhensif dan integral yang dapat dilakukan melalui tataran kebijakan hukum pidana dengan cara legislasi, eksekusi, dan yudikasi, yaitu melalui berbagai cara, diantaranya:
1.      Memperluas pengaturan HAM dalam hukum dasar negara (UUD);
2.      Dibentuk peraturan perundang undangan yang khusus mengatur HAM;
3.      Diakui dan diratifikasi perjanjian internasional mengenai HAM kedalam sistem hukum nasional;
4.      Adanya komitmen politik di dalam negeri melalui Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM), maupun keterlibatan pemerintah Indonesia di tingkat ASEAN dan Internasional.[64]

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Perdagangan orang merupakan suatu fenomena yang sering kita jumpai di Indonesia, beranjak dari sejarah kelam perdagangan orang di masa lampau setidaknya kita bisa mengerti dan paham akan bahaya dari perdagangan orang tersebut. Banyak faktor yang menjadi sebab terjadinya perdagangan orang mulai dari faktor ekonomi, faktor ekologis, faktor sosial budaya, ketidak setaraan gender, juga faktor penegakan hukum. Setiap manusia yang lahir di dunia ini memiliki hak asasi manusia yang melekat sejak ia lahir sebagai anugerah dari Tuhan yang Maha Esa yang wajib dilindungi, dijaga, dan dijunjung tinggi oleh setiap manusia. Perdagangan orang merupakan suatu tindak kejahatan yang merampas hak seseorang, maka perlu adanya tindakan dari para penegak hukum untuk mencegah dan memerantas perdagangan orang mulai dari daerah daerah dengan cara membentuk lembaga yang menaungi dan melindungi setiap perempuan dan juga anak anak. Disamping itu perlu juga adanya peraturan perundang undangan yang mengadopsi dari berbagai perjanjian internasional yang telah Indonesia sepakati dengan beberapa negara dalam upaya penegakan hukum. Pada akhirnya semua komponen harus terlibat dalam upaya penegakan hukum terhadap pelaku perdagangan orang di Indonesia, mulai dari aparat penegak hukum, peraturan perundang undangan yang mengikat dan bisa diimplelentasika dengan baik, juga kesadaran masyarakat akan pentingnya perlindungan terhadap korban perdagangan orang.
B.     Saran
Saya selaku penulis mohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan, maka diperlukan kritik dan juga saran yang membangun demi perbaikan kedepan.
DAFTAR PUSTAKA
Kuntjoro, Memahami Pekerja Seks sebagai Korban Penyakit Sosial, Jurnal Perempuan No. 36, 2004, Yayasan Jurnal Perempuan, cetakan pertama, Jakarta, Juli 2004.

Indonesia, Undang Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia, (LN Tahun 2000 No. 208, TLN No. 4026)

Farhana. 2010. Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia.Jakarta: Sinar Grafika.

Moeljalno. 2003. Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

Darmodiharjo,Dardji.1978. Orientasi Singkat Pancasila. Jakarta: Gita Karya.

Baker,Anton dan Pudjiarto, St. Harum. RS.1999. Hak asasi Manusia Kajian Filosofis dan Implementasinya dalam Hukum Pidana di Indonesia.Yogyakarta: Universitas Atmajaya.

Moeliono, M.AntonEd. 1994.Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Hamzah,Andi. 2005. Asas Asas Hukum Pidana, Cetakan 1. Jakarta: Yarsif Watempone.

Utrecht,E. 1986. Hukum Pidana 1.Surabaya: Pustaka Tinta Mas.

Lamintang, P.A.F. dan Samosir,Djisman.1981. Tindak Pidana Tindak Pidana Khusus Kejahatan yang Ditujukan terhadap Hak Milik dan Lain lain Hak yang Timbul dari Hak Milik. Bandung: Tarsito.

Muladi dan Arief, Barda Nawawi.1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung: Aumni.

Hendrojo. 2005. Kriminologi Pengaruh Perubahan Masyarakat dan Hukum. Cetakan pertama. Surabaya: Srikandi.

Soekanto,Soerjono.2004. Faktor Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Cet. Kelima. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Rasjidi, Lil. Dan Sidharta, Bernard Arief. 1994. Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya.Remaja Rosdakarya: Bandung.

Efendi, A. Masyhur. 1993. Dimensi Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional. Ghalia Indonesia: Bogor.

Yamin, Muhammad. 1952. Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia. Djamban: Jakarta.

