BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama penyempurna dari agama
agama sebelumnya, maka dari itu didalamnya memuat berbagai hukum hukum yang
siap untuk di terapkan dalam kehidupan sehari hari, tentu saja akan menimbulkan
kerangka berfikir yang bermacam macam, dan
diantaranya adalah tema yang akan penulis bahas dalam makalah “Perempuan
Menjadi Imam Sholat”, janganlah kita pikirkan bahwa ajaran Islam bias dengan
jender dan jangan pula kita anggap ini sebagai hal untuk merendahkan harkat dan
martabat perempuan. Sudah banyak kasus kasus tentang kesejajaran perempuan
dalam urusan sosial, ekonomi, dan juga politik. Tetapi akankah kepemimpinan
dalam sholat dapat dibenarkan syari’at mengingat dalam ibadah berlaku kaidah
bahwa ibadah tidak dapat dilakukan kecuali ada dalil yang menunjukan bahwa
sesuatu itu telah diperintahkan oleh Allah atau dicontohkan oleh Rasul-Nya.
Untuk lebih jelasnya akan diuraikan dalam makalah ini.
B. Rumusan Masalah
a. Apakah boleh wanita menjadi imam sholat bagi
kaum laki laki ?
b. Bagaimana pendapat para ulama mengenai hal ini
?
c. Adakah dalil yang bisa dijadikan hujah hukum
bagi wanita yang menjadi imam sholat ?
C. Tujuan Penulisan
a. Mengetahui kebenaran secara pasti tentang
masalah wanita menjadi imam sholat.
b. Bisa mengetahui bagaimana cara menentukan
sahih tidaknya suatu hadis.
c. Dapat mengimplementasikan kebenaran dalam
kehidupan yang sudah modern ini, agar tidak salah mengambil keputusan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teks Hadis
Dari Abu
Dawud, Daruqutny, dan Baihaqi dan selainya :
ما رواه أبو داود والدارقطني
والبيهقي وغيرهم عن أم ورقة. أن رسول الله - صلى الله عليه وسلم -كان يزورها في
بيتها
وجعل لها مؤذناً يؤذن لها وأمرها
أن تؤم أهل دارها ".
Artinya:
"Dari Ummi waraqah berkata bahwa Rasulullah telah mengunjunginya di
rumahnya, beliau menjadikan seorang muadzzin untuk beradzan untuknya dan
memerintahkan ummi waraqah untuk menjadi imam anggota keluarganya."[1]
Dari Abu Hurairah, r.a,
dia berkata, Rasulullah SAW bersabda :
خير صُفوفِ
الرخال اؤلها وشرهااخرها وخير صفوف انساء اخرها وشرها اولها
“Sebaik
baik shaf laki laki adalah yang pertama, dan yang terburuk adalah yang
terakhir, sebaik baik shaf perempuan adalah yang terakhir, dan yang terburuk
adalah yang pertama.”[2]
juga hadis riwayat Abu
Hurairah yang lain :
لن يفلح قوم اسندوا امر هم الي امرء ة[3]
Artinya : tidak akan bahagia suatu kaum apabila
menyerahkan urusanya kepada perempuan.
B. Keywords teks hadis
يزور : artinya mengunjungi, ini merupakan bentuk dari
fiil mudhari yang berasal dari fiil madi yakni زر yang artinya juga sama yakni mengunjungi,
mungkin yang membedakan dari segi maknanya antara sekarang dan lampau.
وجعل
: artinya menjadikan, mengapa dalam hal ini tidak mengunakan kata yang lain
seperti يصوا ر mengkin dikaitkan dari
segi khusus dan umumnya konteks tafsir hadis sesuai dengan kontek yang ada.
امر : artinya, memerinyahkan kepada Ummi Waraqah untuk
menjadi imam dalam sholat, perintah ini sifatnya khusus karena langsung
Rasulullah yang memerintahkan kepada Ummu Waraqah, beda tentunya jika dengan
menggunakan ياءمر
karena lebih sifatnya yang umum.
يفلحُ : artinya bahagia, ini adalah suatu bentuk
pengecualian dalam hadis. Bahagia dalam hal ini mungkin dapat dilihat dari segi
berhasil atau tidaknya suatu urusan dan yang lebih dalam lagi bahwa bisa
diartikan tidak sah bila dikaitkan dalam konteks ibadah sholat.
اسندوا : artinya menyerahkan, karena ada tambahan wawu,
maka urusan disini lebih ke arah yang umum mencakup seluruhnya baik itu laki
laki maupun perempuan. Yang karenanya ini lebih dianggap suatu kepentingan
bersama demi kemaslahatan bersama juga.
امر :
artinya bukan perintak dalam konteks ini tetapi lebih ke urusan kenapa karena
keterangan hadis awalnya juga menyingung soal semuannya yang berlaku umum maka
bisla diterjemahkan ke urusan lebih sesuai dengan konteks.
C. Asbab wurud al-hadis
ان النبي صلعم لماغزا بدرا قالت : قالت له :
يارسول الله اءذن لي في الغزو معك امرض مرضاكم لعل الله ان يرزقني شهادة, قل : قري
في بيتك فان الله تعال يرزقك الشهادة, قل : فكانت تسمي الشهيدة, قال : وكانت قد
قرات القرآن فاستاذنت النبي صلعم ان تتخذ في دارها مؤذنا, فاذن لها, قل : ركانت
دبرت غلاما.............................................................
