SOAL 2
1. Apakah yang dimaksud dengan Sumber
Hukum Tata Negara, sebut dan uraikan serta analisa 3 Sumber HTN positif ?
Jawab :
Sumber
Hukum Tata Negara dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dapat menimbulkan
peraturan peraturan khususnya lebih menekankan pada segi formal baru meterial
yang dapat mengikat secara hukum.
Adapun
sumber hukum formal dalam Hukum Tata Negara Indonesia antara lain :
1. Undang Undang Dasar 1945
A. Ketetapan MPR
B. Undang Undang / Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang undang
C. Peraturan Pemerintah
D. Keputusan Presiden
E. Peraturan Menteri
F. Peraturan Daerah
2. Konvensi Ketatanegaraan
3. Traktat ( perjanjian dengan negara
lain)
Uraian :
1. Undang Undang Dasar 1945
Undang Undang Dasar adalah hukum
dasar tertulis, sedang disamping UUD ini berlaku juga hukum dasar yang tidak
tertulis, yang merupakan sumber hukum, misalnya kebiasaan kebiasaan, traktat,
dan sebagainya.
Menurut
K. Wantjik Saleh, Undang Undang dasar adalah peraturan perundang undangan yang
tertinggi dalam suatu negara, yang menjadi dasar segala peraturan perundang
undangan. Dengan kata lain semua peraturan perundang undangan harus tunduk pada
Undang Undang Dasar atau tidak boleh bertentangan dengan Undang Undang Dasar.[1]
Sedangkan
menurut Dasril Radjab, Undang Undang Dasar adalah suatu dokumen yang mengandung
aturan aturan dan ketentuan ketentuan yang pokok pokok atau dasar dasar
mengenai ketatanegaraan suatu negara yang lazim terhadapnyadiberikan sifat
luhur dan kekal dan apabila akan mengadakan perubahannya hanya boleh dilakukan
dengan prosedur yang berat kalau dibandingkan dengan cara pembuatan atau
perubahan bentuk bentuk peraturan dan ketetapan yang lainnya.[2]
Sebagai
sumber hukum formil, Undang Undang Dasar 1945 memiliki arti :
a. Merupakan hukum dasar tertulis yang
mengatur masalah kenegaraan.
b. Merupakan hukum dasar bagi
pengembangan peraturan.undang undang atau penetapan penetapan lainnya mengenai sesuatu yang
khusus yang berkaitan dengan kepentingan negara dan masyarakat harus berintikan
dengan pada UUD 1945 atau pasal pasalnya.
Undang Undang
Dasar 1945 sebagai sumber HTN yang pertama dan utama memiliki fungsi yang
ditujukan untuk menjamin perlindungan hukum atas hak hak para anggota
masyarakatnya, sedang dari segi pemerintahan maka Undang Undang Dasar 1945
berfungsi sebagai landasan strukturan penyelenggaraan pemerintah menurut suatu
sistem ketatanegaraan yang pasti dan tertentu. Selain itu Undang Undang Dasar
juga berfungsi untuk mengatur bagaimana kekuasaan pemerintahan dikelola atau
dijalankan demi keadilan dan kesejahteraan rakyat.
Menyinggung
tentang alasan penyebab timbulnya Undang Undang Dasar, Lord Bryce mengemukakan
empat alasan :[3]
a. Keinginan dari rakyat untuk menjamin
hak haknya jika terancam dan untuk membatasi tindakan tindakan penguasa.
b. Keinginan dari baik yang diperintah
ataupun dari yang memerintah, yang tidak menyenangkan rakyatnya dengan jalan
menentukan suatu sistem tatanegaraan tertentu, yang semua tidak jelas, menjadi
suatu bentuk yang tertentu menurut aturan aturan yang positif, agar supaya di
kemudian hari tidak dimungkinkan terjadinya tindakan yang sewenang wenang dari
para penguasa.
c. Keinginan dari para pembentuk negara
yang baru untuk menjamin adanya cara penyelenggaraan ketatanegaraan yang pasti
dan dapat membahagiakan rakyatnya.
d. Keinginan untuk menjamin adanya
kerjasama yang efektif di antara negara negara yang pada mulanya berdiri
sendiri, disamping adanya kehendak untuk tetap memiliki hak hak dan kepentingan
kepentingan tertentu yang akan diurusnya sendiri.
