22/02/2015

Hukum Civil Law


CIVIL LAW Pada mulanya berasal dari Romawi dan berasal dari bahasa latin yakni “jus civile”, atau juga “jus gentium”. Proses pembentukannya pun memerlukan proses yang sangat panjang. Mengenai hukum sipil muncullah beberapa ide ide pemberharu para ilmuan untuk menciptakan suatu gagasan tentang perubahan revolusi yang akan memajukan peradaban. Ide pertama yang munjul adalah mengenai ide hukum sekuler yang sengaja memisahkan dengan agama atau dalam kata lain adalah tidak ada hubungan dengan tuhan, awal mulanya memang pasrah dengan keadaan alam yang ada, dan semenjak menemukan ilmu pengetahuan, maka pemikiran manusia pada waktu itu cenderung meninggalkan kepasrahan kepada Allah. Misalnya contoh yang sangat berpengaruh dalam penemuan di bidang ilmu pengetahuan adalah penemuan vaksin cacar, yang sangat membantu dalam membasmi penyakit yang terbilang mematikan pada abad tersebut. Dan pada waktu itu maka muncullah kesombongan baru bahwa hukum alam dapat di tundukkan dengan akal manusia dan juga kemajuan ilmu pengetahuan kesombongan dan ego menjadikan pemikiran mereka benar benar terdokrin oleh ide yang mereka ciptakan. Berdasarkan seminar yang saya dengar bahwa kemunculan sekularisme berasal dari kaum kristiani dan menjadi suatu senjata untuk menghancurkan Islam. Dan juga masih banyak lagi contoh contoh kemajuan, misalnya dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi. Telepon misalnya, bagaimana pola perubahan yang tadinya berupa suara sekarang dapat berubah menjadi tulisan yang semakin membuat kita mudah dalam melakukan transaksi dalam arti saling tukar menukar informasi baik itu kabar maupun berita yang penting, bahkan bisa saja untuk tujuan yang dilarang. Inilah yang merupakan dampak dari semakin berkembangnya ilmu pengetahuan di bidang komunikasi yang tadinya SMS serana menjalin silaturahmi sekarang menjadi sarana menuju perselingkuhan. Pada intinya prinsip dari ide hukum sekuler adalah manusia sebagai pencipta hukum. Dan selanjutnya adalah ide yang jauh lebih berkembang bahkan dapat digunakan sebagai sarana untuk meraih kekuasaan. Yakni ide hukum Negara, dengan cara menghancurkan gereja gereja yang menurut mereka yang masih menganut sekularisme dan memang prinsip ini masih ada kaitanya dengan hukum sekuler. Setelah munculnya ide ini maka muncullah pemimpin dalam suatu masyarakat, dalam konteks ini dimana pemimpin yang diangkat juga merupakan pemimpin yang berasaskan sekuler yang lebih menitik beratkan pada keahlian dan keunggulan yang lebih dari orang lain yang ada disekitarnya, pada ide ini tidak mungkin seorang ahli agama atau kyai menjadi pemimpin dimasa ini, coba bayangkan banyak tempat ibadah para kaum nasrani dilenyapkan dan dihancurkan tanpa adanya rasa toleransi dalam beragama sedikitpun. Hukum yang tadinya berasal dari langit atau dari Tuhan ke bumi dengan manusia sebagai objeknya. Sekarang terbalik dari manusia ke Tuhan. Selanjutnya dari kekuasaan tersebut maka muncullah beragam sistem untuk meneruskan kejayaan pemimpin dimasa lalu mereka yakni dengan menerapkan sistem : 1. Feodalisme atau berdasarkan keturunan, dalam tatanan hukum seperti ini juga masih menggunakan prinsip sekuler, dimana tidak ada nilai nilai agama yang ada hanyalah nilai nilai yang berlaku di masyarakat. Jadi lagi lagi hukum berasal dari akal manusia sehingga lama kelamaan muncul legal reasoning atau dalam bahasa indonesianya adalah pengakuan hukum, sehingga timbullah suatu dasar bagaimana hukum tersebut dapat diciptakan oleh penguasa daerah tersebut dan mereka yang ada di dalamnya tunduk oleh hukum yang sudah dibuat. Masyarakat harus mengakui bahwa hukum tersebut adalah benar dan demi tujuan tertentu walaupun hukum tersebut terkadang merugikan bagi masyarakat yang menganutnya. Selanjutnya adalah 2. Hukum negara yang diterapkan dengan kesatuan masyarakat maka terbentuklah Negara yang terdiri dari rakyat, wilayah, kedaulatan, pemerintahan,dan juga pengakuan dari negara lain. Sekali lagi yang menjadi objek dari hukum civil