BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Umat Islam sebagai Allah khalifah-Nya di atas
bumi ini dan sebagai kelanjutan imannya kepada Allah, harus berbuat dalam
kehidupan sehari hari di dunia ini sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah pencipta.
Apa yang dikehendaki Allah untuk dipatuhi oleh umat itu terhimpun dalam
Al-Qur’an dan penjelasannya yang diberikan oleh Nabi Muhammad dalam sunahnya.
Titah Allah berkenaan dengan amaliah manusia di dunia itu tampil dalam bentuk
suruhan, larangan, dalam bentuk membiarkan, dan dalam bentuk ketentuan yang
berkenaan dengan itu. Titah itu dinamai hukum syara atau syariat yang dapat
diperinci kembali oleh Hadis sebagai sumber hukum kedua setelah AL-Qur’an. Dan
dibuat sebuah pedoman amaliah dalam kehidupan sehari hari dengan adanya fiqh
yang dirumuskan oleh para fuqoha, selanjutnya fiqh ini dikenal dengan hukum
Islam. Maka dapat kita ketahui bahwa sumber hukum pokok adalah Al-Qur’an dan
Hadis dan selanjutnya ada pula Ushul fiqh yang juga memuat metode metode
pengambilan hukum Islam sebagai
ketentuan dan aturan dalam membina kehidupan manusia untuk lebih baik dalam
beribadah.
B. Rumusan masalah
a. Apakah pengertian sumber hukum Islam ?
b. Peranan Al-Qur’an dan Hadis sebagai sumber
hukum yang diutamakan ?
c. metode metode apakah yang digunakan dalam
pengambilan hukum Islam ?
C. Tujuan penulisan
a. Dapat mengetahui apa sumber hukum Islam ?
b. Mengetahui secara jelas peran Al-Qur’an dan
Hadis sebagai sumber hukum yang diutamakan
c. Mengetahui metode metode yang digunakan dalam
pengambilan hukum slam
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian sumber hukum Islam
Sumber atau dalam bahasa Arab disebut masadir
adalah wadah yang darinya digali segala sesuatu, atau tempat merujuk
sesuatu. Dalam kajian usul fiqh dikenal dengan istilah masadir al-ahkam
al-syari’ah, yang artinya rujukan utama dalam menetapkan hukum syara’.[1]
Hukum syara’ atau syariat pada intinya adalah
titah Allah yang berhubungan dengan tingkah laku manusia mukalaf. Yang demikian
terdapat di antara kumpulan titah-Nya, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
yang bernama Al-Qur’an . dengan demikian, Al-Qur’an itu dengan sendirinya disebut sumber hukum
syara’, karena daripadanya disauk dan diambil sesuatu yang dinamakan hukum
syara’ itu. Selain AL-Qur’an Hadis Nabi juga disebut sumber hukum syara’ .
disamping itu dikatakan pula bahwa hukum syara’ itu adalah kalam Allah yang
merupakan salah satu sifat yang melekat dalam zat Allah yang qadim. Untuk
mengetahuinya diperlukan petunjuk. Salah satu dan yang utama dari petunjuk itu
adalah Al-Qur’an dan bila tidak menemukannya dalam Al-Qur’an digunakan petunjuk
petunjuk lainnya. Halhal yang dapat menuntun dan memberi petunjuk untuk
mengenal hukum Allah itu disebut dalil hukum syara’. Dengan demikian antara
sumber dan dalil itu ada perbedaannya, meskipun beberapa ahli ushul fiqh
mengatakan sama. Bila dalil hukum syara’ itu disebut juga sumber hukum syara’,
maka yang dimaksudnya adalah sumber hukum fiqh.[2]
Dalam kitab kitab usul fiqh, seringkali
ditemukan penggunaan kata masadir atau dalail yang mencakup sumber
sekaligus dalil. Di sisi lain ulama membuat klasifikasi sumber hukum menjadi
dua jenis, yaitu :
1. Dalil munsyi’ : atau dalil pokok yang
keberadaannya tidak memerlukan dalil lain. Termasuk dalam kategori ini adalah
Al-Qur’an dan Hadis. Pengertian ini lebih merujuk kepada arti masadir
atau sumber hukum.
2. Dalil muzhir : yaitu dalil yang menyingkap,
diakui keberadaanya karena ada isyarat dari dalil munsyi’ tentang penggunaanya.
Termasuk dalam kelompok ini adalah metode metode ijtihad seperti : ijma, qiyas,
istihsan, istislam, istishab dan sebagainya.
Dengan demikian sumber dan metode memiliki
perbedaan. Sumber dengan sendirinya mengandung aturan aturan hukum, sehingga
tidak bergantung pada hal lain. Metode adalah alat atau cara untuk menggali
aturan yang terdapat dalam sumber, sehingga keberadaan fungsinya tergantung
pada sumber.[3]
Para ulama sepakat, dalam prinsip mengatakan
bahwa dalil hukum syara’ itu ada empat. Yaitu Al-Qur’an, sunah Nabi, ijma’
ulama dan qiyas. Keempatnya disebut dalil hukum syara’ yang disepakati .
Artinya setiap prinsip ulama menggunakan keempatnya sebagai dalil dalam
menemukan hukum syara’ dan dalam menjadikannya sebagai sumber hukum fiqh,
meskipun mereka berbeda dalam kadar dan cara penggunaanya. [4]
Yang menjadi pertannyaan para ulama adalah,
bagaimana jika ada sebagian manusia yang tidak mengetahui risalah Allah dan
Rasulnya ? Misalnya, orang yang hidup di pedalaman yang jauh dari dakwah Islam.
Atau bagaimana jika Allah tidak menurunkan risalah ke bumi sama sekali ? apakah
mungkin manusia melakukan tindakan hukum hanya berdasarkan akal, tanpa
perantara risalah dari Allah dan Rasul-Nya ? apakah dengan akal saja manusia
dapat mengetahui hukum sesuai dengan
yang dikehendaki Allah ? dalam kaitanya dengan masalah ini paling tidak ada
tiga pendapat :[5]
1. Menurut Asy’ariyyah (ulama pengikut Imam Abu
al Hasan al-Asy’ari), manusia tidak mungkin dapat mengetahui hukum Allah dengan
akal saja, tanpa risalah dari Allah dan RasulNya. Sebab, sifat dasar akal
selalu berubah ubah. Padahal, kebenaran hanya satu. Terlebih, akal tidak bisa
lepas sama sekali dari pengaruh hawa nafsu. Oleh karena itu, jika Allah tidak
menurunkan risalah, maka manusia terbebas dari beban hukum, sehingga ia tidak
mendapatkan pahala dan siksa dari perbuatannya itu. Menurutnya, benar dan
salah, serta baik dan buruk, harus didasarkan pada risalah Allah. Jadi, standar
utama kebenaran dan kesalahan adalah hukum syariat. Adapun akal hanya sebagai
alat untuk mengetahui dan memahami hukum hukum tersebut dari sumbernya.
