08/04/2015

Hukum Kebendaan



Hukum Kebendaan
Pengertian Benda
Secara lazim, benda menurut KUHPerdata disebut sebagai zaak. Pasal 499 KUHPerdata menyatakan bahwa benda adalah tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai hak milik. Ilmu pengetahuan hukum juga memberikan pengertian tentang benda, bahwa yang dimaksud benda adalah segala sesuatu yang dapat menjadi objek hukum dan barang-barang yang dapat menjadi milik serta hak setiap orang yang dilindungi oleh hukum.
Para sarjana juga memberikan pengertian mengenai benda. Berikut ini pengertian benda menurut para sarjana, diantaranya adalah :[1]
1.      Prof. Soediman Kartohadiprodjo
Benda adalah semua barang yang berwujud dan hak (kecuali hak milik)
2.      Prof. Sri Soedewi MS
Benda pertama-tama ialah barang yang berwujud yang dapat ditangkap dengan panca indera, tetapi barang yang tak berwujud termasuk juga benda.
3.      Prof. Subekti
Benda dalam arti luas adalah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh orang, sedangkan perkataan benda dalam arti sempit adalah barang yang dapat terlihat saja.
4.      Prof. L.J. van Apeldoorn
Benda dalam arti yuridis adalah sesuatu yang merupakan objek hukum.

Sehingga pengertian benda dapat disimpulkan bahwa benda itu merupakan segala sesuatu yang menjadi objek hukum serta dapat dihaki oleh setiap orang.
Pengertian Hukum Benda
Hukum Benda adalah terjemahan dari istilah bahasa Belanda, yaitu zaakenrecht. Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo, hukum benda ialah semua kaidah hukum yang mengatur apa yang diartikan dengan benda dan mengatur hak-hak atas benda. Menurut Prof. L.J. van Apeldoorn, hukum benda adalah peraturan mengenai hak-hak kebendaan. Sedangkan menurut Prof. Sri Soedewi, yang diatur pertama-tama adalah mengenai pengertian dari benda, kemudian pembedaan macam-macam benda, dan selanjutnya bagian yang terbesar mengatur mengenai macam-macam hak kebendaan.[2]
Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud hukum benda adalah keseluruhan aturan yang mengatur mengenai benda beserta hak-hak yang melekat atas benda.
Sistem Pengaturan Hukum Benda
Mengenai sistem dalam Hukum Perdata, pada dasarnya menganut 2 (dua) macam sistem, yaitu sistem terbuka dan sistem tertutup. Sistem pengaturan hukum benda itu adalah sistem tertutup. Artinya, orang tidak dapat mengadakan hak-hak kebendaan baru selain yang sudah ditetapkan di dalam undang-undang.[3] Sedangkan sistem terbuka artinya adalah bahwa orang dapat mengadakan perjanjian mengenai apapun juga, baik yang sudah ada aturannya di dalam KUHPerdata maupun yang tidak tercantum dalam KUHPerdata. Jenis perjanjian yang dikenal dalam KUHPerdata adalah perjanjian jual beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, pinjam-meminjam uang, perjanjian kerja, dan pemberian kuasa.[4] Sedangkan perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata misalnya seperti perjanjian franchise, leasing, titip jual, investasi, dan masih banyak lagi. Mengenai perjanjian  yang menganut sistem terbuka ini, setiap orang bebas untuk menentukan perjanjian apapun bentuk dan namanya. Tentunya kebebasan itu sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan, dan ketertiban umum.  
Perubahan dalam Buku II KUHperdata
Ketika membicarakan Hukum Benda sesuai yang diatur dalam Buku II KUHPerdata hendaknya juga dengan melihat ketentuan dalam Undang-undang Pokok Agraria, yaitu UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA yang mulai berlaku sejak tanggal 24 September 1960. Dengan berlakunya undang-undang tersebut memberikan pengaruh perubahan besar terhadap berlakunya Buku II KUHPerdata dan juga berlakunya hukum tanah di Indonesia.[5]
Perubahan besar terhadap berlakunya Buku II KUHPerdata terjadi karena berdasarkan ketentuan UUPA yaitu sebagaimana tercantum dalam dictum dari Undang-undang tersebut menentukan bahwa mencabut ketentuan dalam Buku II KUHPerdata Indonesia sepanjang mengenai bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hipotik.[6]
Sehingga pasal-pasal yang tidak berlaku lagi adalah :[7]
1.      Pasal-pasal tentang benda tak bergerak yang melulu berhubungan dengan hak-hak mengenai tanah.
2.      Pasal-pasal tentang cara memperoleh hak milik melulu mengenai tanah.
3.      Pasal-pasal mengenai penyerahan benda-benda tak bergerak.
4.      Pasal-pasal tentang kerja Rodi (Pasal 673)
5.      Pasal-pasal tentang hak dan kewajiban pemilik pekarangan bertetangga (Pasal 625-672)
6.      Pasal-pasal tentang pengabdian pekarangan (Pasal 674-710)
7.      Pasal-pasal tentang hak postal (Pasal 711-719)
8.      Pasal-pasal tentang Hak Erfpacht (Pasal 720-736)
9.      Pasal-pasal tentang bunga tanah dan hasil sepersepuluh (Pasal 737-755)


[1] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 203
[2] P.N.H. Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 204
[3] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata :Hukum Benda,  Yogyakarta, Liberty, hlm. 13
[4] Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 91
[5] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata :Hukum Benda,  Yogyakarta, Liberty, hlm. 3
[6] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata :Hukum Benda,  Yogyakarta, Liberty, hlm. 3
[7] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata :Hukum Benda,  Yogyakarta, Liberty, hlm. 6

Artikel Terkait

Hukum Kebendaan
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email