Pertimbangan Hukum Membuat Kajian Filsafat Wajib
A.
Pendahuluan
Manusia lahir di dunia ini dengan
membawa tiga kemampuan, sifat tersebut dapat saling mendominasi tergantung dari
kemampuan kita dalam menggunakannya. Kemampuan pertama adalah akal, dewasa ini
akal sering dilebih lebihkan dan bahkan banyak para ilmuan yang atheis karena
mereka menganggap kebenaran akallah yang dapat dibuktikan secara ilmiah dan
juga rasional, sedangkan kebenaran teologi hanya sebatas dugaan saja dan tidak
dapat dijangkau oleh akal. Akibat rasa puas akan apa yang mereka dapatkan
inilah filsafat sekarang menjadi terpisah antara agama, padahal keduanya saling
mengisi sehingga menjadikan kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan dengan
landasan akidah yang kokoh. Kemampuan kedua adalah nafsu, seseorang yang dalam
kehidupannya merasa kekurangan akanmaterial, kekayaan, jabatan berarti dirinya
diberbudak oleh nafsu, bahkan Imam Al-Ghozali memberikan kita pelajaran akan
hal itu, menurutnya yang terbesar di dunia adalah nafsu. Mereka merasa kurang
akan nikmat yang telah Allah karuniakan kepada mereka. Kemampuan ketiga adalah
hati, tak banyak yang dapat menggunakan kemampuan ini sebagai landasan
mendapatkan kebenaran. Hati seseorang mencerminkan akhlaqnya dan juga perkataan
hati tidak dapat berbohong. Dalam memikirkan tentang penciptaan alam atau zat
Allah tidak bisa kita hanya menggunakan akal semata, tetapi juga harus dengan
hati, karena dalam hati itulah terpancar sinar sinar harapan yang haq dari sang
pemilik kebenaran yakni Allah.
Namun kita melihat di masa sekarang
ini ketiga kemampuan yang telah Allah berikan tersebut kurang dapat
dimaksimalkan secara bijaksana. Terlebih kemampuan akal (Rasional). Akal dalam
hubungannya dengan hukum terlebih hukum fiqih saling kait mengait menurut Ibnu
Rush. Di dalam memutuskan suatu masalah hukum syar’i peran akal sangat
dibutuhkan diranah ijtihad, dari hal ijtihad tersebut diperoleh dzan dzan yang
memungkinkan terkandung kebenaran.
Tulisan sederhana ini bertujuan
tujuan untuk mereview pemikiran Ibnu Rush mengenai hubungan antara filsafat
dengan agama dalam hal yang lebih spesifik lagi yakni nalar dan hukum terhadap
proses kajian filsafat dan memberikan sedikit catatan terhadap pemikirannya
yang sangat mashur dan brilian tersebut.
B.
Pokok Pokok
Pemikiran
Dalam sebuah karyanya yang termuat
dalam kitab fasl al maqal karangan Ibnu Rush yang kemudian diterjemahkan oleh
George F Hourani mengenai harmoni antara Filsafat dan Agama di dalamnya
terpapar jelas beberapa pemikiran dari Ibnu Rush mengenai hunungan antara
Filsafat dan Agama.
Analisa yang akan saya paparkan
adalah yang terdapat pada Bab 1yakni membicarakan tentang Hukum membuat
filosofi studi wajib. Wajib disini diartikan sebagai sebuah upaya untuk
menggali pengetahuan yang bersumber pada hukum Al Qur’an dengan menggunakan
sebuah penalaran baik berupa akal dengan intelektualnya maupun dengan hukum
sendiri. Juga dikenal dengan adanya refleksi yang berkebutuhan mendesak dengan
menggunakan penalaran akal yang disebut demonstratif yang timbul karena desakan
hukum sehingga yang ingin mengetahui dan mempelajari tentang hukum maka wajib
menggunkan dasar dasar berupa penalaran dan lainnya.
