23/02/2015

Perempaun Menjadi Imam Sholat



BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama penyempurna dari agama agama sebelumnya, maka dari itu didalamnya memuat berbagai hukum hukum yang siap untuk di terapkan dalam kehidupan sehari hari, tentu saja akan menimbulkan kerangka berfikir yang bermacam macam, dan  diantaranya adalah tema yang akan penulis bahas dalam makalah “Perempuan Menjadi Imam Sholat”, janganlah kita pikirkan bahwa ajaran Islam bias dengan jender dan jangan pula kita anggap ini sebagai hal untuk merendahkan harkat dan martabat perempuan. Sudah banyak kasus kasus tentang kesejajaran perempuan dalam urusan sosial, ekonomi, dan juga politik. Tetapi akankah kepemimpinan dalam sholat dapat dibenarkan syari’at mengingat dalam ibadah berlaku kaidah bahwa ibadah tidak dapat dilakukan kecuali ada dalil yang menunjukan bahwa sesuatu itu telah diperintahkan oleh Allah atau dicontohkan oleh Rasul-Nya. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan dalam makalah ini.
B.     Rumusan Masalah
a.       Apakah boleh wanita menjadi imam sholat bagi kaum laki laki ?
b.      Bagaimana pendapat para ulama mengenai hal ini ?
c.       Adakah dalil yang bisa dijadikan hujah hukum bagi wanita yang menjadi imam sholat ?
C.     Tujuan Penulisan
a.       Mengetahui kebenaran secara pasti tentang masalah wanita menjadi imam sholat.
b.      Bisa mengetahui bagaimana cara menentukan sahih tidaknya suatu hadis.
c.       Dapat mengimplementasikan kebenaran dalam kehidupan yang sudah modern ini, agar tidak salah mengambil keputusan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Teks Hadis
Dari Abu Dawud, Daruqutny, dan Baihaqi dan selainya :
ما رواه أبو داود والدارقطني والبيهقي وغيرهم عن أم ورقة. أن رسول الله - صلى الله عليه وسلم -كان يزورها في بيتها 
وجعل لها مؤذناً يؤذن لها وأمرها أن تؤم أهل دارها ".

Artinya: "Dari Ummi waraqah berkata bahwa Rasulullah telah mengunjunginya di rumahnya, beliau menjadikan seorang muadzzin untuk beradzan untuknya dan memerintahkan ummi waraqah untuk menjadi imam anggota keluarganya."[1]

Dari Abu Hurairah, r.a, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda :
خير صُفوفِ  الرخال اؤلها وشرهااخرها وخير صفوف انساء اخرها وشرها اولها
“Sebaik baik shaf laki laki adalah yang pertama, dan yang terburuk adalah yang terakhir, sebaik baik shaf perempuan adalah yang terakhir, dan yang terburuk adalah yang pertama.”[2]
juga hadis riwayat Abu Hurairah yang lain :

لن يفلح قوم اسندوا امر هم الي امرء ة[3]
Artinya : tidak akan bahagia suatu kaum apabila menyerahkan urusanya kepada perempuan.








B.     Keywords teks hadis
يزور  : artinya mengunjungi, ini merupakan bentuk dari fiil mudhari yang berasal dari fiil madi yakni زر  yang artinya juga sama yakni mengunjungi, mungkin yang membedakan dari segi maknanya antara sekarang dan lampau.
وجعل : artinya menjadikan, mengapa dalam hal ini tidak mengunakan kata yang lain seperti يصوا ر mengkin dikaitkan dari segi khusus dan umumnya konteks tafsir hadis sesuai dengan kontek yang ada.
 امر   : artinya, memerinyahkan kepada Ummi Waraqah untuk menjadi imam dalam sholat, perintah ini sifatnya khusus karena langsung Rasulullah yang memerintahkan kepada Ummu Waraqah, beda tentunya jika dengan menggunakan ياءمر karena lebih sifatnya yang umum.
يفلحُ : artinya bahagia, ini adalah suatu bentuk pengecualian dalam hadis. Bahagia dalam hal ini mungkin dapat dilihat dari segi berhasil atau tidaknya suatu urusan dan yang lebih dalam lagi bahwa bisa diartikan tidak sah bila dikaitkan dalam konteks ibadah sholat.
اسندوا : artinya menyerahkan, karena ada tambahan wawu, maka urusan disini lebih ke arah yang umum mencakup seluruhnya baik itu laki laki maupun perempuan. Yang karenanya ini lebih dianggap suatu kepentingan bersama demi kemaslahatan bersama juga.
امر : artinya bukan perintak dalam konteks ini tetapi lebih ke urusan kenapa karena keterangan hadis awalnya juga menyingung soal semuannya yang berlaku umum maka bisla diterjemahkan ke urusan lebih sesuai dengan konteks.





