26/02/2015

Benda Cagar Budya Di Kebumen "Situs Sari Nabati"


EX PABRIK MINYAK KELAPA SARI NABATI KEBUMEN SEBAGAI SITUS BUDAYA WARISAN INDONESIA

 Kata Pengantar Puji syukur sayasampaikan kehadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat, hidayah, taufiq, serta inayah-Nyasaya dapat menyelesaikan makalah ini. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan ke hadiratRasulullah SAW yang membimbing kita menuju jalan yang diridhoi oleh-Nya. Terima kasih kepada dosen pengampu yaitu Bapak Hendra Prabowo M. Hum, selaku pembimbing Mata Kuliah Hukum Lingkungan yang telah membimbing saya dalam menyelesaikan makalah yangberjudul “Pabrik Sari Nabati Sebagai Situs Budaya Warisan Indonesia” ini. Dalam pembuatan makalah ini penulis telah berusaha semaksimal mungkin agar dapat bermanfaat bagi para pembaca.Semoga makalahini bisa bermanfaat bagi kita, dan penulis mengharapkan masukan, kritik dan saran dari para pembaca. Karena penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.

Yogyakarta…..Desember 2014 Penulis (Mohammad Toha Yahya, UIN Sunan Kalijaga: Prodi Ilmu Hukum)
 