2. Menurut Mu’tazilah (Pengikut Wasil bin Atha), hukum
Allah dapat diketahui dengan akal saja, tanpa harus dengan perantara risalah
dari Allah dan Rasul Nya. Sebab pada dasarnya, perbuatan mukalaf dapat
berakibat pada kebaikan dan keburukan, manfaat dan mudarat. Akal dapat
menentukan sifat sfat tersebut, termasuk akibat akibat dari perbuatan itu. Di sisi
lain, hukum Allah ditetapkan sesuai dengan kemampuan akal manusia dalam
memahami manfaat dan mudharatnya, sebagaimana syarat berlakunya hukum yang
harus dipahami oleh mukalaf. Oleh karena itu, sesuatu yang menurut akal baik,
pasti baik pula disisi Allah , dan Allah akan memberikan pahala bagi pelakunya.
Demikian juga sesuatu yang menurut akal buruk, maka buruk pula dimata Allah,
dan Allah akan memberikan siksa bagi pelakunya. Menurut aliran ini, perbuatan
baik adalah sesuatu yang dianggap baik oleh akal , karena didalamnya terdapat
manfaat, dan perbuatan buruk adalah sesuatu yang dianggap buruk oleh akal,
karena didalamnya terdapat mudharat. Sesungguhnya, hukum Allah tentang
perbuatan mukalaf sesuai dengan pendapat akal dalam hal menentukan baik dan buruk.
Implikasinya, bagi orang yang belum pernah mendapat risalah Allah, maka ia
terikat dengan pendapat akalnya tentang keburukan dan kebaikan. Sesuatu yang
menurut akal baik, maka harus dikerjakan dan pelakunya mendapat pahala. Adapun
yang menurut akal buruk, maka harus ditinggalkan, dan pelakunya mendapat siksa.
3. Di antara dua pendapat yang bertentangan itu,
muncul Maturidiyyah (ulama pengikut Abu Mansur al Maturidi), dengan pendapatnya
yang lebih moderat. Menurutnya perbuatan mukalaf memiliki ciri khas yang berdampak
pada kebaikan dan keburukan. Akal sebagai pengendali khawwas dan
dampaknya dapat menetapkan baik dan buruk. Sesuatu yang menurut akal baik, maka
hal itu baik, dan yang menurut akal buruk, maka hal itu buruk. Tetapi pendapat
akal tidak selalu sama dengan hukum Allah, karena akal memiliki sifat yang
berubah ubah dan tidak konsisten sesuai dengan persepsi dan kepentingan
pemiliknya. Artinya, akal sangat terbatas dalam memahami hukum hukum Allah.
Oleh karena itu manusia perlu perantara risalah wahyu dan Nabi Allah. Namun
demikian, pendapat Maturidiyyah ini memiliki kesamaan dengan Mu’tazilah dalam
hal kemampuan akal mengetahui baik dan buruk, tetapi berbeda pendapat dalam hal
bahwa hukum Allah harus sesuai dengan pendapat akal. Di sisi lain, pendapat Maturidiyyah
ini sesuai dengan pendapat Asy’ariyyahn dalam hal bahwa hukum Allah tidak dapat
diketahui kecuali dengan perantara risalah dari Nya, dan berbeda pendapat dalam
hal bahwa baik dan buruk semata mata ditentukan oleh syariat, tanpa ada peran
akal sama sekali.
B. 1.
Al-Qur’an sebagai sumber Hukum Islam
1. Definisi dan fungsi Al-Qur’an
Al-Qur’an
adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Muhammad dalam bahasa Arab yang
berisi khitab Allah dan berfungsi sebagai pedoman bagi umat Islam. Berdasarkan
definisi ini, terdapat beberapa konsekuensi kedudukan Al-Qur’an,
yaitu
:[6]
a. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang khusus
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw melalui malaikat jibril. Dengan demikian
kedudukan Al-Qur’an adalah wahyu yang secara khusus diturunkan kepada Nabi
Muhammad Saw, sehingga tidak mencakup wahyu yang diturunkan kepada selain Nabi Muhammad
Saw.
b. Al-Qur’an diturunkan dalam bahsa Arab. Oleh
karena itu, semua penafsiran dan terjemahan Al-Qur’an tidak termasuk dalam
pengertian Al-Qur’an. Konsekuensinya, kedudukan tafsir dan terjemah Al-Qur’an
tidak sama dengan kedudukan Al-Qur’an.
c. Lafal dan makna Al-Qur’an murni dari Allah,
hal mana berbeda dengan hadis Nabawi maupun hadis Qudsi. Semua ayat Al-Qur’an
bebas dari ijtihad atau penafsiran Nabi Muhammad Saw, karena posisi Nabi dalam
proses pewahyuan adalah sebagai penerima wahyu. Konsekuensinya, periwayatan
Al-Qur’an tidak boleh dngan makna saja, tetapi harus dengan lafalnya.
Secara umum, fungsi Al-Qur’an
adalah sebagai petunjuk bagi umat manusia. Menurut Ali Syari’ati, petunjuk yang
terkandung dalam Al-Qur’an berupa tiga hal. Pertama, petunjuk yang
berupa dokrin atau pengetahuan tentang struktur kenyataan dan posisi manusia di
dalamnya, seperti : petunjuk moral dan hukum yang menjadi dasar syari’at,
metafisika tentang Tuhan dan kosmologi alam, serta penjelasan tentang sejarah
dan eksistensi manusia. Kedua, petunjuk yang terdapat dalam rigkasan
sejarah manusia baik para raja, orang orang suci, nabi, kaum, dan sebagainya. Ketiga,
petunjuk yang berupa mukjizat, yaitu kekuatan yang berbeda dengan apa yang
dipelajari. Banyak ayat ayat Al-Qur’an yang mempunyai kekuatan lain, atau
difugsikan lain oleh umat Islam. Artinya, tidak ada kesesuaian antara makna
ayat dengan fungsi yang diinginkan.
2.
Kandungan
Al-Qur’an
Berdasarkan
periodisasi turunnya, maka kandungan umum Al-Qur’an dapat dikelompokan ke dalam
dua fase, yaitu fase Makkah dan fase Madinah. Terdapat perbedaan fokus dan
sasaran ayat Al-Qur’an di kedua fase tersebut. Dalam kajian Ulumul Qur’an
dirinci lebih detail lagi terkait dengan perbadaan antara ayat ayat yang turun
pada fase Mekkah dengan ayat ayat yang turun pada fase Madinah.
Pada fase Makkah,
yang bermula dari diangkatnya Muhammad menjadi Rasul hinga hijrahnya Rasul dan
umat Islam ke Madinah, wahyu yang turun berhubungan dengan pembangunan ajaran
ajaran agama Islam. Topik topik wahyu yang turun berdasarkan masalah : tauhid,
eksistensi Allah Swt, masalah eskatologis, kisah kisah umat terdahulu, salat,
dan tantangan bagi orang orang kafir.
Fase Madinah,
yang dimulai sejak awal hijriyah hingga wafatnya Rasul, wahyu yang turun
berbeda topiknya dengan masa sebelumnya. Pada fase ini, kebanyakan wahyu yang
turun behubungan dengan masalah hukum yang dibutuhkan guna membangun masyarakat
Islam yang baru terbentuk tersebut. Berdasarkan kandungannya, maka ayat ayat
yang diwahyukan pada periode Madinah meliputi masalah hukum, jihad, ahlul
kitab, dan orang orang munafiq.
