BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Umumnya
setiap orang yang akan berkeluarga pasti mengharapkan akan terciptanya
kebahagiaan dan keharmonisan dalam rumah tangganya. Namun kenyataanya tidak
selalu sejalan dengan harapan semula. Ketegangan dan konflik kerap kali muncul,
perselisihan
pendapat,
perdebatan, pertengkaran, saling mengejek, atau bahkan memaki pun lumrah
terjadi. Semua itu sudah semestinya dapat diselesaikan secara arif dengan jalan
bermusyawarah, saling berdialog secara terbuka. Dan pada kenyataannya banyak
persoalan dalam rumah tangga meskipun terlihat kecil dan sepele namun dapat
mengakibatkan terganggunya keharmonisan hubungan suami isteri. Sehingga
memunculkan apa yang biasa kita kenal dalam hukum Islam dengan istilah nusyuz
(kedurhakaan).
Nusyuz
bisa terjadi disebabkan oleh berbagai alasan, mulai dari rasa ketidakpuasan
salah satu pihak atas perlakuan pasanganya, hak-haknya yang tidak terpenuhi,
atau adanya tuntutan yang berlebihan dari satu pihak terhadap pihak yang lain.
Bisa juga terjadi karena adanya kesalahan suami dalam menggauli istrinya atau
sebaliknya kesalahan istri dalam memahami keinginan dan hasrat suami.
Pihak
laki-laki (suami) diberi kewenangan untuk melakukan tindakan dalam menyikapi nusyuznya
isteri tersebut. Tindakan pertama yang boleh dilakukan suami terhadap isterinya
adalah menasehatinya, dengan tetap mengajaknya tidur bersama. Tidur bersama ini
merupakan simbol masih harmonisnya suatu rumah tangga. Apabila tindakan pertama
ini tidak membawakan hasil, boleh diambil tindakan kedua, yaitu memisahi tempat
tidurnya. Apabila dengan tindakan kedua isteri masih tetap tidak mau berubah
juga, suami diperbolehkan melakukan tindakan ketiga yaitu memukulya (Nur, 1993
: 132).
Tindakan
ini sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Qur'an dalam surat an-Nisa’ (4) ayat 34
:
“Kaum laki-laki
itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena
mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka
wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka
di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu,
Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Orang
sering mengkaitkan konsep nusyuz sebagai pemicu terjadinya tindak
kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini ada benarnya juga, karena jika isteri nusyuz
suami diberikan berbagai peluang untuk melakukan tindakan dalam
memperlakukan isterinya. Mulai dari tindakan untuk memukulnya, menjahuinya, tidak
memberinya nafkah baik nafkah lahir maupun batin dan pada akhirnya suami juga
bertindak untuk menjatuhkan Thalaq terhadap isterinya.
Oleh
karena itu ketika berbicara persoalan isteri yang nusyuz, maka perlu
dilakukan kajian tentang tindakan apa saja yang menjadi kewenangan suami, dan
perlu juga diajukan batasan-batasan tindakan yang boleh dilakukan oleh suami
yang dilegitimasi oleh syara’ itu sendiri secara jelas. Sehingga
pemahaman-pemahaman yang keliru dalam permasalahan ini dapat diluruskan sesuai
dengan Maqasid Asy-Syari’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Nusyuz
Kata nusyuz dalam bahasa Arab
merupakan bentuk mashdar (akar kata) dari kata ”نشز-
ينشز- نشوزا” yang berarti:
”duduk kemudian berdiri, berdiri dari, menonjol, menentang
atau durhaka. Dalam konteks pernikahan, makna nusyuz yang tepat untuk
digunakan adalah “menentang atau durhaka”. sebab makna inilah yang paling
mendekati dengan persoalan rumah tangga.
Arti lain dari nusyuz adalah
membangkang. Menurut Slamet Abidin dan H Aminuddin, nusyuz berarti durhaka,
maksudnya seorang istri melakukan perbuatan yang menentang suami tanpa alasan
yang dapat diterima oleh syarak. Ia tidak menaati suaminya atau menolak diajak
ke tempat tidurnya.[1]
Menurut Al-Qurtubi, nusyuz adalah:
تخا فون عصبيانهن وتعا لبيهن عما اوجب الله عليهن من طا عةالز
“mengetahui dan meyakini bahwa isteri itu melanggar apa yang sudah menjadi
ketentuan Allah dari pada taat kepada suami.
