Hak
Kebendaan dalam KUHPerdata :
1. Hak
Bezit
Bezit
adalah suatu keadaan lahir, dimana seorang menguasai suatu benda seolah-olah
kepunyaannya sendiri, yang oleh hukum dilindungi, dengan tidak mempersoalkan
hak milik atas benda itu sebenarnya ada pada siapa.[1]
Syarat-syarat
adanya bezit :[2]
a. Adanya
Corpus, yaitu harus ada hubungan
antara orang yang bersangkutan dengan bendanya
b. Adanya
Animus, yaitu hubungan antara orang
dengan benda itu harus dikehendaki oleh orang tersebut.
Sehingga, untuk adanya bezit,
harus ada dua unsur, yaitu kekuasaan atas suatu benda dan kemauan untuk
memiliki benda tersebut. Dalam hal ini, bezit
harus dibedakan dengan “detentie”, dimana seseorang menguasai
suatu benda berdasarkan hubungan hukum tertentu dengan orang lain (pemilik
benda itu). Jadi, seorang “detentor”
tidak mempunyai kemauan untuk memiliki benda itu bagi dirinya sendiri.[3]
Cara
memperoleh bezit :[4]
Menurut
ketentuan Pasal 538 KUHPerdata, bezit (kedudukan
berkuasa) atas sesuatu kebendaan diperoleh dengan cara melakukan perbuatan
menarik kebendaan itu dalam kekuasaannya sendiri. Menurut Pasal 540 KUHPerdata,
cara-cara memperoleh bezit dapat
dilakukan dengan cara :
1. Occupatio
(pengambilan benda)
Memperoleh bezit tanpa bantuan dari orang yang
membezit terlebih dahulu. Jadi, bezit
diperoleh karena perbuatannya sendiri yang mengambil barang secara langsung.
2. Traditio
(pengoperan)
Memperoleh bezit dengan bantuan dari orang yang
membezit terlebih dahulu. Jadi, bezit diperoleh karena adanya penyerahan dari
orang lain yang sudah menguasainya terlebih dahulu.
3. Warisan
Menurut Pasal 541
KUHPerdata, bahwa segala sesuatu bezit
yang merupakan bezit dari seorang
yang telah meninggal dunia beralih kepada ahli warisnya dengan segala sifat dan
cacat-cacatnya. Menurut Pasal 593 KUHPerdata, orang yang sakit ingatan tidak
memperoleh bezit, tetapi anak yang
belum dewasa dan perempuan yang telah menikah dapat memperoleh bezit.
Hapusnya
bezit
Pada
dasarnya orang bisa kehilangan bezit
apabila :
a. Kekuasaan
atas benda itu berpindah pada orang lain, baik secara diserahkan maupun karena
diambil orang lain.
b. Benda
yang dikuasainya, nyata telah ditinggalkan.
2. Hak
Eigendom
Pasal
570 KUHPerdata menyatakan bahwa eigendom
adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu benda dengan leluasa, dan untuk
berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak
bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh
suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang
lain.
Eigendom adalah hak paling sempurna atas suatu benda. Seorang
yang mempunyai hak eigendom (milik)
atas suatu benda dapat berbuat apa saja dengan benda itu (menjual,
menggadaikan, memberikan, bahkan merusak), asal saja ia tidak melanggar
undang-undang atau hak orang lain.[5]
Ciri-ciri
Hak Milik :[6]
Prof.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, mengatakan bahwa yang termasuk ciri-ciri dari hak
milik itu adalah :
a. Hak
milik itu selalu merupakan hak induk terhadap hak-hak kebendaan yang lain.
Sedangkan hak-hak kebendaan yang lainnya yang bersifat terbatas itu
berkedudukan sebagai hak anak terhadap hak milik.
b. Hak
milik itu ditinjau dari kuantitetnya merupakan hak yang selengkap-lengkapnya.
c. Hak
milik itu sifatnya tetap. Artinya, tidak akan lenyap terhadap hak kebendaan
yang lain. Sedangkan hak kebendaan yang lain dapat lenyap jika menghadapi hak
milik.
d. Hak
milik itu mengandung inti (benih) dari semua hak kebendaan yang lain. Sedangkan
hak kebendaan yang lain itu hanya merupakan onderdeel
(bagian) saja dari hak milik.