Kewajiban juga untuk mempelajari
bagaimana cara berlogika agar pemikiran dalam beragama semakin dalam dengan
menggunakan berbagai macam pertimbangan yang kemungkinan akan terjadi, dan
dalam mempelajari logika kita berguru pada masa kuno sebagai landasan pijakan
dalam berlogika. Juga terhadap UU harus berpijak pada penalaran intelaktuan
sehingga dapat menemukan pertimbangan pertimbangan hukum. Untuk menguji apakah
valid atau tidak valid perlu adanya pengetahuan dari para pendahulu kita yang
telah mengkaji tentang subyek, apabila benar maka kita terima dan apabila
keliru maka kita harus memberi perhatian. Makanya salah jika kita menyalahkan
studi filsafat kuno.
Setelah mengkaji tentang filsafat
kuno dengan penalaran dan silogismenya maka harus diperiksa secara berkala
mengenai implementasinya bahwa tidaklah meragukan bahwa para ilmuan kuno telah
menemukan kebenaran yang diakui secara luas entah melalui wahyu atau kekuatan
penalaran dengan perhitungan geometri dan matematika mereka yang sangat luas,
dan apabila ada segolongan orang yang tidak setuju akan ukuran atau ketentuan
tersebut maka mereka hanya akan mendapat cibiran karena sulit bagi mereka untuk
mencoba membuktikannya kembali.
Maka secara gamblang Ibnu Rush telah
memberikan arahan pada kita apakah itu diterima oleh zaman sekarang atau tidak
keduanya telah dimaafkan olehnya. Untuk setiap Muslim UU telah memberikan
kebenaran sesuai dengansifatnya melalui demonstartif, dialektis atau retoris
mode. Tentu cara cara ini harus dilakukan dengan cara yang baik agar panggilan
Islam semakin menyebar keseluruh dunia.
C.
Analisa dan
Kritik
Mengenai hubungan antara filsafat
dan agama bahwa diantara keduanya agama dan filsafat seperti dua saudara yang
meminum pada satu jenis susuan keduanya sama sama bertujuan membentu
menyelamatkan dan membahagiakan umat manusia, oleh karena itu untuk memahami
agama sangat diperlukan pandangan pandangan filsafat.[1]
Masuk kepada ranah analisa yakni
mengenai Hukum membuat studi filisofis wajib. Hukum disini adalah refleksi
terhadap gejala yang ada sehingga muncul desakan kepada kita untuk mengkaji
filsafat. Denga upaya filsafatlah kebutuhan akan kebenaran dapat kita ketahui
dengan adanya rasa ingin tahu maka muncullah pengetahuan.
Pengetahuan menurut Al-Kindi dibagi
kedalam pengetahuan ilahi dan manusiawi. Pengetahuan ilahi merupakan
pengetahuan yang bersumber langsung dari Allah, yang biasanya ditunjukan kepada
nabi. Jadi, pengetahuan model ini memegangkeyakinan atau iman sebagai
prinsipnya. Model pengetahuan kedua dimaknai sebagai pengetahuan manusiawi atau
falsafati, dimana rasionalitas menjadi tolak ukurnya.[2]
Filsafat memiliki orientasi untuk
mempelajari alur cipta dari ciptaan Allah, Tuhan semesta alam. Segala sesuatu
yang tercipta dipelajari oleh manusiasecara parsial dari satu generasi ke
generasi selanjutnya, dari tahu kepada tahu untuk membuka tahu itu secara utuh,
akan tahu itu sendiri. Adapun kronologinya daat diamati pada urutan berikut :
1) Semesta, 2) kehidupan, 3) rahasia alam, 4) perenungan, 5) pengetahuan
filsafat akan melahirkan pengetahuan ilmiah, 6) pengetahuan baru.[3]
Sedangkan apabila kita mebicarakan
tentang hukum maka selalu melekat dibenak kita mengenai apa itu hukum dan
bagian bagian apa saja yang terdapat didalamnya, mengenai hukum sendiri tak
lepas dari sistem hukum atau kesatuan dan komponen yang turut membangun baik
itu struktur, kultur dan substansi hukum itu sendiri, yang tentu dengan
berlandaskan pada asas moral dan rasional. Dari keseluruhan tersebut tercipta
suatu tujuan yang mulia yakni menciptakan rasa ketaatan dan kepatuhan kepada
hukum.