Sedangkan menurut istilah, dalam
kitab Al-Bajuri dikatakan bahwa Nusyuz adalah:
ألنشوز هو الخروج عن الطا عة مطلقا أو من الزوجة أو من الزوج أو من هما
“nusyuz adalah keluar dari ketaatan (secara umum) dari isteri atau suami atau keduanya”.
Dari beberapa definisi di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan nusyuz adalah pelanggaran komitmen bersama terhadap apa yang menjadi kewajiban dalam rumah tangga. Adanya tindakan nusyuz ini adalah merupakan pintu pertama untuk kehancuran rumah tangga. Untuk itu, demi kelanggengan rumah tangga sebagaimana yang menjadi tujuan setiap pernikahan, maka suami ataupun isteri mempunyai hak yang sama untuk menegur masing-masing pihak yang ada tanda-tanda melakukan nusyuz.
B. Kriteria
Nusyuz
Saleh bin Ganim al-Saldani, menjelaskan
secara rinci mengenai kriteria tindakan istri yang termasuk ke dalam perbuatan
nusyuz menurut para ulama mazhab, yaitu sebagai berikut :
1. Menurut ulama Hanafi
: Apabila seorang istri (perempuan) keluar dari rumah suami tanpa izin suaminya
dan dia tidak mau melayani suaminya tanpa alasan yang benar.
2. Menurut ulama Maliki
: seorang istri dikatakan nusyuz apabila ia tidak taat terhadap suaminya
dan ia menolak untuk digauli, serta mendatangi suatu tempat yang dia tahu hal
itu tidak diizinkan oleh suaminya, dan ia mengabaikan kewajibannya terhadap
Allah SWT, seperti tidak mandi janabah, dan tidak melaksanakan puasa di
bulan Ramadhan.
3. Menurut ulama
Syafi’i, seorang stri dikatakan nusyuz apabila istri tersebut tidak
mematuhi suaminya dan tidak menjalankan ketentuan-ketentuan agama yang
berkaitan dengan hak-hak suaminya serta tidak
menunaikan kewajiban agama lainnya.
4. Sedangkan menurut
ulama Hanbali, seorang istri dikatakan nusyuz apabila istri melakukan
tindakan yang tidak memberikan hak-hak suami yang wajib diterimanya karena
pernikahan
Dari uraian di atas,
kriteria nusyuznya seorang istri menurut ulama mazhab adalah sebagai
berikut :
1. Istri menolak ajakan
suami untuk bersetubuh, tanpa alsan yang dibenarkan oleh syara’.
2. Istri keluar rumah
tanpa izin suami atau tanpa alasan yang benar, serta ke tempat yang telah
dilarang suami.
3.
Istri meninggalkan kewajiban agama.
4. Istri tidak berpenampilan menarik seperti yang
diinginkan oleh suami.
C. Macam – Macam Nusyuz
v Nusyuz Perempuan / istri
Dilihat dari sikap isteri kepada suaminya dapat dipilah
menjadi dua, pertama, isteri yang salihah, yaiutu yang tunduk dan taat kepada
perintah Allah dan lain lain. Kedua, istreri yang berusaha keluar dari
kewajibannya sebagai isteri, berusaha meninggalkan suami sebagai pucuk pimpinan
rumah tangga, dan menghendaki agar kehidupan rumah tangga menjadi berantakan.
Istri yang demikian disebut isteri yang nusyuz.[2]
Dalil
al-Qur’an mengenai nusyuz perempuan ini ada misalnya pada surat An-nisa’ ayat
34:
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka, kemudian jika mereka mentaatimu maka janganlah mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar”. (An-Nisa’ : 34 ).Asbab an-uzul ayat ini turun, berkenaan dengan kasus seorang yang memukul isterinya karena berlaku nusyuz, kemudian dia mengadu kepada Rasulullah.Selanjutnya Rasulullah menetapkan hukuman qishas atas suami tersebut, maka turunlah ayat 114 surat Thaha sebagai teguran kepada Rasulullah karena keputusan yang “tidak pas”. Maka turunlah ayat an-Nisa’ ayat 34 ini.
Tanda-tanda
nusyuz perempuan (isteri) itu antara lain:
- tidak cepat menjawab suaminya
berdasarkan bukan kebiasaan
- tidak nyata atau tidak jelas
penghormatan kepada suaminya
- tiada mendatangi suami kecuali
dengan bosan, jemu atau dengan muka yang cemberut.
- seorang isteri yang jika diajak
untuk berhubungan intim, dia menolak. Akan tetapi, kita harus lebih adil
melihat alasan isteri untuk tidak mau berhubungan. Kalau alasannya
rasional, seperti sedang sakit, kelelahan atau tidak dalam keadaan siap
hatinya, maka suami tidak berhak untuk memaksakan.
