28/12/2016

Makalah Indikasi Geografis







A. Latar Belakang Masalah


Indonesia merupakan Negara yang kaya dengan keragaman budaya dan sumber daya alami. Dari segi sumberdaya alami banyak produk daerah yang telah lama dikenal dan mendapatkan tempat di pasar internasional sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi sebagai contoh : Java Coffee lada, Gayo Coffee, Toraja Coffee, Tembakau Deli, Muntok White Pepper. Keterkenalan produk tersebut seharusnya diikuti dengan perlindungan hukum yang bisa untuk melindungi komoditas tersebut dari praktek persaingan curang dalam perdagangan. Mengenai upaya perlindungan produk lokal berupa Indikasi Geografis di Indonesia, Pemerintah telah mengeluarkan produk hukum berupa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2007 Tentang Perlindungan Indikasi Geografisyang mengatur mekanisme pendaftarannya di Ditjen Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM. Menyadari sedikitnya jumlah permohonan, Ditjen Hak Kekayaan Intelektual kini mencoba melakukan terobosan dengan cara mendatangi dan melakukan sosialisasi kepada masyarakat di sentra-sentra yang berpotensi memiliki komoditas perkebunan dan pertanian untuk didaftarkan. Pendaftaran produk itu akan memberikan nilai tambah dan keuntungan kepada para stake-holders yang terlibat seperti petani dan eksportir. Selain itu, pendaftaran produk juga merupakan bagian dari strategimarketing, sehingga produknya bisa lebih mahal dari produk sejenis. Sertifikasi Indikasi Geografis bertujuan untuk meningkatkan daya saing produk pertanian. Yakni dengan menjual keunikan dari citra rasa produk pertanian yang dihasilkan suatu daerah dan tidak dimiliki daerah lain. Namun, sampai saat ini amanat perlindungan Indikasi Geografis baru direalisasikan atas produk kopi arabika Kintamani Bali, suatu tindakan lamban apabila dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Hal ini terjadi karena produk tersebut belum terdaftar dalam perlindungan Indikasi Geografis di Indonesia dan tidak memiliki perlindungan hukum dinegara-negara tersebut, sehingga produk produk tersebut perlu didaftarkan dalam perlindungan hukum indikasi geografis.

Indikasi Geografis merupakan suatu bentuk perlindungan hukum terhadap nama asal barang. Inti perlindungan hukum ini ialah bahwa pihak yang tidak berhak, tidak diperbolehkan menggunakan indikasi geografis bila penggunaan tersebut cenderung dapat menipu masyarakat konsumen tentang daerah asal produk, disamping itu indikasi geografis dapat dipakai sebagai nilai tambah dalam komersialisasi produk.


BAB I
PEMBAHASAN
A. Pengertian Indikasi Geografis


Undang undang Merek yang baru menambah ketentuan baru mengenai indikasi geogrefis (geographical indication) dan indikasi asal sebagaimana yang diatur dalam Persetujuan TRIPs. Pengertian Indikasi geografis ini dapat dijumpai dalam Pasal 22 ayat (1) Persetujuan TRISPs yang berbunyi:[1]


“Geographical indication are, for the purposes of this Agreement, indications which identify a good as originating in the territory of a member. or a region or locality in that territory, where a given quality, reputation or other characteristic ofd the good is essentially attributable to its geographical origin.”


Dari rumusan Pasal 22 ayat (1) Persetujuan TRIPs, jelas bahwa indikasi geografis adalah tanda yang mengidentifikasikan suatu wilayah negara anggota, atau kawasan atau daerah di dalam wilayah Negara anggota tersebut, yang menunjukkan asal suatu barang, yang memberikan reputasi, kualitas dan karakteristik tertentu dari barang yang bersangkutan. Dengan kata lain, identitas suatu barang dapat juga ditentukan faktor geografi/s yang menunjukkan adanya reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu yang dijadikan sebagai atribut dari barang yang bersangkutan.


Penggunaan tanda sebagai indikasi geografis dapat berupa etiket atau label yang diletakkan pada barang yang dihasilkan. Tanda itu dapat berupa nama tempat, daerah, atau wilayah, kata, gambar, huruf, atau kombinasi dari unsur unsur tersebut. Perlindungan indikasi geografis meliputi barang barang yang dihasilkan oleh alam,, barang hasil pertanian, hasil kerajinan tangan; atau hasil industry lainnya.[2]


Suatu contoh misalnya, kualitas buah apel Malang, melekat dengan kawasan daerah atau wilayah geografis yaitu Malang (suatu wilayah geografis yang sejak dan cukup baik untuk jenis tanaman Apple).[3]


B. Persyaratan Substansif Indikasi Geografis.


Dalam konotasi umum indikasi Geografis adalah suatu penandaan asal barang yang bias berupa indikasi langsung, misalnya, “made ini England” dan indikasi tidak langsung berupa bendera Inggris; Keju “Mozzarella” (italia). “Feta” (Yunani), “Camembert” (Prancis). Indikasi Geografis, seperti Merek merupakan tanda yang menunjukkan asal barang. Namun berbeda dengan Merek, Indikasi Geografis memiliki dua fungsi. Di satu sisi memberikan perlindungan bagi konsumen untuk secara langsung melawan tindakan penggunaan indikasi yang salah atau menyesatkan dan sisi lain memberikan perlindungan goodwill bagi mereka yang berhak atas Indikasi Geografis tersebut. Perlindungan pun bias diberikan melalui Hukum Pencegahan Persaingan Curang atau secara sui generis. Di Indonesia perlindungan diatur dalam UU No. 15/2001 tentang Merek.[4]