 BAB I PENDAHULUAN 
A. Latar Belakang 
Secara geografis, kedudukan Indonesia cukup strategis. Hal tersebut menjadikan Indonesia sebagai jalur perdagangan internasional. Konsekuensinya adalah terjadinya pertemuan kebudayaan bangsa-bangsa di dunia. Dalam perjalanan sejarah, banyak bangunan yang di buat oleh penjajah dan akhirnya diturunkan oleh masyarakat Indonesia, mulai dari pabrik, tempat wisata, dan bangunan bangunan kuno lainnya. Pada abad 16, Portugis datang ke pelabuhan Kerajaan Sunda, yaitu banten dan Sunda Kelapa, namun berhasil diusir, dan bergerak menuju ke arah timur dan menguasai Maluku. Pada abad 17, Belanda menjadi yang terkuat yang berhasil mengalahkan Britania Raya dan Portugal. Pada masa penjajah Eropa masuk, agama Kristen masuk, dengan misi, 3G, yaitu Gold, Glory, and Gospel. Belanda menguasai perdagangan lewat VOC atau organisasi dagang Belanda. Di Kabupaten Kebumen saat itu termasuk dalam lingkup penjajahan terdapat sebuah peninggalan bersejarah bernuansa kolonial, yaituex Pabrik Minyak Kelapa Sari Nabati. Pabrik Sari Nabati sebagai benda cagar budaya merupakan warisan budaya yang mempunyai nilai penting bagi ilmu pengetahuan maupun sejarah kebudayaan bangsa. Warisan budaya tersebut sangat berguna bagi pendidikan, yaitu sebagai wahana dalam memupuk rasa nasionalisme dan memperkokoh kesadaran jatidiri bangsa. Apabila mengacu pada Pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945, dinyatakan bahwa pemerintah “memajukan kebudayaan nasional Indonesia”, maka salah langkah yang tepat adalah melakukan upaya untuk menjamin terpeliharanya benda cagar budaya. Oleh karena itu, untuk melindungi sumber peninggalan masa lalu secara utuh agar tetap terjaga kelestariannya sesuai Undang-Undang Benda Cagar Budaya (UU-BCB) Nomor 11 Tahun 2010, maka Pabrik Sari Nabati layak atau pantas untuk diajukan sebagai situs budaya warisan Indonesia. 
 B. Rumusan Masalah 
a. Bagaimanakah sejarah awal mula Pabrik Sari Nabati? 
b. Bagaimanakah penilaian mengenai Pabrik Sari Nabati sebagai situs budaya?
 c. Bagaimanakah penyelamatan ex Pabrik Minyak Kelapa Sari Nabati sebagai bagian aset sejarah dan cagar budaya? 
 BAB II PEMBAHASAN 
A. Sejarah Pabrik Sari Nabati 
 Pabrik Sarinabati Kebumen didirikan pada tahun 1851 dengan nama awal NV. Oliefabrieken Insulinde Amsterdam – Kediri – Blitar – Keboemen, yang kemudian berubah menjadi Mexolie, berubah lagi menjadi Nabatiasa dan berubah lagi menjadi Sari Nabati. Hal ini didukung dengan bukti berupa tulisan angka tahun yang dahulu terdapat di salah satu dinding perumahan utama (sebelah utara); sayang tulisan ini sudah tidak didapati lagiBukti lain adalah foto keadaan lapangan didepan pabrik dimana belum terdapat rel kereta api. Sedangkan sejarah rel kereta api pertama di pulau Jawa adalah sebagai berikut: Dalam data wikipedia tentang Sejarah perkeretaapian di Indonesia disebutkan bahwa: Jaringan setelah tahun 1875 hingga tahun 1888 Pembangunan Tahap I terjadi tahun 1876-1888. Awal pembangunan rel adalah 1876, berupa jaringan pertama di Hindia Belanda, antara Tanggung dan Gudang di Semarang pada tahun 1876, sepanjang 26 km. Setelah itu mulai dibangun lintas Semarang – Gudang. Pada tahun 1880 dibangun lintas Batavia (Jakarta) – Buitenzorg (Bogor) sepanjang 59 km, kemudian dilanjutkan ke Cicalengka melalui Cicurug – Sukabumi – Cibeber – Cianjur – Bandung. Pada tahun 1877 dibangun lintas Kediri – Blitar, dan digabungkan dengan lintas Surabaya – Cilacap lewat Kertosono – Madiun – Solo, dan juga lintas Jogya – Magelang. Hingga tahun 1888 jaringan rel terbangun adalah: 1. Batavia – Buittenzorg – Sukabumi – Bandung – Cicalengka 2. Batavia – Tanjung Priok dan Batavia – Bekasi 3. Cilacap – Kutoarjo – Yogya – Solo – Madiun – Sidoarjo – Surabaya 4. Kertosono – Kediri – Blitar 5. Sidoarjo – Malang dan Bangil – Pasuruan – Probolinggo 6. Solo – Purwodadi – Semarang dan Semarang – Rembang 7. Tegal – Balapulang Iklan NV.Oliefrieken Insulinde, muncul di halaman 7 koran berbahasa Belanda “HET NIEUWS VAN DEN DAG VOOR NEDERLANDSCH-INDIË.” terbitan Kebon Sirih, Sabtu 17 April 1915, dengan slogan “Grootste Oliefabrikanten in den Archipel” (Produsen Minyak Terbesar di Nusantara). Disebutkan juga dalam website Photographs, Colonial Legacy and Museums in Contemporary European Culture (photoClec) dalam artikel yang berjudul Kettles of Cochran Sejak awal abad ke-19 koloni Hindia Belanda didekati oleh Belanda sebagai koloni untuk exploitation, untuk dikembangkan secara ekonomi untuk kepentingan negara. Menjelajahi dan kemudian mengembangkan pulau-pulau Indonesia berasal dari dorongan untuk mengeksploitasi kekayaan negara dalam hal sumber daya alam dan barang-barang budaya. Pada awal abad 20 kebijakan etis yang menguntungkan tersebut dilaksanakan. Ini ditujukan untuk pembangunan negara kolonial modern, yang menguntungkan penduduk lokal dibidang pendidikan, kesehatan dan peningkatan infrastruktur. Sebelum 1870, semua pertukaran komersial skala besar antara koloni dan ibu negara dieksekusi di bawah pengawasan pemerintah. Setelah itu, koloni dibuka untuk pengusaha swasta. (saat inilah terjadi perubahan dari NV. Oliefabrieken Insulinde menjadi Mexolie) Salah satu perusahaan tersebut adalah minyak kelapa pabrik NV Oliefabriek Insulinde, memproduksi minyak nabati untuk konsumsi manusia. ‘Orang dengan KETTLES’ mengacu pada pembangunan ekonomi yang menandai hubungan antara penjajah dan terjajah. Foto itu dapat dibaca sebagai metafora: seorang pekerja lokal dengan dua mesin Asing yang besar yang terus mengisi bahan bakar di Pabrik Minyak Insulinde Kebumen, Jawa. Iconic serta beberapa aspek dalam foto ini menunjukkan keterkaitan-antara-Eropa-dan-Indonesia. Peristiwa sejarah yang terjadi di Sari Nabati menjelang dan sesudah kemerdekaan: 1. Pada jaman Jepang, Sari Nabati menjadi markas Kempetai 2. Pada masa kemerdekaan hingga peristiwa Agresi Militer Belanda II, Sari Nabati menjadi markas Batalyon III/64 Resimen Moekahar/ Resimen XX/Kedu Selatan. 3. Pada tanggal 19 Desember 1948, terjadi aksi bumi hangus Sari Nabati dipimpin oleh Soewarno dari barisan Pemuda Minyak, guna menghalangi laju Belanda menuju Yogyakarta, akan tetapi aksi ini gagal dikarenakan kekuatan Belanda yang sangat besar dari Gombong dan menyebabkan tertangkapnya 2 anggota TNI Korps AL Cilacap pimpinan Kol. Wagiman dan 2 Barisan Pemuda Minyak, selanjutnya ke-4 orang tersebut ditembak mati di lapangan tenis Sari Nabati. 4. Peristiwa pemberontakan AOI Somalangu pada tanggal 14 Mei 1950 pukul 05.30WIB, meletus di areal Sari Nabati yang saat itu telah menjadi Markas TNI Kompi I pimpinan Soedarsono Bismo. Pemberontakan tersebut tidak berhasil membobol pertahanan TNI di Sari Nabati. 
B. Pentingnya Bangunan Bekas Kolonial Sebagai Bagian Dari Sejarah Kemerdekaan Indonesia
 Bagi sebagian orang, terlebih yang kurang memahami dan peduli akan sejarah, bangunan kolonial tidak mempunyai keistimewaan lebih dan cenderung dianggap tak bernilai. Terkadang bangunan tersebut kemudian menjadi bernilai secara ekonomis dari segi material bahan penyusun, terutama bagian bagian yang terbuat dari kayu sebab berasal dari masa lampau yang pasti memiliki kadar kekerasan, ketuaan dan kelangkaan yang akhirnya diekploitasi untuk sejumlah rupiah karena keantikannya. Maka tidak jarang kita melihat banyaknya bangunan kolonial yang dihancurkan. Selain manfaat ekonomis, hancurnya bangunan kolonial sering disertakan dengan alasan adanya manfaat yang lebih maksimal untuk masyarakat luas jika bangunan yang sudah ketinggalan jaman itu disulap menjadi sebuah kawasan baru yang lebih mendatangkan pemasukan secara ekonomis yang terkadang terlalu memaksakan desain tanpa menghiraukan sejarahnya mengingat letaknya yang strategis.Berbeda dengan sudut pandang sejarah dan budaya, adanya bangunan kolonial sebetulnya memiliki arti penting bagi pembentukan karakter dan pembakar semangat juang anak bangsa, petunjuk betapa mahalnya harga sebuah kemerdekaan serta menjadi monumen kesaktian NKRI. Betapa tidak! Dengan melihat adanya bangunan kolonial, para generasi penerus akan tersentuh keingintahuannya yang lebih mendalam terhadap objek tersebut dan kemudian mengkaitkannya dengan catatan catatan sejarah perjuangan, sehingga itu menjadi cermin bagi mereka untuk meneladani kejuangan para pendahulu yang berhasil mengusir penjajah, dimana salah satu bukti nyata bahwa bangsa kita pernah dijajah adalah adanya bangunan tersebut. Selain untuk semangat juang, dengan melihat bangunan kolonial, generasi penerus yang telah mengetahui peristiwa sejarah akan semakin paham betapa mahalnya harga sebuah kemerdekaan sehingga menjadi kewajiban bagi mereka untuk menjaganya. Tak terhitung nyawa, harta, kesusahan, kesedihan, kepanikan, amarah, dsb dari rakyat Indonesia pada masa kolonial di masa bangunan itu didirikan. Dari beberapa falsafah tersebut bisa disimpulkan bahwa bangunan kolonial merupakan monumen kesaktian NKRI, dimana dengan segenap daya upaya rakyatnya, penjajah yang memiliki perbandingan persenjataan dan teknologi yang jauh di atas kita bisa dilenyapkan dan kemerdekaan pun diraih. Pemahaman di atas terbukti mendasari para generasi penerus yang daerahnya memiliki bangunan kolonial lebih berdaya juang tinggi sehingga mempunyai semangat membangun daerahnya masing – masing wujud dari rasa kebanggaan sebagai keturunan generasi pendahulu yang kuat yang mampu mengusir penjajah dari tempat kediamannya. Sebagai contoh Gombong yang masih banyak terdapat bangunan kolonial, Bandung dengan peristiwa Lautan Apinya, Ambarawa dengan Palagannya, Semarang sebagai tempat aktivitas kolonial, Yogyakarta, Solo, Surakarta, Surabaya dengan peristiwa “Yamato” nya dan lainya, yang terbukti membuat kebanggaan bagi para generasi penerus di daerah tersebut. Ikatan emosional dan batin yang kuat mendasari mereka untuk membangun daerahnya sebagai wujud terimakasih kepada para pendahulu dengan ketrampilan/keahlian masing - masing. Dari itu, Negara kemudian melindungi bangunan bangunan kolonial sebagai cagar budaya dengan berbagai kriterianya yang dirumuskan dalam Undang Undang nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Kebijakan Negara mengenai perlindungan terhadap bangunan bangunan tersebut kiranya sangat tepat sebab jika bangunan bangunan kolonial sebagai monumen kesaktian NKRI tersebut hancur, musnah dan tak berbekas, dampak yang diakibatkan adalah lunturnya semangat juang dan penghargaan akan mahalnya arti sebuah kemerdekaan NKRI dari generasi penerus. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban kita sebagai warga negara yang mematuhi hukum dan mencintai NKRI untuk ikut mengisi kemerdekaan dan terus berjuang salah satu diantaranya adalah mempertahankan bangunan bangunan kolonial di tempat masing masing demi melahirkan generasi penerus yang berdaya juang tinggi dan memahami akan mahalnya arti sebuah kemerdekaan NKRI. Selama kurun waktu 25 tahun lebih, gedung eks pabrik minyak kelapa ini mangkrak, sebagian besar bangunan bekas pabrik minyak kelapa tersebut sudah rusak. Aset-aset pabrik juga hilang. Yang masih tersisa ialah bangunan utama rumah karyawan pabrik Mexolie. Sampai tahun 2011 di dalam gedung ini masih terlihat aktifitas klub olah raga badminton. Tahun 2012 aktivitas klub tersebut sudah menempati gedung baru di sebelah Barat Stasiun Kereta Api Kebumen. 
 C. Masa Kemajuan dan Kemunduran Pabrik Sari Nabati 
 Abdul Rasyid Asba dalam bukunya menyinggung keberadaan pabrik minyak kelapa di Kebumen meskipun tidak menyebutkan nama pabriknya sbb, “Secara keseluruhan, di Hindia Belanda telah berdiri Oliefabrieken Insulinde seperti Oliefabrieken Insulinde Kediri, Sentono, Blitar, Tulung Agung, Banyuwangi, Kebumen, Rangkas Bitung, Padang dan Makasar. Setiap tahun, Oliefabrieken Insulinde tersebut secara teratur mengekspor minyak kelapa ke luar negeri. Misalnya dalam tahun 1924, jumlah ekspor minyak kelapa ke Eropa sekitar 7,96 juta liter, tahun 1925 menjadi 10,93 juta liter dan pada tahun 1928 meningkat menjadi 36,66 juta liter dan tahun 1930 turun menjadi 16,01 juta liter.Grafik di atas menunjukkan bahwa minyak kelapa Hindia Belanda lebih banyak berasal dari Pulau Jawa. Hal ini disebabkan pula Jawa diprioritaskan untuk mengekspor minyak. Sedangkan luar Jawa lebih banyak mengekspor dalam bentuk kopra”. Sekalipun ulasan Abdul Rasyid Asba lebih menitikberatkan eksistensi pabrik-pabrik minyal di jaman kolonial Belanda yang beroperasi pada tahun 1900-an, namun eksistensi pabrik-pabrik minyak kelapa tersebut telah ada sejak zaman VOC. Khususnya Pabrik Minyak Kelapa Sari Nabati yang dahulu bernama NV. Oliefabrieken Insulinde Amsterdam – Kediri – Blitar – Keboemen, didirikan pada tahun 1851. Dalam beberapa rekam sejarah berikut, kita bisa melihat dan membayangkan kejayaan NV. Oliefabrieken Insulinde Amsterdam – Kediri – Blitar – Keboemen dan berbagai aktifitas para pekerja pribumi yang terlibat di dalamnya.Sebagaimana uraian Abdul Rasyid Asba, bahwa eksistensi pabrik minyak tersebut memberikan kontribusi keuangan bagi pemerintahan Hindia Belanda yang menjajah Indonesia kala itu. Sampai hari ini eksistensi lahan perkebunan kelapa masih menjadi sektor usaha penduduk Kebumen khususnya di wilayah pedesaan dan tepian pantai.Tahun 2012 saja Populasi pohon kelapa Kebumen yang tinggi mencapai 4 juta batang pohon, tersebar di areal seluas 32,470 hektare. Hasil pohon kelapa masih tetap menjadi salah satu produk unggulan dibidang perkebunan. Kabupaten Kebumen merupakan sentra komoditas Kelapa, baik kelapa deres (untuk gula kelapa) maupun kelapa sayur (untuk industri minyak kelapa atau Sabut kelapa). Luas area untuk kelapa deres 916 Ha dengan produksi 10.305 ton atau 28.625 Kg/hari. Perkebunan ini tersebar di 11 kecamatan, dimana pengembangan untuk kelapa deres s/d th. 2005 seluas 2.215 Ha dengan produksi 29.916 ton/tahun. Luas areal untuk kelapa sayur 32.393 Ha dengan kapasitas produksi 24.897 ton/tahun tersebar di 22 Kecamatan. Bahkan serabut kelapa Kebumen menjadi produk ekspor yang dikirim ke Cina hingga 20 kontainer per bulan. Paska kemerdekaan, nama NV. Oliefabrieken Insulinde Amsterdam – Kediri – Blitar – Keboemen dinasionalisasi dan diberi nama Mexolie.Periode tahun 1960-1970-an, pabrik Mexolie menyerap banyak tenaga kerja masyarakat Kebumen dan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan minyak masyarakat Kebumen. Bersamaan dengan itu, pabrik ini pun memiliki fungsi lainnya yaitu sebagai pabrik es balok.Sekitar tahun 1985-an, pabrik mexolie mengalami kebangkrutan dan ditutup. Terjadi alih fungsi menjadi gudang penampungan tebu sementara sebelum diolah menjadi gula pasir di pabrik gula Yogyakarta. Tahun 1989 pernah disewa oleh pabrik rokok untuk menampung cengkeh. Tahun 1990 pernah disewakan sebagai gudang bijih plastik, gudang beras bulog, kantor pajak, tempat penyimpanan sementara alat-alat berat RSUD, sampai penampungan sementara kompor dan tabung gas dalam program konversi Elpiji. 
 D. Kelayakan Pabrik Sari Nabati Sebagai Benda Cagar Budaya 