Hadis ini merupakan Asbab wurud dari hadis
tentang bolehnya imam sholat bagi perempuan. Sahabat tersebut memiliki ilmu
tentang qira’at dan pengumpul al-Qur’an. Rasulullah SAW selalu menjenguk Ummu
Waraqah dan memberikan julukan Syahidah kepada Ummu Waraqah. Julukan
seperti ini adalah wajar karena beliau adalah orang yang gigih dalam
menjalankan agamanya. Ketika Rasulullah menghadapi perang Badar Ummu Waraqah
berkata : Wahai Rasulullah, apakah engkau mengizinkan saya untuk berperang
bersama engkau. Ia meminta kepada Nabi untuk dibolehkan menjadi imam bagi
keluarganya. Padahal didalam keluarganya ada beberapa orang termasuk pria tua
yang sering mendendangkan alunan azan ketika shalat mau dilaksanakan.[4]
Hadis riwayat Abu Daud terswbut dijadikan
sebagai hujjah hukum oleh Abu saur, al-Muzaini dan Ibnu Jarir tentang bolehnya
wanita menjadi imam sholat meskipun ada yang laki laki. Karena zahir hadis
tersebut menunjukkan bahwasanya Ummu Waraqah menjadi imam sholat atas laki laki
tua dan budak laki laki dan perempuannya.[5]
Pendapat inilah yang dipegang oleh Hasbi. Tetapi Hasbi tidak memutlakkan wanita
boleh menjadi imam sholat bagi laki laki seperti Abu Saur, Ibnu Jarir dan al-Muzani.
Hasbi mengkhususkan dalam konteks keluarga saja karena tampaknya Hasbi memahami
betul dalam kompleks apa hadis tersebut diturunkan.
Jadi
berdasarkan riwayat Ummu Waraqah tersebut diatas nampak bahwa Rasulullah SAW
menyuruhkan menjadi imam bagi keluarganya. Hal ini tidaklah mengherankan karena
sahabat beliau tersebut adalah seorang ahli qira’ah dan bacaan al-Qur’an sangat
baik. Oleh karena itu Rasulullah SAW menyuruhnya untuk menjadi imam sholat
untuk keluarganya meskipun di rumahnya ada beberapa orang pria yang salah
satunya adalah pria tua.
Adapun menurut jumhur ulama, hadis tersebut
tidak bisa menjadi dasar atas bolehnya wanita menjadi imam sholat bagi laki
laki karena belum tentu waktu itu Ummu Waraqah menjadi imam sholat atas
muazzinnya dan seandainya wanita boleh menjadi imam atas laki laki maka prktik
sahnya itu sudah ada sejakmasa awal islam. Di samping itu jumhur ulama
berpendapat bahwasanya wanita itu disunahkan mengambil saf yang paling belakang
karena sebaik baik saf wanita adalah yang paliing belakang dan seburuk buruk
saf wanita adalah yang paling depan.[6]
Adapun pengkompromian dua nass yang tampak
berlawanan itu berdasarkan penjelasan di atas adalah :
Hadis Ibnu Majah dari Jabir yang dijadikan
sebagai hujah hukum oleh Syekh Nawawi adalah hadis Da’if sehingga tidak bisa
dijadikan sebagai dasar hukum. Sedangkan hadis yang diriwayatkan oleh
al-Bukhari tersebut adalah hadis shahih dan dipahami oleh Syeh nawawi al
Bantani berdasarkan umumnya lafaz sebagai larangan begi perempuan menjadi
pemimpin dalam imamah al-sugra. Tetapi berdasarkan penafsiran penafsiran yang
ada hadis ini lebih banyak berbicara dalam konteks imamah al-Kubra.
Adapun hadis yang dijadikan hujah hukum oleh
Hasbi tersebut berbicara dalam konteks mengimani keluarga atau ahli rumah, dan
Hasbi tampaknya memahami betul dalam konteks apa hadis itu, sehingga ia hanya
menbatasi bolehnya wanita menjadi imam sholat atas laki laki dalam konteks
mengimani keluarga saja. Akan tetapi menurut Hasbi yang paling utama menjadi
seorang imam adalah laki laki. Yang berlandaskan pada hadis Ummu Waraqah
tersebut yang secara zahir mengimami ahli rumahnya termasuk laki laki. Hadis
Ummu Waraqah ini berbicara dalam konteks yang khusus yaitu mengimami ahli rumah
atau keluarga.