Berdasarkan
kandungannya, para ulama fiqh maupun ushul fiqh membagi ayat Al-Qur’an kedalam
dua jenis, yaitu ayat hukum dan ayat non hukum. Ayat hukum adalah ayat ayat
yang isinya mengandung ketetapan hukum dan dapat menjadi dalil fiqh. Sementara
ayat non hukum adalah kebaikannya. Oleh karena itu, ayat non hukum tidak dapat
dijadikan dalil untuk menetapkan sebuah hukum.
Ayat ayat hukum
dalam Al-Qur’an dapat dibagi lagi dalam dua kategori dasar yaitu :[7]
1.
Hukum yang
mengatur hubungan antara Allah dengan manusia. Aturan aturan ini mengenai
masalah ibadah.
2.
Hukum yang
mengatur hubungan antar sesama manusia. Hukum dalam kategori ini dapat dibagi
dalam empat macam, yaitu :
a.
Hukum yang
menjamin dan melindungi penyebaran Islam, mencakup aturan aturan tentang jihad.
b.
Hukum keluarga,
yang bertujuan untuk membina dan melindungi struktur keluarga.
c.
Hukum
perdagangan, yang mengatur masalah transaksi bisnis, kontrak atau akad, dan
sebagainya.
d.
Hukum kriminal,
yang mencakup permasalahan pelanggaran keamanan dan ketertiban publik, seperti
qiyas, hudud, dan ta’zir.
Dalam
memahami kandungan kandungan Al-Qur’an
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
a.
Al-Qur’an adalah
suatu kesatuan. Ayat ayat Al-Qur’an berfungsi saling menjelaskan, sehingga ayat
tertentu pada surat tertentu memiliki penjelasan, penjabaran, atau
menghkususkan pada ayat lain di surat yang lain. Oleh karena itu tugas para
ulama adalah untuk meneliti keterkaitan antara ayat Al-Qur’an yang mengatur
masalah yang sama.
b.
Sebagian besar
ayat Al-Qur’an memiliki asbabun nuzul. Asbabun nuzul sangat penting dipahami
dalam rangka mendapatkan pemaknaan yang tepat untuk sebuah ayat.
c.
Terdapat
penghapusan berita atau ketentuan yang berasal dari masa sebelumnya disebut
dengan syar’u man qablana. Keberadaan ajaran ini hanya sebagai ilustrasi
historisitas umat terdahulu yang tidak secara langsung dinyatakan berlaku untuk
umat Islam.
d.
Pemahaman
konmperhensif terhadap hukum yang ditetapkan secara bertahap. Salah satunya
dengan cara bertahap, sehingga perlu diteliti
bagaimana sejarah penetapan sebuah hukum.
3.
Penjelasan dan
petunjuk Al-Qur’an
Ditinjau dari segi bagaimana penjelasan yang
terdapat dalam ayat ayat Al-Qur’an, para ulama mengkategorisasikan ke dalam dua
bentuk, yaitu :[8]
a.
Ijmali : yaitu
ayat Al-Qur’an yang kandungannya masih memerlukan penjelasan lebih lanjut dalam
pelaksanaannya. Artinya, penjelasan dalam ayat tersebut tidak implementatif,
tidak bisa langsung diamalkan karena penjelasannya yang masih umum. Untuk
mempraktekkanya diperlukan petunjuk lain yang berasal dari hadis Nabi. Contoh :
masalah sholat.
b.
Tafshili : yaitu
ayat yang kendungannya sudah jelas dan sempurna, dalam arti dapat langsung
diamalkan. Ayat yang termasuk kategori ini tidak memerlukan lagi penjelasan
dari dalil lain. Termasuk dalam kelompok ini adalah ayat ayat tentang masalah
akidah, hukum waris, dan sebagainya.
Persoalan lain yang mendapat perhatian khusus
dalam kajian fiqh dan ushul fiqh adalah tentang konsep Qat’y dan Zhanny. Konsep
ini berhubungan dengan dalalah atau petunjuk yang terdapat dalam ayat ayat
Al-Qur’an. Dalam penerapannya, konsep ini menyangkut dua hal ; yaitu al tsubut
(kebenaran sumber) dan al dalalah (kandungan makna). Al-Qur’an adalah sesuatu
yang jelas bersumber dari wahyu Allah, sehingga sudah sangat jelas, aksiomatik,
dalam ajaran agama. Namun demikian, tidak semua ayat Al-Qur’an seperti itu,
tetapi banyak mengandung interpretasi.[9]
Qat’y adalah lafal yang mengandung pengertian
tunggal dan tidak bisa dipahami dengan makna lainnya, yang tidak memerlukan
ijtihad dan ta’wil.[10]
Sedangkan Zanny adalah lafal yang mengandung pengertian lebih dari satu dan
memungkinkan untuk ditakwil dan dapat diijtihadi, artinya ayat ini dapat
menimbulkan makna yang bervariasi, sehingga terbukalah ruang untuk berijtihad
untuk menentukan makna yang tepat.
Qat’y dan Zanny adalah konsep atau teori untuk
memahami nas Al-Qur’an dalam rangka penalaran fiqh. Konsep ini tidak terdapat
dalam Al-Qur’an, tetapi dirumuskan oleh ulama fiqh dan ushul fiqh dengan
penekana pada sudut bahasa dan bukan pada ide. Konsep ini pada mulanya berakar
dari pemikiran Imam Syafi’I dalam kitab Ar-Risalah, yaitu dalam pembahasan
tentang pengetahuan hukum yang diperoleh berdasarkan khabar ahad dan penjelasan
tentang otoritas qiyas.[11]
Munculnya konsep Qat’y zanny dipengaruhi oleh
tiga hal : pertama, tradisi yang diperkenalkan oleh ayat Al-Qur’an sendiri,
larangan megikuti sasuatu yang zann. Kedua, tuntunan pikiran norma setiap
manusia. Ketiga, pengaruh logika Aristoteles, akibat penerjemah karya karya
Yunani ke dalam bahasa Arab.
Dari segi kuantitas, jumlah ayat yang memiliki
petunjuk qat’y sangat terbatas, penetapanya biasanya melalui qiyas, misalnya
contoh nash tentang sholat “ wa aqimus salat”. Ayat ini tidak menunjukan pada
wajibnya salat, meskipun redaksinya berbentuk perintah. Kepastian perintah
salat datang dari pemahaman nas nas lain yang mengandung makna sama, sehingga
kewajiban salat dianggap qat’y. tidak ada arti lain selain wajibnya salat.
Disisi lain ditemukan bahwa satu ayat dapat
mengandung qat’y dan zanny sekaligus. Misalnya ayat tentang wudu yang berbunyi…
wamsahu biru usikum.. nas ini adalah qat’y dalalah, tetapi nas ini juga zanny
dalam hal batas dalam hal batas atau kadar kepala yang harus diusap,
perkembangan ba selau berbeda antar ulama satu dan lainnya.[12]
Dalam perkembangannya, terjadi reformulasi
terhadap konsep qat’y zhanny. Upaya ini dilakukan oleh para ahli hukum modern yang
menganggap bahwa konsep tersebut hanya berpijak pada aspek kebahasaan saja dan
bukan pada substansi ayat. Masdar Farid Mas’udi misalnya, mengkonsepsikan bahwa
yang qat’y adalah ayat yang berisi prinsip prinsip dasar yang kebenarannya
bernilai universal, seperti ayat tentang keesaan Allah, keadilan, persamman hak
dasar kemanusiaan, kesetaraan, kebebasan beragama, dan musyawarah.[13]
Ibrahim Hosen
membagi qat’y menjadi dua yakni pasti dalam segala kondisi, contohnya :
salat maghrib tidak dapat diqasar. Dan pasti dalam sebagian kondisi, contohn ya
: hukum potong tangan, berzina, membunuh, dan lainnya penerapannya bisa berubah
tergantung apakah sipelaku mau bertobat atau tidak.