Masuklah kita kepada kritik terhadap
pandangan Ibnu Rush mengenai kebenaran yang harus beredoman pada penalaran
demonstratif, dialektis atau metode retoris. Berpikir merupakan suatu kegiatan
untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut benar bagi seseorang
belum tentu benar bagi orang lain. Karena itu, kegiatan berpikir adalah usaha
untuk menghasislkan pengetahuan yang benar itu atau kriteria kebenaran.pada
setiap jenis pengetahuan tidak sama kriteria kebenarannya karena sifat dan
watak pengetahuan itu berbeda. Pengetahuan tentang alam metafisika tentunya
tidak sama dengan pengetahuan tentang alam fisik. Alam fisik pun memiliki
perbedaan ukuran kebenaran bagi setiap jenis dan bidang ilmu pengetahuan.[4]
Umat Islam harus berijtihad[5]
sesuai dengan keyakinan masing masing dengan berdasarkan pada landasan landasan
ulama dahulu, karena perkembangan problematika semakin kompleks dan mendalam
maka ijtihad kita harus bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan
permasalahan hukum khususnya dalam menggali pengetahuan akan kebenaran yang
terdapat dalam al-Qur’an. Sekarang yang harus kita pahami adalah bagaimana
menemukan kebenaran ilmu penegtahuan dengan menggunakan landasan epistimologi,
sebab dengan itu kita dapat mengetahui asal mula hukum sehingga muncul keyakinan
dan kepercayaan untuk patuh pada hukum yang ada. Dengan cara berfilsafat kita
tahu asal muasal hukum yang benar juga harus paham ranah epistemologi hukum
Islam. Jadi kajian filsafat wajib[6]
adanya karena ada dorongan hukum, dan saya sepakat mengenai pendapat Ibnu Rush,
tetapi yang perlu dikritisi disini adalah mengenai penemuan kebenaran yang
harus menggunakan metode metode yang tepat sesuai dengan perkembangan zaman dan
juga metode tersebut tidak mudah untuk disalah gunakan.
Menurut pandangan yang benar bahwa
segala sesuatu wajib dikembalikan kepada dasarnya atau landasan fundamental
hukum itu sendiri ;
a.
Kebebasan
Seorang Muslim atau masyarakat Muslim perlu membangun realitas
sosial dan peraturan peraturan hukumnya melalui cara cara yang damai dan sesuai
dengan peraturan yang berlaku tanpa meninggalkan nilai nilai agamanya. Dengan
berangkat dari kesadarannya sendiri dan realitasnya sendiri, seorang Muslim
atau masyarakat Muslim perlu menentukan sendiri jalan metodologis dan tujuan
yang hendak ditempuh tanpa harus terikat dengan jalan metodologis dan tujuan
hukum yang dibangun oleh ulama ulama tradisional. Dengan jalan seperti ini,
mereka sebagai Muslim sekaligus telah meletakkan “kebebasan untuk” yang
prospektif bagi dirinya karena semua problem yang dihadapi berangkat dari
kreatifitas dan kesadaran sendiri, baik dalam menentukan cara maupun tujuannya.[7]
Jadi prinsip kebebasan disini dibatasi
oleh diri kita sendiri, boleh kita berdemonstrasi asal tidak melebihi batas.