Sejarah perlindungan diawali dengan disepakatinya Agreement for The Protection of Appelation of Origin and the International Registration yang diadakan di Lisbon pada tanggal 31 Oktober 1958. Di dalam persetujuan ini diberikan perlindungan tentang apa yang dinamakan “appellation of origin”, yaitu nama geografis suatu negara atau suatu wilayah atau tempat tertentu yang memang terkenal untuk menentukan suatu produk berasal dari tempat atau lokasi itu karena mempunyai kualitas atau karakteristik yang secara khas atau eksklusif dikenal dalam rangka lingkungan geografisnya.[5]


Appelation of Origin mengacu pada suatu hak milik kolektif yang eksistensinya dapat dikatakan “abadi”, contoh, Originalitas rasa kopi tidak bias ditiru karena dipengaruhi factor geografis yang terkait perbedaan ketinggian, alam, iklim, curah hujan, temperatur, kadar kelembapan udara. Hak ini mengacu pada suatu tradisi daerah tertentu dan hasil evaluasi jangka panjang sekelompok orang atau produsen yang diikat dengan aturan formal tradisional yang mencakup:


a. A region well defined;


b. Standardization of phisical and sensoric characteristic;


c. Original related to special environmental;


d. A market defined


Disamping Indikasi Geografis, ada pula Indikasi Asal sebagai suatu tanda yang sebenarnya merupakan Indikasi Geografis, tetapi tidak didaftarkan atau tanda yang semata mata menunjukkan asal usul barang atau jasa.[6] Cikal bakal perlindungan indikasi asal adalah Madrid Agreement Concerning the Reputation of False Indication of Origin yang diadakan pada tanggal 14 April 1891. Tujuan agreement ini untuk mengatur dan menghindarkan adanya indikasi yang palsu atau mangacaukan mengenai asal usul barang, juga termasuk Merek yang dapat menimbulkan salah paham di kalangan pembeli atau memperdaykan khalayak ramai.[7]


Hal hal yang berkaitan dengan indikasi geografis dan indikasi asal adalah sangat penting untuk dicermati terutama bagi daerah daerah yang memiliki potensi produk khas daerah. Sebagai contoh adalah beras Cianjur dan ubi Cilembu yang sudah sangat terkenal itu. Beras Cianjur dan ubi Cilembu memiliki rasa dan aroma yang khas, berbeda dengan beras dan ubi dari daerah lainnya. Rasa dan aroma tersebut disebabkan oleh faktor kondisi geografis dan sumber daya manusia dari daerah Cianjur dan Cilembu. Bila beras dan ubi tersebut ditanam di daerah lain maka rasa dan aromanya akan berubah, tidak seenak dan seharum kalau ditanam di daerah asalnya. Karena itu beras Cianjur dan ubi Cilembu memenuhi persyaratn untuk didaftarkan mereknya sebagai Indikasi geografis. Pendaftaran dapat dilakukan secara kolektif, misalnya oleh pemda setempat atau asosiasi petani setempat sehinga mereknya menjadi merek kolektif. Selama ini terdaoat salah persepsi tentang system perlindungan untuk ubi Cilembu yang sering dibahas di berbagai media massa. Misalnya, dalam sebuah berita yang berjudul “Fenomena Ubi Madu Cilembu” yang ditayangkan di situs Internet Bebekmania.com tanggal 26 Mei 2002. Di situ diberitakan “… sudah ada dorongan dari warga agar aparat desa Cilembu untuk segera mempatenkan produk ubi Cilembu…”. “… dorongan membikin hak paten juga muncul karena kabar tentang banyaknya ubi Cilembu yang diekspor ke luar negeri”. Perlu diluruskan disini bahwa ubi Cilembu yang tidak bias dipatenkan karena beberapa alasan. Pertama, karena varietas tanaman di Indonesia dilindungi bukan dengan UU Paten melainkan dengan UU PVT. Kedua, ubi Cilembu sudah bukan sesuatu hal yang baru sehingga tidak dapat memenuhi persyaratan kebaruan untuk dipatenkan maupun didaftarkan melalui PVT. Ketiga, ubi Cilembu merupakan produk yang menunjukkan Indikasi geografis sehingga lebih cocok dilindungi dengan UU Merek. Namun demikian, ubi Cilembu sebagai suatu asat KI dapat terus dikembangkan (merupakan peluang bagi lembaga litbang) untuk menghasilkan invensi invensi baru yangdapat bermuara ke rezim perlindungan paten atau rahasia dagang (misalnya cara pengolahannya) atau rezim perlindungan PVT (misalnya dihasilkan kultivar dari ubi Cilembu.[8]


Indikasi Geografis adalah tanda yang digunakan atas barang yang memiliki kualitas khusus karena:[9]


a. Faktor alam


Meliputi barang barang yang dihasilkan oleh alam di daerah tertentu, contohnya; minyak kayu putih Ambon berasal dari pohon kayu putih yang tumbuh di Ambon, Mutiara Mataram, Champagne dari anggur yang tumbuh dan di produksi di Prancis, Scotch Whisky dari Scotlandia.


b. Factor manusia


Meliputi barang yang dihasilkan oleh manusia yang tinggal di wilayah tertentu, contohnya tenun Ikat Sumbawa, Songket Palembang, Batik Madura, Batik Pekalongan, Batik Solo, Batik Yogya dan lain lain yang masing masing mempunyai ciri khusus.