2.B Hadis sebagai
sumber Hukum
1.
Pengertian dan
kedudukan Hadis
Hadis adalah peraturan sahabat tentang
Rasulullah baik mengenai perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya. Pengertian
hadis sering diidentikan dengan sunnah, meskipun para ulama hadis
membedakannya. Sunnah diartikan secara khusus untuk tradisi yang diyakini berasal
dari perbuatan atau kebiasaan Rasulullah yang berkaitan dengan ajaran Islam.
Istilah lain yang sering muncul muncul dalam pembahasan hadis adalah khabar dan
atsar. Khabar adalah berita yang sumbernya berasal dari para sahabat, sedangkan
atsar adalah berita yang berasal dari para Tabi’in.
Berdasarkan
pengertian ini maka sebuah hadis memiliki batasan sebagai berikut :[14]
1.
Sumber ; bahwa
yang disebut hadis adalah sesuatu yang bersumber dari Muhammad setelah diangkat
sebagai Rasul. Oleh karena itu, hadis tidak mencakup perkataan maupun perbuatan
Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasulullah.
2.
Materi ; secara
materiil yang disebut dengan hadis bukan semua hal yang berasal dari
Rasulullah, tetapi hanya yang berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan.
Batasan ini berarti mengesampingkan sifat sifat Rasul, cita cita Rasul sebagai
hadis.
3.
Sunstansi ; bahwa
tidak semua perkataan, perbuatan, dan ketetapan Rasul adalah hadis, tetapi
hanya yang berhubungan dengan ajaran Islam. Jika yang bersumber dari Rasulullah
tersebut tidak berhubungan dengan ajaran agama Islam, maka tidak disebut sebagai
hadis.
2.
Kesahihan Hadis
Para ulama Hadis mebagi jenis jenis
hadis berdasarkan kuantitas dan kualitas rawinya. Berdasarkan kuantitas rawi,
hadis dibagi dua, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad. Jumhur muhaddisin
menerima secara langsung hadis mutawatir sebagai dalil, sedangkan terhadap
hadis ahad penerimaannya sebagai dalil harus melalui takhrij atau penelitian
kesahihan.
Berdasarkan kualitasnya, maka hadis
dibagi menjadi tiga, yaitu hadis sahih, hasan, dan da’if. Dari jenis jenis
hadis diatas, jumhur ulama fiqh berpendapat bahwa yang dapat digunakan sebagai
sumber hukum adalah hadis mutawatir, hadis sahih dan hadis hasan. Hadis dha’if
tidak dapat digunakan sebagai hujah hukum. Namun sebagian ulama, seperti Imam
Hambal Ibn Hambal dan Ibnu Hajar al-Asqalani membolehkan menggunakan hadis
dhaif sebagai dalil dengan syarat kedha’ifanya tidak terlalu lemah, memiliki
beberapa jalur sanad, dan tidak mengatur masalah yang pokok, hanya sampai hukum
sunnah atau makruh.
Dalam kajian fiqh ushul fiqh, hadis
yang dapat dijadikan sebagai dalil hukum, disamping tiga jenis yang sudah
disebutkan di atas, juga isinya mengandung ketetapan hukum. Hadis kategori ini
disebut dengan istilah hadis hukum. Para ulama menyusun kitab hadis yang khusus
berisi tentang persoalan hukum. Kitab ini disebut dengan Kitab Hadis Ahkam,
yaitu karena disusun dengan menggunakan sistematika fiqh. Contohnya adalah :
Subulus Salam karangan as Shan’ani, Naylul Authar karangan as Syaukani, Lu’lu’
wal marjan karangan Fuad Abdul Baqi, dan Koleksi Hadis Hukum karangan Hasbi as
Shiddieqy.[15]
3. Fungsi Hadis
terhadap Al-Qur’an
Sebagai sumber
hukum Islam, Al-Qur’an dan Hadis memiliki hubungan tertentu. Berdasarkan
kedudukannya, hadis berfungsi sebagai penafsir atau penjelas ayat ayat
Al-Qur’an.
Para ulama
membagi fungsi hadis terhadap Al-Qur’an sebagai berikut :
a.
Merinci yang mujmal, yaitu hadis berfungsi
menjelaskan rincian ketentuan Al-Qur’an yang ringkas atau singkat. Karena
kandungannya belum operasional, sehingga memerlukan petunjuk lain untuk
mengaplikasikannya. Seperti ayat tentang perintah shalat. Al-Qur’an hanya
menjelaskan tentang hukum wajibnya salat, tetapi tidak menjelaskan bagaimana
tata cara pelaksanaanya. Perincianya terdapat dalam hadis yang berbunyi :
“salatlah
sebagaimana kamu melihatku salat”
b. Mentaqyid yang
mutlak,artinya memberikan batasan bagi ketentuan Al-Qur’an yang bersifat
mutlak, menunjuk pada hakikat kata itu sendiri apa adanya. Contoh ayat
Al-Qur’an tentang pencurian, yang meberikan hukuman potong tangan bagi pencuri,
sebagaimana terdapat dalam surah Al-Maidah ayat 38 :
“pencuri laki laki dan pencuri perempuan,
potonglah tangan keduanya(sebagai) pembalasan atas apa yang mereka kerjakan dan
sebagai siksaan atas Allah…”
Kata pencuri dalam ayat di atas bersifat
mutlak, mencakup semua kategori pencuri, tanpa memandang sedikit banyaknya
barang yang dicuri. Kemutlakannya berakibat bahwa semua pencuri sama sama
dikenakan hukum potong tangan Namun kemutlakan ayat di atas dibatasi oleh hadis
yang berbunyi :
“tidak dipotong tangan pencuri kecuali pada
(pencurian senilai) seperempat dinar atau lebih”.
c.
Mentakhsis yang A’m, yaitu mengkhususkan atau
mengecualikan berlakunya ayat Al-Qur’an yang bersifat umum. Contohnya ayat
tentang warisan, yang menyebutkan bahwa secara umum semua ahli waris
mendapatkan bagian warisan, sebagaimana dijelaskan dalam surah An-Nisaa ayat 11
:
“Allah mensyariatkan bagimu (tentang pembagian
warisan) kepada anak anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki laki sama dengan
bagian dua anak perempuan…
Ayat ini bersifat umum, karena ketentuannya
mencakup semua ahli waris mendapatkan bagian sesuai dengan porsi masing masing.