Kladen,Marianus.2009. Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Komunal Kajian atas Konsep HAM dalam Teks-teks Adat Lamaholot dan Relevansinya terhadap HAM dalam UUD 1945. Lamalera: Yogyakarta.

Muladi, Ed. 2005. Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat. Bandung: Refika Aditama.

Rianto, Sulistyowati dkk. 2005.Perdagangan Perempuan Dalam Jaringan Pengedaran Narkotika. Jakarta: Yayasan Obor Indoesia.

Bentham,Jeremy.2006. Teori Perundang-undangan Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana (The Theory of Legislation). Tej. Dalam M. Khozin. Nusamedia: Bandung.

Raharjo,Satjipto.2009. Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Genta Publising: Yogyakarta.

Huijbers,Theo. 1995. Filsafat Hukum. Kanisus: Yogyakarta.

Rahardjo,Satjipto. 2009. Membangun dan Merombak Hukum Indonesi Sebuah Pendekatan Lintas Disiplin. Genta Publising: Yogyakarta.

Hartono,Sunaryati. 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Alumni: Bandung.

Soekanto,Soerjiono. 1991. Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial. Citra Aditya Bakti: Bandung.

Rasjidi, Lili dan Rasjidi, Ira Thalia.2007. Dasar Dasar Filsafat dan Teori Hukum. Cet. 10. Citra Aditya Bakti: Bandung.

Sidharta, Bernard Arief. 2009. Revisitasi Pemikiran Prof. Soediman Kartohadirodjo tentang Pancasila Berkaitan dengan Pemgembangan sistem Hukum Nasional. Dies Natalis ke-51 Fakultas Hukum Universitas Katolik. Parahyangan: Bandung,

Kansil, C.S.T dkk. 2009.Tindak Pidana dalam Undang undang Nasional. Jala Permata Aksara: Jakarta.

Kusumaatmadja,Mochtar. 2006. Konsep Konsep Hukum dalam Pembangunan. Cet. 2. Alumni: Bandung.

Seodarto. 1981. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni: Bandung.

Sudarto. 1981. Hukum dan Hukum Pidana.Alumni: Bandung.

Arief, Barda Nawawi. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Cet. 1. Citra Adytia Bakti: Bandung.

Sunarso, Siswanto. 2005.Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia. Citra Adytia Bakti: Bandung.

Priyatno,Dwidja.2005. Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia. Refika Aditama: Bandung.