C.    Asbab wurud al-hadis
ان النبي صلعم لماغزا بدرا قالت : قالت له : يارسول الله اءذن لي في الغزو معك امرض مرضاكم لعل الله ان يرزقني شهادة, قل : قري في بيتك فان الله تعال يرزقك الشهادة, قل : فكانت تسمي الشهيدة, قال : وكانت قد قرات القرآن فاستاذنت النبي صلعم ان تتخذ في دارها مؤذنا, فاذن لها, قل : ركانت دبرت غلاما.............................................................
Hadis ini merupakan Asbab wurud dari hadis tentang bolehnya imam sholat bagi perempuan. Sahabat tersebut memiliki ilmu tentang qira’at dan pengumpul al-Qur’an. Rasulullah SAW selalu menjenguk Ummu Waraqah dan memberikan julukan Syahidah kepada Ummu Waraqah. Julukan seperti ini adalah wajar karena beliau adalah orang yang gigih dalam menjalankan agamanya. Ketika Rasulullah menghadapi perang Badar Ummu Waraqah berkata : Wahai Rasulullah, apakah engkau mengizinkan saya untuk berperang bersama engkau. Ia meminta kepada Nabi untuk dibolehkan menjadi imam bagi keluarganya. Padahal didalam keluarganya ada beberapa orang termasuk pria tua yang sering mendendangkan alunan azan ketika shalat mau dilaksanakan.[4]
Hadis riwayat Abu Daud terswbut dijadikan sebagai hujjah hukum oleh Abu saur, al-Muzaini dan Ibnu Jarir tentang bolehnya wanita menjadi imam sholat meskipun ada yang laki laki. Karena zahir hadis tersebut menunjukkan bahwasanya Ummu Waraqah menjadi imam sholat atas laki laki tua dan budak laki laki dan perempuannya.[5] Pendapat inilah yang dipegang oleh Hasbi. Tetapi Hasbi tidak memutlakkan wanita boleh menjadi imam sholat bagi laki laki seperti Abu Saur, Ibnu Jarir dan al-Muzani. Hasbi mengkhususkan dalam konteks keluarga saja karena tampaknya Hasbi memahami betul dalam kompleks apa hadis tersebut diturunkan.
            Jadi berdasarkan riwayat Ummu Waraqah tersebut diatas nampak bahwa Rasulullah SAW menyuruhkan menjadi imam bagi keluarganya. Hal ini tidaklah mengherankan karena sahabat beliau tersebut adalah seorang ahli qira’ah dan bacaan al-Qur’an sangat baik. Oleh karena itu Rasulullah SAW menyuruhnya untuk menjadi imam sholat untuk keluarganya meskipun di rumahnya ada beberapa orang pria yang salah satunya adalah pria tua.
Adapun menurut jumhur ulama, hadis tersebut tidak bisa menjadi dasar atas bolehnya wanita menjadi imam sholat bagi laki laki karena belum tentu waktu itu Ummu Waraqah menjadi imam sholat atas muazzinnya dan seandainya wanita boleh menjadi imam atas laki laki maka prktik sahnya itu sudah ada sejakmasa awal islam. Di samping itu jumhur ulama berpendapat bahwasanya wanita itu disunahkan mengambil saf yang paling belakang karena sebaik baik saf wanita adalah yang paliing belakang dan seburuk buruk saf wanita adalah yang paling depan.[6]
Adapun pengkompromian dua nass yang tampak berlawanan itu berdasarkan penjelasan di atas adalah :
Hadis Ibnu Majah dari Jabir yang dijadikan sebagai hujah hukum oleh Syekh Nawawi adalah hadis Da’if sehingga tidak bisa dijadikan sebagai dasar hukum. Sedangkan hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari tersebut adalah hadis shahih dan dipahami oleh Syeh nawawi al Bantani berdasarkan umumnya lafaz sebagai larangan begi perempuan menjadi pemimpin dalam imamah al-sugra. Tetapi berdasarkan penafsiran penafsiran yang ada hadis ini lebih banyak berbicara dalam konteks imamah al-Kubra.
Adapun hadis yang dijadikan hujah hukum oleh Hasbi tersebut berbicara dalam konteks mengimani keluarga atau ahli rumah, dan Hasbi tampaknya memahami betul dalam konteks apa hadis itu, sehingga ia hanya menbatasi bolehnya wanita menjadi imam sholat atas laki laki dalam konteks mengimani keluarga saja. Akan tetapi menurut Hasbi yang paling utama menjadi seorang imam adalah laki laki. Yang berlandaskan pada hadis Ummu Waraqah tersebut yang secara zahir mengimami ahli rumahnya termasuk laki laki. Hadis Ummu Waraqah ini berbicara dalam konteks yang khusus yaitu mengimami ahli rumah atau keluarga.
Jadi hadis al-Bukhari berbicara dalam konteks yang umum tentang larangan wanita menjadi imam sholat bagi laki laki. Sedangkan hadis Ummu Waraqah berbicara dalam konteks yang khusus yaitu menjadi imam sholat bagi laki laki dalam konteks mengimami keluarga. Menurut penyusun berdasarkan keterangan Abdul Wahhab Khallaf bahwasannya cara menggabungkan dan menyesuaikan dua dalil yang bertentangan adalah dalil yang khusus menkhususkan yang umum maka menurut penyusun penggabungan dan pengkompromiannya adalah :
Hadis riwayat al-Bukhari adalah larangan wanita menjadi imam sholat dalam konteks yang umum dan hadis ini dikhususkan oleh hadis Ummu Waraqah tersebut, dengan bolehnya wanita menjadi imam sholat bagi laki laki dalam konteks keluarga saja dan dari asbab al-wurud hadis Ummu Waraqah ini dipahami juga bahwasannya bukan sembarang wanita yang menjadi imam sholat atas laki laki tetapi wanita itu haruslah ahli qira’ah dan baik bacaan al-Qur’annya. Dalam konteks inilah harus dipahami bahwa wanita boleh menjadi imam sholat bagi laki laki dalam konteks keluarga, jika wanita itulah yang paling patut menjadi imam sholat dengan kelebihan yang ia miliki tersebut. Sedangkan hadis al-Bukhari itu adalah larngan wanita menjadi imam sholat bagi laki laki yang diluar konteks keluarga seperti di masjid masjid.
Larangan ini juga untuk menghindari terjadinnya fitnah yaitu suasana yang mengganggu atau menggoda hati dan pikiran laki laki. Dalam masalah ini pula dalam masalah urusan saf adalah sholat berjama’ah, posisi wanita dan laki laki haruslah terpisah dan wanita dibelakang kaum laki laki, perempuan dilarang menyampaikan khutbah, atau mengumandangkan azan dan perempuan yang keluar untuk sholat berjam’ah di masjid juga dianggap kurang baik.