Dengan demikian persyaratan substantif perlindungan Indikasi Geografis adalah melekatnya factor lingkungan geografis geografis termasuk factor alam atau manusia atau kombinasi antara keduanya.






C. Perolehan Hak dan Jangka Waktu Perlindungan Indikasi Geografis



Perlindungan Indikasi Geografis didasarkan pada hukum nasional masing masing negara. Ada negara yang menganut perlindungan tanpa pendaftaran da nada pula yang memakai system pendaftaran. Di Indonesia, perlindungan diberikan berdasarkan pendaftaran. Pasal 56 Ayat (2) UU No. 15/2001 menentukan bahwa yang dapat mengajukan permohonan pendaftaran Indikasi Geografis adalah:[10]


a. Lembaga yang mewakili masyarakat di daerah yang memproduksi barang yang bersangkutan yang terdiri dari:


· Pihak yang mengusahakan barang yang merupakan hasil alam atau kekayaan alam;


· Produsen barang hasil pertanian;


· Pembuat barang kerajinan tangan atau hasil industry;


· Pedagang yang menjual barang barang tersebut;


b. Lembaga yang diberi wewenang untuk itu;


c. Kelompok konsumen barang barang tersebut.


Tanda yang digunakan sebagai Indikasi Geografis dapat berupa etiket atau label yang dilekatkan pada barang yang dihasilkan, yang dapat berupa nama tempat, daerah atau wilayah, kata kata, gambar, huruf atau kombinasi dari unsur unsur tersebut. Indikasi Geografis yang terdaftar mendapat perlindungan hukum, selama ciri dan atau kualitas yang menjadi dasar bagi diberikannya perlindungan Indikasi Geografis tersebut masih ada (Pasal 56 Ayat 7 UU No. 15/2001).


Indikasi geografis dapat dilindungi jika permohonan atas perlindungannya diajukan oleh asosiasi yang mewakili pelaku usaha/produsen[11] yang berasal dari daerah yang hendak didaftarkan sebagai indikasi geografis. Lembaga tersebut harus terdiri dari orang orang yang memproduksi barang barang dari kekayaan alam yang terdapat di daerah tersebut atau produsen produk pertanian, pembuat kerajinan tangan dan /atau pedagang yang menjual barang barang tersebut.[12]


Menurut Pasal 5 PP No. 51 Tahun 2007, cara untuk mendaftarkan suatu indikasi geografis adalah sebagai berikut:[13]


1) Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia oleh pemohon atau melalui kuasanya dengan mengisi formulir dalam rangkap 3 (tiga) kepada Direktorat Jenderal.


2) Bentuk da nisi formulir permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Direktorat Jenderal.


3) Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:


a. Lembaga yang mewakili masyarakat di daerah yang memproduksi barang yang bersangkutan, terdiri atas:


1. Pihak yang mengusahakan barang hasil alam atau kekayaan alam;


2. Produsen barang hasil pertania;


3. Pembuat barang hasil kerajinan tangan atau barang hasil industry; atau


4. Pedagang yang menjual barang tersebut;


b. Lembaga yang diberi wewenang untuk itu; atau


c. Kelompok konsumen barang tersebut.


Selanjutnya dalam Pasal 11 PP No. 51 Tahun 2007, disebutkan:


1) Dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari sejak tanggal disetujuianya indikasi geografis untuk didaftar maupun ditolak, Direktorat Jenderal mengumumkan keputusan tersebut dalam Berita Resmi Indikasi Geografis.


2) Dalam hal indikasi geografis disetujui untuk didaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengumuman dalam Berita Resmi Indikasi Geografis memuat nomor permohonan, nama lengkap dan alamat pemohon, nama dan alamat kuasanya, tanggal Penerimaan, indikasi geografis dimaksud, dan abstrak dari Buku Persyaratan.


3) Dalam hal indikasi geografis ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengumuman dalam Berita Resmi Indikasi Geografis memuat nomor permohonan, nama lengkap dan alamat pemohon, nama dan alamat kuasanya, dan nama indikasi geografis yang dimohonkan pendaftarannya.


4) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan selama 3 (tiga) bulan.