Pasal 574 KUHPerdata
menyatakan bahwa tiap pemilik sesuatu benda, berhak menuntut kembali bendanya
dari siapa saja yang menguasainya berdasarkan hak miliknya itu.
Cara
Memperoleh Hak Milik
Pasal
584 KUHPerdata, hak eigendom dapat diperoleh dengan cara :[7]
a. Pendakuan
(toeeigening)
Ini duatur dalam Pasal
585 KUHPerdata, yaitu tentang pendakuan dari barang-barang yang bergerak yang
belum ada pemiliknya/tidak ada pemiliknya (Res Nullius). Pasal 586 KUHPerdata
pendakuan dari binatang-binatang liar di hutan, pendakuan dari ikan-ikan di
sungai.
b. Ikutan
(natrekking)
Ini diatur dalam Pasal
588-605 KUHPerdata, yaitu memperoleh benda itu karena benda itu mengikuti benda
yang lain. Misalnya, hak atas tanam-tanaman, itu mengikuti tanah yang sudah
menjadi hak milik dari orang yang menanami itu.
c. Lampaunya
Waktu (verjaring)
Ini diatur dalam Pasal
610 KUHPerdata dan diatur lebih lanjut dalam Buku IV KUHPerdata. Cara memperoleh
hak milik dengan verjaring ini ada
dua macam, yaitu :
1. Acquisitive Verjaring ,
yaitu lewat waktu sebagai alat untuk memperoleh hak-hak kebendaan (diantaranya
hak milik)
2. Extinctive Verjaring,
yaitu lewat waktu sebagai alat untuk dibebaskan dari suatu perutangan.
Jadi
memperoleh hak milik dengan verjaring disini yang dimaksudkan adalah dengan acquisitive verjaring. Arti pentingnya
adalah sebagai pembuktian, yaitu untuk dipakai sebagai bukti bahwa orang adalah
pemilik, sehingga perlu kepastian hukum.
Cara
memperoleh hak milik dengan lewat waktu (acquisitive
verjaring) adalah :
1. Harus
ada bezit
2. Bezitnya
harus te goeder trouw
3. Membezitnya
itu harus terus menerus, tak terputus.
4. Membezitnya
harus tidak terganggu.
5. Membezitnya
harus diketahui oleh umum.
6. Membezitnya
harus selama waktu 20 tahun atau 30 tahun
7. 20
tahun dalam hal ada alas hak yang sah, 30 tahun dalam hal tidak ada alas hak
yang sah.
d. Penyerahan
(levering)
Penyerahan adalah
perbuatan menyerahkan suatu benda oleh pemilik atau atas namanya kepada orang
lain, sehingga orang lain ini memperoleh hak milik atas benda itu.
Menurut Pasal 612
KUHPerdata, untuk benda bergerak yang berwujud, penyerahan dapat dilakukan
dengan cara :[8]
1. Penyerahan
Nyata
Penyerahan nyata
dilakukan dari tangan ke tangan
2. Penyerahan
kunci dari tempat dimana benda itu berada
Penyerahan kunci dapat diambil
contoh misalnya adalah dalam rangka penyerahan gula/beras dalam gudang, maka
penyerahan nya cukup dengan menyerahkan kunci gudang.
Menurut
Pasal 612 ayat (2) KUHPerdata adakalanya penyerahan terhadap benda-benda
bergerak yang berwujud itu pada peralihan hak tak perlu dilakukan, yaitu dalam
hal benda yang akan diserahkan itu telah berada dalam tangan orang yang hendak
menerimanya berdasarkan atas hak yang lain. Di situ terjadi berbarengan du saat.
Menganai hal ini kita mengenai 2 macam figur penyerahan yang disebut :[9]
1. Traditio Brevi Manu (penyerahan
dengan tangan pendek)
Misalnya A meminjam
buku B. B sebagai eigenaar buku itu
kemudian membutuhkan uang lalu menjual buku ke A. Dengan demikian levering tidak diperlukan.
2. Constitutum Pessessorium
(penyerahan dengan melanjutkan penguasaan atas bendanya)
Misalnya A pemilik dari
sebuah buku, karena membutuhkan uang, maka menjual bukunya kepada A. akan
tetapi karena A masih membutuhkan untuk mempelajarinya, maka A kemudian
meminjam buku tersebut dari B. A yang tadinya sebagai pemilik berubah menjadi
peminjam.