D.    Munasabah ayat
لن يفلح قوم اسندوا امر هم الي امرء ة[7]

Dalam musnad Ahmad bin Hambal hadis ini diriwayatkan dalam 4 tempat. Disamping itu hadis ini juga diriwayatkan juga oleh al-Bukhari dalam kitabnya sahih al-Bukhari dalam bab al-fitan dan diriwayatkan juga oleh an-Nasa’i dalam kitabnya sunan an-nasa’i juz IV dalam bab al-fitan juga. Jadi berdasarkan keterangan ini paling tidak hadis ini diriwayatkan melalui 6 jalur sanad. Enam jalur sanad hadis tersebut menggunakan redaksi yang sedikit berbeda, tetapi tidak sampai merubah makna.[8]
Menurut Drs. Nur Khairin M.Ag dalam penelitiannya tersebut, kalau dilihat dari segi sanadnya hadis ini adalah hadis ahad. Karena dari keenam jalur tersebut terdapat sebuah tabaqah yang hanya diriwayatkan oleh satu orang perawi. Untuk membuktikan bahwa hadis lan yufliha tersebut maqbul atau tidak maka akan dilakukan jarh wa ta’adil kepada para rawi yang membangun hadis tersebut. Untuk lebih mempermudah maka hanya mengambil satu jalur periwayatan saja dari 6 jalur sanad yang ada yaitu riwayat Ahmad bin Hambal.
Asbabul wurud hadis tersebut berdasarkan keterangan Ibnu Hajar yang menngatakan hadis tersebut melengkapi kisah Kisra yang telah merobek robek surat Nabi SAW, pada suatu saat ia dibunuh oleh anak laki lakinya. Anak tersebut juga membunuh saudara saudaranya. Ketika dia mati diracun, kekuasaan kerajaan akhirnya berada di tangan anak perempuannya, Bauran binti Syiruyah Ibnu Kisra. Tidak lam kemudian kekuasaannya hancur berantakan.[9]

NO.
NAMA PERIWAYAT
URUTAN PERIWAYAT
URUTAN SANAD
1.
Abu Bakrah
(siqah)
I
IV
2.
Abdurrahman bin Jausyan
(siqah)
II
III
3.
Uyainah bin Abdurrahman
(Siqah)
III
II
4.
Yazid bin Harun
(siqah)
IV
I
5.
Ahmad bin Hambal
(Ausar)
V
Mukharrij
6.
Abdullah bin Hambal
(siqah)
VI
Mukharrij