Para Imam mazhab yang empat juga mengemukakan beberapa tanda nusyuz isteri
lainnya:
Pertama, Nusyuz dengan ucapan adalah apabila biasanya kalau dipanggil, maka iamenjawab panggilan itu, atau kalau diajak bicara dia biasanya bicara dengan sopan dan dengan ucapan yang baik. Tetapi kemudian dia berubah, apabila dipanggil, maka ia tidak mau lagi menjawab, atau kalau diajak bicara ia acuh tidak peduli (cuek) dan mengeluarkan kata-kata yang jelek”.
Pertama, Nusyuz dengan ucapan adalah apabila biasanya kalau dipanggil, maka iamenjawab panggilan itu, atau kalau diajak bicara dia biasanya bicara dengan sopan dan dengan ucapan yang baik. Tetapi kemudian dia berubah, apabila dipanggil, maka ia tidak mau lagi menjawab, atau kalau diajak bicara ia acuh tidak peduli (cuek) dan mengeluarkan kata-kata yang jelek”.
Kedua, nusyuz dengan perbuatan
adalah apabila biasanya kalau diajak tidur, maka ia menyambut dengan senyum dan
wajah berseri. Tapi kemudian berubah menjadi enggan, menolak dengan wajah yang
kecut. Tetapi kalau biasanya apabila suaminya datang ia langsung menyambutnya
dengan hangat dan menyiapkan semua keperluannya. Tetapi kemudian berubah jadi tidak mau peduli lagi.
Dalam kompilasi hukum Islam,
soal Nusyuz juga diatur. Beberapa pasal menegaskan hak dan kewajiban suami dan
istri.
Pasal
80
1)
suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi
mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami
dan isteri.
2)
Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
beruma tangga sesuai dengan kemampuannya.
3)
Suami wajib memberi pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan
belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
4)
Sesuai dengan pengahsilannya suami menanggung :
a.
nafkah, kiswah dan tempat kediaman isteri;
b.
biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;
c.
biaya pendidikan bagi anak.
Pasal
83
1)
Kewajiban utama bagi seorang isteri adalah berbakti lahir dan batin kepada
suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam;
2)
Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga dengan
sebaik-baiknya;
Pasal
84
1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika
ia tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83
ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah;
2) Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isteriya tersebut pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) diatas berlaku kembali setelah isteri tidak nusyuz.
4) Ketentuan tentang ada atau tidaknya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.
Sayangnya, dalam Kompilasi Hukum Islam ini tidak dikenal adanya nusyuz yang dilakukan suami. Padahal Islam jelas menegaskan nusyuz bia dilakukan suami dan isteri. Bahkan, dalam banyak riwayat dikatakan suami lebih besar peluangnya untuk melakukan nusyuz.
2) Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isteriya tersebut pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) diatas berlaku kembali setelah isteri tidak nusyuz.
4) Ketentuan tentang ada atau tidaknya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.
Sayangnya, dalam Kompilasi Hukum Islam ini tidak dikenal adanya nusyuz yang dilakukan suami. Padahal Islam jelas menegaskan nusyuz bia dilakukan suami dan isteri. Bahkan, dalam banyak riwayat dikatakan suami lebih besar peluangnya untuk melakukan nusyuz.
Cara
penyelesaian
Jika isteri melakukan nusyuz, ada beberapa cara yang bisa ditempuh suami untuk meredakan nusyuz sang isteri. Surat an- Nisa’ ayat 34 menjelaskan:
“Wanita-wanita yang kamu khawatir nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkan diri dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka, kemudian jika
mereka mentaatimu maka janganlah mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi Lagi Maha Besar”. (An-Nisa:34).
Bedasarkan ayat tersebut, sekurangnya ada tiga cara menghadapi isteri yang
melakukan nusyuz. :Pertama, menasehati dengan tegas agar ia dapat kembali
menjalankan kewajibannya dengan baik sebagai istri. Peringatan yang diberikan
sepatutnya mengarahkan kepada pemulihan hubungan dalam rumah tangga. Disini
suami dituntut bijaksana dalam perkataan dan perbuatan. Tegas bukan berarti
kasar.
Kedua, berpisah tempat tidur. Cara ini baru dilakukan jika cara yang pertama
tidak mempan. Kalimat “واهجروهن” (pisahkan mereka) dalam surat An-Nisa ayat 34 ditafsirkan
sebagian ulama sebagai tindakan seorang suami tidak melakukan hubungan seksual
atau tidak diajak bicara sekalipun tetap berhubungan seksual. Bisa juga suami
boleh tidur bersama sampai istri kembali taat. Atau tidak didekatkan ranjangnya
dengan isteri.