Teori Ibnu Rush tentang demonstratif dalam menemukan kebenaran malah disalah
gunakan oleh orang orang Eropa, karena mereka hanya mengandalkan akal yang liar
tanpa mempedulikan nilai nilai agama didalamya. Begitu pula dengan negara kita
dengan julukan negara demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai posisi yang
penting, tetapi dalam perkembangannya tidak sesuai dengan kenyataan kerena
mereka tidak menggunakan nilai nilai dasar agama sebagai batasan mereka dalam
menyampaikan kebenaran yang menurut mereka benar.
Konsep An-Naim juga menjelaskan bahwa
kebebasan jenis ini menunjukan pada bagaimana umat Islam dapat mempertahankan
nilai nilai keislamannya ditengah tengah arus kemodernan. Untuk itu, ia
berusaha membebaskan diri dari realitas hukum Islam tradisional yang sudah
tidak bisa diterapkan di masa kini. Jawaban ini sekaligus merupakan salah satu
bentuk pertahanan diri dari serangan arus modernis yang tidak bisa diselesaikan
dengan cara cara tradisional, yakni teori berfikir dogmatik.[8]
b.
Kemanusiaan
Islam adalah agama yang mebawa misi pembebasan dan keselamatan.
Islam hadir di muka bumi dalam rangka memberikan moralitas baru bagi
transformasi sosial. Islam dianggap sebagai sumber moral disebabkan ajarannya
yang metafisik dan humanis. Islam tidak hanya mengajarkan ajaran yang bercorak
vertikal, tetapi juga membawa ajaran yang bercorak horizontal. Islam dianggap
sebagai ajaran karena bersumber dari Allah dan berorientasi pada kemanusiaan.
Dengan dasar ini, Islam adalah agama yang tidak hanya mebawa wahyu ketuhanan,
tetapi sekaligus menegakkan dan menjunjung tinggi nilai nilai kemanusiaan.[9]
Metode retoris dalam pendapat Ibnu Rush harus mengedepankan pada
aspek aspek kemanusiaaan dimana ada saling menghargai antara sesama Muslim,
inilah yang mulai hilang di zaman sekarang dimana tidak ada lagi rasa hormat
kepada orang lain dalam bermusyawarah. Kita sebagai seorang Muslim juga harus
mengedepankan sikap keterbukaan antara sesama umat beragama dan tanpa adanya
diskriminasi satu sama lain.
c.
Kontrak Sosial
Dalam kehidupan
saat ini, manusia dituntut untuk hidup bersama dan sekaligus bekerjasama dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Kepentingan inilah yang menuntut adanya kontrak
sosial untuk menjamin kepentingan setiap orang atau individu dalam sebuah
komunitas tanpa adanya pihak lain yang harus dikorbankan. Ini berarti bahwa
umat Islam tidak akan dapat menciptakan kekuatan konstruktif dan dinamis bagi
kelangsungan hidupnya tanpa adanya kemampuan dalam memadukan dan mengendalikan
kekuatan yang terpisah pisah itu kedalam suatu gabungan yang cukup kuat untuk
mengatasi setiap tantangan, sehingga kekuatan mereka diarahkan oleh dorongan
tunggal dan serentak.[10]
Prinsip kontrak
sosial lagi lagi mengauatkan teori yang dibuat oleh Ibnu Rush mengenai
kebenaran harus berdasarkan dialek. Jadi dialek disini adalah antara penguasa
dan rakyat harus bekerjasama dalam menemukan metode yang cocok untuk menemukan
sesuatu aturan yang benar demi terlaksananya kebijakan kebijakan yang akan
keluar. Tentu dengan mengutaakan juga prinsip prinsip yang ada diatas karena
merupakan satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan dalam fundamental hukum
yang dinamis dan fleksibel.
D.
Penutup
Studi terhadap filsafat wajib adanya
dalam upaya untuk menggali hukum hukum yang sesuai dengan perkembangan zaman,
dengan tradisi sekarang kita hanya meneruskan apa yang telah ditemukan oleh
para filosof filosof Eropa dan Islam, tetapi kita juga harus mengkajinya secara
mendeail dengan cara menambahkan apa yang kurang dari kajian tersebut. Sebut
saja Ibnu Rush sebagai salah satu tokoh filsafat tidak ada yang kurang dari
pemikirannya yang jenius, tetapi kita juga dituntut untuk mengkritisi baik
berupa tambahan atau kritik yang membangun agar dapat mencapai tujuan yang sama
yakni memajukan peradaban.