Berdasarkan data tersebut kesimpulannya adalah hadis tersebut adalah hadis hasan karena tidak ada satupun rawi yang da’if. Dan juga sanadnya bersambung karena tahun tahun hidup para perawinya saling bertemu.
Karena ada 6 jalur sanad maka kualitasnya bisa dinaikan menjadi Sahih ligairihi. Yang dijadikan sandaran hukum oleh Syeh Nawawi al-Bantani.
Para ulama berbeda pendapat memahami hadis riwayat Bukhari tersebut. Persoalan yang muncul ketika menkaji hadis ini adalah apakah hadis ini berlaku khusus pada sebab turunnya ataukah berlaku umum. Kebanyakan yang dipakai adalah keumuman lafaz, bukan sebab yang khusus. Jumhur ulama juga sependapat dengan Bukhari, bahwa wanita tidak boleh menjadi pemimpin termasuk pemimpin dalam sholat dan wanita tidak boleh menjadi qadi atau hakim tetapi Ibnu jarir at-Tabari dan Imam Malik membolehkan wanita menjadi hakim.[10] Oleh karena itu al-Khattabi mengatakan bahwa seorang wanita tidak sah menjadi Khalifah. Demikian juga Syaukani dalam menefsirkan hadis ini berkata bahwa wanita itu tidak termasuk ahli dalam hal kepemimpinan, sehingga tidak boleh menjadi kepada negara.[11] Syekh Nawawi mengikuti pendapat Imam Syafi’i yang melarang wanita menjadi imam sholat bagi laki laki.
Yusuf Qardawi berpendapat bahwasanya yang dimaksud dengan hadis tersebut adalah larangan bagi wanita memegang kekuasaan tertinggi atau al-imamah al-uzma. Ketentuan ini berlaku bagi wanita bila ia menjadi raja atau kepala negara yang mempunyai kekuasaan mutlak terhadap kaumnya yang segala kehendaknya harus di jalankan, semua hukumnya tidak boleh ditolak dan selain perintahnya tidak boleh dikukuhkan.[12]
KH. Husein Muhammad dalam bukunya Fiqh Perempuan berpendapat bahwasanya hadis ini tidak dapat dipertahankan jika dihadapkan pada fakta fakta sejarah yang ada. Sejumlah perempuan telah terbukti mampu memimpin bangsanya dengan sukses. Pada masa sebelum Islam kita mengenal Ratu Balqis, penguasa negeri Saba, seperti yang diceritakan al-Qur’an. Indira Ghandi, Margaret Tatcher, Srinavo Bandaranaeke, Benazir Butho, Syekh Hasina Zia, itulah beberapa contoh saja dari pemimpin bangsa di masa modern yang relatif sukses.

E.     Syarh al-hadis
·         Hukum Wanita Menjadi Imam Sholat Menurut Syekh Nawawi al-Bantani.
Syekh Nawawi adalah seorang faqih yang berasal dari Banten tetapi tinggal di Arab Saudi (Makkah). Dalam bidang Syari’at ia mendasarkan pandangannya pada al-Qur’an, hadis, ijma, dan Qiyas. Hal ini sesuai dengan dasar dasar yang dipakai oleh Imam Syafi’i karena dalam masalah fiqh beliau mengikuti Mahab Syafi’i.
Dalam Tausyih ‘ala Fath al-Qarib al-Mujib, Syekh Nawawi menjelaskan bahwasanya syarat syarat mendirikan sholat jama’ah adalah :
1.      Makmum wajib berniat mendirikan sholat berjamaah dengan mengikuti imam.
2.      Orang yang pandai membaca tidak mengikuti imam yang ummi
3.      Wanita dan Khunsa tidak boleh menjadi imam atas laki laki. Laki laki tidak boleh bermakmum pada wanita dan khunsa karena hal tersebut, termasuk empat yang bathil.[13]
Selanjutnya Syekh Nawawi dalam kitabnya kasyifatu as-Saja membagi imamah dalam sholat menjadi dua yaitu imamah yang sahih dan imamah yang batil. Menurut beliau imamah dalam sholat ada 9 bentuk, lima diantarannya adalah imamah yang sah menurut syara’ dan empat lagi adalah imamah yang dilarang menurut syara’.
Bentuk atau model imamah yang dibolehkan oleh syara’ yaitu :[14]
1.      Imamah laki laki dengan laki laki, artinya laki laki boleh menjadi imam atas laki laki.
2.      Imamah wanita dengan laki laki artinya laki laki boleh menjadi imam sholat bagi wanita.
3.      Imamah khunsa dengan laki laki artinya laki laki boleh menjadi imam sholat bagi khunsai.
4.      Imamah wanita dengan khunsa artinya khunsa boleh menjadi imam sholat bagi wanita.
5.      Imamah wanita dengan wanita artinya wanita boleh menjadi imam sholat bagi wanita.
Adapun imamah yang dilarang menurut Syekh Nawawi ada empat, yaitu :
1.      Imamah laki laki dengan wanita artinya wanita tidak boleh menjadi imam sholat bagi laki laki.
2.      Imamah laki laki dengan khunsa, artinya khunsa tidak boleh menjadi imam sholat atas laki laki. Kecuali khunsa itu adalah khunsa yang telah jelas kelaki lakiannya yaitu ia lebih dominan pada laki laki maka bermakmum padannya dihukumi makruh.
3.      Imamah khunsa dengan wanita, artinya wanita tidak boleh menjadi imam sholat atas khunsai. Tetapi apabila wanita menjedi imam sholat atas khunsa yang lebih dominan ke perempuan adalah makruh.
4.      Imamah khunsa dengan khunsa, artinya khunsa tidak boleh menjadi imam sholat atas sesama khunsanya.
Jadi kesimpulan pembagian yang dilakukan oleh Imam Nawawi hanya membolehkan wanita menjadi imam sholat atas sesama wanitanya saja dan wanita tidak boleh menjadi imam sholat atas laki laki maupun khunsa(yang lebih dominan pada laki laki).