1.1 Ketetepan MPR
Ketetepan MPR adalah bentuk produk
legislatif yang merupakan keputusan musyawarah MPR baik yang berlaku kedalam
majelis sendiri maupun yang berlaku di luar majelis sendiri.
Istilah
Ketetapan dalam Tap. MPR/MPRS sebenarnya tidak ada dalam UUD 1945. Istilah ini
diambil dari MPRS pada sidang Petama Tahun 1960, dari bunyi pasal 3 UUD 1945,
dimana terdapat sumber hukum, bahwa MPR berwenang menetapkan UUD, GBHN, memilih
Presiden dan Wakil Presiden dan sebagainya. Kemudian oleh Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966 dijadikan sebagai salah satu bentuk peraturan perundang undangan
(sumber hukum).[4]
Berdasarkan
Pasal 102 Ketetapan MPR No. 1/MPR/1973 tentang Peraturan Tata Tertib MPR
ditentukan tentang bentuk Keputusan MPR :Pertama, Ketetapan MPR yaitu
putusan MPR yang mempunyai kekuatan hukum mengikat keluar dan kedalam Majelis ;
Kedua, Keputusan MPR yaitu putusan MPR yang mempunyai kekuatan hukum
mengikat ke dalam majelis.
Sebagai
sumber hukum, Ketetapan MPR berisi antara lain :
a. Ketetapan MPR yang memuat garis garis
besar dalam bidang legislatif dilaksanakan dengan undang undang ;
b. Ketetapan MPR yang memuat GBHN dalam
bidang eksekutif dilaksanakan dengan Keputusan Presiden.
Walaupun belum adanya ukuran dalam
praktek ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945, minimal ada
tiga hal yang diatur dalam ketetapan MPR, antara lain :
a. Memperinci lebih lanjut aturan yang
tercantum dalam Batang Tubuh UUD 1945, seperti Tap MPR No. II/MPR/1975.
b. Tempat perwujudan norma hukum yang
berasal dari hukum dasar tidak tertulis ke dalam aturan dasar tertulis, seperti
ketetapan pelimpahan tugas dan wewenang kepada presiden/Mandataris MPR dalam
rangka menyukseskan dan pengamanan pembangunan nasional.
c. Pelengkap aturan dasar yang tercantum
dalam batang tubuh dan ketetapan MPR yang sudah ada, seperti ketetapan MPR
tentang Peraturan Tata Tertib MPR RI.
1.2 Undang undang / Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang undang.
Undang Undang
Suatu undang undang (perundang
undangan) terdiri dari :Pertama, Undang undang dalam arti luas atau
dalam ilmu hukum disebut undang undang dalam arti formil yaitu segala peraturan
tertulis yang dibuat oleh penguasa yang mengikat dan berlaku umum. Misalnya,
Undang Undang, Undang Undang Darurat, Peraturan Peraturan dan lain lain. Kedua,
undang undang dalam arti sempit atau dalam ilmu hukum disebut undang undang
dalam arti meteriil. Yaitu peraturan tertulis yang dibentuk oleh penguasa
sebagai suatu badan negara yang secara tertentu diberikan kekuasaan untuk
membentuk undang undang yaitu Presiden dengan persetujuan DPR.[5]
Undang
undang adalah salah satu bentuk peraturan perundangan yang diadakan untuk
melaksanakan UUD, dan ketetapan MPR. Selain itu juga mengatur hal hal yang tidak
diatur dalam UUD 1945 maupun ketetapan MPR. Undang undang yang dibentuk
berdasarkan ketentuan dalam UUD dinamakan undang undang organik. Misal, UU No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dibentuk untuk melaksanakan Pasal 18,
18A, dan 18B UUD 1945 hasil amandemen.
Suatu
undang undang mulai sah berlaku apabila telah diundangkan dalam Lembaga Negara
oleh Menteri Sekretaris Negara, dan tanggal berlakunya suatu undang undang
menurut tanggal ditentukan dalam undang undang itu.
Sehubungan
dengan berlakunya suatu undang undang, terdapat beberapa asas Peraturan
Perundangan :
a. Undang undang tidak berlaku surut;
b. Undang undang yang dibuat oleh
penguasa yang lebuh tinggi memiliki kedudukan yang lebih tinggi pula;
c. Undang undang yang bersifat khusus mengesampingkan
undang undang yang bersifat umum;
d. Undang undang yang berlaku kemudian
membatalkan undang undang yang terdahulu yang mengatur hal tertentu yang sama;
e. Undang undang tak dapat diganggu
gugat.