Pemikiran Ibnu Rush mengenai
pengetahuan yang dapat dibuktikan kebenarannya dengan berpedoman pada penalaran
demontratif, diakletis, atau metode retoris telah terbukti memberikan sumbangan
yang berharga bagi kemajuan zaman khususnya di Eropa, tetapi corak tersebut
kurang sesuai dengan kebenaran Islam karena dalam Islam harus ada pemahaman
luhur mengenai nilai nilai agama yang tidak ditemukan di Eropa. Dan pada
konteks masyarakat Muslim sekarang cenderung belum beralih dari kebenaran yang
sifatnya tekstual, sehingga sulit untuk menemukan kebenaran yang sesuai demi
kemajuan peradaban Islam. Maka muncullah pembaharu dan para pemikir yang
diharapkan dapat meneruskan pemikiran filosof Muslim terdahulu.
Pembaharuan yang harus dilakukan
yakni memberikan landasan berpikir yang jelas dengan menggunakan epistemologi
Islam meliputi sumber, metode, dan aplikasinya harus jelas yang jelas terdapat
dalam al-Quran dengan melalui proses ijtihad yang sesuai dengan perkembangan
masyarakat Muslim sekarang ini.
Pembaharuan selanjutnya dari
pemikiran Ibnu Rush adalah dengan kembali ke landasan dasar hukum itu sendiri
yang lebih mencerminkan kebebasan, kemanusiaan, dan kontrak sosial tentu dengan
melihat sejarah yang timbul dari masing masing landasan dasar dan disesuaikan
dengan konteks Islam sekarang ini sehingga kita dapat menemukan hukum yang benar
benar sesuai dengan keadaan Muslim sekarang ini demi kemajuan peradaban Islam
yang harmoni dengan segala bidang studi khususnya filsafat.
DAFTAR PUSTAKA
Asmawi.
2009. Filsafat Hukum Islam. Yogyakarta: Teras, Cet. 1.
Bakhtiar,
Amsal. 2007. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT Raja GrafindoPersada.
Erwin,
Muhamad. 2012. Filsafat Hukum: Refleksi Kritis terhadap Hukum. Jakarta:
Rajawali Pers. Cet. 2.
Dahlan,
Moh. 2009. Abdullah Ahmed an-Nai’im: Epistemologi Hukum Islam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. 1.
[1]
Asmawi, Filsafat Hukum Islam, Cet. 1, ( Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 6
[2]
Muhamad Erwin, Filsafat Hukum Refleksi Kritis terhadap Hukum, Cet. 2,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hal. 4
[3]
Ibid. hal. 7
[4]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), hal. 111
[5]
Ijtihad adalah mencurahkan segala upaya (daya pikir) secara maksimal untuk
menemukan hukum Islam tentang sesuatu yang belum jelas di dalam al-Qur’an dan
al-hadits dengan menggunakan dalil dalil umum yang ada dalam al-Qur’an,
al-hadits, ijma’, qiyas serta dalil yang lainnya.
[6]
Menurut W. Poespoprodjo, jika dipandang secara subyektif, kewajibanitu
merupakan keharusan moral untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu.
Sementara jika dipandang secara obyektif, kewajiban merupakan hal yang harus
dikerjakan atau tidak dikerjakan.
[7]
Moh. Dahlan, Abdullah Ahmed an-Nai’im: Epistemologi Hukum Islam, Cet. 1,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 219
[8]Ibid.,
220
[9]Ibid.,
hal. 226
[10]Ibid.,
hal. 230
Critical Book Review "pertimbangan hukum membuat kajian filsafat wajib"
4/
5
Oleh
Unknown