Hal ini sejalan dengan Mazhab Syafi’i, Wanita boleh menjadi imam atas sesama wanitanya berdasarkan atas hadis Nabi yaitu :
امتنا عاءشة فقامت بينهن في الصلاة المكتوبة[15]
Mengenai hukum wanita menjadi imam sholat atas laki laki atau khunsa  Nawawi bependapat bahwasanya wanita tidak sah menjad imam sholat bagi laki laki maupun khunsa. Syekh Nawawi dalam hal ini berijtihad dengan merujuk pada hadis Nabi SAW, yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, yakni :
لن يفلح قوم ولوا امر هم امر ء ة[16]
·         Hukum  Wanita Menjadi Imam Sholat Menurut T.M. Hasbi ash-Shiddieqy
Hasbi dikenal sebagai tokoh pemberharu yang tidak terbelenggu pada pemikiran satu Mazhab dan gagasan gagasannya tentang hukum islam berupaya membangun sebuah pemahaman fiqh   bernuansa Indonesia sehingga oleh Nouruzzaman ash-Shiddieqy beliau disebut sebagai penggagas fiqh Indonesia. Dalam melakukan ijtihad, terutama dalam hal hukum hukum yang telah ada ketetapannya ia melakukan metode komparasi yaitu membandingkan pendapat pendapat yang ada kemudian mengambil pendapat yang paling mendekati kebenaran dan mendukung oleh dalil dalil yang kuat, Begitu pula dalam masalah imam sholat ini.
Dalam bukunya Pedoman sholat, Hasbi memaparkan berbagai pendapat yang ada tentang hukum wanita menjadi imam sholat kemudian ia mentarjih pendapat pendapat tersebut setelah melakukan pengkajian terhadap dalil dalil yang mereka pergunakan. Hasbi berpendapat bahwasanya wanita wanita yang menghadiri jamaah bersama laki laki dan diimami oleh laki laki adalah suatu kebajikan, karena sejarah dan riwayat membuktikan  Bahwasanya wanita wanita di zaman Nabi SAW turut sholat bersama
Nabi baik diwaktu siang maupun dimalam hari. Hal ini diketahui oleh Nabi sendiri dan mencegah para sahabat melarang isteri isteri mereka pergi sholat berjamaah di malam hari ke masjid.[17]
Menurut Habsy sholatnya para wanita lebih baik di rumah hendaklah ketika ditakuti timbul fitnah, karena andaikata secara mutlak para wanita lebih baik sholat di rumah terutama Nabi SAW, tidak berdiam diri mebiarkan perempuan menghadiri jama’ah di masjid. Maka dalam hal ini  hendaklah para wanita menjauhkan sesuatu yang dapat menimbulkan gairah orang laki laki kepadanya, baik mengenai pakaian maupun parfum yang digunakan.[18]
Adapun wanita yang menjadi imam sholat bagi laki laki, Hasby sependapat dengan al-Muzani, Abu saur, Ibnu Jarir, as-Sana’ni, dan asy-Syaukani bahwasanya wanita boleh menjadi imam atas laki laki.[19] Tetapi Hasbi tidak memutlakkan bolehnya wanita menjadi imam sholat bagi laki laki seperti Abu saur, al-Muzani dan Ibnu Jarir, ia menghususkan bolehnya wanita menjadi imam sholat bagi laki laki dalam konteks keluarga.
Selanjutnya Hasbi mentakhrij[20] hadis Nabi dari Ummu Waraqah, yang diriwayatkan oleh Abu Daud  tentang bolehnya wanita menjadi imam sholat bagi ahli rumahnya dan hadis Nabi SAW.
Hasbi berpendapat bahwasannya selain Abu Dawud, hadis ini juga oleh Ibnu Sakan dari jalam Muhammad ibn Fudail dan diriwayatkan juga oleh Abu Nu’man, Ibnu Mandah dan oleh Ad-Daruqutni. Dan menirut Abu Daud sanad hadis ini adalah : Abu Dawud menerima dari utsman ibn Syaibah yang menerima dari Abdurrahman ibn Khallad Al-Ansari yang menerima dari Ummu Waraqah.[21]
Menurut Hasbi Utsman ibn Abi Syaibah dan Waki’ ibn Jarrah tak perlu diterangkan siapa mereka, karena mereka lebih terang dari matahari di hari terik. Yang perlu diterangkan hanya al-Walid dan Abdurrahman. Al-Walid adalah orang yang dipercaya oleh Ibnu Ma’in, Al-Ajali, Ahmad dan Abu Zur’ah. Sedangkan Abdurrahman ibn Khallad al-Ansari adalah seorang yang dipercaya oleh Ibn Hibban.[22]
Jadi berdasarkan paparan diatas menjadi jelas bahwasanya Hasbi berpendapat bahwasanya wanita boleh menjadi imam sholat bagi ahli rumahnya meskipun ada yang laki laki, berdasarkan hadis Nabi SAW, yang diriwayatkanoleh Abu Dawud dari Ummu Waraqah tersebut. Kata kata ahli rumahnya mencakup orang tua, saudara, anak, istri dan suami serta pembantu. Jadi kalau memang wanita yang paling patut untuk menjadi imam dalam sebuah keluarga maka hal itu dibolehkan menurut Hasbi ash-Shiddieqy.
Adapun syarat syarat minimal seorang menurut Hasbi adalah :
1.      Sanggup menunaikan sholat. Maka jika dengan tiba tiba datang gangguan, hendaklah ia menggantikan dirinya dan mundur ke dalam saf.
2.      Mengetehui hukum sholat. Artinya mengetehui sah tidaknya sholat dalam segala sudut.
3.      Mempunyai hafalan yang kuat.
4.      Tidak cacat bacaan al-Qur’annya. Jika cacatnya tidak merusak makna maka ia sah menjadi imam sholat.
Menurut referensi hadis ini diriwayatkan melalui 5 jalur periwayatan. Kelima jalur tersebut menggunakan redaksi yang agak berbeda tetapi tidak sampai merusak makna.
Untuk membuktikan apakah hadis tersebut maqbul atau tidak maka akan dilakukan jarh wa ta’adil kepada para rawi yang membangun hadis tersebut. Untuk memudahkan dalam memahami analisa sanad tersebut, maka saya hanya akan mengambil satu jalur periwayatan saja dari 5 jalur sanad yang ada yaitu riwayat Abu Dawud.
Adapun sanad yang membangun hadis ini adalah :
NO.
NAMA PERIWAYAT
URUTAN PERIWAYAT
URUTAN SANAD
1.
Ummu Waraqah
I
V
2.
Abdurrahman Ibn Khallad
II
IV
3.
Walid ibn Jami’
III
III
4.
Muhammad ibn Fudail
IV
II
5.
Hasan ibn Hammad
V
I
6.
Abu Dawud
VI
Mukharrij