Suatu undang undang tidak
berlaku lagi apabila :
a. Jangka waktu berlakunya yang telah
ditentukan oleh UU yang bersangkutan sudah habis;
b. Keadaan atau hal untuk mana UU itu
dibuat sudah tidak ada lagi;
c. UU itu dicabut oleh instansi yang
membuat atau instansi yang lebih tinggi;
d. Telah ada undang undang yang baru
yang isinya bertentangan atau berlainan dengan UU yang berlaku.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang
(Perpu)
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang
Undang dibentuk dalam hal kegentingan yang memaksa atau karena keadaan keadaan
yang mendesak. Istilah Perpu dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950 disamakan
dengan UU Darurat baik dalam pembentukan maupun tentang kekuatannya. Adapun
perbedaanya adalah UU Darurat akan tidak berlaku lagi karena hukum apabila
ditolak, sedangkan Perpu tidak dengan sendirinya tidak berlaku melainkan
dicabut lebih dahulu. Artinya, bahwa Perpu masih dapat berlaku terus walaupun
tidak mendapat persetujuan dan DPRD kalau belum dicabut secara resmi oleh
Presiden. Misal, Perpu tentang Darurat Sipil di Nangroe Aceh Darussalam.
Ketentuan
tentang Perpu diatur dalam pasal 22 UUD 1945, yaitu : Petama, dalam hal ikhwal
kepentingan yang memaksa Presiden berhak menetapkan Peraturan peraturan sebagai
pengganti undang undang lain; Kedua, Perpu itu harus mendapat persetujuan DPR
dalam persidangan berikutnya; Ketiga, jika tidak mendapat persetujua, maka
peraturan pemerintah itu harus dicabut.
Perpu
menurut UUD 1945 memang perlu diadakan, agar keselamatan negara dijamin oleh
pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak
lekas dan cepat.
Suatu
perpu yang telah disepakati dengan atau tanpa perubahan lalu diberi bentuk
undang undang. Pemberian bentuk undang undang dilaksanakan dengan menetapkan
menjadi undang undang, dengan menyatakan dalam pertimbangan penetapan tersebut
tentang persetujuan DPR dengan atau tanpa perubahan.
1.3 Peraturan Pemerintah
Pemerintah menetapkan PP untuk
menjalankan Undang undang sebagaimana mestinya (Pasal 5 ayat (2) UUD 1945). Karena
peraturan pemerintah diciptakan untuk melaksanakan undang undang, maka tidak
mungkin bagi presiden menetapkan peraturan pemerintah sebelum ada undang
undang. Peraturan Pemerintah memuat aturan aturan umum untuk melaksanakan
undang undang. Sebagai contoh PP No. 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan
Pengangkatan, dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagai
pelaksan dan UU No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
1.4 Keputusan Presiden
Penetapan Presiden (Penpres),
Peraturan Presiden (Perpres) dan Keputusan Presiden (Kepres)
Penetapan Presiden, Peraturan
Presiden, dan Kepres sebagai bentuk peraturan yang baru tidak disebutkan dalam
UUD 1945. Dengan kata lain peraturan perundang undangan ini tidak mempunyai
dasar hukum secara konstitusional.
Penpres dan Perpres muncul setelah
adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sehingga secara konkret keduanya hanya
dinyatakan dengan suatu surat presiden, yaitu surat Presiden ri Tanggal 20
agustus 1959 No. 2262/HK/1959. Isinya menyatakan bahwa disamping bentuk
peraturan negara seperti tersebut didalam UUD 1945 yaitu UU, Perpu, dan
Peraturan Pemerintah diadakan pula :
1. Penetapan Presiden yaitu untuk
melaksanakan Dekrit 5 Juli 1959;
2. Peraturan Presiden;
3. Peraturan Pemerintah yang dibuat
untuk melaksanakan Penetapan Presiden, tindakan tindakan lain oleh Presiden
seperti meresmikan pengangkatan pejabat;
4. Peraturan Menteri dan Keputusan
Menteri.
1.5 Peraturan Menteri
Peraturan peraturan pelaksanaan
lainnya.
Peraturan
ini merupakan bentuk peraturan yang ada setelah Tap. MPRS No. XX/MPRS/1966.