adalah Negara. Maka dari hukum negara munculah teori “legal positivism”, ajaran ini menyatakan bahwa hukum harus dilandaskan pada rasio atau panca indra. Dan dalam rasio tersebut maka pemikiran akan cenderung ilmiah, dengan merujuk bahwa semua kejadian yang berhubungan dengan hukum dalam hal ini misalnya sumpah maka harus ada bukti yang masuk akal. Berdasarkan pemikiran Agus Comte pengetahuan harus berdasarkan ilmu pengetahuan dan dalam ilmu pengetahuan harus dibuktikan dengan adanya riset. Saya tekankan lagi bahwa objek dari legal positivisme adalah Negara dengan sumbernya yakni UUD. Disamping itu maka ada hukum pendamping dari UUD misalnya KUHPer yang dibawa oleh Belanda ke Indonesia. Menurut saya bahwa negara kita termasuk negara yang menganut banyak sistem ketatanegaraan dengan banyaknya sistem yang berlaku serta diterapkanya sistem demokrasi di negara kita menjadikan kita semakin sakit akan luka yang telah melanda negri ini bertahun tahun, perlu adanya sistem hukum yang jelas sebagai ciri khas negara kita.   Mengenai evolusi yang terjadi sebenarnya adalah penjajahan yang dilakukan oleh negara maju kepada negara berkembang, dan didalam penjajahan tersebut negara penjajah akan dengan leluasanya menguasai kita. Misalnya saja ide belanda yang telah berkembang menjadi hukum UUD yang berasal dari keputusan hakim. Tradisi hukum belanda sangat dipengaruhi oleh tradisi hukum Jerman. Di mulai dari VOC yang masuk ke wilayah nusantara mereka pertama kali datang sebagai pedagang dan kemuadian berangsur angsur menjadi penguasa. Memang tujuan utama ekspedisi belanda ke Indonesia adalah bukan menguasai hukum yang ada di Indonesia tetapi lebih ke eksploitasi sumber daya alam yang ada di kepulauan kita yang banyak mengandung sumber daya alam yang kaya raya akan bahan mentah baik berupa pertanian atau yang lainnya. Mereka hanya memikirkan misi perdagangan saja, sementara mengenai hukum civil belum mendapat perhatian dari belanda. Banyak ketentuan ketentuan yang lebih ditekankan kepada perdagangan daripada dari segi pemerintahan, mengenai masalah pemerintahan juga tidak begitu dikhususkan pada masyarakat pribumi, hanya saja pada kota kota besar yang diterapkan masalah administrasi pemerintahan misalnya pada kota semarang, jakarta (batavia), dan surabaya. Namun nyatanya kekuasaan belanda didak dapat mampu menembus masyarakat kecil dan juga pedesaan yang hanya terfokus pada administrasi pusat yakni di Batavia. Meskipun institusi hukum ini dirancang terutama untuk membantu pelayan pelayan dan serdadu serdadu VOC untuk mencari keadilan, tetapi pendirian institusi semacam itu telah menendai perkembangan awal tradisi hukum sipil di Nusantara. Selanjutnya diterapkanlah hukum belanda pada daerah batavia terkait hukum kriminal dan sipil. Pada tingkat implementasi, prinsip kekuasaan itu terbukti bukan soal sederhana, sebagian karena hukum yang ada di belanda saat itu bukanlah hukum yang seragam , sehingga konflik hukum tidak bisa dihindari. Pada mulanya yang menjadi tugas utama Belanda adalah menerapkan hukum yang seragam dan konsisten yang mereka anggap sebagai salah satu kebijakan paling penting yang harus di tetapkan di daerah koloni. Sikap Belanda berubah menakala kendali atas Nusantara berpindah dari tangan VOC ke tangan pemerintah belanda. Ini adalah fase kedua dalam penjajahan, sebuah fase ketika pengalihan hukum sipil ke Nusantara menjadi lebih serius seiring dengan perubahan pendekatan Belanda terhadap Nusantara dari sekedar penundukan ekonomi menjadi sepenuhnya penjajahan. Pemerintah Belanda sesungguhnya telah menyadari perlunya meningkatkan administrasi peradilan, adanya kesadaran itu ditunjukan oleh usaha mereka meliberalkan manajemen urusan kolonial sesuai dengan aparatur negara modern yang berorientasi pada Eropa. Pada fase kedua penjajahan Belanda ini, proses pembentuk negara yang terpusat semakin intensif. Pada masa Deandes yang menjadi Gubernur Jendral Hindia dari tahun 1808-1811, ideologi ini digunakan untuk memperkuat kekuasaan kolonial di