TRADISI HUKUM CHTONIC
Jauh sebelum berbagai tradisi hukum masuk ke kepulauan Nusantara, masyarakat yang hidup di gugusan kepulauan ini dipercayai telah memiliki aturan hukum yang berasal dari nilai nilai hukum”chthonic”. Kata tersebut berasal dari bahas yunani khthon yang berarti bumi. Penggunaan istilah tersebut untuk menyebut hukum adat asli masyarakat Indonesia tersebut dinisbahkan pada penggunaan terma ”chthonic” itu sendiri seperti yang digambarkan oleh Edward Goldsmith ketika ia mendiskripsikan kultur kehidupan masyarakat yang harmoni dengan bumi. Maksud dari ”chthonic” secara luasnya adalah, kita ingin memahami hukum asli daerah itu dari kriteria kriteria internal masyarakat asli Indonesia itu sendiri. Inilah tradisi hukum yang telah termanisfestasi dalam masyarakat pribumi sebagai tradisi hukum yang berbeda dan unik, sehingga ia sering memunculkan resistensi , walaupun boleh jadi tidak terstruktur, ketika nilai nilai asing masuk dan berpengaruh di bumi Nusantara.
PROBLEM DEFINISI
Dalam ungkapan sehari hari, istilah adat sering diterjemahkan sebagai suatu kebiasaan atau hukum kebiasaan, utamanya dalam referansinya sebagai suatu tradisi hukum. Dalam perkembangannya , istilah ini tidak sesederhana makna aslinya yang diambil dari bahasa Arab ‘adah atau ‘urf. Kompleksitas adat dapat dibagi menjadi tiga aspek : Pertama, istilah adat dapat memiliki arti sebagai hukum, aturan, ajaran, moralitas, kebiasaan, kesepakatan, tindakan yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat,dsb. Tergantung pada konteksnya, dan secara umum mempunyai arti yang sama, yaitu tingkah laku yang dipandang benar dalam kehidupan masyarakat dalam hubunganya dengan orang lain maupun dengan alam sekitarnya. Kedua, erat hubunganya dengan praktek kebiasaan yang berlaku dalam suatu wilayah tertentu yang mencakup area yang cukup luas, dimana masing masing tempat memiliki adatnya sendiri tergantung dari identitas kultur dan bahasanya. Ketiga, adat dalam arti sebagai kumpulan besar literatur dari dan tentang adat yang diproduksi oleh para ahli, administrator maupun ahli hukum.
Di indonesia, istilah adat juga bukannya tidak biasa. Kata adat sering digunakan oleh masyarakat umum dalam bentuknya yang sederhana, namun istilah yang lebih rumit seperti adat istiadat atau adat kebiasaan sering digunakan juga, maka Snouck mengatakan seseorang meski sadar akan perbedaan antara istilah adat yang digunakan dalam dialek Melayu maupun Minagkabau. Jika dalam bahasa Melayu istilah adat istiadat mempunyai arti sebagai institusi manusia secara keseluruhan, maka dalam istilah Minagkabau ia digunakan untuk menunjuk kepada kategori tertentu yang berbeda dari institusi lain.
Kusumadi podjosewojo, di sisi lain, berusaha untuk memahami terma adat ini dari perspektif perannya yang lebih aktual dalam proses kreasi hukum yang berlangsung dalam masyarakat. Dalam pandangannya sangat dimungkinkan bahwa pada mulanya suatu tindakan diikuti sebagai suatu kebiasaan yang kemudian berangsur angsur tertanam dalam masyarakat, yang karenanya memberikan perasaan kepatutan, dan yang pada akhirnya tindakan terebut menjadi adat.
Sedangkan Moh. Koesnoe tampaknya ingin mendefiniskan adat atas dasar cakupan artinya yang sangat luas dalam kehidupan masyarakat. Dalam pengertian dia, adat esensinya adalah keseluruhan ajaran nilai dan implementasinya yang mengatur cara hidup masyarakat indonesia, dan yang telah lahir dari konsep masyarakat tentang manusia dan dunia ini.