Peraturan pelaksanaan lainnya dapat berbentuk: Peraturan Menteri, Instruksi
Menteri, Keputusan Panglima TNI dan lain lainnya yang harus tegas bersumber dan
berdasarkan peraturan perundangan yang lebih tinggi.
Bentuk peraturan Menteri dapat
dilihat, misalnya Keputusan Menteri Pendidikan Nasional ataupun Keputusan
Bersama antar Menteri, sedangkan dalam lingkungan instansi yang dipimpin oleh
pejabat tinggi yang berkedudukan bukan sebagai menteri misalnya keputusan
Gubernur Bank Indonesia dan lain lain.
1.6 Peraturan Daerah
Penyelenggara pemerintah daerah dalam
melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, an tanggung jawabnya serta atas kuasa
peraturan perundang undangan yang lebih tinggi dapat menetapkan kebijakan
daerah yang dirumuskan antara lain dalam peraturan daerah, peraturan kepala daerah,
dan ketentuan daerah lainnya. Kebijakan daerah dimaksud tidak boleh
bertentangan dengan paraturan perundan undangan yang lebih tinggi dan
kepentingan umum serta peraturan Daerah lain.
Peraturan
daerah dibuat oleh DPRD bersama sama kepala Daerah, artinya prakarsa dapat
berasal dan DPRD maupun dan Kepala Daerah. Khusus peraturan Daerah tentang APBD
rancangannya disiapkan oleh Pemerintah Daerah yang telah mencakup keuangan
DPRD, untuk dibahas bersama DPRD. Peraturan daerah dan ketentuan daerah lainya
yang bersifat mengatur dindangkan dengan menempatkannya dalam Lembaga Daerah.
Peraturan daerah tertentu yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD,
Perubahan APBD, dan tata ruang, berlakunya setelah melalui tahapan evaluasi
oleh Pemerintah. Hal itu ditempuh dengan pertimbangan antara lain untuk
melindungi kepentingan umum, menyelaraskan dan menyesuaikan dengan peraturan
perundan undangan yang lebih tinggi atau peraturan Daerah lainnya, terutama
peraturan daerah mengenai pajak daerah dan retribusi daerah.
Peraturan
Daerah adalah peraturan lain yang dibuat oleh pemerintah daerah, baik
pemerintah provinsi ataupun pemerintah kabupaten dan kota, dalam rangka
mengatur rumah tangganya sendiri, Pemda antara lain dapat menetapkan perda.
Perda ini sesuai dengan ketentuan undang undang No. 5 Tahun 1974 yang berupa :
a. Peraturan Daerah;
b. Keputusan Kepala Daerah; (gubernur,
bupati, walikota).
Sedangkan
sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004 Tenang Pembentukan
Peraturan Perundang undangan menyatakan, peraturan daerah meliputi :
a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh
DPRD Provinsi bersama dengan gubernur;
b. Peraturan Daerah kabupaten/kota
dibuat oleh DPRIJ kabupaten/kota bersama dengan bupati/walikota;
c. Peraturan Desa/peraturan yang
setingkat, dibuat oleh badan perwakilan desa (BPD) atau nama lainnya bersama
dengan kepala desa atau nama lainnya.
Dalam proses
pembentukan peraturan daerah, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan
atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan peraturan
daerah. Rancangan peraturan daerah harus berpedoman kepada peraturan perundang
undangan. Rancangan peraturan daerah dapat berasal dari DPRD, Gubernur atau
Bupati/Walikota. Apabila dalam satu masa sidang, DPRD dan Gubernur atau Bupati
/Walikota menyampaikan rancangan Perda, mengenai materi yang sama maka yang
dibahas adalah rancangan perda yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan rancangan
Perda yang disampaikan Gubernur atau Bupati/Walikota digunakan sebagai bahan
untuk dipersidangkan.