Mengenai jangka waktu perlindungan hukum terhadap suatu indikasi geografis tertera dalam Pasal 56 ayat (7) UUM dan dalam bahasa yang sama juga dinyatakan dalam Pasal 4 PP No. 51 Tahun 2007, indikasi geografis terdaftar mendapat perlindungan hukum yang berlangsung selama ciri dan atau kualitas yang menjadi dasar bagi diberikannya perlindungan atas indikasi geografis tersebut masih ada.[14]


D. Hak Substansif Indikasi Geografis


Berkaitan dengan Indikasi Geografis, Negara anggota harus menyediakan sarana hukum bagi pihak terkait untuk mencegah penggunaan dalam setiap cara dalam tujuan atau penampilan suatu barang yang menunjukkan atau memberi kesan bahwa barang tersebut berasal dari wilayah geografis lain daripada tempat asal yang sesungguhnya, dengan cara menyesatkan masyarakat aka asal geografis barang yang bersangkutan dan juga setiap penggunaan yang dapat dinyatakan sebagai persaingan curang sebagaimana maksud Article 10 Paris Convention.[15]


Menurut Pasal 56 Ayat (2) UU No. 15/2001, permohonan pendaftaran Indikasi Geografis ditolak oleh Ditjen, jika tanda tersebut:


a. Bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, ketertiban umum atau yang dapat memperdayakan atau menyesatkan masyarakat mengenai ciri ciri kualitas sumber, proses, pembuatan dan atau kegunaannya.


b. Tidak memenuhi syarat untuk didaftarkan sebagai Indikasi Geografis.


Di samping itu terdapat alasan lain yang dsebutkan dalam Pasal 3 PP No. 51 Tahun 2007, diantaranya:[16]


a. Merupakan nama geografis setempat yang telah digunakan sebagai nama varietas tanaman, dan digunakan bagai varietas tanaman yang sejenis; atau


b. Telah menjadi generik.


Terhadap penolakan pemohonan pendaftaran ini dapat dimintakan banding kepada Komisi Banding Merek.


Hak Indikasi Geografis adalah hak kolektif yang dipakai oleh sejumlah orang yang terbatas dan dapat dipertanggungjawabkan yang terkait dengan factor geografis, berbeda dengan hak eksklusif bidang HKI lainnya yang bersifat hak individual. Oleh karenanya Hak Indikasi Geografis tidak dapat dilisensikan atau dialihkan kepada pihak lain. Ketentuan khusus Article 23 TRIPs mengatur prinsip perlindungan tambahan untuk spirit dan wines.






E. Pembatasan Hak Indikasi Geografis


Ketentuan ini mengatasi masalah yuridis yang timbul berkaitan dengan pendaftaran Merek atau penggunaan Merek dengan itikad baik yang memiliki persamaan dengan Indikasi Geografis yang diperoleh sebelum berlakunya TRIPs atau sebelum Indikasi Geografis tersebut dilindungi, contohnya Merek yang merupakan teritori negara Jepang, seperti Sapporo atau Yokuhama telah digunakan untuk produk house hold elektronik oleh perusahaan Korea. Di Jepang Sapporo digunakan untuk produk minuman bir yang memiliki ciri dan kualitas yang khas karena faktor geografis baik faktor alam Sapporo maupun faktor manusia dalam proses brewing-nya. Dalam kasus ini, Sapporo digunakan sebagai Indikasi Geografis Jepang, tanpa merugikan keabsahan Merek Sapporo produk elektronik yang secara faktual telah terlebih dahulu dipakai dan didaftarkan oleh perusahaan Korea.[17]


Bilamana sebelum atau pada saat dimohonkan pendaftaran sebagai Indikasi Geografis suatu tanda telah dipakai dengan itikad baik oleh pihak lain yang tidak berhak mendaftar, maka pihak yang beritikad baik tersebut tetap dapat menggunakan tanda tersebut untuk jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanda tersebut terdaftar sebagai Indikasi Geografis (Pasal 56 ayat (8) UU No. 15/2001).


F. Sanksi Bagi Pelanggaran Penggunaan Indikasi Geografis


Menurut Pasal 92 UUM, Sanksi pidana bagi setiap orang yang melanggar ketentuan indikasi geografis adalah sebagai berikut:[18]


1) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada keseluruhan dengan indikasi geografis milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).


2) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan tanda yang sama pada pokoknya dengan indikasi geografis.


3) Milik pihak lain untuk barang yang sama atau sejenis dengan barang yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah).


4) Terhadap pencantuman asal sebenarnya pada barang yang merupakan hasil pelanggaran ataupun pencantuman kata yang menunjukkan bahwa barang tersebut merupakan tiruan dari barang yang terdaftar dan dilindungi berdasarkan indikasi geografsi, diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).


G. Contoh Kasus[19]


1. Kasus Kopi Gayo


Gayo merupakan dataran tinggi di provinsi Nagroe Aceh Darusalam yang telah puluhan tahun dikenal sebagai penghasil kopi arabika terbaik di dunia Perkebunan Kopi yang telah dikembangkan sejak tahun 1926 ini tumbuh subur di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah. Pada tanggal 15-07-1999 kata ”Gayo Mountain Coffee” didaftarkan oleh European Coffee Bv yang beralamat Zwarteweg 6 B NL-1412 GD Naarden Paises Bajos melalui CTM daftar 001242965, kelas 30 dengan jenis barang Coffee, tea, cocoa, sugar and artificial coffee. Berdasarkan adanya sertifikat merek European BV melalui Holland Coffee telah melayangkan surat /somasi kepada PT. Arvis Sanada suatu perusahaan eksportir kopi nasional yang dimiliki oleh putra asal Gayo berkedudukan di Medan Sumatera Utara untuk tidak mengeksport kopi ke Belanda dengan menggunakan kata Gayo Coffee karena kata tersebut memiliki persamaan dengan sertifikat merek miliknya. Hal ini membuat kontrak eksport kopi ke belanda dihentikan dan semua kontrak yang telah disepakati dibatalkan. Kemudian Eroupean Bv juga melarang semua perusahaan kopi di seluruh dunia untuk tidak mengedarkan kopi gayo di belanda. Seperti juga halnya Pt. Arvis Sanada, European BV tidak keberatan atas peredaran kopi di Belanda asal tidak menggunakan kata Gayo kalupun itu merupakan asal dari kopi yang diperdagangkan.