Adat sekali lagi bukan merupakan suatu entitas tunggal. Karenanya, pendekatan taksonomis dapat digunakan disini untuk mendukung pemahaman adat sebagaimana yang dipahami oleh masyarkat asli di gugusan kepulauan Nusantara. Di Minagkabau, kita mendapatkan bahwa para tetua adat membagi adat secara umum kedalam dua jenis : adat sabana adat yakni adat yang absolut, yang sifatnya universal atau hanya berisi hukum alam. Dan yang kedua adat non sabana adat yang diklasifikasikan juga menjadi tiga : pertama, adat istiadat adalah kebiasaan yang dipercaya sebagai hukum yang sudah baku yang tetap dalam kehidupan mereka. Kedua, adat nan teradat, yang dipraktekkan dan diulang ulang disuatu wilayah tertentu, yang dapat berbeda. Yang ketiga adat nan diadatkan, untuk suatu tindakan tertentu yang karenanya dapat berubah sesuai perkambangan waktu dan tempat maka perlu diaplikasikan sebagai sebuah adat.
Taksonomi yang cukup detail mengenai adat ini juga dapat ditemui d alam masyarakat Sasak di Lombok. Meskipun sedikit berbeda dengan model taksonomi adat di Minagkabau, adat bagi penduduk Sasak dapat juga dapat di klasifikasikan ke dalam tiga kategori, yaitu adat hidup, yakni adat yang esensinya mengatur aktifitas masyarakat dalam hubunganya dengan kejadian kejadian penting dalam kehidupan. adat bulan, yakni erat hubungannya dengan perayaan masyarakat terhadap bulan tertentu yang dipercayai membawa keberuntungan dan kebahagiaan terhadap manusia, juga bulan yang membawa ketidak beruntungan. adat mati, yakni aktifitas yang berhubungan dengan kematian salah seorang anggota masyarakat.
Orang sasak juaga membedakan antara terma adat dengan cara. Adat bermakna petunjuk kehidupan, sementara cara menunjukkan metode untuk mengaplikasikan petunjuk tersebut.
Masyarakat indonesia juga mempunyai pemahaman sama tentang terma adat itu. Secara etimologis adat digunakan untuk menyebut norma yang mengikat dari suatu masyarakat tertentu, yang mengatur fase kehidupan seseorang dalam masyarakat. Sebagai suatu bentuk tradisi hukum, adat peda dasarnya terdiri dari tiga hal : pertama, bentuknya sebagai suatu preskripsi, dengan institusi yang saling terkait dalam masyarakat. Kedua sebagai suatu aturan. Ketiga sebagai interpretasi dari suatu keputusan, merupakan apa yang muncul dalam keputusan keputusan para fungsionaris adat.
POLEMIK ADAT SEBAGAI HUKUM
Para ahli hukum Barat tampaknya enggan untuk menerima adat sebagai sebuah hukum. Mungkin ini karena disebabkan oleh perbedaan pemahaman mengenai makna hukum dalam tradisi masyarakat Barat dibanding makna tersebut dalam masyarakat Indonesia, yang karenanya sikap mereka terhadap adat pun juga berbeda. Khususnya pada era pencerahan, yang cenderung melihat hukum hanya dalam dimensi legislasi dan preseden yang diturunksn dari sumber tertulis saja.
Adat sesungguhnya dapat kita pandang sebagai suatu bentuk hukum jika dilihat dari definisi yang ditawarkan oleh masyarakat indonesia secara umum. Inilah dasar kita untuk mengatakan bahwa masyarakat pada kenyataanya tidak pernah memahami adat sebagai sebagai suatu entitas yang terpisah dalam hukum. Ada dua hal yang menjadi dasarnya : pertama, masyarakat memahami adat sebagai norma yang berhubungan dengan keseluruhan hidup manusia, juga dengan fenomena alam. Kedua, terminologi adat digunakan untuk membedakan tradisi hukum yang asli dengan nilai nilai hukum yang dibawa oleh agama khususnya setelah masuknya pengaruh tradisi hukum agama dari luar seperti Islam dan Hindu.