Sedangkan penyerahan
atas benda bergerak yang tak berwujud diantaranya adalah:[10]
1. Piutang
atas nama
Atas hal tersebut maka
penyerahannya dilakukan dengan cessie,
yaitu dengan cara membuat akta otentik atau akta di bawah tangan (Pasal 613
ayat (1) KUHPerdata)
2. Piutang
atas bawa
Atas hal tersebut, maka
penyerahannya dilakukan dengan penyerahan nyata (Pasal 613 ayat (3) KUHPerdata.
3. Penyerahan
dari piutang atas pengganti
Atas hal tersebut, maka
penyerahannya dilakukan dengan penyerahan surat disertai endosemen (Pasal 613
ayat (3) KUHPerdata)
Setelah membicarakan
mengenai penyerahan terhadap benda bergerak, maka sekarang kita membicarakan
penyerahan terhadap benda tak bergerak.
Penyerahan benda tak bergerak
dilakukan dengan balik nama. Pemindahan hak milik atas benda yang tak bergerak
ini tidak cukup dilaksanakan dengan pengoperan kekuasaan belaka, melainkan
harus pula dibuat suatu surat penyerahan (akte
van transport) yang harus dikutip dalam daftar eigendom. Sebaliknya
terhadap benda yang bergerak, levering lazimnya berupa penyerahan dari tangan
ke tangan.[11]
Untuk sahnya penyerahan
itu, maka harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu :
1. Harus
ada perjanjian yang zakelijk
2. Harus
ada titel (alas hak)
3. Harus
dilakukan oleh orang yang berwenang menguasai benda-benda tadi (orang yang beschikkingsbevoegd)
4. Harus
ada penyerahan nyata.
Selain
hak milik bisa didapatkan, maka hak milik pun juga bisa hapus/dihapuskan. Pada
dasarnya, seseorang dapat kehilangan hak atas miliknya apabila :
1. Seseorang
memperoleh hak milik itu melalui salah satu cara untuk memperoleh hak milik.
2. Binasanya
benda itu.
3. Pemilik
hak milik (eigenaar) melepaskan benda
itu.
Hak
Servituut (erfdienstbaarheid)
Menurut Pasal
674 ayat (1) KUHPerdata Hak Servituut disebut juga dengan pengabdian
pekarangan, yaitu suatu beban yang diberikan kepada pekarangan milik orang yang
satu, untuk digunakan bagi dan demi kemanfaatan pekarangan milik orang lain.
Prof. Subekti
mengatakan bahwa Hak Servituut adalah suatu beban yang diletakkan di atas suatu
pekarangan untuk keperluan suatu pekarangan lain yang berbatasan. Misalnya pemilik
dari pekarangan A harus mengizinkan orang-orang yang tinggal di pekarangan B
setiap waktu melalui pekarangan A, atau air yang dibuang dari pekarangan B
dialirkan melewati pekarangan A.[12]
Hak
pekarangan (servituut) baru dianggap sah, apabila telah memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:[13]
1. Harus
ada dua halaman, yang letaknya saling berdekatan, dibangun atau tidak dibangun
dan yang dimiliki oleh berbagai pihak.
2. Kemanfaatan
dari hak pekarangan itu harus dapat dinikmati atau dapat berguna bagi berbagai
pihak yang memiliki halaman tadi.
3. Hak
pekarangan harus bertujuan untuk meninggalkan kemanfaatan dari halaman
penguasa.
4. Beban
yang diberatkan itu harus senantiasa bersifat menanggung sesuatu.
5. Kewajiban-kewajiban
yang timbul dalam hak pekarangan itu hanya dapat ada dalam hal membolehkan
sesuatu atau tidak membolehkan sesuatu.
Hak
Opstal
Pasal
711 KUHPerdata adalah suatu hak untuk memiliki bangunan-bangunan atau
tanaman-tanaman di atas tanahnya orang lain. Hak opstal disebut juga hak
numpang karang, yaitu adalah suatu hak kebendaan untuk mempunyai gedung-gedung,
bangunan-bangunan dan penanaman diatas pekarangan orang lain. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa hak opstal adalah hak untuk memiliki bangunan-bangunan atau
tanaman di atas tanah orang lain.[14]
Hak
opstal dapat dipindahkan pada orang lain dan dapat juga dipakai sebagai jaminan
utang (hipotik).[15]
Hak postal diperoleh karena perbuatan perdata (Pasal 713 KUHPerdata).