2. Kasus Kopi Toraja


Sejauh ini masyarakat mengakui bahwa reputasi Kopi Toraja sudah sedemikian tinggi hingga dikenal luas didalam dan di luar negeri. Sebagai bagian dari fenomena bisnis dan perdagangan, suatu produk yang mempunyai reputasi Internasional akan diikuti oleh praktek peniruan, termasuk dalam bentuk dan cara penggunaan nama-nama produk yang sudah terkenal tersebut. Begitu pula dengan Kopi Toraja yang sudah terkenal mempunyai reputasi diluar negeri. Nama Kopi Toraja telah digunakan di luar negeri dan didaftarkan sebagai merek. Contohnya, di Amerika Serikat terdapat tiga pendaftaran merek yang menggunakan kata TORAJA berikut dengan gambar rumah Toraja. Data selengkapnya adalah sebagai berikut :


· Merek Toarco Toraja Nomor Pendaftaran 75884722 milik Key Coffe, Inc Corporation Japan, menggunakan gambar rumah Toraja


· Merek SULOTCO KALOSI TORAJA COFFEE Nomor Pendaftaran 74547036, milik IFES Inc. Corporation California


· Merek SULOTCO KALOSI TORAJA COFFEE dengan gambar rumah Toraja Nomor Pendaftaran 74547000, milik IFES Inc. Corporation California


Patut dicatat bahwa pendaftaran TORAJA COFFEE di Amerika Serikat tersebut tidak menyatakan kata TORAJA beserta gambar rumah Toraja yang merupakan simbol daerah Toraja sebagai hak eksklusif pendaftar. Ini berarti kata Toraja Coffee tidak diklaim sebagai produk Indikasi Geografis dari Indonesia. Hal itu merupakan konsekuensi logis dari belum berlakunya perlindungan atas Indikasi Geografis di Indonesia meskipun sudah diatur dalam Undang-undang Merek. Dengan kata lain, Amerika Serikat tidak mengetahui produk-produk mana yang termasuk dalam kategori Indikasi Geogarafis dari Indonesia. Oleh karena itu penggunaan secara tanpa hak nama-nama produk-produk geografis Indonesia tidak dapat diselesaikan melalui jalur hukum.


3. Kasus Champange


Kasus yang terkait dengan Champagne adalah penggunaan kata tersebut untuk merek bagi jenis barang selain minuman anggur. Pada tahun 1984, kata Champagne dipergunakan oleh perusahaan Perancis SEITA untuk jenis barang tembakau dan juga pada tahun 1993 kata Champagne digunakan untuk parfume, kedua kasus tersebut telah dibawa ke proses pengadilan. Patut dicatat bahwa penggunaan nama geografis yang sudah mempunyai reputasi untuk produk lainnya akan mengakibatkan hal-hal yang diindikasikan oleh Wenger (2001:6) sebagai berikut :


· Membuat penekanan atas nama yang bergengsi atau nama yang mempunyai reputasi berakibat kehilangan daya tariknya, hal ini akan membahayakan kesan di masyarakat dan kehilangan reputasi.


· Menyuburkan tindakan haram, dimana pengguna nama yang tidak berhak tersebut akan menikmati kesan atau reputasi dari barang yang sudah mempunyai reputasi.


· Produk dengan menggunakan nama yang sudah mempunyai reputasi akan mendapat pengakuan dari seluruh dunia serta mendapat kesan positif dari pembeli, dan juga membawa dampak tidak meragukan konsumen apabila menjual produk tersebut dengan harga tinggi.


Fakta dan alasan tersebut di atas menunjukkan bahwa penggunaan suatu nama geografis untuk produk lain selain produk geografis tersebut akan menjatuhkan reputasi dan menyesatkan masyarakat Perancis sudah mengatur hal tersebut sehingga perlindungan terhadap produk produk geografis terlindungi baik secara nasional maupun Internasional.


H. Potensi Indikasi Geografis di Indonesia[20]


1. Kopi Arabika Gayo (Daerah Penghasil : Kab. Aceh Tengah, Bener Meriah.) Kopi Gayo (Gayo Coffee) merupakan salah satu komoditi unggulan yang berasal dari Dataran Tinggi Gayo. Perkebunan Kopi yang telah dikembangkan sejak tahun 1926 ini tumbuh subur di Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah. Kedua daerah yang berada di ketinggian 1200 m dpl tersebut memiliki perkebunan kopi terluas di Indonesia, yaitu seluas 73.782 hektar. Mayoritas masyarakat Suku Gayo yang mendiami kedua kabupaten ini berprofesi sebagai Petani Kopi. Varietas Arabika mendominasi jenis Kopi yang dikembangkan oleh para petani Kopi Gayo. Kopi dari wilayah ini umumnya diolah di tingkat perkebunan, menggunakan metode semi-wet tradisional. Karena proses pengolahan basah tersebut, kopi Pegunungan Gayo memiliki tone yang lebih tinggi dan body yang lebih ringan dari kopi Lintong dan Mandheling yang berasal dari wilayah Timur Sumatra.