Namun keumuman berlakunya ayat tentang warisan itu dikecualikan berlakunya oleh
hadis yang berbunyi :
“pembunuh tidak berhak menerima warisan”
Hadis ini
mengecualikan ahli waris yang berstatus sebagai pembunuh pewaris. Artinya,
pembunuh pewaris kehilangan hak warisnya dari orang yang dibunuhnya, sehingga
keumuman berlakunya ayat di atas diberikan pengecualian oleh hadis. Hukum yang
dapat ditetapkan adalah : bahwa semua ahli waris mendapatkan bagian warisan
kecuali ahli waris yang membunuh pewaris.
Dilihat dari fungsinya, hadis tersebut mentakhsis keumuman ayat tentang
warisan.
2. Bayan Taqrir,
yaitu menguatkan apa yang terdapat dalam Al-Qur’an. Dalam hubungannya dengan
fungsi ini, hadis menjelaskan hukum yang sama dengan yang disebutkan dalam
Al-Qur’an. Contohnya : tentang wudlu, Al-Qur’an menjelaskan tentang wajibnya
wudlu bagi orang yang mau salat, sebagaimana yang tercantum dalam surah
Al-Maidah ayat 6 :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki…”
Di sisi lain terdapat hadis yang menjelaskan
hal yang sama yaitu :
“tidak diterima salat seseorang yang berhadas
sampai ia berwudhu”.
Hadis ini menjelaskan tentang status hukum
wudhu sebagai syarat sah salat, hal mana juga ditegaskan dalam Al-Qur’an.
Penjelasan inilah yang menempatkan hadis tersebut sebagai bayan taqrir.
3. Bayan Tasyri’,
yaitu hadis yang menetapkan berlakunya hukum baru yang belum ada ketetapannya
di dalam Al-Qur’an. Contohnya : hadis yang menjelaskan tentang penetapan zakat
fitrah yang berbunyi :
“bahwasanya
Rasulullah Saw mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan
(sebanyak) satu sha’ kurma atau gandum untuk setiap orang, baik yang merdeka,
atau budak, laki laki maupun perempuan.”
Dalam
penggunaannya sebagai sumber ijtihad, para ulama cenderung menganggap Al-Qur’an
sebagai satu kesatuan dan hadis sebagai satu kesatuan. Ayat mana saja boleh
ditafsirkan dengan hadis mana saja tanpa memperhatikan unsur waktu dan
keterkaitan antara keduanya. Disamping itu terdapat ulama yang memandang
kedudukan hadis lebih rendah dari Al-Qur’an. Hal ini berseberangan dengan
fungsi hadis sebagai penjelas Al-Qur’an, yang mana antara penjelas dengan yang
dijelaskan harus memiliki hubungan sebab akibat. Oleh karena itu, pemahaman
terhadap fungsi hadis sebagai penjelas Al-Qur’an dalam tataran praktisnya,
mukanlah sesuatu yang mudah. Diperlukan berbagai ilmu pendukung, khususnya
aspek historis, guna melihat keterkaitan antara penjelasan dalam hadis dengan
ketentuan dalam Al-Qur’a. kaian seperti ini akan menghindarkan adanya
pertentangan antara ketentuan dua sumber hukum Islam tersebut.
C. Metode Hukum Islam
Metode
yang dimaksud disini adalah cara, teori, atau kerangka konseptual yang
dipergunakan para ulama dalam menetapkan hukum suatu persoalan. Metode-metode
ijtihad dikelompokkan menjadi dua, yaitu metode yang disepakati berlakunya oleh
jumhur ulama (fuqaha dan usuliyyin) dan metode yang diperselisihkan di antara
mereka. Metode yang disepakati berlakunya adalah Ijmak dan Qiyas, sedangkan
metode yang tidak disepakati antara lain: istihsan,
istishah, maslahah mursalah, ‘urf, dan saddudz dzari’ah.
1. Ijma
Secara etimologi,
ijma berarti “kesepakatan” atau konsensus, dan ketetapan hati untuk melakukan
sesuatu.[17]
Mayoritas ulama mendefinisikan ijmak sebagai kesepakatan seluruh mujtahid pada
suatu masa terhadap suatu hukum syara’ setelah wafatnya Rasulullah. Pengertian
ini mengindikasikan sebuah musyawarah formal yang dihadiri para mujtahid
(ulama) yang berakhir dengan keputusan mufakat. hal ini pada masa sekarang
tentu mengalami kesulitan teknis, mengingat jumlah umat dan wilayah Islam yang
banyak dan meluas. Sehingga ijmak dalam pengertiannya yang kaku seperti di atas
mustahil untuk dicapai pada masa sekarang.[18]
Fungsi
ijmak antara lain:
a.
mengeliminir kesalahan-kesalahan dalam berijtihad, yang mungkin saja
terjadi jika ijtihad dilakukan secara individual saja.
b. menyatukan pendapat-pendapat yang
berbeda melalui kesepakatan yang dicapai, dan
c. menjamin penafsiran yang tepat atas
Al-Qur’an dan keotentikan hadis.
Menurut ulama, keabsahan produk
ijmak sangat tergantung pada terlaksananya rukun ijmak atau tidak. Rukun ijmak
meliputi dua hal; yaitu mujtahid dan kesepakatan yang dihasilkan. Mujtahid
syaratnya harus hadir seluruhnya, dan seluruh yang hadir menyetujui kesepakatan
tersebut. Kesepakatan yang dihasilkan harus merupakan keputusan yang tegas dan
bulat. Jika kedua rukun ini terpenuhi, maka ijmaknya disebut dengan ijmak sarih dan dapat dijadikan sebagai
hujjah. Jika dalam ijmak ada mujtahid yang tidak tegas menyatakan
kesepakatannya, atau hanya diam saja, ijmaknya disebut ijmak sukuti. Ijmak jenis ini tidak dapat di jadikan sebagai
hujjah.
Secara historis ijmak merupakan
suatu proses alamiah bagi penyelesaian persoalan melalui pembentukan pendapat
mayoritas umat secara bertahap. ijmak bermula dari pendapat pribadi dan
berpuncak pada penerimaan universal oleh umat dalam jangka panjang. dengan
demikian ijmak adalah penerimaan mayoritas umat Islam tentang suatu ketetapan
hukum, yang bisa jadi ketetapan hukum tersebut berasal dari seorang ulama saja.
Penerimaan umat inilah yang kemudian disebut sebagai kesepakatan atau ijmak[19].
Para ulama berbeda pendapat tentang
operasional ijmak. Syafi’i, Hambali, dan Zahiri berpendapat bahwa ijmak hanya
terjadi pada masa sahabat. Sementara itu Imam Malik menganggap praktek orang
Madinah sebagai ijmak. Alasannya adalah realitas anthropologis, bahwa tradisi
atau kebiasaan orang Madinah dibentuk oleh nabi dan sahabatnya. Madinah adalah
kota dibangun sekaligus tempat domisili nabi, sehingga apa yang dilakukan oleh
penduduknya adalah mengikuti apa yang dipraktekkan nabi.
Kelompok Syiah berpandangan bahwa
ijmak adalah kesepakatan para anggota keluarga Rasul (ahlul bait). Pendapat ini
tidak lepas dari keyakinan mereka tentang konsep imamah, yang hanya memberi wewenang kepada keturunan
Rasulullah(dari jalur Fatimah Az-Zahra dengan Ali bin Abi Talib) dalam hal
kekuasaan politik dan agama.