Mengikuti pemahaman barat tentang hukum sebagai suatu institusi yang mengandung suatu sanksi, van Vollenhoven menggunakan logika untuk menyebut adat sebagai suatu tradisi hukum, Juga Ter Haar. Apakah adat merupakan hukum, maka para sarjana menggunakan pendekatan positivistik Austinian yang mendefinisikan hukum sebagai suatu aturan umum yang dikeluarkan oleh seorang penguasa dalam suatu wilayah negara merdeka untuk warga negara sendiri dan dilengkapi dengan sanksi, dan kesimpulan dari teori kekuasaan Ter Haar, adat juga harus didukung oleh pemegang otoritas dalam masyarakat sehingga ia mendapatkan pengakuan yang formal. Beda dengan pandangan van Vollenhoven yang cenderung melihat adat sebagai suatu institusi hukum yang didukung oleh adanya sanksi.
Kedua teori tersebut merupakan derivasi dari ide dasar yang sama bahwa tidak semua adat dapat dikatakan mempunyai karakter sebagai hukum. Sementara teori lain atas dasar norma sosial oleh Adamson Hoebel, bahwa norma sosial itu bersifat legal jika pelanggaran terhadapnya bakal dibalas, baik ancaman maupun sanksi sosial, dengan kekuatan fisik oleh individu atau kelompok, yang secara sosial memiliki otoritas untuk melakukan itu.
Tidak perlu dipertanyakan lagi bahwa pengaruh teori sarjana Belanda dalam memahami adat sangat kentara dengan dalam teori para sarjana Indonesia. Sebagian besar dari mereka mengikuti teori teori para sarjana Belanda dalam mendefinisikan adat sebagai hukum, namun premis yang digunakan tetap berbeda dari para sarjana Belanda. Misalnya Djojodigoeno, mengemukakan ide bahwa dalam diskusi mengenai hukum adat seseorang harus mampu menbedakan antara dimensi yang formal dan material. Djojodigoeno tampaknya lebih memperhatikan sumber dari hukum adat tersebut ketimbang masuk ke dalam polemik pembeda apakah hukum atau tidak. Ia percaya bahwa adat adalah hukum sepanjang adat diturunkan dari sumber yang dipercaya valid dalam pandangan para petinggi adat maupun masyarakat pada umumnya.
Sementara itu lahirlah pula pemikiran lain yang mengadopsi dari pemikiran Djojodigoeno, beliau adalah Koesnoe yang intinya hukum adat sebagai suatu ekspresi dari rasa keadilan dan kepatutan.
Perbedaan mencolak lain antara sarjana Barat dengan Indonesia tentang hukum adat adalah, sarjana Barat menganalisis hukum adat dari perspektif positivisme hukum hanya dimensi normatifnya. Sedangkan sarjana Indonesia, memberi kesan pada penekanan mereka terhadap ideologi hukum alam , dimana argumentasi moral sebagai fondasinya. Maka tidaklah akan pernah bertemu kedua pemikiran tersebut dalam konteks hukum.
Diantara kritik para ahli hukum terhadap hukum adat adalah, tetap konsistenya hukum adat menggunakan istilah kebiasaan, karena itu akan menghasilkan pandangan yang tidak akurat, maka perlu dirujuk kembali. Maka dari itu sifat hukum adat sendiri adalah dinamis dan juga sederhana tidak perlu dimuat dalam suatu peraturan tertulis.