Ketentuan
tentang tata cara mempersiapkan rancangan Perda yang berasal dari gubernur atau
Bupati/Walikota, diatur dengan Peraturan Presiden, sedangkan tata cara
mempersiapkan rancangan Perda oleh DPRD diatur dalam peraturan tata tertib
DPRD. Rancangan Perda agar memperoleh masukan dari masyarakat atau para pakar
maka untuk rancangan Perda yang berasal dari gubernur, atau bupati/Walikota,
disebarluaskan oleh sekertariat daerah.[6]
2. Konvensi Ketatanegaraan
Kebiasaan adalah perbuatan manusia
yang tetap dilakukan berulang ulang dalam hal yang sama. Apabila kebiasaan
tertentu diterima masyarakat dan kebiasaan itu selalu berulang ulang dilakukan
sedemikian rupa, sehingga tindakan yang perlawanan dianggap sebagai pelanggaran
perasaan hukum, timbullah suatu kebiasaan hukum, yang selanjutnya dianggap
sebagai hukum.
Menurut
J.H.P Bellefroid, dalam bukunya “Inleiding de Rechtsweten schap in Nederlands”,
hukum kebiasaan juga dinamakan kebiasaan saja, meliputi sesuatu peraturan
peraturan yang walaupun tidak ditetapkan oleh pemerintah, tetapi ditaati oleh
seluruh rakyat, karena mereka yakin bahwa peraturan itu berlaku sebagai hukum.
Syarat
syarat tertentu untuk timbulnya hukum kebiasaan yaitu :
a. Adanya perbuatan tertentu yang
dilakukan berulang ulang (tetap) dalam lingkungan masyarakat tertentu (bersifat
materiil);
b. Adanya keyakinan hukum dan masyarakat
yang bersangkutan bahwa perbuatan itu merupakan sesuatu yang seharusnya
dilakukan
c. Adanya akibat hukum apabila kebiasaan
itu dilanggar.
Adat
merupakan hukum yang tumbuh, berkembang dan hidup dalam kehidupan masyarakat
dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Utrecht tidak melihat perbedaan struktural
antara kebiasaan dan adat. Perbedaanya hanya terletak pada asalnya. Adat adalah
sebagian kaidah kaidah yang ada didalam suatu masyarakat tertentu yang berasal
dan sesuatu yang agak sakral, yang berhubungan dengan tradisi masyarakat
Indonesia yang telah turun menurun. Sedangkan kebiasaan tidak merupakan
tradisi, belum menjadi kebudayaan ash. Kebiasaan adalah hasil akulturasi Timur
dengan Barat yang belum diresepsi sebagai tradisi.
Sebagai sumber hukum konvensi menurut A.V.
Dicey, mempunya beberapa bentuk dan dibedakan dan hukum konstitusi antara lain
berupa : pengertian pengertian, kebiasaan kebiasaan, praktek praktek, asas asas
yang berkaitan dengan ketatanegaraan yang tidka dapat dipaksakan.
Menurut UUD 1945 konvensi diartikan
sebagai aturan aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek praktek
penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis. Diakui, UUD adalah sebagai
hukum dasar yang tertulis disamping UUD yang tidak tertulis yaitu konvensi.
Konvensi ini mempunyai kekuatan yang sama
dengan undang undang, karena diterima dan dijalankan, bahkan konvensi ini dapat
menggeser peraturan peraturan hukum tertulis.
3. Traktat (perjanjian dengan negara
lain)
Traktat pada dasarnya adalah
perjanjian antar dua negara atau lebih. Berdasarkan negara yang melakukan
perjanjian traktat terdiri dari :
a. Traktat bilateral, yaitu apabila
traktat diadakan antara dua negara. Misalnya perjanjian internasional yang
dilakukan antara Pemerintah RI dengan Pemerintah RRC tentang Dwi
Kewarganegaraan.
b. Traktat Multilateral, yaitu
perjanjian yang diadakan oleh lebih dari dua negara. Misalnya perjanjian
Internasional tentang pertahanan negara negara Eropa (NATO) yang diakui oleh
beberapa negara Eropa.
c. Traktat Kolektif atauTaraktat
terbuka, yaitu traktat multilateral yang memberikan kesempatan kepada negara
negara yang pada permulaan tidak turut mengadakan perjanjian, tetapi kemudian
juga menjadi pihaknya. Misalnya, Piagam PBB.
Traktat sebagai suatu bentuk
perjanjian antar negara merupakan sumber hukum formil Hukum Tata Negara
walaupun ia termasuk dalam Hukum Internasional. Isi perjanjian mempunyai sifat
dan kekuatan mengikat dan berlaku sebagai peraturan hukum terhadap warga negara
dan masing masing negara yang mengadakannya, dihormati fan ditaati. Traktat
dapat merupakan bagian hukum tata negara, apabila menyangkut ketatanegaraan dan
telah mempunyai kekuasaan mengikat. Traktat yang telah mempunyai kekuatan
mengikat adalah traktat yang telah diratifikasi oleh pemerintah dan negara yang
mengadakan perjanjian.