Jadi hadis al-Bukhari berbicara dalam konteks
yang umum tentang larangan wanita menjadi imam sholat bagi laki laki. Sedangkan
hadis Ummu Waraqah berbicara dalam konteks yang khusus yaitu menjadi imam
sholat bagi laki laki dalam konteks mengimami keluarga. Menurut penyusun
berdasarkan keterangan Abdul Wahhab Khallaf bahwasannya cara menggabungkan dan
menyesuaikan dua dalil yang bertentangan adalah dalil yang khusus menkhususkan
yang umum maka menurut penyusun penggabungan dan pengkompromiannya adalah :
Hadis riwayat al-Bukhari adalah larangan
wanita menjadi imam sholat dalam konteks yang umum dan hadis ini dikhususkan
oleh hadis Ummu Waraqah tersebut, dengan bolehnya wanita menjadi imam sholat
bagi laki laki dalam konteks keluarga saja dan dari asbab al-wurud hadis Ummu
Waraqah ini dipahami juga bahwasannya bukan sembarang wanita yang menjadi imam
sholat atas laki laki tetapi wanita itu haruslah ahli qira’ah dan baik bacaan
al-Qur’annya. Dalam konteks inilah harus dipahami bahwa wanita boleh menjadi
imam sholat bagi laki laki dalam konteks keluarga, jika wanita itulah yang
paling patut menjadi imam sholat dengan kelebihan yang ia miliki tersebut.
Sedangkan hadis al-Bukhari itu adalah larngan wanita menjadi imam sholat bagi
laki laki yang diluar konteks keluarga seperti di masjid masjid.
Larangan ini juga untuk menghindari
terjadinnya fitnah yaitu suasana yang mengganggu atau menggoda hati dan pikiran
laki laki. Dalam masalah ini pula dalam masalah urusan saf adalah sholat
berjama’ah, posisi wanita dan laki laki haruslah terpisah dan wanita dibelakang
kaum laki laki, perempuan dilarang menyampaikan khutbah, atau mengumandangkan
azan dan perempuan yang keluar untuk sholat berjam’ah di masjid juga dianggap kurang
baik.
D. Munasabah ayat
لن يفلح قوم اسندوا امر هم الي امرء ة[7]
Dalam musnad Ahmad bin Hambal hadis ini diriwayatkan dalam 4 tempat.
Disamping itu hadis ini juga diriwayatkan juga oleh al-Bukhari dalam kitabnya
sahih al-Bukhari dalam bab al-fitan dan diriwayatkan juga oleh an-Nasa’i dalam
kitabnya sunan an-nasa’i juz IV dalam bab al-fitan juga. Jadi berdasarkan
keterangan ini paling tidak hadis ini diriwayatkan melalui 6 jalur sanad. Enam
jalur sanad hadis tersebut menggunakan redaksi yang sedikit berbeda, tetapi
tidak sampai merubah makna.[8]
Menurut Drs. Nur Khairin M.Ag dalam penelitiannya tersebut, kalau dilihat
dari segi sanadnya hadis ini adalah hadis ahad. Karena dari keenam jalur
tersebut terdapat sebuah tabaqah yang hanya diriwayatkan oleh satu orang
perawi. Untuk membuktikan bahwa hadis lan yufliha tersebut maqbul atau tidak
maka akan dilakukan jarh wa ta’adil kepada para rawi yang membangun hadis
tersebut. Untuk lebih mempermudah maka hanya mengambil satu jalur periwayatan
saja dari 6 jalur sanad yang ada yaitu riwayat Ahmad bin Hambal.
Asbabul wurud hadis tersebut berdasarkan keterangan Ibnu Hajar yang
menngatakan hadis tersebut melengkapi kisah Kisra yang telah merobek robek
surat Nabi SAW, pada suatu saat ia dibunuh oleh anak laki lakinya. Anak
tersebut juga membunuh saudara saudaranya. Ketika dia mati diracun, kekuasaan
kerajaan akhirnya berada di tangan anak perempuannya, Bauran binti Syiruyah
Ibnu Kisra. Tidak lam kemudian kekuasaannya hancur berantakan.[9]
NO.
|
NAMA PERIWAYAT
|
URUTAN PERIWAYAT
|
URUTAN SANAD
|
1.
|
Abu Bakrah
(siqah)
|
I
|
IV
|
2.
|
Abdurrahman bin Jausyan
(siqah)
|
II
|
III
|
3.
|
Uyainah bin Abdurrahman
(Siqah)
|
III
|
II
|
4.
|
Yazid bin Harun
(siqah)
|
IV
|
I
|
5.
|
Ahmad bin Hambal
(Ausar)
|
V
|
Mukharrij
|
6.
|
Abdullah bin Hambal
(siqah)
|
VI
|
Mukharrij
|
Berdasarkan data tersebut kesimpulannya adalah hadis tersebut adalah hadis
hasan karena tidak ada satupun rawi yang da’if. Dan juga sanadnya bersambung
karena tahun tahun hidup para perawinya saling bertemu.
Karena ada 6 jalur sanad maka kualitasnya bisa dinaikan menjadi Sahih
ligairihi. Yang dijadikan sandaran hukum oleh Syeh Nawawi al-Bantani.
Para ulama berbeda pendapat memahami hadis riwayat Bukhari tersebut.