Sejak dahulu, Kabupaten Kebumen kaya akan buah kelapa. Sejarah menunjukkan kekayaan itu pernah dimanfaatkan Pemerintah Hindia Belanda saat mereka berkuasa. Tahun 1851, berdiri pabrik pengolahan kopra untuk diolah menjadi minyak kelapa(1).Pabrik minyak kelapa yang dinamakan Mexolie itu berdiri di area sekitar empat hektar, berada di Kelurahan Panjer, Kebumen. Memang, posisinya yang strategis, Panjer dijadikan oleh Belanda sebagai basis pemerintahan. Hal itu terlihat dari banyaknya fasilitas yang dibangun(2). Misalnya, tidak jauh dari lokasi pabrik terdapat stasiun kereta api, rumah sakit atau yang dahulu dikenal dengan sebutan Sendeng. Sendeng berasal dari kata Zending yang berarti politik penyebaran agama pemerintah kolonial Belanda dengan cara pertolongan kesehatan. Dalam catatan sejarah Mexolie di Kebumen merupakan salah satu dari pabrik minyak kelapa yang dibangun sejumlah kota di pulau Jawa. Di antaranya, Mexolie Cilacap, Mexolie Kediri, Banyuwangi dan Mexolie Rangkas Bitung. Minyak – minyak tersebut diproduksi-guna-menyuplai-kebutuhan-minyak-kelapa-Belanda(3). Jika melihat dari foto-foto dokumentasi, pada masa Belanda sebagian areal lahan pabrik digunakan untuk proses pengeringan kopra. Di samping tempat menjemur kopra, terdapat jalur rel lori yang berfungsi untuk mengangkut kopra yang telah kering(4).Selanjutnya kopra diolah dengan menggunakan pemeras kelapa yang ada di dalam pabrik. Tampak pula dalam proses pengolahan kelapa dilakukan secara berurutan dari satu gedung pabrik ke gedung pabrik lainnya. Yakni secara bertahap, mulai proses penjemuran hingga pengemasan. Kapasitas produksi mexolie NV Oliefabrieken Insulinde (nama pabrik minyak kelapa-sebelum-dinasionalisasi)-diKebumen-cukup-besar(5). Hal itu melihat mesin diesel yang digunakan penggerak bertenaga 200 tenaga kuda serta-rangkaian-mesin-mesin-lainnya(6).-Dalam perjalanannya, Sari Nabati pascakemerdekaan menjadi aset Provinsi Jateng(7).Pabrik Sari Nabati memberikan kontribusi memenuhi kebutuhan minyak kelapa bagi masyarakat. Untuk peningkatan hasil produksi, Sari Nabati mengadakan program kopra di desa-desa penghasil kelapa(8).Hasilnya, sekitar tahun 1961-1972, produksi minyak kelapa meningkat. Pabrik tersebut pun menyerap tenaga kerja bagi masyarakat desa di Kebumen. Saat itu Sari Nabati juga difungsikan sebagai penghasil pabrik es batu balok(9).Sekitar tahun 1985, pabrik minyak kelapa tutup. Kemudian beralih fungsi menjadi gudang penampungan tebu sementara sebelum diolah menjadi gula-pasir-dipabrik-gula-Yogyakarta. Tahun 1989 pernah disewa oleh pabrik rokok untuk menampung-cengkeh. Tahun 1990 pernah disewakan sebagai gudang bijih plastik, gudang beras bulog, kantor pajak, tempat penyimpanan sementara alat-alat berat RSUD, sampai penampungan sementara kompor dan tabung gas dalam program konversi Elpiji(10).Lebih dari 25 tahun mangkrak, sebagian besar bangunan bekas pabrik minyak kelapa tersebut sudah rusak. Aset-aset pabrik juga hilang(11).Yang masih tersisa ialah bangunan utama rumah karyawan pabrik Mexolie. Selain masih utuh, bangunan ini layak huni. Rumah rumah tersebut memiliki gaya arsitektur Indisch. Gaya ini memeperlihatkan adanya perpaduan antara budaya barat dengan budaya timur(12).Perkembangan terakhir, kawasan eks Sari Nabati itu saat ini sudah dilirik oleh investor untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata terpadu yang akan dinamakan-“Mexolie-Land”. CV Bumen Alam Indah telah melakukan paparan terkait desain pengembangan kawasan wisata terpadu tersebut. Pemaparan itu dilakukan di hadapan Bupati Kebumen H Buyar Winarso SE akhir September lalu(13).Menurut kepala perusda PT Citra Mandiri Sayuti yang mengelola aset tersebut, selama tidak beroprasi bekas pabrik Sari Nabati masih mendapatkan biaya perawatan Rp. 6 juta per tahun. Di lokasi bekas pabrik sebagian masih digunakan untuk sarana olahraga yakni lapangan badminton, sekolah taman kanak-kanak serta perumahan yang disewakan untuk umum. Adapun sewa rumah di bekas kompleks prumahan karyawan Sari Nabati ini pun terhitung murah yakni Rp. 900.000/tahun. Pihaknya telah memberitahukan kepada para penyewa terkait rencana pembangunan kawasan wisata ini, sehingga kontrak-mereka-sudah-tidak-bisa-diperpanjang-lagi. “Di Jateng, kami memiliki 72 aset. Ada tiga aset sudah dikelola pihak ketiga dan sebanyak 32-masih-mangkrak,”-ujar-Sayuti. Selain bangunan, di dalam kompleks pabrik tersebut juga terdapat situs Sendang Kalasan Panjer. Lokasi tersebut dipercaya sebagai bekas Kerajaan Panjer Kuno yang telah dikenal sejak jaman kerajaan Kediri. Saat dibangun pabrik minyak kelapa tahun 1851, oleh Belanda sendang tersebut diubah menjadi sumur. Sumur tersebut masih-ada-hingga-saat-ini. Juga terdapat situs Pamokshan Gajah Mada yang terdapat di dalam kompleks eks Sari Nabati. Lokasinya-didalam-sebuah-ruang-gedung. Saat ini situs tersebut bercampur dengan kursi-kursi rongsok. Menurut penuturan warga, pada hari-hari tertentu sering terdengar suara gong menggema di lokasi itu(14). Dari berita di atas, berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya : (Selengkapnya silahkan dilihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya) 
BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 (ayat 1,2,3,4,5) 
BAB III Kriteria Cagar Budaya Bagian Kesatu Benda, Bangunan, dan Struktur Pasal 5, Pasal 6, Bagian Kedua; Situs dan Kawasan Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 11. 
BAB V Penemuan dan Pencarian Bagian Kedua Pencarian Pasal 26 (ayat 1) BAB VI Register Nasional Cagar Budaya Bagian Kesatu Pendaftaran Pasal 28 
BAB VII Pelestarian Bagian Kesatu Umum Pasal 53 Dll, Serta data-data lain yakni Babad Kolopaking (Tirta Wenang), Babad Kejayaan Mataram, catatan Rijklov van Goens, maka Sari Nabati Panjer termasuk dalam Kategori Cagar Budaya. Selanjutnya-angka-1-sampai-dengan-14-lihat-diartikel-berita-diatas. (1) Menjelaskan bahwa Sari Nabati Panjer merupakan bangunan Belanda yang dibangun-pada-1851 (2) Menjelaskan bahwa Sari Nabati Panjer dijadikan sentral pemerintahan Belanda-di Kebumen (3) Menjelaskan Bahwa Sari Nabati Panjer adalah bangunan berskala besar di pulau Jawa dan merupakan bangunan langka dengan fungsinya yang sangat penting yakni sebagai-pensuplai-kebutuhan-minyak-Belanda (4) Menjelaskan bahwa Sari Nabati Panjer begitu pentingnya sehingga Belanda pun mendokumentasikannya-melalui-foto-foto (5) Menjelaskan bahwa kapasitas produksi minyak Sari Nabati Panjer cukup besar (6) Menjelaskan bahwa di Sari Nabati Panjer mempunyai berbagai macam aset sejarah peninggalan Belanda berupa barang-barang yang menunjukkan aktifitas kegiatan-masa-lalu (7) Menjelaskan bahwa Sari Nabati Panjer menjadi milik Provinsi Jawa Tengah (8) Menjelaskan bahwa Sari Nabati Panjer memiliki catatan prestasi yang baik dan melibatkan serta mempengaruhi aktivitas ekonomi dan sistem sosial warga Kebumen pada waktu itu serta memiliki peran seperti Pabrik Es Saripetojo Solo yang beberapa waktu-lalu-mengalami-nasib-yang-sama-ketika-akan-diubah-menjadi-Mall (9) Menjelaskan bahwa Sari Nabati Panjer menyerap tenaga kerja (bukti aktivitas warga)-Kebumen-yang-cukup-banyak (10)Menjelaskan Sari Nabati Panjer tetap memiliki fungsi dan arti penting dalam kegiatan-sistem-ekonomi-daerah (11)Menjelaskan adanya pencurian aset pabrik Sari Nabati Panjer yang sebenarnya ironis dikarenakan hingga saat ini pabrik tersebut dijaga ketat oleh 5 penjaga secara bergantian selama 24 Jam sehingga perlu dikaji ulang penggunaan kata “HILANG” berkaitan dengan aset-aset yang ada, terlebih secara terang –terangan telah dilakukan pelelangan pada beberapa tahun yang lalu oleh pihak pengelola (data bisa dikumpulkan lewat warga, karena semua warga bahkan di luar Panjer pun mengetahui adanya-pelelangan-besar-tersebut) (12)Menjelaskan bahwa Sari Nabati Panjer memiliki bangunan akulturasi budaya Barat dan budaya Timur (arsitektur Indisch) yang jelas merupakan bangunan yang wajib-dilindungi-sebagai-Cagar-Budaya (13)Menjelaskan adanya investor yang akan menyulap Sari Nabati Panjer menjadi kawasan wisata terpadu dengan mengubah fungsi Cagar Budaya tersebut dengan alasan bahwa bangunan Sari Nabati bukan merupakan Cagar Budaya (keterangan berita-Suara-Merdeka-sebelumnya;-dilampirkan-dibawah) (14)Menjelaskan bahwa Sari Nabati Panjer merupakan situs Kuno sebelum dijadikan pabrik oleh Belanda, didukung dengan sejarah Kolopaking yang secara jelas menyebutkan bahwa sebelumnya Sari Nabati Panjer merupakan Pendopo Agung Kadipaten Panjer sebelum dipindah ke pendopo kabupaten yang sekarang. 
PENEGASAN 
1. Belum terinventarisirnya Sari Nabati Panjer dalam daftar Cagar Budaya, Pemkab Kebumen seharusnya segera melaksanakan proses Regristrasi (sesuai Undang-Undang Cagar Budaya tahun 2010). 
2. Hilangnya mesin – mesin, atap bangunan (besi dan seng), serta Lori-Lori dan Rel Lori bangunan Sari Nabati yang tadinya masih kokoh dikarenakan dilelang beberapa tahun yang lalu, yang mengakibatkan rusaknya bangunan-bangunan yang tadinya kokoh terlindung atap hendaknya perlu dikritisi juga oleh pihak cagar budaya dan Provinsi Jawa Tengah “Apakah Pelelangan itu legal mengingat itu merupakan aset Cagar Budaya yang harusnya dijaga (mengacu pada Undang-Undang Cagar Budaya sebelumnya)”. Jika ternyata pelelangan secara besar-besaran dan terang terangan itu ilegal (yang hingga saat ini pun masih terjadi penjualan aset- aset sedikit demi sedikit oleh pengelola setempat, bahkan beberapa rel lori yang masih disimpan oleh pengelola di suatu tempat untuk dimanfaatkan secara pribadi seperti penuturan warga setempat dimana hal itu sudah menjadi rahasia umum) tentunya oknum – oknum baik di tingkat Provinsi maupun di kabupaten tersebut (yang menjabat pada saat tahun pelelangan aset Provinsi itu terjadi) perlu ditindak tegas oleh pihak – pihak yang berwenang. 
3. Wacana Penyulapan Sari Nabati menjadi Wisata Terpadu seperti paparan CV Bumen Alam Indah pun kiranya perlu dikaji ulang, terkait paparan dari CV tersebut bahwa kawasan itu bukan termasuk Cagar Budaya seperti yang termuat dalam berita Suara Merdeka sebelumnya, sebab jika Sari Nabati tersebut tetap nekad dikembangkan dengan menghilangkan atau merusak situs bangunan yang ada, tentunya melanggar Undang – Undang Cagar Budaya tahun 2010. Hal ini mau tidak mau akan melibatkan juga Bupati Kebumen selaku yang mengetahui dan memimpin kabupaten dimana Situs Sari Nabati berada. 
4. Kesimpulannya, ditinjau dari siklus genetic historis tempat, pergolakan di Panjer kembali terulang. Jika dahulu pergolakan tersebut merupakan akibat dari kepentingan Nasionalisme Mataram melawan Belanda (Panjer sebagai Lumbung Padi/Logistik terbesar dan Basis Militer Mataram, juga ketika Panjer sebagai Kekuatan Diponegoro untuk persenjataan dan bala tentara yang akhirnya dibumi hanguskan oleh Belanda dan mengubah pendopo besar dan kawasan kotarajanya menjadi pabrik Mexolie), kini Panjer Sari Nabati bergolak akibat dari kepentingan nasionalisme penghargaan terhadap situs – situs bukti Kejayaan Nusantara Masa Lalu melawan kepentingan – kepentingan yang mengatasnamakan Kesejahteraan Masyarakat dan Daerah. E. Wacana Pembukaan Kawasan Wisata Koran Kedaulatan Rakyat memberikan ulasan pada tahun 2011 sbb, “Investor lokal tertarik ‘menyulap’ eks pabrik minyak kelapa (PMK) Sari Nabati Kebumen yang mangkrak selama puluhan tahun menjadi kawasan wisata terpadu. Di lahan yang luasnya sekitar 5 hektar, direncanakan dibangun hotel, restoran, arena bermain anak, sarana olahraga, serta panggung hiburan outdoor maupun indoor. Rencana ‘menyulap’ eks pabrik zaman Belanda yang lebih dikenal dengan sebutan ‘Nabatiyasa’ itu, oleh pihak investor CV Bumen Alam Indah telah dipaparkan di hadapan Bupati Kebumen H Buyar Winarso SE, Rabu (28/9). “Kami juga merencanakan membangun museum untuk mengenang sejarah PMK Sari Nabati berikut perpustakaan,” jelas Slamet Tugiyono”. Dalam laporan di situs Pemkab Kebumen dilaporkan mengenai rencana yang sama sbb, “Bagian Humas dan Protokol Setda Kebumen. Pengembangan sektor pariwisata di Kabupaten Kebumen terus dilakukan. Salah satunya dengan akandibangunnya kawasan Wisata Terpadu Mexolie Land yang berlokasi di GKS PMK Sari Nabati Kebumen.Sebagai satu-satunya wisata terpadu yang ada di Pusat Kota Kabupaten Kebumen, keberadaannya diharapkan bisa dapat menopang perekonomian masyarakat Kebumen. Sekaligus menjadi salah satu sumber pendapatan daerah. Selain itu juga bisa memberi manfaat bagi penduduk lokal khususnya untuk kesejahteraannya. Selain itu, bisa mendorong sektor perekonomian dan pariwisata di Kabupaten Kebumen. Kawasan wisata terpadu yang berlokasi di eks pabrik minyak kelapa Sari Nabati Kebumen tersebut nantinya akan disetting sebagai tempat wisata keluarga yang lengkap, yang menyediakan arena bermain anak, hotel dan homestay, sarana olahraga seperti kolam renang, lapangan futsal serta wisata kuliner berupa restauran dan café. Selain itu juga dilengkapi dengan panggung hiburan. F. Penyelamatan ex Pabrik Minyak Kelapa Sari Nabati Sebagai Bagian Aset Sejarah dan Cagar Budaya Nama Ravie Ananda kerap dihubungkan dengan kegetolannya memperjuangkan eksistensi gedung tua eks pabrik minyak kelapa Sari Nabati sebagai benda yang dikategorikan cagar budaya melalui wadah aktivitas Komunitas Peduli Cagar Budaya Kebumen. Dalam hal ini, usaha dan upaya Ravie Ananda untuk penyelamatan ex Pabrik Minyak Kelapa Sari Nabati sebagai bagian aset sejarah dan cagar budaya patut diapresiasi dan didukung oleh elemen masyarakat peduli sejarah Kebumen, sepanjang tidak mengaitkan eksistensi gedung bersejarah tersebut dengan opini sebagai tempat moksanya Gajah Mada. Untuk itu kita perlu mengetahui berdasarkan undang-undang, apakah bangunan ex pabrik Sari Nabati tersebut masuk kategori benda cagar budaya atau bukan, marilah kita menyimak definisi “Cagar Budaya”, “Benda Cagar Budaya”, “Bangunan Cagar Budaya” berdasarkan Undang-Undang Cagar Budaya no 11 Tahun 2010 Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 sbb:“Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, ataubagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.Bangunan Cagar Budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap”. Apakah kriteria sebuah bangunan atau benda terkategori sebagai cagar budaya? berdasarkan Undang-Undang Cagar Budaya no 11 Tahun 2010 Bab III Kriteria Cagar Budaya Bagian Kesatu Pasal sbb:“Benda, bangunan, atau struktur dapat diusulkan sebagai Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, atau Struktur Cagar Budaya apabila memenuhi kriteria: • berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih; • mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun; • memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan • memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.” Dengan melihat aturan perundangan mengenai definisi dan kategori “Cagar Budaya”, “Benda Cagar Budaya”, “Bangunan Cagar Budaya” dan “Kriteria” yang diatur, maka bangunan ex pabrik Sari Nabati sudah terkategori benda cagar budaya dan aset sejarah yang harus dilestarikan dan dilindungi baik oleh pemerintah maupun elemen masyarakat. Mengutip pendapat Guru Besar luar biasa Departemen Arkeologi Universitas Indonesia, Moendardjito, bahwa kawasan situs bersejarah perlu dilindungi dan kerusakan agar para ahli arkeologi bisa meneliti konteks sejarah dari hasil temuannya sebagaimana dikatakan, "Kalau lingkungan temuannya sudah rusak, tinggal bendanya saja, tidak akan ada artinya apa-apa. Untuk 'menerjemahkan' hasil temuan, perlu ada konteks dengan lingkungannya”. Apalagi sempat beredar kabar bahwa di lokasi eks pabrik Sari Nabati yang saat dilakukan pembongkaran sebagai bagian rencana pembangunan kawasan wisata, pernah dilaporkan oleh saksi masyarakat tentang ditemukannya kerangka manusia yang akhirnya dikuburkan kembali. Tidak ada tindak lanjut dari kesaksian masyarakat tersebut terkait tengkorak dari zaman pra atau paska kemerdekaan. Apakah upaya reaktif dari kelompok masyarakat yang menyegel pintu masuk ke arah bangunan eks pabrik Sari Nabati dan penolakkan pembangunan wilayah tersebut menjadi kawasan wisata merupakan solusi terbaik terhadap eksitensi bangunan historis tersebut?Menurut saya, upaya penolakkan hanyalah ungkapan emosional belaka tanpa mempertimbangkan keuntungan ekonomis bagi pendapatan daerah jika lokasi tersebut kelak dibangun menjadi tempat wisata bersejarah dengan disertai museum. Yang menjadi persoalan adalah, janganlah merusak bangunan utama yang menjadi bagian sejarah yang terkategori benda cagar budaya.Adalah baik membangun kawasan tersebut menjadi lokasi wisata sejarah namun dengan tetap menempatkan bangunan historis sebagai bagian dari tempat wisata sebagaimana pembangunan tempat wisata Benteng Van der Wijk yang tidak menghilangkan benteng utama sebagai daya tarik sejarah dan wisata. Gedung utama eks pabrik Sari Nabati perlu mengalami perbaikan agar potensi kerapuhan akibat dimakan usia zaman dapat diatasi sedemikian rupa hingga tidak menimbulkan ancaman. Dengan kajian di atas, kiranya pemerintah selaku pemegang keputusan kebijakan publik dapat mempertimbangkan eksistensi bangunan eks pabrik Sari Nabati (Oliefabrieken Insulinde) saat dilakukan pembangunan sebagai kawasan wisata tanpa menghancurkan keaslian lokasi historisnya. Sebaliknya, elemen masyarakat peduli sejarah dan benda cagar budaya untuk tidak mengabaikan aspek ekonomis dan pemanfaatan bangunan tersebut sebagai bagian dari pendapatan daerah. Tugas masyarakat mengawasi pelaksanaan pembangunan kawasan tersebut tanpa mengubah dan menghancurkan aspek historisnya. 
 BAB III PENUTUP
 A. Kesimpulan
 Ditinjau dari siklus genetic historis tempat, pergolakan di Panjer kembali terulang. Jika dahulu pergolakan tersebut merupakan akibat dari kepentingan Nasionalisme Mataram melawan Belanda (Panjer sebagai Lumbung Padi/Logistik terbesar dan Basis Militer Mataram, juga ketika Panjer sebagai Kekuatan Diponegoro untuk persenjataan dan bala tentara yang akhirnya dibumi hanguskan oleh Belanda dan mengubah pendopo besar dan kawasan kotarajanya menjadi pabrik Mexolie), kini Panjer Sari Nabati bergolak akibat dari kepentingan nasionalisme penghargaan terhadap situs – situs bukti Kejayaan Nusantara Masa Lalu melawan kepentingan – kepentingan yang mengatasnamakan Kesejahteraan Masyarakat dan Daerah. 
B. Saran
 • Masyarakat harus ikut andil dalam menjaga situs bersejarah ini dengan melibatkan pemerintah, bersama-sama mempromosikan situs bersejarah ini sehingga menjadi cagar budaya yang berskala nasional. 
• Pemkab Kebumen seharusnya segera melaksanakan proses Regristrasi (sesuai Undang-Undang Cagar Budaya tahun 2010)agar masuk dalam cagar budaya. 
• Perlu adanya kucuran dana dari pemerintah untuk biaya perawatan Ex Pabrik Sari Nabati. 
 Daftar Pustaka Internet: 
http://kebumen2013.com/sejarah-pabrik-sari-nabati-panjer-kebumen/ http://kebumen2013.com/bangunan-kolonial-pembakar-semangat-juang-anak-bangsa-petunjuk-mahalnya-sebuah-kemerdekaan-dan-monumental-kesaktian-nkri/ http://historyanlegacy-kebumen.blogspot.com/2013/06/pabrik-minyak-kelapa-sari-nabatiasa.html http://kebumen.itgo.com/ http://www.beritakebumen.info/2011/10/pabrik-mexolie-pasok-kebutuhan- minyak.html#ixzz2S1cg5q9 http://kebumen2013.com/selamatkan-situs-sari-nabati-panjer-kebumen-tempat-bersemayamnya-wahyu-pancasila/ http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2013/06/pabrik-minyak-kelapa-sari-nabatiasa.html http://www.disparda.baliprov.go.id/ind/sites/default/files/file/UU%20No_11th_2010%20ttg%20Cagar%20Budaya.pdf http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/02/undang-undang-cagar-budaya-masih-mandul 
 Buku: 
Abdul Rasyid Asba, Perebutan Pusat dan Daerah: Kajian Sejarah Ekonomi Politik, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2007), hlm. 146-147 Undang Undang: Undang-Undang-CagarBudaya-no-11Tahun-2010 
 Koran: PMK Sari Nabati Kebumen Bakal Jadi Kawasan Wisata Terpadu, Kedaulatan Rakyat, 29 September 2011 Warga Panjer Temukan Kerangka Manusia di Bekas Pabrik Sari Nabati, Kebumen Ekspres, 23 Mei 2013 
x