1.      Ummu Waraqah
Beliau adalah salah seorang sahabat Nabi dan diberi gelar oleh Rasulullah sebagai Syahidah. Beliau meriwayatkan hadis dari Nabi dan muridnya antara lain adalah Abdurrahman ibn Khallad. Kualitas kesiqahannya tidak perlu dibicarakan lagi karena semua sahabat adalah adil.
2.      Abdurrahman Ibn Khallad
Beliau meriwayatkansejumlah hadis dari Ummu Waraqah. Muridnya antara lain adalah al-Walid ibn Abdullah ibn Juma’il. Beliau adalah siqah menurut Ibnu Hibbah.[23]
3.      Walid ibn Juma’
Beliau meriwayatkan hadis dari Abdurrahman ibn Khallad, Abu Tufail dan sebagainya. Sedangkan periwayat lain yang mengambil darinya adalah Waqi’, Yahya al-Qattan dan sebagainya. Ibnu Ma’in dan al’Ajliy mengatakan bahwasanya beliau adalah seorang yang siqah.
4.      Muhammad ibn Fudail
Beliau meriwayatkan hadis dari sejumlah guru antara lain Walid ibn Juma’i sedangkan muridnya antara lain adalah Hasan ibn Hammad. Beliau adalah siqah menurut Yahya ibn Ma’in, sedangkan an-Nasa’i berpendapat bahwasanya beliau laisa bihi ba’sum.
5.      Hasan ibn Hambal
Beliau meriwayatkan hadis dari Muhammad ibn Fudail dan muridnya adalah antara lain Abu Dawud dan Ibnu Majah. Beliau adalah siqah menurut al-Khatib.

6.      Abu Dawud
Beliau adalah siqah dan tidak satupun ulama yang menilainya negatif. Al-hakim menyebutnya bahwasannya Abu Dawud dapat menghafal 100.000 hadis.
Untuk melihat adanya persambungan sanad maka dapat dilihat dari segi kualitas perawinya dalam sanad yaitu dengan cara melihat kesiqatannya tanpa adanya tadlis dan sah menurut tahammul wa al-ada’[24] serta hubungannya dengan periwayat terdekat.[25]
Berdasarkan penjelasan di atas antara Rasulullah SAW dengan Ummu Waraqah tidak diragukan lagi persambungannya. Dalam pandangan ulama hadis hadis yang dikemukakan oleh Ummu Waraqah diberikan langsung kepada Abdurrahman ibn Khallad dan ada juga yang mengatakan melalui Laila bin Malik. Berdasarkan adanya pengakuan bahwa keduannya ada hubungan guru dan murid serta siqat yang digunakan dalam menerima dan meriwayatkan hadis dapat dikatakan keduannya bersambung. Demikian terhadap murid Abdullah ibn Khallad, Walid ibn Abdullah dapat dikatakan barsambung dengan pertimbangan yang sama.
Sedangkan hubungan antara Waki’ ibn Jarrah dengan Walid bin Abdullah terdapat hubungan guru dan murid. Sedangkan Muhammad ibn Fudail dengan Walid bin Juma’i dapat dikatakan bersambung karena keduanya ada hubungan guru dan murid. Persambungan sanad antara Muhammad ibn Fudail dengan Hasan ibn Hammah adalah bersambungdengan pertimbanagan antara keduanya terdapat hubungan guru dan murid. Pertimbangan sama juga dapat dilakukan pada Hasan ibn Hammah dengan Abu Dawud.