Persoalan yang muncul ketika menkaji hadis ini adalah apakah hadis ini berlaku
khusus pada sebab turunnya ataukah berlaku umum. Kebanyakan yang dipakai adalah
keumuman lafaz, bukan sebab yang khusus. Jumhur ulama juga sependapat dengan
Bukhari, bahwa wanita tidak boleh menjadi pemimpin termasuk pemimpin dalam
sholat dan wanita tidak boleh menjadi qadi atau hakim tetapi Ibnu jarir
at-Tabari dan Imam Malik membolehkan wanita menjadi hakim.[10]
Oleh karena itu al-Khattabi mengatakan bahwa seorang wanita tidak sah menjadi
Khalifah. Demikian juga Syaukani dalam menefsirkan hadis ini berkata bahwa
wanita itu tidak termasuk ahli dalam hal kepemimpinan, sehingga tidak boleh
menjadi kepada negara.[11]
Syekh Nawawi mengikuti pendapat Imam Syafi’i yang melarang wanita menjadi imam
sholat bagi laki laki.
Yusuf Qardawi berpendapat bahwasanya yang dimaksud dengan hadis tersebut
adalah larangan bagi wanita memegang kekuasaan tertinggi atau al-imamah al-uzma.
Ketentuan ini berlaku bagi wanita bila ia menjadi raja atau kepala negara yang
mempunyai kekuasaan mutlak terhadap kaumnya yang segala kehendaknya harus di
jalankan, semua hukumnya tidak boleh ditolak dan selain perintahnya tidak boleh
dikukuhkan.[12]
KH. Husein Muhammad dalam bukunya Fiqh Perempuan berpendapat bahwasanya
hadis ini tidak dapat dipertahankan jika dihadapkan pada fakta fakta sejarah
yang ada. Sejumlah perempuan telah terbukti mampu memimpin bangsanya dengan
sukses. Pada masa sebelum Islam kita mengenal Ratu Balqis, penguasa negeri
Saba, seperti yang diceritakan al-Qur’an. Indira Ghandi, Margaret Tatcher,
Srinavo Bandaranaeke, Benazir Butho, Syekh Hasina Zia, itulah beberapa contoh
saja dari pemimpin bangsa di masa modern yang relatif sukses.
E. Syarh al-hadis
·
Hukum Wanita Menjadi Imam Sholat Menurut Syekh Nawawi
al-Bantani.
Syekh Nawawi adalah seorang faqih yang berasal dari Banten tetapi tinggal
di Arab Saudi (Makkah). Dalam bidang Syari’at ia mendasarkan pandangannya pada
al-Qur’an, hadis, ijma, dan Qiyas. Hal ini sesuai dengan dasar dasar yang
dipakai oleh Imam Syafi’i karena dalam masalah fiqh beliau mengikuti Mahab
Syafi’i.
Dalam Tausyih ‘ala Fath al-Qarib al-Mujib,
Syekh Nawawi menjelaskan bahwasanya syarat syarat mendirikan sholat jama’ah
adalah :
1. Makmum wajib berniat mendirikan sholat
berjamaah dengan mengikuti imam.
2. Orang yang pandai membaca tidak mengikuti imam
yang ummi
3. Wanita dan Khunsa tidak boleh menjadi imam
atas laki laki. Laki laki tidak boleh bermakmum pada wanita dan khunsa karena
hal tersebut, termasuk empat yang bathil.[13]
Selanjutnya Syekh Nawawi dalam kitabnya kasyifatu as-Saja membagi imamah
dalam sholat menjadi dua yaitu imamah yang sahih dan imamah yang batil. Menurut
beliau imamah dalam sholat ada 9 bentuk, lima diantarannya adalah imamah yang
sah menurut syara’ dan empat lagi adalah imamah yang dilarang menurut syara’.
Bentuk atau model imamah yang dibolehkan oleh
syara’ yaitu :[14]
1. Imamah laki laki dengan laki laki, artinya
laki laki boleh menjadi imam atas laki laki.
2. Imamah wanita dengan laki laki artinya laki
laki boleh menjadi imam sholat bagi wanita.
3. Imamah khunsa dengan laki laki artinya laki
laki boleh menjadi imam sholat bagi khunsai.
4. Imamah wanita dengan khunsa artinya khunsa
boleh menjadi imam sholat bagi wanita.
5. Imamah wanita dengan wanita artinya wanita boleh
menjadi imam sholat bagi wanita.
Adapun imamah yang dilarang menurut Syekh Nawawi ada
empat, yaitu :
1. Imamah laki laki dengan wanita artinya wanita
tidak boleh menjadi imam sholat bagi laki laki.
2. Imamah laki laki dengan khunsa, artinya khunsa
tidak boleh menjadi imam sholat atas laki laki. Kecuali khunsa itu adalah
khunsa yang telah jelas kelaki lakiannya yaitu ia lebih dominan pada laki laki
maka bermakmum padannya dihukumi makruh.
3. Imamah khunsa dengan wanita, artinya wanita
tidak boleh menjadi imam sholat atas khunsai. Tetapi apabila wanita menjedi
imam sholat atas khunsa yang lebih dominan ke perempuan adalah makruh.
4. Imamah khunsa dengan khunsa, artinya khunsa
tidak boleh menjadi imam sholat atas sesama khunsanya.
Jadi kesimpulan pembagian yang dilakukan oleh
Imam Nawawi hanya membolehkan wanita menjadi imam sholat atas sesama wanitanya
saja dan wanita tidak boleh menjadi imam sholat atas laki laki maupun khunsa(yang
lebih dominan pada laki laki).