KARAKTER HUKUM ADAT
Dalam formulasinya yang tradisional, hukum adat secara umum dicirikan oleh penyampaiannya yang dilakukan secara tidak tertulis dalam kehidupan bermasyarakat. Bentuk yang tipikal dari hukum adat terletak dari tradisi lisannya. Melalui tradisi inilah kaeaslian adat dapat dipertahankan, dimana dengan bentuknya yang seperti itu hubungan antara masa lampau, masa kekinian dan masa depan dari masyarakat dapat dijaga. Dengan begitu, karena informasi yang disampaikan dalam masyarakat dikomunikasikan secara lisan, hukum adat sangat jarang dikodifikasikan. Kalaupun kodifikasi itu berlangsung, dia bukanlah suatu aturan malainkan hanya sekedar pengecualian. Bahwasanya sumber hukum adat yang lebih besar justru tersimpan dalam tradisi lisan tersebut, dimana didalamnya ungkapan ungkapan yang preskriptif maupun aturan hukum dapat digali. Karenanya banyak pihak yang menemukan bahwa informasi lisan dari adat justru lebih kaya bila dibandingkan dengan sumber tertulisnya. Hukum adat tidak pernah secara sistematis mengikuti metode legislasi ataupun kodifikasi sebab ia merupakan manifestasi secara langsung dari parasaan keadilan dan kepatutan yang dimiliki masyarakat secara umum. Dengan demikian, baik sumber maupun perkambangannya, hukum adat terletak dalam kehidupan masyarakat dan tidak tergantung pada prosestekhnis dari legislasi.
Sejalan dengan prinsip tradisi lisannya, adat mempunyai kecenderungan umum untuk merujuk kepada tradisi para leluhur, yang disimpan dalam berbagai bentuk cerita cerita dan petuah petuah, sebagai sumber hukumnya. Sebagai hukum tradisional, nilai nilai preskriptif dari hukum adat senantiasa berusaha untuk menghubungkan antara apa yang terjadi dimasa lampau dengan masa kini.
Disamping itu yang menjadikan adat itu menarik adalah dari segi bahasa, karena karakter dan juga maknanya samar samar. Petuah hukum tidak hanya disampaikan dalam bahasa yang pasti. karenanya, para pejabat adat meski campur tangan dalam menerjemahkan maknanya ketika perselisihan muncul dalam masyarakat. Hal ersebut dapat menguntungkan, karena memungkinkan timbul di dalamnya variasi dari proses refolusi atas perselisihan tersebut. Walaupun fleksibel tetapi tidak berarti bahwa prinsip prinsipnya mudah berubah, justru malah tetap stabil ynag berisi dimensi keduniaan dan juga supernatural. Senhingga aturan detailnya tentang kebutuhan manusia yang selalu berkembang sejalan dengan perubahan waktu.
Prinsip prinsip yang diciptakan oleh pejabat adat bukanlah rumit, karena tidak dapat dipahami oleh masyarakat umum, dikarenakan esensinya merupakan refleksi dari kehidupan masyarakat, yang tidak dituntun menjadi prinsip hukum yang sempurna, dari bentuk standar dalam aplikasi hukum. Sehingga lebih ke maksim hukum umum, yang mudah dipahami oleh masyarakat luas.
Walaupun tidak semua orang mampu memahami ataupun menafsirkan petuah yang ada dalam puisi, juga tugas bagi pejabat adat untuk bisa menjelaskanya kepada masyarakat luas. Inilah dasar filosofi yang mendasari aturan hukum adat yang senantiasa melibatkan para tetua dan pejabat adat untuk melibatkan, jika diperlukan, bergantung dari situasi.
Aspek menarik lainya yakni ketidak pisahannya antara individu dan masyarakat. Individu tidak terpisahkan dari komunitasnya sebab tugas individu senantiasa dilihat dari sisi keterlibatan dalam masyarakat.
Kunci utama dalam pergaulan masyarakat adalah harmoni, adanya rasa malu jika tidak sejalan dengan pola normatif yang secara umum diikuti oleh masyarakat. Nilai kesadaran sangat penting untuk merubah suatu individu, yang tentunya telah semuanya mendapatkanya melalui lingkungan keluarga. Apabila harmoni itu telah benar benar rusak maka perlu adanya hukuman bagi yang terlibat.