Menurut E. Utrecht, pembuatan suatu
traktat melalui 4 fase yang berurutan, yaitu :
a. Penetapan, penetapan isi perjanjian
oleh delegasi pihak pihak yang bersangkutan dalam konferensi;
b. Persetujuan masing masing parlemen
dan pihak yang bersangkutan;
c. Ratifikasi atau pengesahan oleh
masing masing kepala negara;
d. Pelantikan atau pengumuman.
Mengenai
kekuatan hukum mengikatnya traktat ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Traktat sebagai salah satu bentuk
perjanjian/persetujuan mempunyai kekuatan seperti undang undang, sehingga terus
ditaati;
b. Sebagai UU bagi yang membuatnya
sehingga dilihat dan kekuatan hukumnya, perjanjian dalam pengertian umum dapat
berderajat dengan hukum;
c. Traktat merupakan sumber hukum
formil;
d. Dalam menentukan peraturan dalam
pergaulan internasional disamping harus mengindahkan ketentuan internasional,
suatu negara dalam membuat traktat harus memperhatikan kepentingan bangsa dan
rakyatnya sehingga pembuatannya memerlukan persetujuan wakil rakyat.
Menurut
pasal 4 ayat 1 dan pasal 9 UUD 1945, perjanjian dengan negara lain dilakukan
Presiden dengan persetujuan DPR. Dengan demikian dalam pembuatan perjanjian dengan
negara lain. Presiden harus mengingat kepentingan nasional dan berpegang teguh
pada isi dan jiwa UUD. Dengan kata lain traktat harus bersumber pada UUD
sebagai sumber hukum tertulis tertinggi. Oleh sebab itu tidak tepat jika
traktat dikatakan mempunyai kedudukan dan derajat lebih tinggi daripada hukum
nasional, terutama UUD.
Kedudukan
dan derajat hukum traktat dapat dikatakan sama dengan UUD, dengan alasan ;
a. Bahwa presiden membuat perjanjian
dengan negara lain dengan persetujuan DPR Pasal 11, Pasal 5 ayat 1 jo Pasal 20
ayat 1 UUD 1945;
b. Traktat bertentangan dengan UUD, maka
traktat menjadi batal sebab presiden telah melakukan sasuatu yang menyimpang
dengan ketentuan Pasal 4 ayat 1 dan Pasal 9 ayat 9 UUD 1945;
c. Apabila traktat baru berbeda dengan
UU maka traktatlah yang berlaku sebab berarti presiden dan DPR menyetujui
traktat tersebut dalam hal ini berlaku asas “lex posterior derogat
priorilegi”, atau senaliknya traktat itu dibatalkan karena merugikan
kepentingan nasional.
Dengan
demikian jelaslah bahwa traktat mempunyai derajat di bawah UUD dan derajatnya
dapat disamakan dengan UU. Disamping itu traktat dapat berakhir karena hukum
dan kedua pihak menghendaki, pecah perang, atau tindakan negara negara peserta.
Sumber : Resum Buku “Hukum Tata Negara
Suatu Kajian Kritis Tentang Kelembagaan Negara”
Daftar Pustaka : Nomensen Sinamo, Hukum Tata
Negara Suatu Kajian Kritis Tentang Kelembagaan Negara, Permata Aksara,
Jakarta, 2012.
[1] K.
Wantjik Saleh, Perkembangan Perundang Undangan di Indonesia, Rineka Cipta,
Jakarta, 1974, hal. 20
[2]
Dasril Radjab, Selayang Pandang Tentang Sumber Sumber Hukum Tata Negara di
Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1994, hal. 27
[3]Boedisoesetyo,
Asas Asas Ilmu Hukum Tata Negara, (Kuliah Tahun 1959/1960)
[4]
Dasril Radjab, op. cit, hal. 18
[5] K.
Wantijik Saleh, op. cit, hal. 12
[6]
Siswanto Susarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cet. Ke-2, Sinar
Grafika, Jakarta, 2008, hal. 37-38
Sumber Hukum dan Sumber Hukum Formal Tata Negara
4/
5
Oleh
Unknown