“Revormasi di
Bidang Hukum”
“Terkait Masalah
Pencabutan Hak Politik dan Perihal Remisi”
Pendahuluan
Pemerintah Republik Indonesia
masih memiliki pekerjaan rumah yang berat dalam memberantas tindak pidana
korupsi. Meskipun negara mencanangkan kebijakan pemberantasan korupsi, namun
masih saja ada terpidana korupsi yang berani melakukan pekanggaran. Walaupun
sudah di dalam penjara, tetap ada terdakwa korupsi yang berani memasukan dan
menggunakan alat komunikasi seperti telepon genggam di dalam penjara. Bahkan
ada terpidana korupsi yang keluar penjara dalam waktu bersamaan padahal dalam
waktu bersamaan statusnya masih menjalani masa tahanan.
Adanya fakta terpidana korupsi
yang melanggar aturan menjadi pertanda meski belum dapat dikatakan secara umum
bahwa koruptor berani melawan kebijakan pemerintah. Koruptor berani melanggar
aturan negara yang melarang tahanan membawa alat komunikasi di dalam penjara.
Kondisi demikian sebenarnya menimbulkan pertannyaan, apakah sejatinya terpidana
perampokan uang negara memang memiliki keberanian untuk melanggar aturan aturan
negara? Alhasil, ada banyak masukan untuk merubah sistem hukum Indonesia. Para
sarjana mendengungkan kembali reformasi hukum.
Hanya saja, urusan mereformasi
hukum Indonesia tak semudah membalik telapak tangan. Ada begitu banyak aturan
yang harus dilihat ulang. Ada begitu banyak sistem yang perlu ditelaah ulang.
Disamping itu, reformasi hukum juga berkaitan dengan pemberian wewenang kepada
aparat penegak hukum yang dianggap tepat. Mereformasi hukum Indonesia seperti
menyusuri jalan panjang dalam rentang waktu yang cukup lama.
Misalnya, apakah dengan fakta
adanya terpidana korupsi yang membawa alat komunikasi di dalam penjara dan yang
keluar dalam masa pertahanan, harus diubah aturan dan kebijakan tentang pemasyarakatan
dan lembaga pemasyarakatan? Bagian mana dulu yang harus diubah? Apakah rencana
perubahan itu juga berkaitan dengan lembaga lain di luar lembaga
pemasyarakatan? Lalu, butuh waktu berapa lama untuk menginternalisasi perubahan
tersebut? Beberapa pertanyaan tersebut maski dijawab dalam rangka mereformasi
aturan dan kebijakan permasyarakatan dan lembaga pemasyarakatan satu dari
sekian masalah yang perlu ditemukan formula penyelesaiannya.
Walau banyak yeng meski dijawab,
namun tulisan ini tidak untuk menjawab semua persoalan di seputar dan yang
harus dipecahkan oleh reformasi hukum, melainkan hanya membahas dua
permasalahan yang menjadi prolem diatas.
Perihal
pencabutan hak politik koruptor
Pencabutan hak tertentu bagi
terpidana sebenarnya sudah diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Dalam
pasal 35 ayat (1) KUHP disebutkan:
“hak hak terpidana yang dengan
putusan hakim dapat dicabut dalam hal hal yang ditentukan dalam kitab undang
undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah:
1.
Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan
tertentu;
2.
Hak memasuki angkatan bersenjata;
3.
Hak memilih dan dipilih dalam pemeliharaan yang
diadakan berdasarkan aturan umum;
4.
Hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas
penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu
pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri;
5.
Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan
perwalian atau pengampuan atas anak sendiri;
6.
Hak menjalankan mata pencaharian tertentu;”
Pasal
35 ayat (1) KUHP memang tidak secara gamblang menyebut adanya pencabutan hak
politik bagi terpidana. Hal ini berbeda, misalnya, dengan hak memegang jabatan
pada umumnya atau hak memasui angkatan bersenjata yang diatur dalam pasal
berikutnya.
Namun
demikian, hak politik apabila dimaknai sebagai hak untuk memperoleh kesempatan
yang sama dalam pemerintah dan mendapatkan jabatan dalam kekuasaan negara, maka
ketentaun hak memegang jabatan pada umumnya, jabatan tertentu, dan/atau hak
memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan umum dapat
disertakan dengan hak politik. Dengan pendekatan tersebut, maka pencabutan hak
politik dimungkinkan diajatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi.