Hal ini sejalan dengan Mazhab Syafi’i, Wanita boleh
menjadi imam atas sesama wanitanya berdasarkan atas hadis Nabi yaitu :
امتنا عاءشة فقامت بينهن في الصلاة المكتوبة[15]
Mengenai hukum wanita menjadi imam sholat atas laki laki atau khunsa Nawawi bependapat bahwasanya
wanita tidak sah menjad imam sholat bagi laki laki maupun khunsa. Syekh Nawawi
dalam hal ini berijtihad dengan merujuk pada hadis Nabi SAW, yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari, yakni :
لن يفلح قوم ولوا امر هم امر ء ة[16]
·
Hukum Wanita
Menjadi Imam Sholat Menurut T.M. Hasbi ash-Shiddieqy
Hasbi dikenal sebagai tokoh pemberharu yang tidak terbelenggu pada
pemikiran satu Mazhab dan gagasan gagasannya tentang hukum islam berupaya
membangun sebuah pemahaman fiqh
bernuansa Indonesia sehingga oleh Nouruzzaman ash-Shiddieqy beliau
disebut sebagai penggagas fiqh Indonesia. Dalam melakukan ijtihad, terutama
dalam hal hukum hukum yang telah ada ketetapannya ia melakukan metode komparasi
yaitu membandingkan pendapat pendapat yang ada kemudian mengambil pendapat yang
paling mendekati kebenaran dan mendukung oleh dalil dalil yang kuat, Begitu
pula dalam masalah imam sholat ini.
Dalam bukunya Pedoman sholat, Hasbi memaparkan berbagai pendapat yang ada
tentang hukum wanita menjadi imam sholat kemudian ia mentarjih pendapat
pendapat tersebut setelah melakukan pengkajian terhadap dalil dalil yang mereka
pergunakan. Hasbi berpendapat bahwasanya wanita wanita yang menghadiri jamaah
bersama laki laki dan diimami oleh laki laki adalah suatu kebajikan, karena
sejarah dan riwayat membuktikan
Bahwasanya wanita wanita di zaman Nabi SAW turut sholat bersama
Nabi baik diwaktu siang maupun dimalam hari. Hal ini
diketahui oleh Nabi sendiri dan mencegah para sahabat melarang isteri isteri
mereka pergi sholat berjamaah di malam hari ke masjid.[17]
Menurut Habsy sholatnya para wanita lebih baik di rumah hendaklah ketika
ditakuti timbul fitnah, karena andaikata secara mutlak para wanita lebih baik sholat
di rumah terutama Nabi SAW, tidak berdiam diri mebiarkan perempuan menghadiri
jama’ah di masjid. Maka dalam hal ini
hendaklah para wanita menjauhkan sesuatu yang dapat menimbulkan gairah
orang laki laki kepadanya, baik mengenai pakaian maupun parfum yang digunakan.[18]
Adapun wanita yang menjadi imam sholat bagi laki laki, Hasby sependapat
dengan al-Muzani, Abu saur, Ibnu Jarir, as-Sana’ni, dan asy-Syaukani bahwasanya
wanita boleh menjadi imam atas laki laki.[19]
Tetapi Hasbi tidak memutlakkan bolehnya wanita menjadi imam sholat bagi laki
laki seperti Abu saur, al-Muzani dan Ibnu Jarir, ia menghususkan bolehnya
wanita menjadi imam sholat bagi laki laki dalam konteks keluarga.
Selanjutnya Hasbi mentakhrij[20]
hadis Nabi dari Ummu Waraqah, yang diriwayatkan oleh Abu Daud tentang bolehnya wanita menjadi imam sholat
bagi ahli rumahnya dan hadis Nabi SAW.
Hasbi berpendapat bahwasannya selain Abu Dawud, hadis ini juga oleh Ibnu
Sakan dari jalam Muhammad ibn Fudail dan diriwayatkan juga oleh Abu Nu’man,
Ibnu Mandah dan oleh Ad-Daruqutni. Dan menirut Abu Daud sanad hadis ini adalah
: Abu Dawud menerima dari utsman ibn Syaibah yang menerima dari Abdurrahman ibn
Khallad Al-Ansari yang menerima dari Ummu Waraqah.[21]
Menurut Hasbi Utsman ibn Abi Syaibah dan Waki’ ibn Jarrah tak perlu diterangkan
siapa mereka, karena mereka lebih terang dari matahari di hari terik. Yang
perlu diterangkan hanya al-Walid dan Abdurrahman. Al-Walid adalah orang yang
dipercaya oleh Ibnu Ma’in, Al-Ajali, Ahmad dan Abu Zur’ah. Sedangkan
Abdurrahman ibn Khallad al-Ansari adalah seorang yang dipercaya oleh Ibn
Hibban.[22]
Jadi berdasarkan paparan diatas menjadi jelas bahwasanya Hasbi berpendapat
bahwasanya wanita boleh menjadi imam sholat bagi ahli rumahnya meskipun ada
yang laki laki, berdasarkan hadis Nabi SAW, yang diriwayatkanoleh Abu Dawud
dari Ummu Waraqah tersebut. Kata kata ahli rumahnya mencakup orang tua,
saudara, anak, istri dan suami serta pembantu. Jadi kalau memang wanita yang
paling patut untuk menjadi imam dalam sebuah keluarga maka hal itu dibolehkan
menurut Hasbi ash-Shiddieqy.