Mengenai
hapusnya hak opstal juga dapat terjadi. Hal ini sesuai yang diatur dalam Pasal
718-719 KUHPerdata, yaitu :
1. Hak
opstal jatuh ke dalam satu tangan
2. Musnahnya
pekarangan
3. Selama
30 tahun tidak dipergunakan
4. Waktu
yang diperjanjikan telah lampau
5. Diakhiri
oleh pemilik tanah. Pengakhiran ini hanya dapat dilakukan setelah hak tersebut
paling sedikit sudah dipergunakan selama 30 tahun, dan sebelumnya harus
didahului pemberitahuan paling sedikit 1 tahun.
Hak Erfpacht
Pasal
720 KUHPerdata menyebutkan bahwa Hak Erfpacht adalah hak kebendaan untuk
menarik penghasilan seluas-luasnya untuk waktu yang lama dari sebidang tanah
milik orang lain dengan kewajiban membayar sejumlah uang atau penghasilan
tiap-tiap tahun yang dinamakan “pacht”
Hak
erfpacht dapat juga diartikan sebagai hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya
akan kegunaan suatu barang tak bergerak milik orang lain, dengan kewajiban akan
membayar upeti tahunan kepada si pemilik sebagai pengakuan akan kepemilikannya,
baik berupa uang, hasil atau pendapatan.[16]
Sehingga
dapat disimpulkan bahwa hak erfpacht (hak guna usaha) adalah hak kebendaan
untuk menikmati sepenuhnya untuk waktu yang lama dari sebidang tanah milik
orang lain, dengan kewajiban membayar sejumlah uang atau penghasilan setiap
tahun.[17] Hak
erfpacht ini dapat juga dijual atau dipakai sebagai jaminan (hipotik).
Hak Pakai Hasil (Vruchtgebruik)
Menurut
Pasal 756 KUHPerdata, Hak Pakai Hasil adalah suatu hak kebendaan untuk menarik
penghasilan dari suatu benda orang lain, seolah-olah benda itu kepunyaannya
sendiri, dengan kewajiban menjaga supaya benda tersebut tetap dalam keadaannya
semula.
Prof.
Sri Soedewi memberikan definisi bahwa hak pakai hasil adalah suatu hak untuk
memungut hasil dari barang orang lain seolah-olah seperti eigenaar dengan kewajiban untuk memelihara barang itu supaya tetap
adanya.[18]
Hak
pakai hasil juga dapat diartikan sebagai suatu hak kebendaan, dengan mana
seorang diperbolehkan menarik segala hasil dari sesuatu kebendaan milik orang
lain, seolah-olah dia sendiri pemiliknya, dengan kewajiban memeliharanya dengan
sebaik-baiknya. Sehingga pengertian hak pakai hasil ini tidak hanya memberikan
hak untuk menarik saja, melainkan juga hak untuk memakai benda itu.[19]
Jadi,
menurut undang-undang, hak pakai hasil ini hanya dapat diberikan atas
benda-benda yang tidak akan hilang atau menjadi berkurang karena pemakaian,
yaitu benda-benda yang tak dapat diganti. Walaupun dalam praktek muncul suatu
hak pakai hasil atas barang-barang yang dapat diganti, misalnya atas suatu
modal. Hal terpenting dari hak ini adalah bahwa hak pakai hasil selalu
diberikan kepada seseorang secara pribadi, sehingga kemudian berakhir apabila
penerima hak meninggal dunia.[20]
Kewajiban-kewajiban
dari orang yang mempunyai hak pakai hasil adalah sebagai berikut (Pasal 783-784
KUHPerdata :
1. Membuat
catatan/daftar pada waktu ia menerima haknya.
2. Menanggung
segala biaya pemeliharaan dan perbaikan yang biasa.
3. Memelihara
benda itu sebaik-baiknya dan menyerahkannya dalam keadaan yang baik apabila hak
itu berakhir.