Perbandingan RUU KUHP dengan KUHP

Perbandingan RUU KUHP dengan KUHP 

A. Pemahaman Umum 

Perbedaan yang sangat mendasar antara RUU KUHP dengan KUHP adalah mengenai Bab dan Jumlah Pasal. Dalam RUU baru dibentuk tahun 2004 hanya berisi dua bab dan 707 pasal dengan ketentuan ;
Bab 1 tentang ketentuan umum dengan berisikan 6 bab dan 208 pasal sementara Bab 2 tentang tindak pidana yang mengantikan ketentuan tentang KUHP pada ketentuan kejahatan dan pelanggaran karena tindak pidana dinilai lebih bersifat umum dan cenderung tidak membedakan antara kejahatan dan pelanggaran dan agar lebih dapat bersifat adil. Sementara pada KUHP yang sudah secara universal diketahui ; Bab 1 aturan umum (9 bab 103 pasal), 
Bab 2 kejahatan (31 bab 385 pasal), Bab 3 pelanggaran (9 bab 81 pasal). Dengan demikian ada 569 pasal pada KUHP, memang lebih sedikit dari RUU KUHP karena pada RUU mencoba menambahkan ketentuan ketentuan yang tidak ada dalam KUHP lama.

 B. Pemahaman Khusus

Dalam tugas kali ini saya mencoba untuk mengenalisis perbandingan antara RUU KUHP dengan KUHP dari berbagai sumber yang saya dapatkan dan merumuskan hal penting terkai RUU KUHP dengan memandang dari substansi serta pokok masalah yang ada dalam RUU diantaranya : a. Tindak Pidana Ada hal yang menarik dalam RUU KUHP karena dalam pasal 37 dan 57 sama dengan KUHP pada ketentuan umum 
Bab 1. Kita juga harus tau mengenai pengertian tindak pidana berdasarkan RUU yakni “Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Rumusan tersebut, telah diformulasikan dalam Pasal 11 Konsep RUU KUHP (2008)”. 
Pemaknaan Asas Legalitas pun berbeda, dalam KUHP lebih menekankan pada aspek formal, sedangkan pada RUU KUHP lebih menekankan pada aspek materiil, dalam arti mempertimbangkan pada hukum lain yang ada dimasyarakat atau dikenal dengan hukum adat, dengan ketentuan “bahwasanya menurut adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang undangan. (Pasal 1 RUU KUHP 2004). Hal ini bukan merupakan ketentuan yang baru, sebelumnya juga pernah ada dalam UU. No 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman. Disamping mengurangi bab tindak pidana pada bab 2 dan 3 KUHP seperti perkelahian tanding (bab VI) dan pengulangan (XXXI) karena dianggap menyimpang dari asas maqasid dalam Islam yakni memelihara Jiwa dan ketentuan ini cenderung membingungkan. 
Disamping mengurangi juga menambah bab baru yakni ;
Bab VI (tindak pidana terhadap penyelenggaraan pengadilan),
Bab VII (tindak pidana terhadap Agama dan kehidupan beragama), 
Bab IX (tindak pidana tentang korupsi). 
Alasana penambahan karena adanya penelitian terhadap KUHP dan juga pemahaman tentang KUHP itu sendiri juga dorongan dari berbagai kegiatan yang positif misalnya; seminar dan lokakarya baik nasional maupun internasional. 

Ada pula yang delik delik baru yang tidak terdapat dalam KUHP; 
1. Tindak pidana terhadap keamanan Negara. Contoh; penyebara ajaran sesat marxixsme, terorisme, dan sabotase terhadap Negara. 
2. Tindak pidana terhadap ketertiban umum. Contoh; santet, penyadapan, delik yang berhubungan dengan senjata api, peledak, penyiaran berita bohong. 
3. Tindak pidana terhadap pelanggaran pengadilan. Contoh; kongkalikong penasihat hukum dengan lawan yang merugikan klien. 
4. Tindak pidana terhadap agama dan kehidupan beragama. Contoh; perusakan bangunan untuk ibadah, penghasutan untuk meniadakan kepercayaan umat beragama, dan penghinaan terhadap Tuhan, Rasul, Kitab, dan ajarannya. 
5. Tindak pidana yang membahayakan keamanan umum bagi orang, kesehatan, barang dan lingkungan hidup. Contoh; pencemaran lingkungan. 
6. Tindak pidana yang melanggar hak asasi manusia. Contoh; Genocida, tindak pidana kemanusiaan, tindak pidana perang, dan konflik bersenjata. 
7. Tindak pidana kesusilaan. Contoh; menyebarkan rekaman yang melanggar kesusilaan, kumpul kebo, incest, serta perluasan perumusan delik pemerkosaan, dll. 
8. Tindak pidana penadahan, penerbitan , dan percetakan. Contoh; pencucian uang atau pencucian uang hasil kejahatan khususnya narkotika, ekonomi, dan korupsi. b. Per tanggungjawaban Pidana 

a. Asas kesalahan dalam RUU KUHP Tahun 2004 disebutkan secara eksplisit dalam Pasal 35 ayat 1 sebagaimana asas legalitas. Hal ini merupakan sikap yang mendasarkan pada keseimbangan mono-dualistik bahwa asas kesalahan yang didasarkan pada nilai ‘keadilan’ harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas yang didasarkan pada nilai ‘kesalahan’. Dan yang membedakan kesalahan antara RUU KUHP dengan KUHP adalah adanya penambahan pertanggungjawaban ketat dan pertanggungjawaban pengganti pada RUU KUHP sedangkan pada KUHP tidak ada. 

 b. Masalah kesesatan baik kesesatan mengenai keadaannya maupun kesesatan mengenai hukumnya, menurut RUU KUHP Tahun 2004 merupakan salah satu alasan sehingga pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipertanggungjawabkan kepadanya (Pasal 40). Ini berbeda dengan dokrin kuno dalam hukum pidana, sesat mengenai keadaannya tidak dipidana, sedangkan sesat sesat mengenai hukumnya tetap dipidana. KUHP tidak menyebutkan kesesatan ini sebagai bagian Pasalnya. 

c. Mengenai alasan alasan yang dapat menghapuskan pidana, RUU KUHP Tahun 2004 memisah secara tegas antara alasan pemaaf (Pasal 40-43) yang meliputi sesat, daya paksa, pembelaan terpaksa, dan perintah jabatan yang tidak sah, serta alasan pembenar (Pasal 30-33) yang meliputi melaksanakan undang undang, melaksanakan perintah jabatan. Perbedaan dengan KUHP hanya terletak pada alasan pemaaf, pada RUU KUHP ada tambahan perintah jabatan yang tidak sah, sementara dalam KUHP tidak ada. 

d. Asas tiada pidana tanpa kesalahan merupakan asas yang sangat urgen dalam hukum pidana. Namun demikian, KUHP tidak menyebutkanya secara eksplisit asas ini. Pengetahuan tentang asas kesalahan dapat dipahami dalam ilmu hukum pidana. 

e. Dalam KUHP hanya disebutkan beberapa hal yang dapat menghapuskan pidana, namun tidak mengklasifikasikannya dalam kategori alasan pemaaf dan pembenar, alasan pemaaf dan pembenar hanya dikenal dalam ilmu hukum pidana. 

f. RUU KUHP Tahun 2004 menegaskan mengenai pertanggungjawaban anak dalam Pasal 110, yaitu anaka dapat dipertanggungjawabkan secara pidana jika telah mencapai umur 12 tahun. Selain itu, pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku bagi orang yang berumur 12-18 tahun yang melakukan tindak pidana. Hal ini berarti pertanggungjawaban pidana anak minimal 12 tahun dan maksimal 18 tahun. 

g. RUU KUHP Tahun 2004 telah mengenal pertanggungjawaban korporasi (Pasal 44). 