Nusantara. Deandeles sering dipuji karena telah membangun sistem peradilan formal di Hindia Belanda sehingga penggantinya bisa menggunakan sistem itu sebagai dasar untuk melakukan perbaikan selanjutnya terhadap administrasi peradilan di daerah tersebut. Belanda masih menggunakan sentralisasi hukum sebagai pendekatan formal, terhadap persoalan pluralisme hukum sebenarnya merupakan karakter yang melekat pada tradisi hukum sipil seperti dikembangkan di Hindia Belanda. Dapat dikatakan dalam penjelasan tersebut adalah bahwa tradisi hukum sipil sampai di Nusantara melalui kolonialisme. Ada pula ideologi nasionalisme negara yang pertama kali diperkenalkan ke daerah ini, akhirnya pada giliranya menciptakan landasan bagi banyak institusi hukum di bawah logika sentralisme hukum. Di balik kenyataan sejarah tentang tradisi hukum sipil dan transformasinya ke nusantara sebagai entitas tidak terpisahkan dari kekuasaan kolonial belanda, penerimaan tradisi hukum Barat dalam kehidupan masyarakat pribumi di negara ini bukanlah sebuah proses yang sederhana. Oleh karena itu, penerimaan tradisi hukum di Indonesia sebenarnya bisa dibilang baru bermula ketika belanda menggunakan prinsip prinsip imposisi hukum untuk menjustifikasi penerapan berbagai hukum mereka dalam kehidupan masyarakat pribumi. Proses penerimaan tentu saja tidak berlangsung serta merta, sekalipun prosesnya berangsur angsur setahap demi setahap sehingga hukum penguasa kolonial akhirnya ditetapkan sebagai sarana penyelesaian konflik ketika muncul persoalan di tengah tengah kehidupan masyarakat. Belakangan, ketika hukum kolonial telah ditetapkan di daerah jajahan, proses penerimaan hukum Barat berlanjur ke tahap seterusnya, di mana struktur dukungan akademis diperkenalkan. Seiring dengan inovasi Belanda tidak hanya berlangsung melalui imposisi hukum, tetapi juga melalui kebijakan akulturasi hukum Belanda dalam tradisi hukum masyarakat pribumi. Dalam perspektif hukum, pergeseran politik di Indonesia dari pemerintahan kolonial ke pemerintahan nasional mungkin sudah diperkirakan akan disertai oleh perbaikan menyeluruh terhadap sistem hukum yang lama. Oleh karena itu, munculnya negara Indonesia baru dan bergesernya organisasi pemerintahan dari pola kolonial kepada pola nasional sebetulnya tidak mencegah berlakunya penerimaan hukum sipil dalam sistem hukum negara itu. Jadi bisa dibilang semenjak awal tahun 1960-an proses penerimaan tradisi hukum Barat di Indonesia telah mencapai fase yang menentukan di mana budaya Indonesia sudah digunakan sebagai pendekatan untuk menjalankan proses itu. Kokohnya keberadaan hukum sipil di Indonesia juga lazim dalam praktik yang melekat pada hukum negara dimana proses pembuatan hukum sepenuhnya berada di tangan institusi negara. Oleh karena itu kita melihat sejarah awal kemunculan ideologi negara baru di Eropa Barat tampaknya menemukan gemanya di negara Indonesia yang belia. Terlepas dari hal tersebut sebenarnya penerimaan tradisi hukum sipil yang telah berhasil dimasukan ke dalam tradisi hukum Indonesia menguntungkan tradisi barat yang memandang hukum sebagai entitas sekuler, ini sebetulnya adalah gagasan dasar dari hukum yang telah berhasil ditransferkan ke dalam tradisi hukum Indonesia, hukum dibuat oleh negara, bukan oleh Tuhan, oleh karena itu tidak ada pertimbangan ketuhanan yang masuk ke dalam proses pembuatan hukum. Akibatnya jelas tradisi hukum sipil sengaja mentransferkan nilai nilai hukum formal dan sekuler yang khas dan berbeda dari nilai nilai hukum yang dikembangkan sebelumnya di negara ini oleh tradisi hukum lainya semisalnya hukum Islam atau hukum adat. Mengenai kukuman bagi pelaku dapat diperlakukan dengan berbagai cara dan metode sesuai dengan kepercayaan masing masing daerah. Yang pada intinya setiap hukum harus jelas asal dan juga usulnya agar tidak kabur dalam jejak sejarah terutama mengenai sejarah hukum mencakup semua hukum.

Artikel Terkait

Hukum Civil Law
4/ 5
Oleh

Berlangganan

Suka dengan artikel di atas? Silakan berlangganan gratis via email