Apalagi,
pencabutan hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu dapat pula dilakukan
terhadap kejahatan yang berkenaan dengan jabatan. Kejahatan jabatan sendiri
diatur dalam buku kedua KUHP pada Bab XXVIII. Contoh kejahatan jabatan
dituangkan dalam Pasal 418 KUHP sebagai berikut:
“seorang
pekabat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau sepatutnya harus
diduganya bahwa hadiah atau janji itu diberikan karena kekuasaan atau
kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang
yang memberi hadiah atau janji itu ada hubungannya dengan jabatannya diancam
dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak
empat ribu lima ratus rupiah.”
Bunyi
Pasal 418 KUHP mirip dengan bunyi Pasal 11 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, yakni:
“Dipidana
dengan pidana penjara paling lama lima tahun/atau pidana denda paling sedikit
Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga,
bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan
yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang
memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.”
Persandingan
antara Pasal 418 KUHP dan Pasal 11 UU Nomor 20 Tahun 2001 cukup dapat dijadikan
sebagai dasar bahwa pelaku korupsi yang dianggap sebagai kejahatan karena
jabatan dapat dicabut hak politiknya. Ini adalah pendekatan yang cukup
sederhana untuk menjustifikasi bahwa terpidana korupsi dapat dicabut hak
politiknya.
Pencabutan
hak politik koruptor, setidaknya, menyimpan dua tujuan utama. Pertama, mencegah
lebih dini agar korutor tidak lagi memegang jabatan publik. Bayangkan
seandainya terpidana korupsi memegang jabatan itu lagi, potensi melakukan
korupsinya relatif cukup besar. Kedua, pencabutan hak politik sekaligus menjadi
pelajaran yang sangat berharga kepada publik. Pilihan korupsi adalah pilihan
untuk mengubur masa depan. Tentunya sebuah pilihan yang harus dihindari.
Perihal
remisi bagi koruptor
Kasus plesiran terpidana
korupsi memicu pemerintah menerbitkan aturan yang memperketat remisi bagi
terpidana korupsi. Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Hk Warga Binaan Pemasyarakatan. Pasal 34 A ayat (1) PP Nomor
99 Tahun 2012 berisi:
“pemberian remisi bagi
narapidana yang dipaksa karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika, dan
prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara,
kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional dan
terorganisir lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan:
a.
Bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk
membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
b.
Telah membayar lunas denda dan uang pengganti
sesuai dengan putusan pegadilan untuk narapidana yang dipidana karena melakukan
tindak pidana korupsi; dan
c.
Tela mengikuti program deradikalisasi yang
diselengarakan oleh LAPAS dan/atau Badan Nasional Penanggulangan Terorisme,
serta menyatakan ikrar:
1)
Kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik
Indonesia secara tertulis bagi narapidana Warga Negara Indonesia; atau
2)
Tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana
terorisme secara tertulis bagi Warga Negara Asing.”
Jika
dicermati dengan seksama, Pasal 34 ayat (1) PP Nomor 99 Tahun 2012 tidak hanya
mengatur pemberian remisi kepada pelaku korupsi, melainkan juga kepada pelaku
tindak pidana khusus lainnya, seperti terorisme, narkotika, psikotropika,
makar, HAM, dan kejahatan transnasional. Selain itu, negara juga tetap
memberikan remisi kepada pelaku tindak pidana khusus dengan beberapa syarat.
Bagi
pelaku tindak pidana korupsi, ada dua syarat (umum dan khusus) yang
diberlakukan secara kumulatif apabila ingin medapatkan pengurangan masa
tahanan. Pertama, syarat umum berupa pelaku harus bersedia bekerjasama dengan
penegak hukum untuk membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya. Pola
ini lazim disebut dengan justice collaboration. Dalam melaksanakan justice
collaboration, terpidana harus menyatakan kerjasamanya secara tertulis dan
ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan peraturan perundang
undangan. Kedua, syarat khusus berupa pelaku telah membayar lunas denda dan
uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.
Dasar
hukum pemberian remisi dapat ditemukan dalam Pasal 14 ayat (1) Undang Undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, “Narapidana berhak mendapatkan
pengurangan masa pidana (remisi).” Meski undang undang memberi hak kepada
negara untuk memberikan pengurangan masa pidana, akan tetapi tata cara
pemberian remisi diatur oleh peraturan pelaksana selain juga diperintahkan
sendiri oleh undang undang. Sampai saat ini, ada tiga peraturan pelaksana yang
mengatur tata cara pemberian remisi, yakni PP Nomor 31 Tahun 1999; PP Nomor 28
Tahun 2006; dan PP 99 Tahun 2012.