Adapun syarat syarat minimal seorang menurut
Hasbi adalah :
1. Sanggup menunaikan sholat. Maka jika dengan
tiba tiba datang gangguan, hendaklah ia menggantikan dirinya dan mundur ke
dalam saf.
2. Mengetehui hukum sholat. Artinya mengetehui
sah tidaknya sholat dalam segala sudut.
3. Mempunyai hafalan yang kuat.
4. Tidak cacat bacaan al-Qur’annya. Jika cacatnya
tidak merusak makna maka ia sah menjadi imam sholat.
Menurut referensi hadis ini diriwayatkan melalui 5 jalur periwayatan.
Kelima jalur tersebut menggunakan redaksi yang agak berbeda tetapi tidak sampai
merusak makna.
Untuk membuktikan apakah hadis tersebut maqbul atau tidak
maka akan dilakukan jarh wa ta’adil kepada para rawi yang membangun hadis
tersebut. Untuk memudahkan dalam memahami analisa sanad tersebut, maka saya
hanya akan mengambil satu jalur periwayatan saja dari 5 jalur sanad yang ada
yaitu riwayat Abu Dawud.
Adapun sanad yang membangun hadis ini adalah :
NO.
|
NAMA PERIWAYAT
|
URUTAN PERIWAYAT
|
URUTAN SANAD
|
1.
|
Ummu Waraqah
|
I
|
V
|
2.
|
Abdurrahman Ibn Khallad
|
II
|
IV
|
3.
|
Walid ibn Jami’
|
III
|
III
|
4.
|
Muhammad ibn Fudail
|
IV
|
II
|
5.
|
Hasan ibn Hammad
|
V
|
I
|
6.
|
Abu Dawud
|
VI
|
Mukharrij
|
1. Ummu Waraqah
Beliau adalah salah seorang sahabat Nabi dan diberi gelar
oleh Rasulullah sebagai Syahidah. Beliau meriwayatkan hadis dari Nabi dan
muridnya antara lain adalah Abdurrahman ibn Khallad. Kualitas kesiqahannya
tidak perlu dibicarakan lagi karena semua sahabat adalah adil.
2. Abdurrahman Ibn Khallad
Beliau meriwayatkansejumlah hadis dari Ummu Waraqah.
Muridnya antara lain adalah al-Walid ibn Abdullah ibn Juma’il. Beliau adalah
siqah menurut Ibnu Hibbah.[23]
3. Walid ibn Juma’
Beliau meriwayatkan hadis dari Abdurrahman ibn Khallad,
Abu Tufail dan sebagainya. Sedangkan periwayat lain yang mengambil darinya
adalah Waqi’, Yahya al-Qattan dan sebagainya. Ibnu Ma’in dan al’Ajliy
mengatakan bahwasanya beliau adalah seorang yang siqah.
4. Muhammad ibn Fudail
Beliau meriwayatkan hadis dari sejumlah guru antara lain
Walid ibn Juma’i sedangkan muridnya antara lain adalah Hasan ibn Hammad. Beliau
adalah siqah menurut Yahya ibn Ma’in, sedangkan an-Nasa’i berpendapat
bahwasanya beliau laisa bihi ba’sum.
5. Hasan ibn Hambal
Beliau meriwayatkan hadis dari Muhammad ibn Fudail dan
muridnya adalah antara lain Abu Dawud dan Ibnu Majah. Beliau adalah siqah
menurut al-Khatib.
6. Abu Dawud
Beliau adalah siqah dan tidak satupun ulama yang
menilainya negatif. Al-hakim menyebutnya bahwasannya Abu Dawud dapat menghafal
100.000 hadis.
Untuk melihat adanya persambungan sanad maka
dapat dilihat dari segi kualitas perawinya dalam sanad yaitu dengan cara
melihat kesiqatannya tanpa adanya tadlis dan sah menurut tahammul wa al-ada’[24]
serta hubungannya dengan periwayat terdekat.[25]
Berdasarkan penjelasan di atas antara
Rasulullah SAW dengan Ummu Waraqah tidak diragukan lagi persambungannya. Dalam
pandangan ulama hadis hadis yang dikemukakan oleh Ummu Waraqah diberikan
langsung kepada Abdurrahman ibn Khallad dan ada juga yang mengatakan melalui
Laila bin Malik. Berdasarkan adanya pengakuan bahwa keduannya ada hubungan guru
dan murid serta siqat yang digunakan dalam menerima dan meriwayatkan hadis
dapat dikatakan keduannya bersambung. Demikian terhadap murid Abdullah ibn
Khallad, Walid ibn Abdullah dapat dikatakan barsambung dengan pertimbangan yang
sama.