Ulama kontemporer, seperti Muhammad
Abduh dan Muhammad Iqbal memberikan definisi yang berbeda dan moderat. Abduh
misalnya, mendefinisikan ijmak adalah mufakat orang yang berwenang (ulul amri),
dan dapat dibatalkan oleh generasi berikutnya. Tidak ada ketentuan teknis
tentang ijmak dalam Al-Qur’an, sehinnga implementasinya dapat disesuaikan
dengan perkembangan peradaban, termasuk system politik yang berlaku. Muhammad
Iqbal berpendapat bahwa, bentuk ijmak yang mungkin pada masa kini adalah
pengalihan kekuasaan ijtihad kepada lembaga legislatif. Lembaga ini merupakan
perwakilan umat, sehingga kesepakatannya merupakan representasi dari
kesepakatan masyarakat secara keseluruhan.
Dari pendapat para ulama tentang
ijmak di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat dua sudut pandang yang berbeda
perspektifnya. Ulama klasik menempatkan ijmak sebagai produk yang berorientasi
masa lalu dan bernilai qat’y. Keberadaannya saat ini tak lebih sebagai
ketetapan materi hukum yang bersifat infallibility,
tak mungkin salah, sehingga tidak dapat diijtihadi lagi. Hal ini dapat dilihat
dari pendapat Syafi’I yang menyebutkan bahwa ijmak hanya terjadi pada masa
sahabat, dan tidak mungkin terjadi pada masa sesudah generasi ini.
Ulama kontemporer berpendapat lebih
dinamis, dengan menempatkan ijmak tetap sebagai metode ijtihad yang dapat
diaplikasikan sepanjang masa. Ketetapan hukum yang dihasilkan melalui metode
ijmak tidak bersifat qat’y, tetapi statusnya seperti produk hukum metode
ijtihad yang lain. Kekuatan produk ijmak terletak pada sifatnya yang reliability, terpercaya, karena
ditetapkan secara kolektif oleh para ulama pada masanya. Dengan kata lain ijmak
dalam pengertian ini berorientasi masa depan, yang berfungsi sebagai pemersatu
umat dalam memecahkan masalah kehidupan.
Mayoritas ulama ushul fiqh
mengatakan bahwa landasan ijmak itu bisa dari dalil yang qath’I, yaitu
al-Qur’an, sunnah mutawatir serta bisa juga berdasarkan dalil zhanni seperti hadis ahad dan qiyas.[20]
2. Qiyas
Yang secara etimologis berarti
“mengukur”, “membandingkan” sesuatu dengan sesuatu yang lain, didefinisikan
oleh para ahli hukum Islam dengan menyamakan hukum cabang kepada hukum asal,
karena sama alasannya.[21]
Metode kedua yang disepakati oleh para ulama
adalah qiyas. Qiyas adalah menganalogikan suatu masalah yang belum ada
ketetapan hukumnya (nash/dalil) dengan masalah yang sudah ada ketetapan
hukumnya karena adanya persamaan ‘illat. Menganalogikan diartikan sebagai
mempersamakan dua persoalan hukum sekaligus status hukum di antara keduanya.
‘Illat adalah sebab atau hikmah yang menjadi dasar penetapan hukum tersebut.
Dengan demikian, metode qiyas bukan untuk menetapkan hukum dari awal, melainkan
hanya menyingkap hukum yang ada pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya.
Secara historis, metode qiyas
merupakan sistematisasi dari penggunaan ra’y atau akal dalam berijtihad. Ulama
yang dianggap mensistematiskan konsep qiyas adalah Imam Syafi’i. Pada awalnya
pengguanaan qiyas bentuknya tidak kaku dan formal, karena tidak memiliki
batasan yang spesifik. Akibatnya, penggunaan qiyas menjadi tidak terkendali,
karena penggunaan ra’y mengarah pada sikap arbiter, menurut kehendak penafsir.
Oleh karena itu, perlu dirumuskan konsep untuk mengarahkan penggunaan ra’y yang
tidak keluar dari ketetapan nash. Ra’y harus dikendalikan dengan tetap berpijak
nash, yaitu dengan mencari analogi. Alasan inilah yang kemudian menjadi faktor
dimunculkannya metode qiyas. Mayoritas ulama menerima metode ini, kecuali
kelompok Syi’ah dan Mazhab Az-Zahiri.
Dalam pelaksanaanya, qiyas harus
memenuhi rukun-rukun sebagai berikut:
a. Ashl (Maqis
alaih): yaitu masalah yang sudah ada ketetapan hukumnya atau sudah ada
nashnya, baik dari Al-Qur’an maupun hadis
b. Furu’ (Maqis):
yaitu masalah yang sedang dicari ketetapan hukumnya
c. Hukm Ashl: yaitu hukum masalah yang sudah ditetapkan
oleh nash.
d. Illat: yaitu sifat yang terdapat dalam ashl, dengan syarat: sifatnya nyata dan
dapat dicapai dengan indera, konkrit tidak berubah, dan sesuai dengan tujuan
yang hendak dicapai.
Contoh
implementasi metode qiyas adalah dalam penetapan boleh tidaknya menjadikan
jagung sebagai alat pembayar zakat fitrah. Sebagaimana diketahui, bahwa hadis
tentang zakat fitrah menyebutkan alat pembayarannya adalah kurma atau gandum.
Bolehkan berzakat fitrah dengan jagung? Masalah ini dapat diselesaikan dengan
metode qiyas dengan cara sebagai berikut:
a.
Ashl:
Ketentuan mengeluarkan zakat fitrah dengan gandum satu sha’
b.
Furu’:
berzakat fitrah dengan jagung
c.
Hukum Ashl:
Zakat fitrah dengan gandum adalah boleh berdasarkan nash hadis:
d.
Illat :
terdapat kesamaan sifat anatara gandum dengan jagung, yaitu fungsinya sebagai
makanan pokok bagi masyarakat. Keduanya (gandum dan jagung) termasuk jenis
biji-bijan yang mengenyangkan.
e.
Natijah (kesimpulan): boleh zakat fitrah dengan jagung, karena
jagung memiliki sifat yang sama dengan gandum.
Para
ulama membagi tingkatan qiyas berdasarkan kekuatan hukum pada furu’ jika dibandingkan dengan hukum
pada ashl. Tingkatan tersebut adalah:
a. Qiyas Aulawi
Jika
hukum pada furu’ lebih kuat daripada ashl, seperti mengqiyaskan memukul
dengan kata “ah”. Hukum pada ashl adalah
larangan berkata “ah” kepada orang tua, sedangkan hukum yang sedang dicari
ketetapannya (furu’) adalah “memukul”
orang tua. Dalam kasus ini hukum “memukul” dianggap lebih kuat daripada berkata
“ah”.
b. Qisas Musawi
Jika
hukum pada furu’ sama kuatnya dengan
hukum pada ashl, seperti hukum
memakan harta anak yatim diqiyaskan dengan hukum membakar harta anak yatim.