Ketiga, jika cara pertama dan kedua tidak bisa membuat isteri berubah menjadi
taat kepada komitmen bersama dalam membangun rumah tangga, maka jalan terakhir
adalah dengan memukulnya. Akan tetapi pemukulan di sini tidak bisa diartikan
sebagai memukul dengan tangan atau alat secara kasar apalagi melukai.
v Nusyuz Laki – Laki / Suami
Suami nusyuz mengandung arti pendurhakaan suami kepada Allah
karena meninggalkan kewajibannya kepada isteri, hal ini terjadi bila ia tidak
melaksanakan kewajiban kepada isterinya, baik meninggalkan kewajiban yang bersifat
meteri, seperti memberi nafkah atau non materi berupa tidak mengauli isterimya.[3]
Allah
SWT berfirman dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 128 sbb:
“Dan jika wanita khawatir tentang nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik bagi mereka walaupun manusia itu menurut tabiatnya adalah kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu dengan baik dan mereka memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (an-Nisa’ : 128).
Untuk mengetahui maksud ayat diatas, maka kita perlu mengetahui asbab
an-Nuzulnya. Ayat ini turun berkenaan dengan kasus yang menimpa Saudah (isteri
Rasulullah). Ketika beliau sudah tua, Rasulullah hendak menceraikannya, maka ia
berkata kepada Rasulullah:
“Wahai Rasulullah:”jangan engkau mencerai aku, bukankah aku masih menghendaki laki-laki, tetapi karena aku ingin dibangkitkan menjadi isterimu, maka tetapkanlah aku menjadi isterimu dan aku berikan hari giliranku kepada Aisyah ”.
Maka Rasulullah pun mengabulkan permohonan Saudah. Ia pun ditetapkan menjadi isteri beliau sampai meninggal dunia, Maka dengan kejadian tersebut, turunlah ayat an-Nisa’ 128.
“Wahai Rasulullah:”jangan engkau mencerai aku, bukankah aku masih menghendaki laki-laki, tetapi karena aku ingin dibangkitkan menjadi isterimu, maka tetapkanlah aku menjadi isterimu dan aku berikan hari giliranku kepada Aisyah ”.
Maka Rasulullah pun mengabulkan permohonan Saudah. Ia pun ditetapkan menjadi isteri beliau sampai meninggal dunia, Maka dengan kejadian tersebut, turunlah ayat an-Nisa’ 128.
Nusyuz suami, pada dasarnya adalah jika suami tidak memenuhi kewajibannya, yaitu :
1. Memberikan mahar sesuai dengan permintaan isteri;
2. Memberikan
nafkah zahir sesuai dengan pendapatan suami
3. Menyiapkan
peralatan rumah tangga, perlengkapan dapur, perlengkapan kamar utama seperti
alat rias dan perlengkapan kamar mandi sesuai dengan keadaan dirumah isteri.
4. Menyiapkan
pembantu bagi isteri yang dirumahnya memiliki pembantu;
5. Menyiapkan
bahan makanan minuman setiap hari untuk isteri anak-anak dan pembantu kalau
ada
6. Memasak,
mencuci, menyetrika dan pekerjaan rumah;
7. Memberikan rasa aman dan nyaman dalam rumah tangga;
8. Membayar upah kepada isteri, kalau isteri meminta bayaran atas semua pekerjaan.
9. Berbuat adil, apabila memiliki isteri lebih dari satu;
10. berbuat adil diantara anak-anaknya.
7. Memberikan rasa aman dan nyaman dalam rumah tangga;
8. Membayar upah kepada isteri, kalau isteri meminta bayaran atas semua pekerjaan.
9. Berbuat adil, apabila memiliki isteri lebih dari satu;
10. berbuat adil diantara anak-anaknya.
Cara
penyelesaian
Dalam nusyuz suami ini yang ditekankan cara penyelesaiannya adalah dengan ishlah (perdamaian), akan tetapi jika hal ini tidak berhasil maka suami dan isteri harus menunjuk hakam dari kedua belah pihak. Hakam ini bisa datang dari keluarga, tokoh masyarakat atau pemuka agama. Bisa juga melalui Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 35 sbb:
“Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka angkatlah
seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. Jika kedua orang hakam tersebut bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufiq kepada suami isteri itu, sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui Lagi Maha Mengenal”.