Hak
pakai hasil ini biasanya dipergunakan untuk memberi penghasilan (tunjangan)
pada seseorang selama hidupnya. Misalnya dalam suatu testamen seorang
menentukan bahwa harta bendanya diwariskan kepada anak-anaknya, tetapi si
isteri selama hidupnya, mendapat hak pakai hasil atas kekayaan itu. Hak ini
begitu luasnya, sehingga sang pemilik hanya tinggal nama dan tidak ikut menikmati
kenikmatan tersebut.[21]
Hak Gadai
Pasal
1150 KUHPerdata, yang dimaksud Hak Gadai adalah suatu hak kebendaan yang
diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan
kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang
memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari
barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya.
Prof.
Sri Soedewi memberikan definisi mengenai Hak Gadai adalah hak yang diperoleh
kreditur atas suatu barang bergerak, yang diberikan kepadanya oleh debitur atau
orang lain atas namanya untuk menjamin suatu utang, dan yang memberikan
kewenangan kepada kreditur untuk mendapat pelunasan dari barang tersebut lebih
dahulu dari kreditur-kreditur lainnya, terkecuali biaya-biaya untuk melelang
barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu.[22]
Prof.
Subekti menyatakan bahwa Hak Gadai adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda
yang bergerak kepunyaan orang lain, yang semata-mata diperjanjikan dengan
menyerahkan bezit atas benda tersebut, dengan tujuan untuk mengambil pelunasan
suatu hutang dari pendapatan penjualan benda itu, lebih dahulu dari
penagih-penagih lainnya.[23]
Hukum
Romawi juga mengatur adanya hak semacam hak gadai yang dinamakan dengan fiducia. Fiducia berupa suatu pemindahan
hak milik dengan perjanjian bahwa benda itu akan dikembalikan apabila si
berhutang sudah membayar hutangnya. Selama hutang belum dibayar, orang yang
menghutangkan menjadi pemilik benda yang menjadi tanggungan itu. Sebagai
pemilik, dengan sendirinya ia berhak menyuruh memakai atau menyewakan benda itu
pada si berhutang, sehingga si berhutang tetap menguasai bendanya.[24]
Sifat Hak Gadai
Hak
Gadai ini bersifat accesoir, yaitu
merupakan hak yang tergantung dari adanya suatu perjanjian pokok.[25]
Dapat juga dikatakan sebagai merupakan tambahan saja dari perjanjian pokok yang
berupa perjanjian pinjaman uang. Ini dimaksudkan untuk menjaga agar jangan
sampai si berhutang itu lalai membayar kembali hutangnya.[26]
Sifat
hak gadai juga tidak dapat dibagi-bagi. Artinya, sebagian hak gadai itu tidak
menjadi hapus dengan dibayarnya sebagian dari hutang.[27]
Gadai tetap melekat atas seluruh benda.
Syarat Timbulnya Hak Gadai
Hak
Gadai lahir dengan penyerahan kekuasaan atas barang yang dijadikan tanggungan
pada pemegang gadai. Hak atas barang gadai ini dapat pula ditaruh di bawah
kekuasaan seorang pihak ketiga atas persetujuan atas persetujuan kedua belah
pihak yang berkepentingan (Pasal 1152 ayat (1) KUHPerdata). Selanjutnya menurut
ayat (2), gadai tidak sah jika bendanya dibiarkan tetap berada dalam kekuasaan
si pemberi gadai (si berutang).[28]
Objek Hak Gadai
Objek
Hak Gadai adalah semua benda bergerak, baik benda bergerak yang berwujud maupun
benda bergerak yang tak berwujud.