Negara Tujuan Eksport


Amerika Serikat merupakan negara paling besar yang mengimpor kopi Aceh hingga September 2008 yakni mencapai 14,946 juta dollar (4,129 ribu ton) atau 70,30 persen dari total ekspor komoditi tersebut.Kemudian, negara pengimpor lainnya Kanada dengan nilai 1,742 juta dollar (434,7 ton), Meksiko 1,164 juta dollar (288 ton), Australia 130,8 ribu dollar (37,2 ton), dan Selandia Baru senilai 126,171 ribu dollar (36 ton).Selain itu, negera tujuan ekspor kopi Aceh juga ke Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), yakni Inggris, Berlgia, Jerman, Norwegia, Swedia, Auburn, dan Newserlan. Negara pengimpor terbesar adalah Jerman dengan dengan nilai 916.775 dollar (291,96 ton, disusul Auburn 694.449 dollar (180 ton), Swedia 430.021 dollar (108 ton), sedangkan negara lainnya dibawah 300.000 dollar.


2. Nilam Aceh (Pogestemon cablin Benth.)


Nilam Aceh (Pogestemon cablin Benth.) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri yang penting sebagai penyumbang devisa. Areal pertanaman nilam dalam sepuluh tahun terakhir terus meningkat, dari 9.065 ha pada tahun 1992 menjadi 21.602 ha,pada tahun 2002 (Ditjen Bina Produksi Perkebunan, 2004). Indonesia merupakan pemasok minyak nilam terbesar di pasaran dunia dengan kontribusi 90%.Ekspor minyak nilam tahun 2002 sebesar 12,95 ton dengan nilai US $ 22,526 juta (Ditjen Bina Produksi Perkebunan 2004).Sebagai komoditas ekspor minyak nilam mempunyai peluang yang baik karena permintaan selalu meningkat dan sampai sekarang belum ada produk substitusinya (Ibnusantosa,2000). Minyak nilam dibutuhkan antara lain dalam industri parfum, kosmetik (Dummond, 1968) terutama karena bersifat fixsatif yaitu dapat mengikat minyak atsiri lainnya sehingga harumnya dapat bertahan lama *Buletin TRO XV No. 2, 2004


Negara Tujuan Eksport


Tiap tahun, banyak Negara mengimpornya. Misalnya, Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Swiss, Jerman, Belanda, Singapura, dan India. Dengan kebutuhan lebih dari 200 ton per tahun, Amerika Serikat menjadi importer minyak nilam terbesar di dunia. Urutan berikutnya ditempati lima negara Eropa, yaitu Inggris 45 ton-60 ton per tahun, Prancis dan Swiss 40 ton-50 ton per tahun, Jerman 35 ton-40 ton per tahun, serta Belanda 30 ton per tahun. Salah satu nilam yang terkenal adalah nilam Aceh (pogostemon cablin). Ada pula nilam Jawa (pogostemon hortensis) dan nilam tipis (pogostemon heyneanus). Di antara ketiga jenis ini, nilam Aceh memiliki kualitas kualitas terbaik karena kandungan kadar atsirinya paling tinggi, 2,5%-5%. Sedangkan, nilam jenis lain hanya 0,5%.[21




3. Kemenyan (Daerah Penghasil : Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan).


Kemenyan (Stryrax sp) yang termasuk famili Stryraccaceae dari ordo Ebeneles diusahakan oleh rakyat Sumatera Utara di tujuh kabupaten, terutama di Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Pakpak Bharat, dan Toba Samosir. Tanaman ini juga dikembangkan di Dairi, Tapanuli Selatan, dan Tapanuli Tengah meski tidak terlalu banyak. Sedangkan penghasil kemenyan terbesar masih di Tapanuli Utara dan Humbang Hasundutan. Di Tapanuli Utara, kemenyan menjadi komoditas andalan daerah diah kopi dan karet. Dari 56.003 keluarga di kabupaten itu, 30.446 keluarga atau lebih dari 54 persen menjadikan kemenyan sebagai sumber penghasilan. Di Humbang Hasundutan bahkan sekitar 65 persen keluarga (33.702) hidup dari pohon kemenyan. Komoditas ini menduduki posisi kedua di bawah kopi. Dinas Perkebunan Sumatera Utara memperkirakan, pada tahun 2005 luas tanaman kemenyan di Sumatera Utara mencapai 23.592,70 hektar dengan produksi 5.837,86 ton. Produktivitas getah 294,31 kilogram per hektar per tahun. Getah kemenyan mengandung asam sinamat sekitar 36,5 persen yang banyak digunakan untuk industri farmasi, kosmetik, rokok, obat-obatan, dan ritual keagamaan.


