Hak Tanggungan
Hak
Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah yang dibebankan pada hak atas tanah,
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan
tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur yang lain.[1]
Kehadiran
UUHT ini adalah bertujuan untuk :[2]
1. Menuntaskan
unifikasi tanah nasional, dengan menyatakan tidak berlaku lagi ketentuan
Hipotik dan Credietverband (Pasal 29 UUHT).
2. Menyatakan
berlakunya UUHT dan Hak Tanggungan dinyatakan sebagai satu-satunya jaminan atas
tanah. Oleh karena itu, tidak berlaku lagi Fidusia sebagai hak jaminan atas
tanah.
Objek Hak Tanggungan
Menurut
Pasal 4 UUHT, objek hak tanggungan adalah sebagai berikut :
1. Hak
Milik (Pasal 25 UUPA), Hak Guna Usaha (Pasal 33 UUPA), dan Hak Guna Bangunan
(Pasal 39 UUPA)
2. Hak
Pakai atas tanah negara, yang memenuhi syarat yaitu, yang bersertifikat dan
dapat diperjualbelikan.
3. Bangunan
Rumah Susun dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang berdiri di atas tanah
Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang diberikan oleh Negara (UU
Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun)
Pemberi dan Pemegang Hak Tanggungan
Pemberi
hak tanggungan adalah orang atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan
(Pasal 8 ayat (1) UUHT).
Sedangkan
pemegang hak tanggungan adalah orang atau badan hukum yang berkedudukan sebagai
pihak yang berpiutang (kreditur). Sebagai pemegang hak tanggungan, dapat
berstatus Warganegara Indonesia, Badan Hukum Indonesia, Warganegara Asing, atau
Badan Hukum Asing, baik yang berkedudukan di Indonesia maupun di luar negeri,
sepanjang kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk kepentingan pembangunan
di wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 9 UUHT).
Fidusia
Fidusia
adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan
ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya diadakan tersebut tetap dalam
penguasaan pemilik benda itu (Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 42 Tahun 1999). Yang
dimaksud dengan jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik
yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak, khususnya
bangunan yang tidak dapat dibebani Hak Tanggungan sebagaimana yang dimaksud
dalam UU Nomor 4 Tahun 1996.[3]
Fidusia
hanya berlaku bagi benda bergerak. Pada prinsipnya, apabila suatu barang
dijaminkan dengan fidusia berarti kepemilikan atas barang tersebut beralih
kepada kreditor. Tetapi penguasaan barang itu tetap ada pada debitor.[4]
Sebelum
berlakunya UU Nomor 42 Tahun 1999, maka yang menjadi objek jaminan fidusia
adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan, benda dagangan,
piutang, peralatan mesin, dan kendaraan bermotor, tetapi dengan berlakunya UU
Nomor 42 Tahun 1999, maka objek jaminan fidusia dibagi menjadi dua macam:[5]
1. Benda
bergerak, baik yang berwujud maupun tidak berwujud.
2. Benda
tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dibebani Hak Tanggungan.
Yang
dimaksud dengan bangunan dalam kaitannya dengan bangunan rumah susun, sedangkan
yang dapat menjadi subjek dari jaminan fidusia adalah pemberi dan penerima
fidusia. Pemberi fidusia adalh orang perorangan atai korporasi pemilik benda
yang menjadi objek jaminan fidusia, sedangkan penerima fidusia adalah orang
perorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin
dengan jaminan fidusia.[6]
[1]
Pasal 1 angka 1 UU Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
[2]
P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum
Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 238
[3]
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata
Tertulis, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 127
[4]
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata
Tertulis, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 126
[5]
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata
Tertulis, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 128
[6]
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata
Tertulis, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 128
Hak Tanggungan dan Fidusia
4/
5
Oleh
Unknown