[1]Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 1.
[2] Kuntjoro, Memahami Pekerja Seks sebagai Korban Penyakit Sosial, Jurnal Perempuan No. 36, 2004, Yayasan Jurnal Perempuan, cetakan pertama, Jakarta, Juli 2004.
[3]Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 3.
[4]Kitab Undang Undang Hukum Pidana, diterjemahkan oleh Moeljalno, cet. 22, (Jakarta:Sinar Grafika, 2003)
[5] Indonesia, Undang Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia, (LN Tahun 2000 No. 208, TLN No. 4026)
[6] Dardji Darmodiharjo, Orientasi Singkat Pancasila, (Jakarta: Gita Karya, 1978), hlm. 68.
[7]Anton Baker, St. Harum Pudjiarto, RS, Hak asasi Manusia Kajian Filosofis dan Implementasinya dalam Hukum Pidana di Indonesia, (Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 1999), hlm. 2.
[8] UUD 1945 Amandemen kedua.
[9] Anton M. Moeliono Ed., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka, Jakarta, 1994), hlm. 156.
[10] Andi Hamzah, Asas Asas Hukum Pidana, Cetakan 1, (Jakarta: Yarsif Watempone, 2005), hlm. 41
[11] E. Utrecht, Hukum Pidana 1, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986), hlm. 252.
[12] P.A.F. Lamintang dan Djisman Samosir, Tindak Pidana Tindak Pidana Khusus Kejahatan yang Ditujukan terhadap Hak Milik dan Lain lain Hak yang Timbul dari Hak Milik, (Bandung: Tarsito, 1981), hlm. 25.
[13] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Aumni, 1992), hlm. 78.
[14] Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 50.
[15]Ibid., hlm. 54.
[16]Ibid., hlm. 55.
[17]Ibid., hlm. 56.
[18]Ibid., hlm. 58.
[19] Hendrojo, Kriminologi Pengaruh Perubahan Masyarakat dan Hukum, cetakan pertama, (Surabaya: Srikandi, 2005), hlm. 78.
[20]Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 60.
[21]Ibid., hlm. 61.
[22]Ibid., hlm. 62.
[23] Soerjono Soekanto, Faktor Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, cet. Kelima, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 5.
[24] Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 63.
[25] Soerjono Soekanto, Faktor Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, cet. Kelima, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 8
[26] Henny Nuraeny, Wajah Hukum Pidana Asas dan Perkembangan, (Jakarta: Gramata Publising, 2012), hlm. 138.
[27] Lil Rasjidi dan Bernard Arief Sidharta, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, (Remaja Rosdakarya: Bandung, 1994), hlm.18.
[28] A. Masyhur Efendi, Dimensi Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional, (Ghalia Indonesia: Bogor, 1993), hlm. 9.
[29] Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, (Djamban: Jakarta, 1952), hlm. 87.
[30]Marianus Kladen, Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Komunal Kajian atas Konsep HAM dalam Teks-teks Adat Lamaholot dan Relevansinya terhadap HAM dalam UUD 1945, (Lamalera: Yogyakarta, 2009), hlm. 49.
[31]Muladi Ed., Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 217-220.
[32] Sulistyowati Rianto dkk.,Perdagangan Perempuan Dalam Jaringan Pengedaran Narkotika, (Jakarta: Yayasan Obor Indoesia, 2005), hlm. 13.
[33] Jeremy Bentham, Teori Perundang-undangan Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana (The Theory of Legislation), tej. Dalam M. Khozin, (Nusamedia: Bandung, 2006), hlm. 2.
[34]Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 138.
[35] Ibid.
[36]Ibid.,hlm. 140.
[37]Ibid., hlm. 142.
[38]Ibid., hlm. 144.
[39]Satjipto Raharjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, (Genta Publising: Yogyakarta, 2009), hlm. 13.
[40] Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Kanisus: Yogyakarta, 1995), hlm. 22.
[41] Satjipto Rahardjo, Membangun dan Merombak Hukum Indonesi Sebuah Pendekatan Lintas Disiplin, (Genta Publising: Yogyakarta, 2009), hlm. 95-96.
[42] Sunaryati Hrtono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Alumni: Bandung, 1991), hlm. 176.
[43] Soerjiono Soekanto, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, (Citra Aditya Bakti: Bandung, 1991), hlm. 1.
[44] Lili Rasjidi dan Ira Thalia Rasjidi, Dasar Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Cet. 10, (Citra Aditya Bakti: Bandung, 2007), hlm. 78-79.
[45]Ibid., hlm. 78.
[46] Bernard Arief Sidharta, Revisitasi Pemikiran Prof. Soediman Kartohadirodjo tentang Pancasila Berkaitan dengan Pemgembangan sistem Hukum Nasional, (Dies Natalis ke-51 Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan: Bandung, 2009), hlm. 7-8.
[47]Henny Nuraeny, Wajah Hukum Pidana Asas dan Perkembangan, (Jakarta: Gramata Publising, 2012), hlm. 143.
[48]Ibid., hlm. 144.
[49] C.S.T. Kansil dkk.,Tindak Pidana dalam Undang undang Nasional, (Jala Permata Aksara: Jakarta, 2009), hlm. 129.
[50]Henny Nuraeny, Wajah Hukum Pidana Asas dan Perkembangan, (Jakarta: Gramata Publising, 2012), hlm. 145.
[51] Mochtar Kusumaatmadja, Konsep Konsep Hukum dalam Pembangunan, Cet. 2, (Alumni: Bandung, 2006), hlm. 199.
[52]Seodarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Alumni: Bandung, 1981), hlm. 113-114.
[53] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Alumni: Bandung, 1981), hlm. 38
[54] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cet. 1, (Citra Adytia Bakti: Bandung, 1996), hlm. 3
[55]Henny Nuraeny, Wajah Hukum Pidana Asas dan Perkembangan, (Jakarta: Gramata Publising, 2012), hlm. 146.
[56] Siswanto Sunarso, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, (Citra Adytia Bakti: Bandung, 2005), hlm. 7.
[57] Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, (Refika Aditama: Bandung, 2005), hlm. 8.
[58]Henny Nuraeny, Wajah Hukum Pidana Asas dan Perkembangan, (Jakarta: Gramata Publising, 2012), hlm. 147.
[59] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (BP Universitas Diponegoro: Semarang, tanpa tahun), hlm. 11.
[60]Henny Nuraeny, Wajah Hukum Pidana Asas dan Perkembangan, (Jakarta: Gramata Publising, 2012), hlm. 148.
[61] Ibid. 148.
[62]Ibd., hlm. 149.
[63]Ibid. 149.
[64]Ibid., 150.

Artikel Terkait

Makalah Perdagangan Orang di Indonesia
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email