Jadi berdasarkan kualitas dan persambungan sanad tersabut di atas dapat disimpulkan bahwa seluruh periwayat yang terdapat dalam sanad Abu Dawud bersifat siqah dan sanadnya bersambung dari periwayat pertama yaitu Ummu Waraqah sampai periwayat terakhir. Keberadaan sanad Abu Dawud ini semakin kuat dengan adanya dukungan muttabi pada peringkat kelima. Dengan adanya pertimbangan sanad, persambungan sanad dan adanya muttabi pada peringkat kelima maka dapat disimpulkan bahwa sanad Abu Dawud terhindar dari Syaz dan ‘illat. Maka berdasarkan data tersebut penyusun berkesimpulan bahwasanya hadis tersebut adalah hadis sahih lizatihi.
Berdasarkan data tersebut pula, maka tidak mengherankan kalau Ibnu Khuzaimah dan Hasbi ash-Shiddieqy berpendapat kalau hadis tersebut adalah sahih karena para periwayatnya dalam rangkaian sanad tersebut siqah semuanya dan periwayatanya bersambung dari periwayat pertama sampai terakhir (mukharrij al-hadis). Jadi hadis ini dapat dijadikan hujjah hukum karena hadis tersebut adalah hadis sahih.










F.     Tahlil al hadis
Masih ingatkah dengan kejadian yang membuat gencar dunia kala itu terlebih bagi kaum muslim dunia, ya benar, tersiat kabar bahwa seorang wanita bernama Amina Wadud, profesor tamu di jurusan studi Islam, Virginia Commonwealt University AS telah mengimami sholat Jumat dan berkhotbah di New York, sekitar tahun 2005. Sholat Jumat ini berlangsung di gereja Anglikan, Manhattan, New York, AS yang safnya pun campur antara laki laki dan perempuan.
Ia merupakan salah satu tokoh panutan para pengiat isu Feminisme yang oleh Luthfi Assyaukanie, Amina Wadud disebut sebagai srikandi srikandi Islam yang layak menjadi role model begi perempuan Muslim di dunia modern.
Isu feminisme memang sedang hangat dibicarakan dan digembor gemborkan oleh para pengiatnya. Jika maksud dari feminisme adalah memerdekakan wanita dari segala bentuk kedzaliman, tentu itu tindakan yang baik. Dan itulah misi Islam semenjak muncul berpuluh abad yang lalu. Tapi nyatanya feminisme telah diarahkan untuk menghancurkan sendi sendi Islam dan menggugatnya karena beranggapan behwa ada ketidak adilan dalam Islam kepada wanita.
Menariknya, tak sedikit para pengiat feminisme mencari legitimasi hadis hadis Nabi atau pendapat para Ulama klasik untuk membenarkan apa yang mereka perjuangkan. Maka dari itu kita harus memandang hal ini jangan dari sisi jelaknya tapi dari sisi lain yang menjadikan hukum itu diperbolehkan karena menarik untuk disimak kelanjutannya.




BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Hadis riwayat a-Bukhari dan Abu Dawud adalah hadis sahih yang sekilas tampak bertentangan. Pertentangan kedua dalil itu dapat dikumpulkan dan dikompromikan. Hadis riwayat al-Bukhari berbicara dalam konteks imam sholat secara umum dimana laki laki yang bukan muhrim seperti di masjid dan lain lain. Jadi hadis ini menjadi hujah hukum atas larangan wanita menjadi imam sholat di tempat umum. Sedangkan hadis riwayat Abu Dawud berbicara dalam konteks keluarga bukan dalam konteks yang umum karena disebutkan dalam hadis tersebut bahwasanya Ummu Waraqah menjadi imam sholat bagi ahli rumahnya meskipun ada laki laki dengan syarat wanita itulah yang paling patut menjadi imam. Jadi hadis al-Bukhari dikhususkan oleh hadis Abu Dawud sehingga  duannya tidak bertentangan dan dapat diamalkan secara bersama sama.
B.     Saran-Saran
Setelah melalui proses pencarian informasi mekalah ini saya sadar bahwa perlu ada perbaikan setelah ini yakni :
a.       Perlu penelitian yang lebih komperhensip mengenai hukum wanita menjadi imam sholat, sehingga mampu memberikan informasi yang utuh dan tidak menyimpang dari kaidah hidup manusia di era modern ini.
b.      Kajian ini dirasakan jauh dari sempurna, maka diharapkan adanya kajian lebih lanjut melalui makalah makalah yang akan datang, dengan harapan akan menimbulkan wacana pemikiran yang mencerdaskan dan berguna bagi kehidupan yang bermartabat, bernuansa islami dan penuh keharmonisan antar pemeluk agama Islam pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqallany, Ibnu Hajar, Fath al-Bari, Beirut : Dar al-Fikr, t.th.
Abu Dawud, Sulaiman ibn al-Asy’as, Sunan Abi Dawud, 4 jilid, Beirut : Dar al-Fikr, 1994.
Al-Bukhari, Muhammad ibn Isma’il, Sahih al-Bukhari, 4 jilid, Beirut : Dar al-Fikr, 1981.
Ibn Majah, Sunan Ibnu Majah, Beirut : Dar al-Fikr, t.th.
An-Nasai, Sunan an-Nasa’i, 5 jilid, , Beirut : Dar al-Ma’rifah, 1991.
Ash-San’any, Muhammad bin  Ismail, Subulussalam, Beirut : Dar al-Kutub al-Islamiyah, t.th.
At-Tirmizi Muhammad ibn ‘isa, Sunan at-Tirmizi, 5 jilid, Beirut : Dar al-Fikr, t.th.
Jabar, Sa’di Husein Ali, Fiqh Imam Abi Saur, Beirut : Dar al-Furqan, 1983
Kodir, Faqihuddin Abdul MA. (ed), Fiqh Perempuan : Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, cet. 2, Yogyakarta : LKIS, 2002.
Khairin, Drs. Nur M.Ag., Telaah terhadap Otentisitas Hadis Misogini : Takhrij Terhadap Hadis Hadis yang Membenci Peremouan, Laporan Penelitian tidak diterbitkan, Semarang : IAIN Walisongo, 2000.
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Ilmu Ilmu al- Qur’an, Jakarta : Bulan Bintang, 1993
Muhibbin, Drs. M.A., Hadis Hadis Politik, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996
An-Nawawi, Syekh, Kasyifatu asy-Saja, Semarang : Karya Putra, t.th.
An-Nawawi, Syarafuddin, al-Majmu’ Syarh al- Muhazzab, Jeddah : Maktabah al-Irsyad, t.th.
Ash-Shiddiqy, Prof. Dr. T.M. Hasbi, Pedoman Sholat, Jakarta : Bulan Bintang, 1983.
Ismail, DR. Muhammad Syuhudi, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, cet. 1, Jakarta : Bulan Bintang, 1992.
                                                       




[1] Abu Daud, Sunan Abi Daud, “Bab Imamah al-Nisa”, hadis nomor 592
[2] Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’I, dan telah disebutkan pada bab 29 no. 2
[3] Abu Bakar al-Qathai, Munad Ahmad bin Hambal, juz. V, hlm. 38.
[4] Abu Daud, Sunan Abi Daud, “Bab Imamah al-Nisa”, hadis nomor 592. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud dari Usman bin Abi Syaibah Waki’ bin Jarrah
[5] Muhammad bin Ismail Ash Sana’ny, Subul as-salam, hlm. 76
[6] Sa’adi Husain Ali Jabar, Fiqh Imam Abi Saur, hlm. 227
[7] Abu Bakar al-Qathai, Munad Ahmad bin Hambal, juz. V, hlm. 38.
[8] Nur Khairin, “laporan Hasil Penelitian tentang Telaah terhadap Otentitas hadis hadis Misogini”, hlm. 71.
[9] KH. Husein Muhammad, Fiqh Perempuan :  Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, diedit oleh Faqihuddin Abdul Qadir, M.A. cet. 2, hlm. 150.
[10] Hasbi ash-Shiddieqy, ilmu ilmu al-Qur’an, cet. 3, hlm. 51.
[11] Muhibbin, Hadis Hadis Politik, cet. 1, hlm. 76
[12]Yusuf    Qardhawi, Fatwa Fatwa Kontemporer, hlm. 545.
[13] Syekh Nawawi al-Bantani, Tausyih ‘ala Fath al-Qarib al-Mujib, hlm. 72-73
[14] Syekh Nawawi, Kasyifatu as-Saja, hlm. 89
[15] Syarafudin an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-muhazzab, hlm. 199. Hadis sahih diriwayatkan oleh Baihaqi dan Addaruqutni
[16] Al-Kirmany, Sahih Abi al-Bukhari, “Bab al-Fitan”, jus 24 : 173. No 6671. Hadis sahih riwayat Bukhari dari Abi Bakrah.
[17] Hasby ash-Shiddiqy, Pedoman Sholat, hlm. 443
[18] Ibid., hlm. 444
[19] Ibid., hlm. 447
[20] Takhrij hadis adalah penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadis yang bersangkutan yang di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad hadis yang bersangkutan.
[21] Hasby ash-Shiddiqy, Pedoman., hlm. 446
[22] Ibid., hlm. 447
[23] Ibn Hajar al-Asqalani, Tahzib  al-Tahzib, juz. VI, HLM. 154
[24] Adalah penerimaan dan penyampaian hadis
[25] M. Syuhudi Ismail, kaidah kesahihan sanad hadis: telaah kritis dan tinjauan dengan pendekatan ilmu sejarah, cet.II, hlm. 85-118

Artikel Terkait

Perempaun Menjadi Imam Sholat
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email