Hak
Pemegang Gadai:
1. Pemegang
Gadai berhak untuk menggadaikan lagi barang gadai itu, apabila hak itu sudah
menjadi kebiasaan, seperti halnya dengan penggadaian surat-surat sero atau
obligasi (Pasal 1155)
2. Apabila
pemberi gadai melakukan wanprestasi, maka pemegang gadai berhak untuk menjual
barang yang digadaikan itu dan kemudian dapat mengambil pelunasan utang dari
hasil penjualan barang itu. Penjualan barang itu bisa dilakukan sendiri ataupun
dengan perantaraan Hakim (Pasal 1156 ayat (1))
3. Pemegang
gadai berhak untuk mendapatkan ganti biaya-biaya yang telah ia keluarkan untuk
mnyelamatkan barang yang digadaikan itu. (Pasal 1157 ayat (2))
4. Pemegang
gadai berhak untuk menahan barang yang digadaikan sampai pada waktu utang
dilunasi, baik yang mengenai jumlah pokok maupun bunga. (Pasal 1159 ayat (1))
Kewajiban
Pemegang Gadai
1. Pemegang
gadai wajib memberitahukan pada orang yang berutang apabila ia hendak menjual
barang gadainya (Pasal 1156 ayat (2))
2. Pemegang
gadai bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya harga barang yang
digadaikan, jika itu semua terjadi karena kelalaiannya (Pasal 1157 ayat (1))
3. Pemegang
gadai harus memberikan perhitungan tentang pendapatan penjualan itu dan setelah
ia mengambil pelunasan hutangnya, maka ia harus menyerahkan kelebihannya pada
si berutang (Pasal 1158)
4. Pemegang
gadai harus mengembalikan barang gadai, apabila utang pokok, bunga dan biaya
untuk menyelamatkan barang gadai telah dibayar lunas. (Pasal 1159)
Hapusnya
Gadai:[29]
1. Seluruh
utang sudah dibayar lunas
2. Barang
gadai hilang/musnah
3. Barang
gadai ke luar dari kekuasaan si penerima gadai
4. Barang
gadai dilepaskan secara sukarela
Hak Hipotik
Pasal
1162 KUHPerdata, hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak
bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu
perikatan. Prof. Subekti memberikan definisi bahwa hak hipotik adalah suatu hak
kebendaan atas suatu benda tak bergerak, bertujuan untuk mengambil pelunasan
suatu utang dari (pendapatan penjualan) benda itu.[30]
Sedangkan menurut Prof. Sri Soedewi, hipotik adalah suatu hak kebendaan atas
benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan
suatu perutangan.[31]
Sifat Hipotik
Pada
dasarnya sifat hipotik adalah sama dengan sifat hak gadai, yaitu accesoir. Dimana hak hipotik adalah
mengikuti perjanjian pokoknya, yaitu pinjam meminjam uang.
Subjek dan Objek Hipotik
Suatu
hipotik hanya dapat diberikan oleh pemilik benda itu (Pasal 1168). Sedangkan
yang dapat dijadikan objek hipotik adalah benda tak bergerak.
Syarat Hipotik
Cara
untuk mendapatkan hipotik harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu :
1. Harus
dengan akta notaries, kecuali dalam hal-hal yang dengan tegas ditunjuk
undang-undang (Pasal 1171 KUHPerdata)
2. Harus
didaftarkan ke Kantor Balik Nama (Pasal 1179)
Asas-asas Hipotik
Prof.
Sri Soedewi menyatakan bahwa ada dua asas dalam hipotik, yaitu:[32]
1. Asas
Publiciteit
Asas
yang mengharuskan bahwa hipotik itu harus didaftarkan pada pegawai pembalikan
nama, yaitu pada Kantor Kadaster. Yang didaftarkan adalah akta dari objek
hipotik itu.
2. Asas
Specialiteit
Asas
yang menghendaki, bahwa hipotik hanya dapat diadakan atas benda-benda yang
ditunjukkan secara khusus untuk dipakai sebagai tanggungan.
Perbedaan antara gadai dan hipotik
Perbedaan
antara gadai dan hipotik dapat dikemukakan sebagai berikut :[33]
1. Gadai,
benda jaminan adalah benda bergerak, sedangkan hipotik, benda jaminan adalah
benda tak bergerak.
2. Gadai
harus disertai dengan penyerahan kekuasaan atas benda yang dijadikan gadai,
sedangkan pada hipotik syarat yang demikian tidak ada.
3. Perjanjian
gadai dapat dibuat secara bebas dan tidak terikat pada bentuk tertentu,
sedangkan pada perjanjian hipotik harus dibuat dengan akte otentik.
Hak Privilege
Hak
Privilege adalah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang
berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya,
semata-mata berdasarkan sifatnya piutang. (Pasal 1134)
Menurut
Prof. Subekti, hak privilege adalah suatu kedudukan istimewa dari seorang
penagih yang diberikan oleh undang-undang melulu berdasarkan sifat piutang.[34] Sedangkan
menurut Prof. Sri Soedewi, hak privilege adalah suatu hak yang diberikan oleh
undang-undang kepada kreditur yang satu di atas kreditur lainnya semata-mata
berdasarkan sifat dari piutangnya.[35]
Hak Reklame
Hak
reklame adalah suatu hak yang diberikan kepada penjual untuk meminta kembali
barangnya yang telah diterima oleh pembeli setelah pembeli membayar tunai.