Apabila dengan cara tersebut masih belum tercapai kata damai, maka hakim boleh
menjatuhkan ta’zir. Ta’zir dari segi bahasa bermakna mendidik atau memperbaiki,
sedangkan menurut istilah, ta’zir adalah mengajarkan adab atau mengambil
tindakan atas dosa yang tidak dikenakan hukuman “had” dan tidak ada “kafarah”.
Seperti nusyuz suami ini.
Adapun bentuk-bentuk ta’zir yang bisa dijatuhkan kepada seseorang yang
melakukan kesalahan yang tidak bisa di “had” dan “kafarah” sepeti dalam kasus
nusyuz suami ini, yaitu sbb:
v
pemukulan yang tidak melukai;
v
tempelengan yaitu pemukulan dengan keseluruhan telapak tangan;
v
penahanan (penjara);
v
mencela dengan perkataan;
v
mengasingkan dari daerah asal sampai pada jarak tempuh yang boleh melakukan
qasar;
v
memecat dari kedudukannya;
Bentuk
dan jenis ta’zir ini diserahkan kepada pemerintah atau pejabat yang berwenang
Apabila degan jalan ta’zir ini suami masih saja melakukan nuysuz, maka perempuan (isteri) bisa menempuh jalur hukum juga berupa fasyahk. Hal ini bisa dilakukan apabila suami tidak memberikan nafkah selama 6 bulan.
D.
Akibat Nusyuz
Sebagai akibat hukum dari perbuatan nusyuz menurut jumhur ulama, mereka sepakat
bahwa isteri yang tidak taat kepada suaminya (tidak ada tamkin sempurna dari
isteri) tanpa adanya suatu alasan yang dapat dibenarkan secara syar’i atau
secara ‘aqli maka isteri dianggap nusyuz dan tidak berhak mendapatkan nafkah.
Dalam hal suami beristeri lebih dari satu (poligami) maka terhadap isteri yang
nusyuz selain tidak wajib memberikan nafkah, suami juga tidak wajib memberikan
giliranya. Tetapi ia masih wajib memberikan tempat tinggal.
Sedangkan untuk nusyuz suami, maka istri boleh melaporkannya kepada hakim
pengadilan untuk memberikan nasehat kepada suami tersebut apabila si suami
belum bisa di ajak damai dengan cara musyawarah. Demikian menurut pendapat Imam
Malik.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa :Nusyuz adalah tindakan istri yang
dapat ditafsirkan menentang atau membandel atas kehendak suami. Begitu pula
sebaliknya. Tentu saja sepanjang kehendak tersebut tidak bertentangan dengan
hukum agama. Apabila kehendak tersebut bertentangan atau tidak dapat dibenarkan
oleh agama, maka suami/istri berhak menolak. Dan penolakan tersebut bukanlah
termasuk nusyuz ( durhaka ).
1. Macam-macam nusyuz adalah nusyuznya
istri terhadap suami dan nusyuznya suami terhadap istri
2. Jika terjadi nusyuz, maka
penyelesaiannya, pertama dengan nasihat, kedua dengan hijrah tempat tidur
(mendiamkannya, bukan berarti pisah ranjang), ketiga dengan pukulan ringan
selain wajah dan bagian kepala.{apabila yang melakukan nusyuz adalah istri}.
Sedangkan apabila yang melakukan nusyuz adalah suami, maka cara penyelesaiannya
adalah dengan istri yang mengajak suami bermusyawarah untuk menyelesaikan
masalah tersebut baik-baik. Apabila tidak bisa, maka jalan yang kedua adalah
mengahdirkan hakam dari pihak suami dan istri untuk berunding.
3. Syiqaq adalah putusnya ikatan
perkawinan. Hal tersebut mungkin timbul disebabkan oleh prilaku dari salah satu
pihak.
4. Cara menyelesaikanya adalah
dihadirkan dua orang dari pihak suami maupun istri yang disebut hakamain.
DAFTAR
PUSTAKA
Supriatna dkk, Fiqh Munakahat II, Yogyakarta : Bidang
Akademik UIN, 2008.
Tihami, Sahrani Sohari, Fikih Munakahat : Kajian Fiqih Nikah
Lengkap, Jakarta : Rajawali Pers, 2013
[1]
Tihami, Munakahat, hal. 185
[2]
Supriatna dkk, Fiqh Munakahat II, hal 5
[3]Supriatna
dkk, Fiqh Munakahat II, hal. 9
Makalah Tentang NUSYUZ Lengkap
4/
5
Oleh
Unknown