Antara hukum “memakan” dengan “membakar” sama kuatnya, yaitu sama-sama
menghabiskan.
c. Qiyas Adna
Jika
hukum pada furu’ lebih lemah dari pada hukum ashl, seperti mengqiyaskan apel dengan
gandum dalam halzakat fitrah. Hukum ashlnya adalah membayar zakat fitrah dengan
gandum, sedangkan hukum furu’ yang
sedang dicari ketetapannya adalah berzakat dengan apel. Kedudukan “apel”
dianggap lebih lemah daripada “gandum” karena gandum adalah jenis makanan
pokok, sedangkan apel hanya jenis buah-buahan yang tidak termasuk makanan
pokok.
3. Istihsan
Artinya memandang dan menyakini
baiknya sesuatu menurut Syatibi, istihsan adalah meberlakukan kemaslahatan
parsial ketika berhadapan dengan kaidah umum, atau mendahulukan maslahah
mursalah dari qiyas.
Dalam hal ini, ada dua alternatif
jawaban, yaitu syara atau akal. Perbedaan persepsi tentang mustahsin inilah
yang menjadi starting point silang pendapat para ahli hukum Islam dalam
pengakuanya sebagai landasan hukum. Dalam pandangannya, manakala mustahsin
tersebut adalah syara’, maka sebenarnya tidak perlu disebut sebagai istihsan,
karena baik dan buruknya sesuatu telah ditentukan oleh dalil syara’.[22]
Dapat disimpulkan
bahwa, istihsan adalah mengalihkan hukum sesuatu kepada hukum baru karena
adanya alasan yang lebih kuat, atau lebih sesuai dengan kemaslahatan umat
manusia.
Contoh contoh
penerapan hukum dengan metode istihsan :
a. Pengalihan hukum
berdasarkan ketetapan nash hadis, contohnya dalam kasus seseorang yang sedang berpuasa
makan dan minum karena lupa. Menurut qiyas, orang tersebut batal puasanya dan
harus berbuka, namun berdasarkan istihsan, orang tersebut boleh melanjutkan
puasanya.
b. Pengalihan hukum
berdasarkan ketetapan ijmak atau ‘urf, seperti akad jual beli barang sekaligus
dengan tukangnya. Akad ini berdasarkan qiyas tidak sah, karena barang yang
diperjual belikan tidak ada dit empat akad. Akan tetapi praktek ini sudah
dilaksanakan oleh masyarakat, sehingga dianggap disepakati berlakunya.
c. Pengalihan hukum
berdasarkan darurat, seperti hukum menjual kotoran binatang. Manurut qiyas,
hukum jual beli kotoran binatang adalah haram, karena disamakan dengan hukum
memakannya. Namun, menurut istihsan hukum jual beli tersebut boleh, karena
dapat memenuhi sebagian kebutuhan yang mendesak, khususnya dibidang pertanian.
Istihsan adalah
hukum yang diperselisihkan oleh ulama :
·
Yang membolehkan : mazhab Hanafi, Maliki, dan
Hambali, karena menganggap merupakan hukum yang kuat dalam menetapkan hukum
syara.
·
Yang melarang : imam Syafi’I, Az-Zahiri,
Syi’ah dan Mu’tazilah.
4. Istishab
Secara
etimologi, istishab artinya membandingkan sesuatu dan mendekatkannya. Dalam
kajian metode ijtihad, istishab adalah memberlakukan hukum asal yang ditetapkan
berdasarkan nash sampai ada dalil lain yang menunjukkan perubahan hukum
tersebut. Jika suatu perkara sudah
ditetapkan hukumnya pada suatu waktu, maka ketetapan tersebut akan tetap
berlaku sampai ada dalil baru yang mengubahnya.
Ulama
membagi metode istishab ke dalam lima kategori:
a.
Istishab hukmi al-ibadah al-asliyyah,
Istishab hukmi al-ibadah al-asliyyah
yaitu menetapkan bahwa hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh,
selama belum ada dalil yang menyatakan keharamannya.
Contoh: Pepohonan yang ada di hutan
adalah milik bersama umat manusia., sehingga setiap orang berhak
memanfaatkannya, sampai ada bukti bahwa hutan itu telah menjadi milik
seseorang.
b.
Istishab al-wasful tsabit li al-hukmi hatta
yutsbitu khilafuh
Istishab
al-wasful tsabit li al-hukmi hatta yutsbitu khilafuh adalah sifat yang melekat
pada suatu hukum sampai ditetapkan hukum yang berbeda dengan itu
Contoh: Hak milik suatu benda adalah
tetap dan berlangsung terus, sebagai akibat dari adanya transaksi, sampai ada
sebab lain yang mengakibatkan hak milik itu berpindah ke tangan orang lain.
c. Istishab terhadap dalil yang bersifat umum
sampai ada dalil yang mengkhususkannya atau menasakhkannya.
Contoh: Kewajiban puasa (Surah
Al-Baqarah ayat 183), adalah wajib bagi umat Islam dan umat sebelum Islam, selama belum ada nas lain yang
membatalkannya.
d. Istishab terhadap hukum akal sampai datangnya
hukum syara’.
Contohnya dalam masalah gugatan.
Seorang penggugat wajib mengemukakan saksi dan
bukti gugatannya, jika tidak, maka tergugat akan bebas dari gugatan.
e. Istishab terhadap hukum yang ditetapkan
berdasarkan ijmak.
Contoh: orang yang hendak salat tidak
menemukan air untuk berwudhu. Kemudian dia
bertayammum. Ketika sedang salat ia melihat ada air, apakah dia tetap meneruskan shalatnya atau membatalakan
shalatnya untuk berwudhu? dalam hal ini
ulama berbeda pendapat. Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah menyatakan bahwa orang tersebut tetap melanjutkan
shalatnya, karena adanta ijmak bahwa shalat itu sah apabila dikerjakan sebelum
melihat air.
Ulama Hanafiyah dan Hanabilah berpendapay sebaliknya. Orang
tersebut harus membatalkan salatnya. Ijmak tersebut hanya berlaku dalam hal
ketiadaan air dan tidak berlaku dalam keadaan tersedianya
air.
5. Maslahah Mursalah
Maslahah
mursalah adalah penetapan hukum berdasarkan kemaslahan yang tidak didukung oleh
dalil nash secara terperinci., tetapi didukung oleh makna sejumlah nash. Metode
maslahah mursalah merupakan hasil
induksi dari logika sekumpulan nash, bukan nash parsial sebagaimana dalam
metode qiyas
Dilihat
dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan, para ahli ushul fiqh
membaginya kepada tiga macam, yaitu:
a. Maslahah Dharuriyyah
Maslahah
Dharuriyyah yaitu maslahah primer bagi kehidupan kehidupan manusia, yang
meliputi penjagaan atau pemeliharaan terhadap lima hal yaitu: agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta.
Contohnya: berjihad diwajibkan karena untuk memelihara
jiwa, larangan membunuh bertujuan untuk memelihara jiwa, keharaman minuman
keras adalah untuk menjaga akal manusia, larangan berzina berfungsi untuk
menjaga kesucian keturunan, dan pencurian
dilarang untuk tujuan pemeliharaan harta.
b. Maslahah hajiyah
Maslahah
hajiyah adalah maslahah sekunder, bukan pokok, tetapi keberadaannya mendukung
terwujudnya kemaslahatan primer. Jika kemaslahatan ini tidak terwujud akan
menimbulkan kesulitan atau kesempitan.