Dalam
peraturan pelaksana tentang remisi yang pertama, narapidana mendapatkan remisi
apabila berkelakuan baik selama menjalani masa tahanan. Selanjutnya, remisi
dapat ditambah jika narapidana berbuat jasa kepada negara; melakukan perbuatan
yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan; atau melakukan perbuatan yang
membantu kegiatan lembaga permasyarakatan. Ketentuan PP 32 Tahun 1999 tampaknya
berlaku secara umum tanpa membedakan jenis tindak pidana, baik khusus maupun
umum. Pendek kata, pemberian remisi kepada teroris dan koruptor sama dan
sebangun dengan pemberian remisi kepada pencuri ayam.
Pada
tahun 2006, pemerintah menerbitkan peraturan pelaksanaperubahan atas PP 32
tahun 1999. Pemerintah beranggapan bahwa ketentuan remisi untuk pelaku tindak
pidana khusus harus dibedakan dengan pelaku tindak pidana umum. Sebab, tindak
pidana khusus mengakibatkan kerugian yang besar bagi negara, masyarakat, atau
negara, serta menimbulkan kepanikan, kecemasan, atau ketakutan yang luar biasa
bagi masyarakat. PP 28 Tahun 2006 tentang perubahan pertama PP 32 Tahun 1999
membedakan pemberian remisi bagi pelaku tindak pidana umum dengan tidak pidana
khusus. Pasal 34 ayat (3) pp 28 Tahun 2006 mengatakan:
“Bagi
narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika,
dan psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak
asasi manusia yang berat, dan kejahatan terorganisasi lainnya, diberikan remisi
apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
Berkelakuan baik; dan
b.
Telah menjalani 1/3 masa pidana.
Aturan
remisi yang terakhir setidaknya hingga saat ini kemudian merubah kembali
persyaratan pemberian remisis sebagaimana ditulis di bagian awal. Jika
disandingkan antara ketiga aturan pelaksana remisi tersebut, maka akan
didapatkan pernyataan sebagai berikut:
|
Syarat pember remisi bg koruptor
|
|
PP 32 Tahun 1999
|
PP 28 Tahun 2006
|
PP 99 Tahun 2012
|
-
Berlakunya baik;
-
Berbuat jasa kepada negara;
-
Perbuatannya bermanfaat bagi negara atau
kemanusiaan;
-
Membantu kegiatan LAPAS
|
-
Berkelakuan baik;
-
Telah menjalani 1/3 masa piana
|
-
Bersedia bekerjasama dengan penegak hukum
untuk membentu membongkar perkara pidana;
-
Telah membayar lunas denda dan uang pengganti.
|
Ada
peningkatan syarat pemberian remisi dalam tiga kali perubahan aturan pelaksana
remisi. Secara teknis, penambahan syarat tersebut tidak mengurangi apalagi
menghilangkan hak narapidana untuk memperoleh remisi. Pengurangan masa pidana
tetap diberikan, namun dengan syarat syarat tertentu. Mungkin syarat inilah
yang dianggap memberatkan oleh beberapa terpidana korupsi.
Penutup
Melihat kecenderungan
terpidana tindak pidana korupsi melanggar kebijakan pemasyarakatan, pilihan
untuk pencabutan hak politik dan pengetatan remisi menjadi opsi yang rasional.
Sederhananya, ketimbang membiarkan pelaku korupsi menjabat kembali (bila
mungkin mendapat suara) maka bisa dicegah dengan cara formil melalui putusan
pengadilan. Toh, hukum sudah memberikan ruang yang jelas terhadap kemungkinan
pencabutan hak tertentu dari narapidana termasuk pencabutan hak politik
koruptor.
Pengetatan remisi, sekali lagi,
bukanlah jalan untuk melawan undang undang. Justru sebaliknya, undang undang
sendiri yang memberi perintah agar pemberian remisi diatur sedemikian rupa demi
menyadarkan dan mempercepat pemulihan narapidana serta mengembalikannya ke
tengah masyarakat. Di samping itu, syarat bekerjasama dengan penegak hukum
seharusnya menjadi sarana bagi koruptor untuk memperbaiki nama baiknya di depan
publik. Minimal menambal citranya yang koyak akibat merampok uang negara.
Semoga.
Esai Hukum : "Revormasi di Bidang Hukum"
4/
5
Oleh
Unknown