 C. Pidana dan Pemidanaan 

a. RUU KUHP Tahun 2004 menyebutkan tujuan pemidanaan dalam Pasal 50 yaitu untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat. Misalnya; dalam KUHP, anak dibawah umur bukan merupakan alasan penghapus pidana, namun hanya disebutkan sebagai alasan yang dapat meringankan pidana. Pasal 45 KUHP menyebutkan bahw ajika terdakwa belum umur 16 tahun maka hakim diberikan 3 alternatif; 1). Memerintahkan supaya anak tersebut dikembalikan lagi ke orang tuanya, walinya, atau pemeliharanya, tanpa dijatuhi pidana apapun. 2). Memerintahkansupaya anak tersebut diserahkan pemerintah tanpa pidana apapun, dan 3). Menjatuhkan pidana. 

b. Di samping memuat tujuan dan pedoman pemidanaan, RUU KUHP Tahun 2004 juga memuat adanya ketentuan mengenai pedoman pengampunan hakim dalam Pasal 52 ayat (2). Pedoman pengampunan hakim merupakan implementasi dari ide individualisme pidana. Dengan dasar ini maka hakim masa mendatang diperbolehkan memaafkan orang yang nyata nyata melakukan tindak pidana dengan alasan ringannya perbuatan, keadaan pribadi si pembuat dan keadaan pada waktu dilakukan perbuatan. Sementara dalam KUHP aturan pengampunan hakim tersebut tidak ada. 

 c. Sisi lain dari ide individualisasi pidana yang dituangkan dalam RUU KUHP Tahun 2004 adalah adanya ketentuan mengenai perubahan atau peninjauan kembali putusan pemidanaan yang telah berkekuatan hukum tetap yang didasarkan pada adanya perubahan pada diri pelaku sendiri (Pasal 55 ayat (1) dan karena adanya perubahan peraturan perundang undangan (Pasal 2). Dalam KUHP Pasal 1 ayat (2) hanya disebutkan bahwa “jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam perundang undangan, dipakai aturan menguntungkan bagi terdakwa”. 

 d. Sistem pemidanaan yang dianut dalam RUU KUHP Tahun 2004 bersifat elastis, yang intinya memberikan keleluasaan bagi hakim dalam memilih dan menentukan sanksi yang sekiranya tepat untuk individu atau pelaku tindak pidana. Namun demikian, keleluasaan hakim tersebut tetap dalam batas batas kebebasan menurut undang undang. Sementara dalam KUHP tidak dikenal adanya pola perumusan pemidanaan yang mengedepankan aspek elastisitas dalam pemidanaan. KUHP hanya mengenal sistem perumusan tunggal dan alternatif.

 e. RUU KUHP Tahun 2004 membedakan antara pidana (Pasal 113) dan tindakan bagi anak (Pasal 126). Sedangkan dalam KUHP hanya mengatur tentang tindakan (Pasal 44 ayat (2) hanya berupa “dimasukan kedalam rumah sakit jiwa”. 

f. Mengenai ketentuan hukuman mati, dalam RUU KUHP Tahun 2004 Pasal 86, apabila pidana mati telah diputuskan hakim, maka dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 tahun jika : - Reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; - Terpidana menunjukan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; - Kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; - Ada alasan yang meringankan. Selanjutnya, jika selama masa percobaan terpidana menunjukkan sikap dan perbuatan terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun dengan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sementara ketentuan mengenai penundaan dan penggantian pidana mati ini tidak dikenal dalam KUHP maupun dalam undang undang yang lain. 

g. Disamping mengenai minimum umum untuk pidana penjara 1 hari, dan maksimum umum 15 atau 20 tahun, dan maksimum khusus sebagaimana KUHP, RUU KUHP Tahun 2004 juga mengenal juga mengenal pola minimum khusus yang pada umumnya dikenakan terhadap tindak pidana yang dikategorikan sangat serius. Minimum khusus dalam RUU KUHP Tahun 2004 bervariasi antara 1-5 tahun penjara. Minimum khusus yang demikian tidak dianut oleh KUHP. 

h. Aturan RUU KUHP Tahun 2004 tentang gugurnya kewenangan menuntut karena kedaluwarsa berbeda dengan aturan dalam KUHP, yaitu disebut dalam Pasal 146: 

1). Sesudah lampau waktu 1 tahun untuk tindak pidana yang dilakukan dengan percetakan. 
2). Sesudah lampau 2 tahun untuk tindak pidana yang hanya diancam dengan denda atau semua tindak pidana yang diancam dengan pidana denda 3.000.000.000. Disamping tidak mengenal pidana denda dalam kategori kategori, pidana denda dalam KUHP minimum umumnya adalah Rp. 3,75. Untuk minimum khusus, pidana denda untuk kejahatan adalah berkisar antara Rp. 900 sampai dengan Rp. 150.000, sedangkan pidana denda untuk pelanggaran berkisar antara Rp. 225 sampai dengan Rp. 75.000. 
 3). Sesudah lampau waktu 6 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 tahun; 
4). Sesudah lampau waktu 12 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lebih dari 3 tahun; 
5). Sesudah lampau waktu 18 tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup. i.Aturan RUU KUHP Tahun 2004 tentang gugurnya kewenangan pelasanaan pidana juga sedikit berbeda dengan KUHP. Dalam RUU KUHP Tahun 2004 hanya diatur bahwa kewenangan pelaksanaan pidana penjara gugur setelah berlaku tenggang waktu yang sama dengan tenggang waktu kedaluwarsa kewenangan menuntut ditambah sepertiga dari tenggang waktu kedaluwarsa tersebut Pasal 152 ayat 1. Namun untuk pidana mati tidak mempunyai tenggang waktu kedaluwarsa. Selain itu disebutkan juga secara tegas tentang grasi, amnesti, rehabilitasi, dan penyerahan untuk pelaksanaan pidana. Jadi dalam RUU KUHP Tahun 2004 tidak dibedakan kedaluwarsa pelaksanaan pidana untuk pelanggaran dan percetakan sebagaimana dalam KUHP. Hal ini wajar karena RUU KUHP Tahun 2004 tidak lagi mengenal penggolongan kejahatan dan pelanggaran.

untuk mengunduhnya silahkan
 

Kawin Kontrak dalam Pandangan Islam




Kawin Kontrak (Nikah Mut’ah) 

BAB I PENDAHULUAN

 A. Latar Belakang 

Menurut keadaan sosial dinamis masyarakat nikah mut’ah dipandang perlu adanya. Pedoman hidup Islami harus diterapkan dengan alasan alasan jitu yang dapat diterima oleh akal pikiran, logika dan hati nurani. Dalam perkembangan dunia dewasa ini manusia mulai berontak terhadap keadaan yang berlaku bahkan terhadap diri mereka masing masing, karena soal yang dihadapi telah memerlukan tuntutan tuntutan yang jauh berlainan. Ini disebabkan oleh modernisasi dengan teknologi canggih dan pandangan hidup yang mendekatkan diri dengan dunia yang berkembang maju laju dan tidak dapat dipacu. Maka Islam harus tampil memperlihatkan tempat berdirinya untuk bertahan dalam gelombang dan arus perkembangan yang pesat ini dengan eksistensi yang legal dan internasional. Ada di antara yang mengorbankan seluruh apa yang dia miliki termasuk kehormatannya yang seharusnya dia jaga untuk mendapatkan kebahagiaan hakiki dari seorang pendamping yang benar benar diharapkan, karena tidak sedikit kaum laki laki yang hanya ingin mengecap madu seorang wanita kemudian ampasnya dibuang.

 B. Rumusan Masalah 
a. Apa pengertian nikah mut’ah ? 
b. Apa syarat dan rukun dalam nikah mut’ah ? 
c. Apa akibat dari nikah mut’ah itu sendiri ? 
d. Sejauh manakah keabsahan nikah mut’ah itu ? 

C. Tujuan Penulisan
a. Mengetahui pengertian kawin kontrak 
b. Mengetahui syarat dan rukun yang ada dalam kawin kontrak 
c. Mengetahui akibat dari nikah mut’ah itu sendiri 
d. Menngetahui keabsahan nikah mutah itu sendiri 

BAB II PEMBAHASAN 

A. Pengertian Nikah
mut’ah Kata mut’ah diambil dari bahasa Arab yang berasal dari kata متع. Secara etimologi memiliki beberapa makna diantaranya; kesenangan, alat perlengkapan, pemberian.Ja’far Murtadha dalam bukunya “Nikah Mut’ah Dalam Islam” mendefinisikan nikah mut’ah yaitu, ikatan tali perkawinan antara laki laki dan perempuan dengan mahar yang disepakati dan disebutkan dalam akad sampai pada batas waktu yang ditentukan. Dengan berlakunya waktu yang telah disepakati, atau dengan pemendekan batas waktu yang diberikan oleh laki laki, maka berakhirlah ikatan pernikahan tersebut tanpa memerlukan prosese perceraian. 

 B. Rukun dan syarat Nikah mut’ah Seperti halnya pernikahan permanen nikah mut’ah juga ada rukunnya, diantarannya; 

a. Formula Karena ini adalah akad, maka mut’ah memerlukan pernyataan dan penerimaan (ijab dan qabul). Seperti dalam pernikahan permanen, pernyataan adalah persyaratan dari wanita, ia harus terdiri dari salah satu dari tiga formula berbahasa Arab, yang juga dipakai syiah dalam pernikahan permanen. Al-Sayyid al-Murtada menambahkan bahwa budak wanita dapat menggunakan formula “aku mengizinkan engkau atau “aku telah menghalalkanmu”, tetapi kalimat kalimat ini tidak dikonfirmasikan oleh orang lain. Tetapi menurut Al-Shahid al-Thani beliau memilih formula “aku memberikan milikmu kepadamu” atau “aku berikan kepadamu hadiah”atau “aku sewakan diriku untukmu” dan sebagainya dengan ketentuam tetap memenuhi tiga formula yang dimaksud. Kalimat penerimaan dinyatakan oleh pihak pria setelah wanita mengucapkan kalimat pernyataanya. Kalimat tersebut harus menunjukan keridoan terhadap pernyataan wanita seperti “aku menerima pernikahan ini” atau “aku menerima mut’ah ini” atau cukup dengan menyatakan “aku terima atau kau ridho”. Penerimaan dari pihak pria tidak disyaratkan harus mendahului pernyataan dari pihak wanita. Menurut al-Muhaqqiq al-Hilli sebagaimana dikutip Sachiko Murata apabila pria mengatakan “aku menikahimu” lalu wanita menyatakan penerimaanya maka hal itu dibenarkan. Pihak yang menyatakan ijab dan qabul harus pihak yang berwenang untuk itu yakni pria dan wanita yang akan melakukan mut’ah atau walinya atau wakilnya. Apabila akad dilakukan oleh pihak yang tidak berhak maka akad menjadi tidak sah. Akad dalam nikah mut’ah dapat juga menggunakan kalimat sebagai barikut : “zawwijtuka, ankahtuka”. Dalam kitab al Bahr ar Raiq sebagaimana dikutip Ja’far Murtada al-Amili, apabila akadnya mengunakan kalimat tazwij maka nikah tersebut harus dihadiri oleh saksi saksi. Namun dalam kitab fath al-Qadir sebagaimana dikutip Ja’far Murtada al-Amili bahwa tidak ada perbedaan diantara nikah mut’ah dengan nikah daim. Oleh karenanya akad dalam nikah mut’ah boleh diucapkan dengan kalimat tersebut diatas. Dapat pula diucapkan dengan kalimat “matta’tu nafsi bimahri …limuddati…”. Mahar dan jangka waktu disebutkan sesuai yang telah disepakati bersama. Kemudian pihak laki laki cukup mengucapkan “qobiltu’. 

 b. Orang Seorang pria hanya boleh menikahi mut’ah wanita muslimah atau ahli kitab dan bukan musuh keluarga Nabi SAW. Sementara muslimah tidak boleh menikah mut’ah dengan laki laki non Muslim. Bagi pria yang sudah memiliki istri permanen dan ingin melakukan mut’ah dengan budak harus mendapat izin dari isterinya dan apabila budak tersebut milik orang lain harus mendapat izin dari tuannya. Seorang pria juga tidak boleh menikahi mut’ah putri dari iparnya kecuali atas seizin isterinya. Terkait saudara yang tidak boleh dinikahi sama halnya dengan ketentuan dalam pernikahan permanen. 

 c. Periode Waktu Periode waktu dalam pernikahan sementara harus ditetapkan meski hanya satu jam agar tidak ada penambahan atau pengurangan. Menurut asy Syaikh al-Ansari sebagaimana dikutip Sachiro Murata, semua hadis menunjukan diperbolehkan menikmati sampai batas waktu yang disepakati sebagaimana halnya dalam persewaan. Apabila periode waktu tidak disebutkan maka akad menjadi tidak sah berubah menjadi pernikahan permanen. Hal ini ditegaskan oleh al-Ansari bahwa pernikahan sementara dengan pernikahan permanen adalah dua realitas yang berbeda meskipun keduanya memakai kata pernikahan . berbeda halnya dengan as-Sahid at-Tani mengatakan bahwa pernikahan dengan periode waktu yang dinyatakan adalah mut’ah, sedangkan pernikahan tanpa periode waktu yang dinyatakan adalah pernikahan permanen. Kedua belah pihak dibenarkan untuk menetapkan satu tindakan hubungan seksual dalam akad atau yang semacamnya tanpa menyebutkan periode waktu. Karena pernyataan yang demikian tidak dapat menggantikan perode waktu yang ditetapkan. Namun apabila periode waktu disebutkan bersamaan dengan syarat bahwa pernikahan tersebut hanya akan meminta sejumlah hubungan seksual maka akadnya sah. Apabila pihak pria telah melakukan sejumlah hubungan seksual sesuai yang telah ditetapkan maka tidak boleh melakukan hubungan seksual lebih lanjut setelahnya meski periode waktu belum habis. Sebagaimana dalam matajir yang dikutip oleh Sachiko Murata bahwa jika dalam periode waktu memuat jumlah hubungan seksual tertentu, maka wanita akan bebas dari akewajibannya setelah jumlah itu diselesaikan walaupun belum sampai akhir periode waktu. 

 d. Mahar dalam pernikahan sementara mahar menjadi rukun nikah yang harus dipenuhi dan disebutkan dalam akad sebagaimana dalam pernikahan permanen. Apabila pria mengembalikan masa perjanjian kepada wanita segera setelah akad dan belum terjadi hubungan seksual maka wanita harus mengembalikan separuh maharnya sebagaimana halnya perceraian dalam pernikahan permanen. Namun apabila telah terjadi hubungan seksual maka wanita berhak atas seluruh maharnya. Dalam hal akad yang dilakukan tidak sah sebelum berhubungan seksual maka wanita tidak berhak atas mahar. Namun apabila akad yang tidak sah baru diketahui setelah terjadi hubungan seksual maka wanita tidak memiliki klaim atas mahar tersebut karena dalam hal ini dia telah berbuat zina, dan tidak ada mahar dalam perzinaan. Dalam syarh al-Lum’a sebagaimana dikutip Sachiko Murata bahwa jika wanita meninggal dunia pada masa periode mut’ah dan belum berhubungan seksual maka maharnya tidak boleh dikurangi sebagaimana halnya dalam pernikahan permanen. 