Sedangkan hubungan antara Waki’ ibn Jarrah
dengan Walid bin Abdullah terdapat hubungan guru dan murid. Sedangkan Muhammad
ibn Fudail dengan Walid bin Juma’i dapat dikatakan bersambung karena keduanya
ada hubungan guru dan murid. Persambungan sanad antara Muhammad ibn Fudail
dengan Hasan ibn Hammah adalah bersambungdengan pertimbanagan antara keduanya
terdapat hubungan guru dan murid. Pertimbangan sama juga dapat dilakukan pada
Hasan ibn Hammah dengan Abu Dawud.
Jadi berdasarkan kualitas dan persambungan
sanad tersabut di atas dapat disimpulkan bahwa seluruh periwayat yang terdapat
dalam sanad Abu Dawud bersifat siqah dan sanadnya bersambung dari periwayat
pertama yaitu Ummu Waraqah sampai periwayat terakhir. Keberadaan sanad Abu
Dawud ini semakin kuat dengan adanya dukungan muttabi pada peringkat kelima.
Dengan adanya pertimbangan sanad, persambungan sanad dan adanya muttabi pada
peringkat kelima maka dapat disimpulkan bahwa sanad Abu Dawud terhindar dari
Syaz dan ‘illat. Maka berdasarkan data tersebut penyusun berkesimpulan bahwasanya
hadis tersebut adalah hadis sahih lizatihi.
Berdasarkan data tersebut pula, maka tidak
mengherankan kalau Ibnu Khuzaimah dan Hasbi ash-Shiddieqy berpendapat kalau
hadis tersebut adalah sahih karena para periwayatnya dalam rangkaian sanad
tersebut siqah semuanya dan periwayatanya bersambung dari periwayat pertama
sampai terakhir (mukharrij al-hadis). Jadi hadis ini dapat dijadikan hujjah
hukum karena hadis tersebut adalah hadis sahih.
F.
Tahlil al hadis
Masih ingatkah dengan kejadian yang
membuat gencar dunia kala itu terlebih bagi kaum muslim dunia, ya benar,
tersiat kabar bahwa seorang wanita bernama Amina Wadud, profesor tamu di
jurusan studi Islam, Virginia Commonwealt University AS telah mengimami sholat
Jumat dan berkhotbah di New York, sekitar tahun 2005. Sholat Jumat ini
berlangsung di gereja Anglikan, Manhattan, New York, AS yang safnya pun campur
antara laki laki dan perempuan.
Ia merupakan salah satu tokoh
panutan para pengiat isu Feminisme yang oleh Luthfi Assyaukanie, Amina Wadud
disebut sebagai srikandi srikandi Islam yang layak menjadi role model begi
perempuan Muslim di dunia modern.
Isu feminisme memang sedang hangat
dibicarakan dan digembor gemborkan oleh para pengiatnya. Jika maksud dari
feminisme adalah memerdekakan wanita dari segala bentuk kedzaliman, tentu itu
tindakan yang baik. Dan itulah misi Islam semenjak muncul berpuluh abad yang
lalu. Tapi nyatanya feminisme telah diarahkan untuk menghancurkan sendi sendi
Islam dan menggugatnya karena beranggapan behwa ada ketidak adilan dalam Islam
kepada wanita.
Menariknya, tak sedikit para pengiat
feminisme mencari legitimasi hadis hadis Nabi atau pendapat para Ulama klasik
untuk membenarkan apa yang mereka perjuangkan. Maka dari itu kita harus
memandang hal ini jangan dari sisi jelaknya tapi dari sisi lain yang menjadikan
hukum itu diperbolehkan karena menarik untuk disimak kelanjutannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadis riwayat a-Bukhari dan Abu Dawud adalah
hadis sahih yang sekilas tampak bertentangan. Pertentangan kedua dalil itu
dapat dikumpulkan dan dikompromikan. Hadis riwayat al-Bukhari berbicara dalam
konteks imam sholat secara umum dimana laki laki yang bukan muhrim seperti di
masjid dan lain lain. Jadi hadis ini menjadi hujah hukum atas larangan wanita
menjadi imam sholat di tempat umum. Sedangkan hadis riwayat Abu Dawud berbicara
dalam konteks keluarga bukan dalam konteks yang umum karena disebutkan dalam hadis
tersebut bahwasanya Ummu Waraqah menjadi imam sholat bagi ahli rumahnya
meskipun ada laki laki dengan syarat wanita itulah yang paling patut menjadi
imam. Jadi hadis al-Bukhari dikhususkan oleh hadis Abu Dawud sehingga duannya tidak bertentangan dan dapat
diamalkan secara bersama sama.
B. Saran-Saran
Setelah melalui proses pencarian informasi mekalah ini
saya sadar bahwa perlu ada perbaikan setelah ini yakni :
a. Perlu penelitian yang lebih komperhensip
mengenai hukum wanita menjadi imam sholat, sehingga mampu memberikan informasi
yang utuh dan tidak menyimpang dari kaidah hidup manusia di era modern ini.
b. Kajian ini dirasakan jauh dari sempurna, maka
diharapkan adanya kajian lebih lanjut melalui makalah makalah yang akan datang,
dengan harapan akan menimbulkan wacana pemikiran yang mencerdaskan dan berguna
bagi kehidupan yang bermartabat, bernuansa islami dan penuh keharmonisan antar
pemeluk agama Islam pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqallany, Ibnu Hajar, Fath al-Bari, Beirut
: Dar al-Fikr, t.th.