Negara Tujuan Eksport : Vietnam, Kamboja, India, Pakistan & Singapura


4. Tembakau Deli


Daerah Deli Serdang terutama di sekitar sungai Ular telah terkenal sejak zaman Belanda sebagai sentral tembakau Deli. Tembakau Deli sangat terkenal karena kualitasnya sangat baik untuk cerutu yaitu sebagai pembalut (deg blad). Pusat pasar tembakau cerutu Deli masa lalu di Bremen Jerman. Dengan demikian tembakau Deli adalah potensi lokal yang khas untuk Kabupaten Deli Serdang. Potensi tersebut adalah potensi kesesuaian lahan di daerah ini yang dapat menghasilkan kualitas tembakau yang sangat baik. Tembakau Deli masih dianggap sebagai tembakau terbaik di dunia untuk bahan cerutu khususnya cerutu tiper Eropa. Pada Tahun 2007 PT Perkebunan Nusantara II sebagai pengelola perkebunan ini meraih pendapatan sebesar Rp 56,277 miliar dari penjualan (lelang dan non lelang) tembakau produksi perusahaan yang mencapai 3.770 bal. Tembakau deli dipergunakan sebagai pembalut untuk cerutu-cerutu berkualitas tinggi yang berharga sangat mahal. Hal ini dikarenakan adanya aroma yang khas, elastisitasnya, daya bakar hingga warnanya yang sangat menarik.


Negara Tujuan Eksport : Swiss, Belgia, Belanda, Jerman, Inggris, Perancis dan USA.





5. Ubi Cilembu (Daerah Penghasil: Kabupaten Sumedang).


Cilembu hanyalah sebuah desa kecil yang termasuk Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang. Ubi sebenarnya bukanlah tanaman prioritas warga Cilembu, karena mereka sebagian besar adalah petani padi. Kondisi sawah yang merupakan jenis tadah hujan membuat para petani memilih jagung dan ubi sebagai tanaman selingan di saat musim kemarau. Menanam ubi di saat musim kemarau cenderung dipilih karena saat musim hujan, rasa ubi tersebut biasanya berubah menjadi agak pahit. Kadar air yang menjadi lebih tinggi pada ubi diduga sebagai penyebabnya. Ubi Cilembu konon telah dikenal sejak jaman kompeni. Menurut Kodar Solihat dalam tulisannya di HU. Pikiran Rakyat, “Dari sepuluh kultivar ubi jalar yang ditanam, yang kemudian menonjol karena rasanya paling enak, lebih manis dan legit, adalah kultivar Nirkum. menurut masyarakat, konon singkatan dari Meneer Kumpeni (waktu itu ubi jenis ini banyak digemari orang Belanda). Kultivar Nirkum ini yang kemudian dikenal sebagai ubi cilembu. Ubi cilembu tidak tumbuh di seluruh daerah ini. Hanya sekitar 20 hektar saja areal tanah yang cocok ditanami ubi jenis ini. Ubi Cilembu dari Kabupaten Sumedang, Jawa Barat akan memasuki pasar Vietnam, setelah memenuhi permintaan Jepang. "Saat ini, upaya mengimpor ubi Cilembu ke Vietnam masih dalam penjajakan," *(Ketua Asosiasi Agrobisnis Ubi Cilembu (Asaguci) AS Hadie Guna). Selain kalangan petani ubi Cilembu juga tengah melakukan penjajagan dengan negara Singapura karena minat mereka cukup besar untuk mendapatkan agrobisnis unggulan Kabupaten Sumedang itu. Pengimporan rutin yang dilakukan ke Negara Jepang dilakukan dalam hitungan dua minggu sekali yang rata-rata dapat mengirimkan sekitar 15 ton.Import ke Vietnam dan Singapura sedang dalam penjajagan.[22]


6. Beras Cianjur


Daerah Produksi: Kabupaten Cianjur yaitu Kecamatan Warungkondang, Cugenang, Cibeber dan sebagian Kecamatan Cianjur.


Pandan Wangi merupakan salah satu varitas lokal yang terkenal karena mempunyai aroma khas pandan dan rasa yang enak/pulen. Varitas ini dikenal berasal dari Cianjur yang merupakan satu-satunya beras terbaik yang tidak ditemukan di daerah lain dan menjadi trade mark Cianjur dari masa ke masa. Rasanya enak dan harganya pun relatif lebih tinggi dari beras biasa. Di Cianjur sendiri, pesawahan yang menghasilkan beras asli Cianjur ini hanya di sekitar Kecamatan Warungkondang, Cugenang, Cibeber dan sebagian Kecamatan Cianjur. Luasnya sekitar 10,392 Ha atau 10,30% dari luas lahan persawahan di Kabupaten Cianjur. Produksi rata-rata per hektar 6,3 ton dan produksi per-tahun 65,089 ton. Karena kemshurannya disinyalir banyak beras yang dipasarkan menggunakan kata cianjur bukan berasal dari daerah cianjur melainkan beras-beras lain yang bermutu lebih rendah yang dipasarkan dengan nama pandan wangi cianju




BAB III


PENUTUP


A. Kesimpulan


Indikasi Geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut. Sertifikasi Indikasi Geografis bertujuan untuk meningkatkan daya saing produk pertanian. Yakni dengan menjual keunikan dari citra rasa produk pertanian yang dihasilkan suatu daerah dan tidak dimiliki daerah lain. Jika kita perhatikan, Indonesia sangat kaya akan kekayaan alam berupa hasil-hasil pertanian, barang-barang kerajinan tangan dan hasil indrustrinya, sangat banyak sekali potensi Indikasi Geografis yang perlu segera di daftarkan ke Kantor Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Indonesia. Oleh karena itu, bagi setiap negara yang berpotensi memiliki produk-produk Indikasi Geografis diharapkan membangun sistem hukum yang jelas untuk dapat memberikan perlindungan hukum sekaligus mencegah praktek-praktek penggunaan Indikasi Geografis secara tanpa hak.