 C. Akibat Nikah Mut’ah 

Nikah mut’ah memiliki konsekuensi konsekuensi hukum tertentu sebagaimana dalam nikah permanen : 

a. Perceraian Dalam nikah mut’ah tidak ada talak karena pernikahan akan berakhir dengan sendirinya pada saat berakhirnya batas waktu yang ditentukan. Atau ketika laki laki mengembalikan waktu yang tersisa kepada pihak perempuan sebagaimana yang telah dijelaskan dimuka. 

b. Sumpah Sumpah tidak ada dalam nikah mut’ah karena sumpah ini berhubungan dengan perceraian yang tidak ada dalam nikah mut’ah. 

c. Melaknat Menurut Imam Ja’far sebagaimana dikutip Sachiko Murata, dalam nikah mut’ah sumpah li’an tidak berlaku kepada gadis budak, wanita non muslim yang zimmi atau istri dalam nikah mut’ah.

d. Zihar As-Sahid at-Tani, at-Taba’taba’I, dan al-Muhaqqiq al-Hilli sebagaiman dikutip Sachiko Murata berpendapat bahwa zihar terkait dengan setiap wanita yang sah untuk digauli karena dalam surat (58): 2 bersifat umum. Berbeda halnya dengan asy-Syaikh al-Ansari dan asy-Syaikh Muhammad al-Hasan sebagaimana dikutip Sachiko Murata berpendapat tidak ada zihar dalam mut’ah. Karena akibat zihar kembali pada isteri atau berakibat pada perceraian.

e. Warisan Anak yang dilahirkan dalam nikah mut’ah dapat mewarisi harta ayah dan ibunya sebagaimana dalam nikah da’im. Berbeda halnya dengan apa yang diungkapkan Sachio Murata bahwa anak yang lahir dari pernikahan sementara hanya mendapatkan warisan ayahnya setengah dari anak hasil pernikahan permanen, sedangkan warisan dari ibunya sama halnya dengan anak dari pernikahan da’im. Sedangkan antara suami dan isteri tidak ada hak saling mewarisi kecuali disebutkan secara khusus dalam akad. Sebagaimana dikemukakan oleh Imam ar-Rido yang dikutip Sachiko Murata “jika mereka menetapkan syarat (warisan), maka itu berlaku; dan jika tidak, maka itu tidak berlaku”. Namun menurut Imam Baqir sebagaimana dikutip Sachiko Murata bahwa keduanya tetap saling mewarisi selama tidak menyebut syarat lain dalam akad. 

 f. Periode Menunggu Sebagai halnya pernikahan permanen, dalam nikah mut’ah juga berlaku masa iddah. Menurut Syiah Imamiyah sebagaimana dikutip Amir Syarifuddin bahwa bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya iddahnya selama 4 bulan sepuluh hari, dan bagi perempuan hamil iddahnya sampai melahirkan. Lain hanya dengan Ja’far Murtada al-Amili yang menentukan bagi wanita yang masih haid maka iddahnya dua bulan dan ada yang mengatakan satu bulan. Bagi wanita dewasa tetapi tidak pernah mengalami haid maka iddahnya empat bulan lima hari. Asy Syaikh al-Mufid, as-Sayyid al-Murtada dan beberapa tokoh lain sebagaimana dikutip Sachiko Murata menyatakan bahwa masa idah bagi isteri yang ditinggal mati suaminya adalah dua bulan lima hari karena dua alasan, pertama, masa tunggu dua bulan lima hari adalah masa tunggu bagi budak yang juga berlaku bagi wanita dalam pernikahan sementara. Alasan kedua, Imam Ja’far mengungkapkan sebagaimana dikutip oleh Sachiko Murata bahwa masa tunggu bagi isteri ditinggal mati suaminya adalah empat puluh lima hari. Namun pendapat tersebut ditolak oleh asy-Syaikh Muhammad al-Hasan dengan alasan pendat tersebut didasarkan pada qiyas yang tidak bisa menjadi sumber valid dalam Syi’ah dan juga didasarkan pada hadis yang mursal. 

 g. Memperbarui akad Sebelum batas waktu yang ditentukan berakhir maka tidak dapat dilakukan pembaharuan terhadap akad, kecuali jika pihak laki laki mengembalikan sisa waktu kepada pihak perempuan yang menyebabkan berakhirnya pernikahan barulah keduanya dapat memperbarui akad. Bagi wanita yang menikah kembali dengan pria yang sama tidak berlaku masa tunggu. 

 h. Status anak Anak hasil perkawinan mut’ah diakui sebagai anak sah sebagaimana halnya dalam nikah da’im, walaupun suaminya pernah melakukan ‘azl. Menurut Imam Syaraf ad-Din sebagaimana dikutip Ja’far Murtada al-Amili, status anak dari nikah mut’ah diikutkan ayahnya, begitupula saudara ayah atau ibunya adalah paman dan bibinya, anak anak yang didapatkan oleh ayah atau ibunya adalah saudaranya, dan seluruh wanita yang pernah dinikahi ayahnya adalah ibunya demikian berlaku seterusnya. 

 D. Keabsahan Nikah Mut’ah 

Mayoritas ulama Ahlussunah mengartikan kalimat فما استمتعتم بة منهن sebagai kenikmatan dalam hubungan pernikahan permanen. Penekanan terletak pada adanya kenikmatan dan kelezatan hubungan jasmani, oleh karenanya maskawin dinamakan ajr yakni imbalan dan upah. Imbalan tersebut dipahami sebagai mahar yang harus dipenuhi oleh suami. Ketentuan dalam membayar mahar menurut Qurai Shihab yaitu, mahar dibayar sempurna apabila telah berhubungan badan, mahar dibayar setengahnya apabila telah berhubungan badan dan telah dijanjikan maskawin, mahar tidak wajib dibayar apabila belum terjadi hubungan badan dan belum ada maskawin yang dijanjikan namun Al-Qur’an menganjurkan untuk memberikan sesuatu sebagai imbalan pembatalan. Mayoritas ulama sepakat bahwa nikah mut’ah pernah diizinkan oleh Nabi SAW. 

Disamping itu banyak riwayat yang menyatakan pembatalan nikah mut’ah. Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat tentang nikah mut’ah telah dihapus oleh ayat ayat tentang penjagaan farji, warisan, iddah dan talak. Sebagian lain berpendapat bahwa kebolehan nikah mut’ah dihapus oleh beberapa hadis. Adapula yang berpendapat kebolehanya telah dihapus berdasarkan ijma’ bahkan hanya berdasarkan ijtihad Khalifah Umar bin Khattab. Menyandarkan pendapat kepada riwayat dari al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar dan riwayat dari ‘Aisyah. Bantahan dari Syiah atas pendapat ini bahwa : Pertama, Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat mut’ah termasuk ayat yang muhkamat dan tidak dinasakh. Kedua, ayat tentang penjagaan farji di atas adalah surah Makiyah sedangkan ayat tentang Mut’ah adalah Madaniyah. Tidak mungkin ayat yang datang lebih dahulu menghapus ayat yang datang kemudian akan tetapi sebaliknya. Ketiga, ayat tentang penjagaan farji mengindikasikan bahwa wanita yang dinikahi mut’ah tidak dapat dikategorikan sebagai isteri, namun para sahabat sendiri manamakan mut’ah sebagai pernikahan dan wanita yang dikawini mut’ah tetap disebut sebagai isteri. Keempat, ayat tentang penjagaan farji bersifat umum sedangkan ayat tentang mut’ah bersifat khusus, biasanya ayat yang umum ditakhsis oleh ayat yang bersifat khusus. Mereka yang berpendapat bahwa ayat tentang penjagaan farji sebagai penghapus ayat mut’ah sering mengaitkan dengan ayat mengenai talak, warisan, iddah dengan asumsi nikah mut’ah tidak termasuk dalam perkawinan. Sanggahnya bahwa talak bersifat umum yang berlaku pada setiap jenis pernikahan. 

Dalam hal ini ayat mut’ah sebagai takhsis dari keumuman ayat talak tersebut, demikian halnya dalam masalah ayat tentang warisan. Sedangkan pada ayat iddah dianggap tidak masuk akal jika ayat yang membicarakan tentang iddah sebagai penghapus ayat mut’ahkarena dalam mut’ah tetap berlakuketentuan iddah apabila seorang wanita akan menikah lagi dengan laki laki lain. Ibnu hajar al-Asqalani mengemukakan bahwasannya larangan nikah mut’ah yang disampaikan Khalifah Umar bin Khattab bukan semata mata dari pendapat pribadinya akan tetapi berdasarkan larangan Rasulullah SAW. Sanggahan terhadap pendapat tersebut bahwa Umar mengharamkan nikah mut’ah karena : Pertama, menurut Ibnu Hazm dan al-Baquri sebagaimana dikutip oleh Ja’far Murtada al-Amili, penyebab Umar mengharamkan nikah mut’ah karena beliau melihat ada yang menyalahgunakan nikah tersebut. Kedua, sebagian lain mengatakan Umar mengharamkan pernikahan yang tidak disaksikan oleh saksi yang adil. Ketiga, pendapat Syekh Muhammad al-Gita sebagaimana dikutip oleh Ja’far Murtada al-Amili bahwa, alasan Umar berbuat demikian kerena ia melihat suatu kejadian yang membuatnya arah sehingga beliau mengharamkannya demi tujuan kenegaraan. Fuad Mohd. Fahruddin lebih tegas menyatakan mut’ah malah membuka mata birahi seseorang dan melepaskan kehormatan melanggar peraturan sehingga tidak mendapat satupun tujuan dari pernikahan. Di suatu sisi terdapat golongan yang mencela pendapat Syiah yang membolehkan nikah mut’ah dalam kitab fatwa dan pendirian ulama Sunni terhadap aqidah Syiah karangan M.O Abdullah sebagaimana dikutip oleh Fuad Mohd. Fahruddin, dusta orang Syiah yang menggalakkan kawin mut’ah atas nama Allah dan RasulNya berkata bahwa Rasulullah pernah menyatakan barangsiapa melakukan kawin mut’ah satu kali maka derajatnya sama dengan al-Husein, barangsiapa yang melakukan dua kali derajatnya sama dengan al-Hasan, barangsiapa yang melakukan tiga kali derajatnya sama dengan Ali bin Abi Talib dan barangsiapa kawin mut’ah empat kali maka derajatnya sama denganku. Maka dari itu kebanyakan para ulama khususnya ulama Sunni menngharamkan nikah mut’ah bahkan merupakan suatu kebatilan yang nyata karena wanita hanya dianggap sebagai barang dagangan, padahal dalam perkawinan yang sesungguhnya harkat dan martabat wanita dijunjung tinggi dengan adanya mahar dari mempelai laki laki, dan dampak yang dirasakan dari nikah mut’ah akan dirasakan sepanjang hidup. 

 حَدّ ثَنَا محمّدُ بنُ خلفٍ العسقال نِىُّ حدّ ثنا الفِرىابىّ عن ابانَ بنِ ابي حازمٍ عن ابي بكرِ بنِ حفْصٍ عن ابنِ عُمر قال لمّاوليَ عمر بنُ الخطابِ جطب انّاس فقال انّ رسُول اللة علية وسلم اذِن لنا في امتعة ثال ثا ثم حرمها واللة ل اعلم احدًا يتمتع وهو محصنٌ ا لّ رجمته بالحجا رةِ ال ان ياتين باربعةٍ يشهدون ان رسول اللة احلّها بعد اذ حرمها (رواه ابن ما جه) “

Telah meriwayatkan kepada kami Muhammad ibn Khalaf al-Asqalani, telah bercerita kepada kami al-Firyabi, dari Aban ibn Abi Hazim, dari Abi Bakr IBN Hafs, dari Ibn Umar, beliau berkata : ketika Umar diangkat sebagai pemimpin, dia berpidato kepada orang orang : 

“sesungguhnya Rasul Allah SAW. Memang pernah mengizinkan kita melakukan nikah mut’ah sebanyaktiga kali, kemudian ia mengharamkannya. Demi Allah, jika saya tahu ada seseorang yang melakukan nikah mut’ah, sementara ia adalah muhsan, niscaya ia akan saya rajam dengan batu, kecuali ia dapat mendatangkan empat orang saksi bahwa Rasul Allah SAW. Memang menghalalkan nikah mut’ah sesudah ia mengharamkan.” (H.R. Ibn Majah). 