Jadi, jika penjualan itu telah dilakukan secara tunai, maka penjual mempunyai
kekuasaan menuntut kembali barang-barangnya, selama barang-barang itu masih
berada di tangan pembeli, asal saja penuntutan kembali dilakukan dalam jangka
waktu 30 hari setelah penyerahan barang kepada pembeli.[36]
Menurut
undang-undang, hak penjual ini gugur/tidak dapat dilaksanakan apabila :
1. Barang-barang
yang telah diterima pembeli, ternyata telah disewakan (Pasal 1146)
2. Barang-barang
tersebut oleh pembeli telah dibeli pihak ketiga dengan itikad baik dan telah
diserahkan kepada pihak ketiga tersebut (Pasal 1146a)
Hak Retentie
Hak
Retentie adalah hak untuk menahan suatu benda, sampai suatu piutang yang
bertalian dengan benda itu dilunasi.[37]
Menurut H.F.A Vollmar, hak menahan (retentie) adalah hak untuk tetap memegang
benda milik orang lain sampai piutang si pemegang mengenai benda tersebut telah
lunas.[38]
Hak
retentie ini mempunyai sifat yang tak dapat dibagi-bagi. Artinya, pembayaran
atas sebagian utang saja, tidak menjadikan hak retentie menjadi hapus. Hak
retentie hapus jika seluruh utang telah dibayar lunas.[39]
[1]
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata,
Jakarta, Intermasa, hlm. 63
[2]
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum
Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm 214
[3]
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum
Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm 214
[4]
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum
Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm 215
[5]
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata,
Jakarta, Intermasa, hlm. 69
[6]
Sri Soedewi MS, Hukum benda,
Yogyakarta, Liberty, hlm. 27
[7]
Sri Soedewi MS, Hukum benda,
Yogyakarta, Liberty, hlm. 63
[8]
Sri Soedewi MS, Hukum benda,
Yogyakarta, Liberty, hlm. 68
[9]
Sri Soedewi MS, Hukum benda,
Yogyakarta, Liberty, hlm. 68
[10]
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum
Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm 219
[11]
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata,
Jakarta, Intermasa, hlm. 71
[12]
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata,
Jakarta, Intermasa, hlm. 75
[13]
C.S.T. Kansil, Modul Hukum Perdata,
Jakarta: Pradnya Paramita, 1991, hlm. 169
[14]
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum
Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 224
[15]
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata,
Jakarta, Intermasa, hlm. 75
[16]
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum
Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 224
[17]
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum
Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 225
[18]
Sri Soedewi MS, Hukum Benda,
Yogyakarta, Liberty, hlm. 119
[19]
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum
Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 226
[20]
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata,
Jakarta, Intermasa, hlm. 77
[21]
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata,
Jakarta, Intermasa, hlm. 77
[22]
Sri Soedewi MS, Hukum Benda,
Yogyakarta, Liberty, hlm. 97
[23]
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata,
Jakarta, Intermasa, hlm. 79
[24]
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata,
Jakarta, Intermasa, hlm. 78
[25]
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata,
Jakarta, Intermasa, hlm. 79
[26]
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum
Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 228
[27]
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum
Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 228
[28]
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum
Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 228
[29]
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum
Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 230
[30]
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata,
Jakarta, Intermasa, hlm. 230
[31]
Sri Soedewi MS, Hukum Benda, Yogyakarta,
Liberty, hlm. 103
[32]
Sri Soedewi MS, Hukum Benda,
Yogyakarta, Liberty, hlm. 104
[33]
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum
Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 232
[34]
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata,
Jakarta, Intermasa, hlm. 88
[35]
Sri Soedewi MS, Hukum Benda,
Yogyakarta, Liberty, hlm. 33
[36]
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum
Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 235
[37]
Sri Soedewi MS, Hukum Benda,
Yogyakarta, Liberty, hlm. 35
[38]
H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum
Perdata (terjemahan I.S. Adiwimarta), Jakarta, Rajawali, 1992, hlm. 367
[39]
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum
Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 236
Penjelasan Hak Kebendaan dalam KUHPerdata
4/
5
Oleh
Unknown