Daftar Pustaka


Undang Undang:


PP No. 51 Tahun 2007


PP No. 31 Tahun 2009


Buku:


Usman, Rachmadi. 2003. Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia. Bandung: Alumni






Isnaini, Yusran. 2010. Buku Pintar HAKI Tanya Jawab Seputar Hak Kekayaan Intelektual. Bogor, Ghalia Indonesia.






Jened, Rahmi. 2010. Hak Kekayaan Intelektual Penyalahgunaan Hak Eksklusif. Surabaya: Airlangga University Press.






Saidin, OK. 2004. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights). Jakarta: PT Raya Grafindo Persada.






Djaja, Ermansyah. 2009. Hukum Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: Sinar Grafika.






Subroto, Muhammad Ahkam dan Suprapedi. 2008. Pengenalan HKI (Hak Kekayaan Intelektual. Jakarta: Indeks.






Lindsey, Tim, dkk. 2013. Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar. Bandung, Alumni.


Internet:


https://www.scribd.com/doc/20976488/Perlindungan-Indikasi-Geografis-dan-Potensi-Indikasi-Geografis-Indonesia


[1] Rachmadi Usman, Hukum Ha katas Kekayaan Intelektual, Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, (Bandung: Alumni, 2003), hlm, 356


[2] Yusran Isnaini, Buku Pintar HAKI Tanya Jawab Seputar Hak Kekayaan Intelektual, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 133


[3] OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), (Jakarta, PT. Raya Grafindo Persada, 2004), hlm. 286


[4] Rahmi Jened, Hak Kekayaan Intelektual Penyalahgunaan Hak Eksklusif, (Surabaya: Airlangga University Press, 2010), hlm. 193


[5] Ibid., hlm. 194


[6] Ermansyah Djaja. Hukum Hak Kekayaan Intelektual, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 222


[7] Rahmi Jened, Hak Kekayaan Intelektual Penyalahgunaan Hak Eksklusif, (Surabaya: Airlangga University Press, 2010), hlm. 195


[8] Muhammad Ahkam Subroto dan Suprapedi, Pengenalan HKI (Hak Kekayaan Intelektual), (Jakarta: Indeks, 2008), hlm. 28


[9] Ibid., hlm. 195


[10] Ibid., hlm. 196


[11] Mengenai produsen ketentuannya dapat dilihat pada Pasal 1 angka 4 PP No. 51 Tahun 2007.


[12] Tim Lindsey, Eddy Damian, Simon Butt, Tomi Suryono Utomo, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, (Bandung, Alumni, 2013), hlm. 140


[13] Yusran Isnaini, Buku Pintar HAKI Tanya Jawab Seputar Hak Kekayaan Intelektual, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 136


[14] Yusran Isnaini, Buku Pintar HAKI Tanya Jawab Seputar Hak Kekayaan Intelektual, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 136


[15] Muhammad Ahkam Subroto dan Suprapedi, Pengenalan HKI (Hak Kekayaan Intelektual), (Jakarta: Indeks, 2008), hlm. 196


[16] Yusran Isnaini, Buku Pintar HAKI Tanya Jawab Seputar Hak Kekayaan Intelektual, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 135


[17] Muhammad Ahkam Subroto dan Suprapedi, Pengenalan HKI (Hak Kekayaan Intelektual), (Jakarta: Indeks, 2008), hlm. 197


[18] Yusran Isnaini, Buku Pintar HAKI Tanya Jawab Seputar Hak Kekayaan Intelektual, (Bogor, Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 141


[19]https://www.scribd.com/doc/20976488/Perlindungan-Indikasi-Geografis-dan-Potensi-Indikasi-Geografis-Indonesia, akses pada tanggal 30 September 2015, Pukul 01.00 WIB.


[20]https://www.scribd.com/doc/20976488/Perlindungan-Indikasi-Geografis-dan-Potensi-Indikasi-Geografis-Indonesia, akses pada tanggal 30 September 2015, Pada Pukul 01.30 WIB


[21]www.bexi.co.id/images/_res/BN33_KomoditasPasarEkspor.pdf, dalam materi yang disampaikan oleh Saky Septiono di https://www.scribd.com/doc/20976488/Perlindungan-Indikasi-Geografis-dan-Potensi-Indikasi-Geografis-Indonesia


[22]http://www.gatra.com/artikel.php, dalam materi yang disampaikan oleh Saky Septiono di https://www.scribd.com/doc/20976488/Perlindungan-Indikasi-Geografis-dan-Potensi-Indikasi-Geografis-Indonesia









Artikel Terkait

Makalah Indikasi Geografis
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email