Dari aspek sanad hadis ini dinilai Hasan karena ada salah satu dari rawi hadis tersebut berada pada tingkat ke lima. Juga tergolong garib karena tidak ada hadis lain yang meriwayatkan. Adapun kualitas rawinya, bisa dilihat dalam bagan di bawah ini ; No Nama Sanad Kualitas 1. Umar ibn al-Khattab I/VI Diterima 2. Abd Allah ibn Umar II/V Diterima 3. Abu Bakar III/IV Diterima 4. Aban ibn Abi Hazim IV/III Diterima 5. Al-Firyabi V/II Diterima 6. Muhammad ibn Khalaf VI/I Diterima 7. Ibn Majah VII/mukharrij al-hadis Diterima E. Penutup a. Kesimpulan Dalam perdebatan nikah mut’ah, lazimnya ada dua golongan yang berseberangan secara tegas. Dan masing masing golongan itu memiliki dasar argumennya yang dilegitimasi dengan teks Qur’an maupun hadist. Golongan pertama berpendapat, bahwa nikah mut’ah sah hukumnya sesuai dengan Hadis. Sedangkan golongan kedua, juga berpendapat bahwa nikah mut’ah tidak sah hukumnya sesuai dengan Hadis. Sedangkan golongan lainya, berpendapat bahwa Hadis tentang nikah mut’ah sewaktu umat Islam berperang haruslah dipahami dalam konteks masanya. Juga perlu diingat bahwa ketika fath al-Makkah, Nabi sudah mencabut ketentuan hukum Hadis itu, dan mengharamkanya hingga akhir zaman. Selain itu, menurut golongan ini, teks Qur’an yang menghalalkan nikah mut’ah, oleh sebagian ulama tafsir adalah teks yang terkena logika nasakh, atau dicabut ketentuan hukumnya. Sehingga umat Islam tidak perlu lagi mengacu pada ayat tersebut secara tekstual dan menjalankannya. b. Saran - Sering melakukan sosialisasi mengenai pentingnya melakukan perkawinan sesuai dengan aturan yang berlaku. - Memberikan pelatihan ketrampilan bagi mereka. - Memberikan sanksi yang mampu memberikan efek jera. 

 DAFTAR PUSTAKA 

Al Amili, Ja’far Murtadha. 1992. Nikah Mut’ah dalam Islam Kajian Ilmiah dari Berbagai Mazhab. Jakarta : Yayasan as-Sajjad. 
Fakhruddin, Fuad Mohd. 1992. Nikah Mut’ah dalam Pandangan Islam. Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya. Murata, Sachiko. 2001. Lebih Jelas Tentang Mut’ah : Perbedaan Sunni dan Syiah. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Marhumah. 2009. Memahami Perkawinan dalam Perspektif Kesetaraan : Strudi Kritis Hadis Hadis Tentang Perkawinan. Yogyakarta : PSW UIN Sunan Kalijaga.

Resensi "Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Perjanjian Kredit (Murabahah) dengan Jaminan Fidusia di BMT BIF Gedungkuning Yogyakarta"


Judul :Tinjauan Yuridis Terhadap Pelaksanaan Perjanjian Kredit (Murabahah) dengan Jaminan Fidusia di BMT BIF Gedungkuning Yogyakarta 
Penulis : M. Faruq Umam (Mahasiswa Prodi Ilmu Hukum 2010) Tahun : 2014, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 
Tebal : 108 halaman 
Peresensi : Mohammad Toha Yahya (13340026) Kls. D 

BMT Bina Ihsanul Fikri Gedongkuning Yogyakarta adalah koperasi simpan pinjam syari’ah yang berbadan hukum No. 159/KWK/12/V/1997, pada tanggal 17 Mei 1997. Sampai saat ini aset yang terkumpul kurang lebih 70 Miliar Rupiah dari keseluruhan Produk baik tabungan maupun pembiayaan. Ada dua produk yang disediakan oleh BMT BIF yaitu berupa simpanan (haji, umrah berhadiah, simpanan umum, pendidikan, qurban, dan deposito). Ada juga pembiayaan yang berprinsip syari’ah yaitu dengan asas kekeluargaan. Landasan masalah yang ada pada penulisan skripsi ini adalah mengenai mekanisme penerapan jaminan fidusia dalam pembiayaan murabahah di BMT BIF Gedongkuning Yogyakarta, apakah sesuai atau tidak dengan pereturan undang undang. Murabahah adalah pembiayaan syari’ah dengan prinsip jual beli yang banyak diterapkan dalam lembaga keuangan syari’ah sebagai salah satu perjanjian kreidit. Besar kecilnya pembiayaan atau modal yang diberikan kepada pemohon ditentukan setelah melakukan beberapa tahap yaitu dengan menggunakan studi kelayakan 4 P (personality, purpose, payment, prospect) dan 5 C (character, capacity, capital, colectual, condition of economy). Asas kebebasan berkehendak menjadi alasan utama bagi pihak BMT untuk menentukan isi dalam perjanjian atau akad. Untuk meminimalisir kerugian dalam prosesnya, maka diterapkan jaminan. Jaminan yang biasa digunakan adalah jaminan fidusia yaitu berupa bukti pemilik kendaraan bermotor (BPKB). 

Dalam jaminan fidusia benda yang diserahkan hak kepemilikannya tetap berada dalam pengawasan pemilik benda, sedangkan yang dialihkan hanyalah kepemilikannya saja, secara yuridis hak atas benda tersebut sudah beralih kepemilikannya akan tetapi secara nyata benda benda masih dalam penguasaan pemilik benda tersebut. Contohnya jual beli mobil atau yang kita kenal dengan sebutan lesing, maka perlu adanya jaminan fidusia untuk menjamin kepastian hukum. BMT adalah salah satu lembaga keuangan syari’ah yang menerapkan pembiayaan murabahah dengan jaminan fidusia ini. Berdasarkan pasal 11 Undang Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia menyebutkan bahwa benda yang dibebani fidusia wajib didaftarkan, terkait dengan tata cara dan biaya pendaftaran jaminan fidusia diatur dalam pereturan pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang tata cara pendaftaran jaminan fidusia dan biaya pembuatan akta jaminan fidusia. Namun dalam praktiknya peraturan tersebut belum berjalan dengan baik. Penerapan jamina fidusia dalam pembiayaan murabahah di BMT BIF Gedongkuning tidak berjalan sesuai dengan peraturan perundang undangan khususnya pada penerapan jaminan yang tidak didaftarkan ke kantorpendaftaran jaminan fidusia melainkan hanya di legalisasi oleh Notaris yang ditunjuk oleh BMT BIF Gedongkuning Yogyakarta. Legalisasi Notaris tersebut hanya untuk pembayaran diatas Rp 10.000.000, jarang sekali yang sampai 50.000.000. dalam proses eksekusi terhadap debitur atau anggota yang mengalami kredit macet, BMT BIF Gedongkunig Yogyakarta menyerahkan sepenuhnya pada pihak dealer yang menggunakan jasa Rebt Collector yang menyita barang jaminan dengan cara baik baik ataupun secara paksa tanpa surat putusan dari pengadilan atau dengan akta jaminan fidusia dari kantor pendaftaran jaminan fidusia. 

Masalah lain yang terjadi dalam proses pembiayaan diselesaikan dengan cara musyawarah untuk mufakat. Keunggulan skripsi ini sangat cocok dibaca bagi kalangan akademisi UIN Sunan Kalijaga pada kususnya yang akan atau telah mengambil konsentrasi perdata, dan pada umumnya mahasiswa UIN Sunan Kalijaga semuanya bagi yang tertarik dengan masalah ini. Analisis yuridis-normatif sangat cocok dalam menganalisis permasalahan yang sedang berkembang di masyarakat dengan acuan peraturan perundang undangan sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan apakah praktik yang berkembang di masyarakar tersebut sesuai atau tidak. Kekurangan skripsi ini yakni masih terdapat beberapa kata yang salah tulis yang belum diperbaiki. Objek yang diteliti sifatnya sudah lama dan juga banyak para mahasiswa lain diperguruan tinggi di Yogyakarta yang telah mengambil objek penelitian di BMT BIF Gedongkuning Yogyakarta.

Resensi Buku Hukum Perjanjian Internasional Pengertian, Status Hukum dan Ratifikasi

Resensi Buku Hukum Perjanjian Internasional Pengertian, Status Hukum dan Ratifikasi