Contohnya:
qasar salat, buka puasa bagi musafir (dalam masalah ibadah), jual beli salam
atau pesanan (dalam bidang muamalah), berpakaian yang rapid an indah (dalam hal kebiasaan hidup)
c. Maslahah Tahsiniyah
Maslahah
tahsiniyah adalah maslahah tersier, bukan pokok atau pendukung, tetapi
pelengkap atau penyempurna. Keberadaan maslahah ini akan menyempurnakan
maslahah pokok, meskipun jika tidak terpenuhi tidak akan menimbulkan kesulitan
atau kesempitan. Keberadaanya akan memberikan kemudahan hidup manusia.
Contohnya: memperbanyak ibadah sunnah,
menjaga etika makan dan minum, dan sebagainya
6. Urf (Adat
Kebiasaan Masyarakat)
Secara etimologi,
‘urf berarti sesuatu yang dipandang baik, yang dapat diterima akal sehat.
Menurut ulama usul fiqh, ‘urf adalah kebiasaan mayoritas masyarakat baik dalam
perkataan maupun perbuatan. Atas dasar definisi ini ulama membagi ‘urf dalam
tiga macam :
1. Daris segi
objeknya, ‘urf lafzi dan ‘urf lafdi adalah kebiasaan masyarakat dalam
mempergunakan lafal tertentu untuk maksud tertentu. Contoh kata “daging menurut
urf masyarakat dikhususkan untuk daging sapi, meskipun kata tersebut makna
asalnya mencakup semua jenis daging. Namun, dalam keseharian yang dipakai
adalah makna yang berdasarkan urf masyarakat. Urf amaly adalah kebiasaan
masyarakat yang berupa perbuatan. Seperti jual beli di swalayan atau
supermarket yang dilaksanakan tanpa ijab qabul antara penjual dan pembeli. Jual
beli seperti ini sah, karena sudah menjadi kebiasaan yang diterima masyarakat.
2. Dari segi
cakupannya, urf duibagi dua : urf am dan urf khas. Urf am artinya kebiasaan
yang berlaku secara luas di seluruh masyarakat, seperti jual beli mobil selalu
disertai dengan alat untuk memperbaiki. Urf khas artinya kebiasaan yang berlaku
di daerah atau masyarakat tertentu,
seperti menggunakan jasa pengacara harus membayar sebagian biaya di muka.
3. Dari segi
kebasahannya menurut hukum syara’, urf dibagi dua : urf sahih dan urf fasid.
Urf sahih adalah kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash,
sedang urf fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan nash.
7. Saddudz Dzari’ah
Secara bahasa Saddudz Dzari’ah berarti
melarang jalan yang menuju kepada sesuatu. Para ulama mendifinisikannya dengan
“mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan, atau menyumbat jalan yang dapat
menyampaikan seseorang pada kerusakan”. Jika ada suatu perbuatan baik tetapi
dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan, maka menurut metode ini perbuatan
tersebut harus dicegah atau dilarang.
Mayoritas ulama menerima
kehujjahan Saddudz Dzari’ah. Imam Malik menggunakan metode ini seperti ketika
menggunakan maslahah mursalah, sementara Ibnu Qoyyim menganggap bahwa Saddudz
Dzari’ah merupakan hal yang penting dalam urusan agama. Imam Syafi’I
mencontohkan, jika ada seorang yang sakit, maka dia boleh meninggalkan salat
jum’at dan menggantinya dengan salat zuhur. Namun. Agar tidak menimbulkan
aggapan buruk, maka dia harus melakukannya secara diam diam, supaya orang tidak
menyangkanya sengaja meninggalkan salat jum’at.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam mengambil
setiap hukum pastilah ada rujukan atau tempat diambilnya suatu keputusan, yaitu
sumber hukum Islam yang tentunya sumber yang pokok dan utama adalah Al-Qur’an
dan diperjelas oleh Hadis. Disamping itu ada pula bermacam macam metode yang
merupakan produk dari penemuan para ulama yang selanjutnya terus mengalami
perkembangan dengan pesat berdasarkan permasalahan yang semakin kompleks.
Diantara metode tersebut adalah : ijma, qiyas, istihab, istihsan, urf, saddus
dzariah.
B. Saran
Dalam
penulisan makalah ini pastilah ada banyak kesalahan baik dari segi susunan kata
maupun dari materi yang disampaikan didalamnya maka kami pihak penyusun
berharap agar ada bimbingan bimbingan ke depan kepada adik adik kami kelak agar
dapat mengembangkan pengetahuan yang ada dari apa yang tertulis pada makalah
ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Mughits,
Abdul. 2008. Ushul Fikih Bagi Pemula. Jakarta Barat : CV. Artha Rivena.
Syarifuddin,
Amir. 2012. Garis Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana Prenada
Media Group.
Ibrahim,
Duski. 2008. Metode Penetapan Hukum Islam. Yogyakarta : Ar Ruzzmedia.
Sodiqin,
Ali. 2013. Fiqh Ushul Fiqh. Yogyakarta : Beranda.
[1]
Ali Sodiqin, Fiqh dan Ushul fiqh, hlm. 65
[2]
Amir syarifuddin, Garis Garis Besar Ushul Fiqh, hlm. 31
[3]
Ali Sodiqin, Fiqh dan Ushul fiqh, hlm. 65
[4]
Amir syarifuddin, Garis Garis Besar Ushul Fiqh, hlm. 32
[5]
Abdul Muglits, Ushul Fiqh Bagi Pemula, hlm. 60
[6]
Ali Sodiqin, Fiqh dan Ushul fiqh, hlm. 66
[8]
Ali Sodiqin, Fiqh dan Ushul fiqh, hlm. 70
[9]
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Cetakan ke XXVIII (Bandung : Mizan,
2004), hlm. 137
[10]
Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, hlm. 35.
[11]
Ali Sodiqin, Fiqh dan Ushul fiqh, hlm. 72
[12]
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, hlm. 141
[13] Ali
Sodiqin, Fiqh dan Ushul fiqh, hlm. 74
[14]Ali
Sodiqin, Fiqh dan Ushul fiqh, hlm. 76
[15]
Ali Sodiqin, Fiqh dan Ushul fiqh, hlm. 78
[16]
Ali Sodiqin, Fiqh dan Ushul fiqh, hlm. 79
[17]
Nasrun Harun, Ushul Fiqh 1, Ciputat:
Logos Publishing House, 1996, hal.51
[18]
Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh, Yogyakarta:
Beranda Publishing, 2012, hal. 84
[19] Ibid, hal. 84-85
[20]
Nasrun harun, op. cit., hal. 59
[21]
Duski Ibrahim, Metode Penetapan Hukum Islam, hlm. 134
[22]
Duski Ibrahim, Metode Penetapan Hukum Islam, hlm. 142
untuk mendownloadnya silahkan "download contoh makalah sumber dan metode hukum Islam"
untuk mendownloadnya silahkan "download contoh makalah sumber dan metode hukum Islam"
Makalah Sumber dan Metode Hukum Islam
4/
5
Oleh
Unknown
1 komentar:
gak bisa di copy
Reply