Abu Dawud, Sulaiman ibn al-Asy’as, Sunan Abi
Dawud, 4 jilid, Beirut : Dar al-Fikr, 1994.
Al-Bukhari, Muhammad ibn Isma’il, Sahih
al-Bukhari, 4 jilid, Beirut : Dar al-Fikr, 1981.
Ibn Majah, Sunan Ibnu Majah, Beirut : Dar
al-Fikr, t.th.
An-Nasai, Sunan an-Nasa’i, 5 jilid, , Beirut :
Dar al-Ma’rifah, 1991.
Ash-San’any, Muhammad bin Ismail, Subulussalam, Beirut : Dar al-Kutub
al-Islamiyah, t.th.
At-Tirmizi Muhammad ibn ‘isa, Sunan at-Tirmizi,
5 jilid, Beirut : Dar al-Fikr, t.th.
Jabar, Sa’di Husein Ali, Fiqh Imam Abi Saur,
Beirut : Dar al-Furqan, 1983
Kodir, Faqihuddin Abdul MA. (ed), Fiqh
Perempuan : Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender, cet. 2, Yogyakarta :
LKIS, 2002.
Khairin, Drs. Nur M.Ag., Telaah terhadap
Otentisitas Hadis Misogini : Takhrij Terhadap Hadis Hadis yang Membenci
Peremouan, Laporan Penelitian tidak diterbitkan, Semarang : IAIN Walisongo,
2000.
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Ilmu Ilmu al- Qur’an,
Jakarta : Bulan Bintang, 1993
Muhibbin, Drs. M.A., Hadis Hadis Politik,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996
An-Nawawi, Syekh, Kasyifatu asy-Saja, Semarang
: Karya Putra, t.th.
An-Nawawi, Syarafuddin, al-Majmu’ Syarh al-
Muhazzab, Jeddah : Maktabah al-Irsyad, t.th.
Ash-Shiddiqy, Prof. Dr. T.M. Hasbi, Pedoman
Sholat, Jakarta : Bulan Bintang, 1983.
Ismail, DR. Muhammad Syuhudi, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi, cet. 1, Jakarta : Bulan Bintang, 1992.
[1] Abu Daud, Sunan Abi Daud, “Bab Imamah
al-Nisa”, hadis nomor 592
[2]
Diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa’I, dan telah
disebutkan pada bab 29 no. 2
[3] Abu Bakar al-Qathai, Munad Ahmad bin
Hambal, juz. V, hlm. 38.
[4] Abu Daud, Sunan Abi Daud, “Bab
Imamah al-Nisa”, hadis nomor 592. Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud dari
Usman bin Abi Syaibah Waki’ bin Jarrah
[5] Muhammad bin Ismail Ash Sana’ny, Subul
as-salam, hlm. 76
[6] Sa’adi Husain Ali Jabar, Fiqh Imam Abi
Saur, hlm. 227
[7] Abu Bakar al-Qathai, Munad Ahmad bin
Hambal, juz. V, hlm. 38.
[8] Nur Khairin, “laporan Hasil Penelitian
tentang Telaah terhadap Otentitas hadis hadis Misogini”, hlm. 71.
[9] KH. Husein Muhammad, Fiqh Perempuan : Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,
diedit oleh Faqihuddin Abdul Qadir, M.A. cet. 2, hlm. 150.
[10] Hasbi ash-Shiddieqy, ilmu ilmu al-Qur’an,
cet. 3, hlm. 51.
[11] Muhibbin, Hadis Hadis Politik, cet. 1,
hlm. 76
[12]Yusuf Qardhawi,
Fatwa Fatwa Kontemporer, hlm. 545.
[13] Syekh Nawawi al-Bantani, Tausyih ‘ala Fath
al-Qarib al-Mujib, hlm. 72-73
[14] Syekh Nawawi, Kasyifatu as-Saja, hlm. 89
[15] Syarafudin an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh
al-muhazzab, hlm. 199. Hadis sahih diriwayatkan oleh Baihaqi dan Addaruqutni
[16] Al-Kirmany, Sahih Abi al-Bukhari, “Bab
al-Fitan”, jus 24 : 173. No 6671. Hadis sahih riwayat Bukhari dari Abi Bakrah.
[17] Hasby ash-Shiddiqy, Pedoman Sholat, hlm.
443
[18] Ibid., hlm. 444
[19] Ibid., hlm. 447
[20] Takhrij hadis adalah penelusuran
atau pencarian hadis pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadis yang
bersangkutan yang di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan
sanad hadis yang bersangkutan.
[21] Hasby ash-Shiddiqy, Pedoman., hlm. 446
[22] Ibid., hlm. 447
[23] Ibn Hajar al-Asqalani, Tahzib al-Tahzib, juz. VI, HLM. 154
[24]
Adalah penerimaan dan penyampaian hadis
[25] M. Syuhudi Ismail, kaidah kesahihan sanad
hadis: telaah kritis dan tinjauan dengan pendekatan ilmu sejarah, cet.II, hlm.
85-118
Perempaun Menjadi Imam Sholat
4/
5
Oleh
Unknown