Judul : Hukum Perjanjian InternasionalPengertian, Status Hukum dan Ratifikasi
Penulis : DR. Eddy Pratomo, S.H., M.A.
Penerbit : P.T. Alumni, Bandung
Cetakan : 1 (Pertama), 2011
Tebal : 238
Peresensi : Mohammad Toha Yahya
     Buku ini menyoroti tiga permasalahan dasar terkait dengan pemahaman tentang Pengertian Perjanjian Internasional, Status Hukum Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional dan Konsepsi Ratifikasi/Pengesahan dalam Perspektif Hukum Nasional. Secara umum, buku ini menjelaskan tentang latar belakang dari tiga permasalahan tersebut dan membahas secara tuntas perjanjian internasional ditinjau dari teori dan praktik umum dalam hukum internasional, tinjauan dan praktik dalam sistem hukum nasional Indonesia, praktik perjanjian internasional oleh beberapa negara dan diakhiri dengan analisis Penulis tentang perlunya Indonesia mengadopsi suatu politik hukum dibidang perjanjian internasional berdasarkan perkembangan intensitas dan dinamika hubungan luar negeri, teori kedaulatan negara dan politik luar negeri yang bebas dan aktif yang diabdikan bagi kepentingan nasional. Pasal 11 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain, dinilai terlalu singkat dan tidak memberikan kejelasan terhadap dokrin atau politik hukum Indonesia di bidang perjanjian internasional. Pasal ini memang tidak dimaksudkan untuk berbicara tentang perjanjian itu sendiri tetapi hanya mengatur tentang pembagian kekuasaan antara Presiden dan DPR. Atas dasar Pasal 11 UUD 1945 ini, Indonesia selanjutnya mengembangkan apa yang disebut konvensi ketatanegaraan melalui praktik praktik negara sampai akhirnya dikeluarkan Surat Presiden No. 2826 Tahun 1960 yang dikristalisasikan dengan UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
    Dalam rangka pelaksanaan Pasal 20 UUD 1945, masalah perjanjian internasional juga tidak menjadi perhatian. Sebagai turunannya, UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang undangan khusunya dalam Pasal 7, tidak menempatkan Perjanjian Internasional yang telah diratifikasi ke dalam tata urutan hierarki peraturan perundang undangan. Sehingga keberadaan dan kedudukan hukum suatu perjanjian internasional dalam dalam hukum nasional tidaklah jelas. Kalaupu keberadaan ahli telah menganggap behwa kedudukannya setara dengan UU yang meratifikasinya, pandangan ini tidak mendapat dukungan yuridis. Bahkan, terdapat kalangan ahli lain yang berpendapat bahwa UU yang meratifikasi bukan menjadikan perjanjian internasional itu sebagai UU melainkan hanya mewadahi persetujuan DPR seperti yang dimaksud Pasal 11 UUD 1945. Dalam Praktik Indonesia tentang status hukum perjanjian internasional belum konsisten, kadang menerapkan teori inkorporasi dan tidak jarang pula menerapkan teori transformasi. Adanya rujukan langsung terhadap berbagai konvensi internasional tertentu oleh Mahkamah Konsstitusi atau Mahkamah Agung dalam beberapa keputusannya telah mengindikasikan bahwa Indonesia menganut teori inkorporasi. Hal ini tampak jelas ketika Indonesia melakukan rujukan langsung terhadap ketentuan UU No. 1 Tahun 1982 tentang pelaksanaan Ketentuan Konvensi Wina 1961/1963 tentang Hubungan Diplomatik dan Konsuler dalam hal pemberian pemberian fasilitas diplomatik kepada Misi Diplomatik Asing di Indonesia. Sementara itu, terdapat pula praktik umum pemberian baju hukum terhadap suatu perjanjian internasional dalam rangka mengintegrasikan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional (UU atau Perpres) dalam rangka mengintegrasikan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional, telah mengindikasikan penerapan teori transformasi. Dalam praktik Indonesia ketika meratifikasi UNCLOS Tahun 1982 dengan UU No. 17 Tahun 1985 masih diperlukan adanya undang undang implementasi yakni UU No. 6 Tahun 1986 tentang Perairan Indonesia yang merupakan undang undang transformasi dari ketentuan hukum nasional. Penandatanganan Letter of Intent (LQI) antara IMF dengan Pemerintah Indonesia tahun 1998 telah memicu beberapa pertanyaan tentang pengertian, status maupun proses ratifikasi suatu perjanjian internasional. Walaupun hanya berbentuk LQI, perjanjian tersebut mengatur hal yang sangat mendasar dan menyentuh berbagai kepentingan fundamental ekonomi Indonesia. LQI IMF telah memicu perdebatan seru dikalangan ahli hukum Indonesia maupun politisi dan berakhir pada munculnya amandemen terhadap Pasal 11 UU 1945 yang tercermin dalam ayat (2) yakni: “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban kauangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang undang harus dengan persetujuan DPR”. Istilah perjanjian internasional lainnya yang ditambahkan dalam ayat (2) tersebut juga semakin menimbulkan kerancuan. Munculnya judicial review dari beberapa anggota DPR RI yang mempermasalahkan Pasal 11 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2001 tentang minyak dan Gas Bumi yang berbunyi: Setiap Kontra Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada DPR dinilai bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945, semakin merefleksikan adanya ketidakjelasan tentang pengertian perjanjian internasional. Selain itu makna ratifikasi juga dipahami berbeda oleh beberapa kalangan, Hukum Tata Negara RI berdasarkan Pasal 11 ayat (1) UUD 1945, mengartikan ratifikasi sebagai prosedur internal yakni persetujuan DPR terhadap perbuatan hukum Pemerintah dalam membuat Perjanjian Internasional. Sementara itu, UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional mengartikan lebih kepada prosedur eksternal yakni keterkaitan Indonesia pada suatu perjanjian internasional. Sehingga terjadi ketakjelasan tentang kapan mulai berlakunya suatu Perjanjian Internasional dalam ranah hukum nasional. Apakah pada saat belakunya UU ratifikasi oleh DPR atau pada saat menyampaikan instrument of ratifikation oleh Pemerintah Indonesia. Di beberapa negara, sistem common law ataupun civil law, masalah pilihan politik hukum telah tuntas sejak akhir Perang Dunia ke-2, apakah melalui inkorporasi ataupun transformasi. Bahkan, Negara dengan sistem campuran, seperti Thailand, China dan Vietnam, telah menemukan sikap jika terjadi konflik antara hukum internasional dan hukum nasional, hukum internasionallah yang berlaku. Oleh karena itu, Indonesia perlu segera menerapkan pilihan hukumnya atau doktrinnya agar sejalan dengan komitmen Indonesiau untuk mengimplementasikan perjanjian internasional sesuai dengan ketentuan Pasal 26 Konvensi Wina 1969 yang menyatakan prinsip fundamental pacta sunt servanda yakni bahwa Perjanjian Internasional adalah mengikat para pihak terkait dan harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Pasal 27 Konvensi Wina Tahun 1969 juga menegaskan bahwa para pihak pada perjanjian tidak dapat menjadikan hukum nasionalnya sebagai alasan terhadap kegagalannya dalam melaksanakan ketentuan suatu perjanjian internasional. Dalam kaitan ini, Mochtar Kusumaatmadja, dalam bukunya Pengantar Hukum Internasional, Buku 1, Bagian Umum, Bina Cipta, Bandung 1990, hlm. 65-67, menyatakan bahwa: kita lebih condong kepada sistem negara negara continental Eropa yang disebut halaman terdahulu, yakni langsung menganggap diri kita terkait dalam kewajiban melaksanakan dan menaati semua ketentuan perjanjian dan konvensi yang telah disahkan tanpa perlu mengadakan lagi perundang undangan pelaksanaan. Mochtar Kusumaatmadja lebih cenderung mengarah kepada monisme primat hukum internasional, meskipun pada bagian lain, beliau juga mengatakan: “tetapi dalam beberapa hal menurut pendapat penulis buku pengundang undangan dalam undang undang nasional adalah mutlak diperlukan yakni antara lain apabila diperlukan perubahan dalam undang undang nasional yang langsung menyangkut hak warga Negara sebagai perorangan.
    Dengan demikian, wacana terkait dengan persoalan politik hukum Indonesia sudah pernah dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, tetapi hingga kini wacana tersebut balum pernah ditindaklanjuti dengan adanya penetapan tentang politik hukum Indonesia dibidang perjanjian internasional. Maka dari itu Eddy Pratomo selaku penulis buku ini mengusulkan teori kombinasi dalam upaya untuk terus mendorong ke arah pembahasan yang lebih konkret tentang polotik hukum di bidang perjanjian internasional, sebagai berikut: “Teori hukum keleluasaan Negara yang dinamis untuk menetapkan status hukum perjanjian internasional di dalam hukum nasional melalui mekanisme teori kombinasi yang telah disediakan dalam teori inkorporasi dan transformasi. Kombinasi dimaksud dapat berupa penggunaan salah satu teori dari hukum atau kombinasi keduannya. Sehingga dalam penentuan status hukum suatu perjanjian internasional, Negara Indonesia dapat secara fleksibel menentukan sikap sepanjang memenuhi kepentingan nasional dan tidak bertentangan dengan aturan ukum kebiasaan internasional dan nasional serta dapat menciptakan kepastian hukum tentang status perjanjian internasional dalam hukum nasional Indonesia.
     Buku ini hadir untuk menjawab tantangan problematika hukum nasional dengan internasional sebagai manifestasi hukum internasional di era globalisasi ini, dan wajib dibaca oleh para akademisi, dan juga menjadi referensi dasar bagi para pejabat pemerintah dalam rangka tugas tugas praktisinya khususnya dalam menjelaskan kepaa pihak negara lain tentang anatomi permasalahan perjanjian internasional di Indonesia.
     Adapun kelebihan dari buku ini, Eddy Pratomo, sebagai penulis buku, secara signifikan banyak menguraikan dan mengkaji mengenai perjanjian internasional dari beberapa segi, mulai dari politik hukum suatu negara yang harus jelas, latar belakang historis politis suatu peraturan sehingga dapat menguntungkan pihak pihak yang melakukan perjanjian, juga asas asas yang digunakan dalam merumuskan suatu peraturan perundang undangan yang sesuai dengan perjanjian internasional yang telah disepakati, jika kepentingan mendesak maka hak warga negara wajib didahulukan dalam perjanjian dari pada hubungan antara pihak yang membuat perjanjian.

Analisa Kasus Kepailitan "Kasus kepailitan PT Telkomsel dan PT Mitra Batavia"

     “Kepailitan Perusahaan membuat perlindungan konsumen menjadi tidak jelas” “Kasus kepailitan PT Telkomsel dan PT Mitra Batavia” Analisa kasus mengenai dugaan pailit PT Telkomsel memang sudah batal, tetapi bagaimana nasib ribuan dan bahkan jutaan konsumen tekomsel. Begitu pula dengan kasus dugaan pailit PT Mitra Batavia yang sudah diketok palu oleh pengadilan PN Jakarta Pusat. Keduannyasama yakni terkait kepentingan publik. Dan dengan bermacam macam alasan dan gugatan yang telah dilakukan oleh pihat penggugat yakni masing masing dari PT Prima Jaya Informatika dan ILFC dari Amerika. Melihat kasus diatas memang sangat mengerikan kalau kita bayangkan sejenak mengenai dunia perusahaan, bisnis, dan ekonomi, dimana para perusahaan akan saling sikut menyikut untuk mencoba menjatuhkan lawan mainnya, begitulah persaingan di dunia bisnis dan semacamnya. Tetapi yang menarik dari kasus diatas adalah adakah perlindungan yang diberikan oleh perusahaan kepada konsumen? Dalam analisa kasus ini saya akan menjabarkan terlebih dahulu mengenai kepailitan dan terus akan disingkronasikan dengan perlindungan konsumen untuk mencari tahu seberapa besar peluang konsumen yang dirugikan untuk mendapatkan perlindungan serta solusi apakah yang tepat mengenai kasus ini. Mengenai kepailitan ataupun pengertian lainnya adalah bangkrut telah dijelaskan dalam KUHPer dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132.

     Adapun dasar hukumnya yakni UU No 37 Tahun 2004 tentang kepailitan. Sementara mengenai perlindungan konsumen juga diatur dalam UU No 8 Tahun 1999. Konsumen yang tidak berdaya harus dilindungi melalui hukum dan juga kebijakan perlindungan konsumen, konsumen harus menyadari hak haknya dan mau memperjuangkannya. Inilah problem permasalahannya mengenai kasus diatas dimana para konsumen yang dirugikan tidak mau menuntut hak haknya. Padahal dalam UU No 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen juga ada beberapa hak terkait perlindungan konsumen dalam kasus diatas yakni hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan penyelesaian sengketa secara patut dan juga hak untuk memperoleh ganti rugi. Pada intinya melalui undang undang perlindungan konsumen hak hak konsumen memang harus diperjuangkan dengan adanya proses yang sinergis antara para kreditur, debitur, dan juga kurator, serta konsumen dalam hal ini pihak yang perlu dilindungi. Namun memang terdapat banyak kendala terkait pengsinergian antara kepailitan dengan perlindungan konsumen karena disisi lain undang undang perlindungan konsumen mengakui tetapi di depan kasus kepailitan seolah olah perlindungan tersebut hambar dan terkesan tidak jelas. Belum lagi kerugian yang diderita oleh perusahaan PT yang pailit.
     Maka dapat dikatakan bahwa undang undang kepailitan memiliki kelemaham kelemahan yaitu:
a. Tidak terdapatnya pembatasan jumlah nilai nominal utama di dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit, merupakan kekurangan dan kelemahan aturan hukum kepailitan di Indonesia.
b. Tidak diaturnya pembatasan jumlah nilai nominal utang di dalam hukum kepailitan, dilihat dari argumentasi yuridis menunjukkan bahwa terjadi penyimpangan hakikat kepailitan. Jadi dapat dikatakan bahwa dugaan dugaan kasus kepailitan terhadap PT Mitra Batavia yang terbukti pailit walaupun pihak perusahaan juga telah menyatakan kebenaran utang perusahaan yang banyak sehingga tidak mampu membayar, harus dikaji lagi karena bagaimanapun juga perusahaan harus diberikan waktu yang cukup lama untuk mengurus para konsumen setiannya yang dilanda kepanikan. Karena perusahaan itu merupakan perusahaan yang bergerak dibidang publik, jadi apabila pailit harus juga memberikan santunan jasa kepada konsumennya.

     Konsumen yang dirugikan terkait dengan kasus PT Mitra Batavia ditambahlagi dengan diposisikan sebagai kreditor konkuren bahkan menjadi bagian terakhir dari pembagian budel pailit, menurut saya dalam pandangan perlindungan konsumen seharusnya perusahaan tidak membawa bawa konsumen dalam kasus kepailitan apalagi disuruh untuk bertanggungjawab atas pelunasan hutang perusahaan. Maka kita tidak boleh menyamakan antara konsumen dengan kreditor apalagi menjadi bagian terakhir dari pembagian budel pailit, seharunya konsumen mendapatkan ganti rugi yang layak berupa jasa yakni dengan cara mengalihkan penerbangan kepada maskapai penerbangan yang lainnya tanpa adanya timbal jasa dengan penuh keikhlasan untuk memjamin hak konsumennya disaat terakhir di masa masa pailit. Mengenai pemecahan masalah PT Telkomsel sepertinya tak jauh berbeda dari apa yang dipaparkan di atas, untuk memuaskan pelanggan dalam hal ini konsumen maka PT Telkomsel menurut saya harus segera membuat defense yakni dengan membutuhkan peran advokat yang disumpah untuk siap membela para konsumen yang dirugikan akibat kebijakan yang dikeluarkan. Walaupun secara keuangan PT Telkomsel terbilang sehat karena banyak sekali konsemen pelanggan Telkomsel meliputi kartu perdana, vocher, dan komunikasi interaktif lainnya. Mengenai masalah pelayanan juga harus ditingkatkan, karena setelah hampir dinyatakan pailit minimal PT Telkomsel belajar dari kasus tersebut, dan juga kebijakan yang dibuat dalam hal iklan jangan sampai meresahkan dan menyesatkan.
     Dalam menangani kasus sengketa mengenai kepailitan yang paling efektif yakni dengan cara menggugat ke pengadilan tentu saja dengan prosedur atau hukum acara perdata, hal ini cocok karena banyak korban yang dirugikan dalam kasus PT Telkomsel dan PT Mitra Batavia. Konklusi Solusi berdasarkan uraian diatas;Jalan terbaik adalah dengan cara merevisi ulang UU Nomor 37 Tahun 2004 tersebut karena secara substansi memang sangat meragukan dapat menjamin kepastian hukum terkait masalah kepailitan yang ada di Indonesia. Bagaimana mungkin PT Telkomsel dengan keuangan yang sehat digugat pailit hanya gara gara utang yang tidak seberapa, ini menandakan bahwa sedemikian mudahnya hukum keadilan dibolak balikkan. Dan bila kita melihat judul dari UU Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 sangat miris yakni KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN MEMBAYAR HUTANG, dimana bila ada gugatan pailit terhadap perusahaan dapat membengkrutkan perusahaan tersebut secara tidak langsung karena ada tekana untuk melawan gugatan tersebut dan juga harus ada beban berat yakni menang di Pengadilan pada tingkat Kasasi. Bila berbicara tentang revormasi hukum di bidang bisnis memang yang harus perlu diralat dan diamandemen adalah mengenai UU No 37 Tahun 2004, dari sejarahnya pun panjang dengan melibatkan masa masa yang sulit dan terus dinamis mengikuti perkembangan zaman, maka aturannya pun harus segera diganti minimal 5 tahun sekali. Maka dengan adanya UU Kepailitan yang baru maka perlindungan terhadap konsemen akan lebih baik dan sesuai dengan harapat dan cita cita bangsa Indonesia. Dan juga sesuai dengan sila Pancasila yakni “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, dengan memaksimalkan sinergi antara keduanya bukan tidak mungkin Indonesia akan mempunyai peraturan yang berlandaskan prinsip Equality Before The Law.