Alam juga ikut serta dalam hubungan harmoni, maka perlu adanya keyakinan untuk mempertahankan keseimbangan dan harmoni antara agen material dengan spiritual dari suatu kehidupan, yang antara keduamya ada hubungan timbal balik.
Prinsip utama dari saling ketergantungan masyarakat dalam adat adalah pemahaman bahwa setiap individu wajib untuk mengorbankan dirinya demi kebaikan semua orang atau solidaritas sosial. Hak hak individu menjadi nomor dua setelah kewajibannya untuk berkorban demi masyarakat. Dilihat dari sisi ini, hukum adat dapat didefinisikan dengan jelas sebagai sebuah sistem yang menempatkan kewajiban di atas hak dan tidak sebaliknya.
ASPEK SUBSTANTIF HUKUM ADAT
Ajaran adat mengenai hubungan harmonis antara masyarakat dan alam sangat memberikan pengaruh terhadap aspek substansi hukumnya. Individu mempunyai hak dan kewajiban yang secara spesifik tergantung pada hubungannya dengan masyarakat. Namun demikian, hal tersebut tidak dipahami sebagai sesuatu yang tetap, melainkan tergantung pada beberapa perilaku yang diturunkan adat terhadap satu individu. Kewajiban individu merupakan sesuatu yang relatif tergantung dari posisi dan status individu tersebut dalam masyarakat adat. Ajaran hukum adat tentang kewajiban individu dalam hubunganya dengan masyarakat dengan demikian dapat diartikan bahwa masyarakat, baik karena alasan geografis maupun teritorial, senantiasa memilikihak yang lebih besar ketimbang individu.
Hukum tanah, karena tanah merupakan suatu hal yang terpenting dalam kehidupan masyarakat, hukum adat memberikan aturan secara detai mengenai hak hak yang bersangkutan dengannya. Dalam hal ini kita melihat bahwa hak ulayat mempunyai ciri ciri umum yang didapati di berbagai tradisi kelompok hukum adat. Dalam pandanganya, interpretasi yang standar dari hak tanah ini adalah sebagai berikut, menurut van Vollenhoven: Pertama, anggota dari masyarakat otonomi adat biasanya bebas untuk menggunakan semua tanah perawan yang berada dalam wilayahnya. Kedua, orang asing diperbolehkan mengerjakan hal yang serupa terhadap tanah tersebut tetapi harus memperoleh izin dari masyarakat desa tersebut. Ketiga, jika orang luar inggin menggarap tanah tersebut maka biasannya mereka harus membayar atau memberikan hadis sebagai gantinya. Keempat, masyarakat adat mempunyai hak untuk turut menggarap tanah yang telah digarap yang berada dalam wilayahnya. Kelima, masyarakat adat bertanggungjawab terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam batas teritorialnya ketika tidak ada orang yang bisa dimintai tanggungjawabnya. Keenam, masyarakat adat tidak dapat mengesampingkan hak alokasi tanah adat selama lamanya.
Dua hak ketentuan dasar dari hak ulayat adalah : pertama, hubungan antara hak individu dan hak komunitas selalu ditentukan oleh komitmen dan kewajiban yang ada di dalamnya. Kedua, transfer hak tanah tersebu, baik kepada orang asing atau anggota internal masyarakat, selalu berada di bawah kontrol yang ketat dari masyarakat. Menjadi jelas di sini bahwa hukum tanah adat tidak mengakui adanya hak kepemilikan individual sebagai sesuatu yang inheren dan normal, tetapi lebih sebagai sesuatu yang berasal dari pengakuan masyarakat terhadap kemampuan dan jasa seseorang dalam penggarapan tanah tersebut.
Namun begitu, walaupun hak komunal terhadap tanah dijunjung tinggi, tidak berarti hukum adat tidak menghormati hak individu. Hak individu itu biasanya tampak lebih kuat pada tanah tanah untuk tanaman kering, sementara pada tanah yang didesain untuk pertanahan basah, rumah pedesaan atau tujuan tujuan ibadah lebih banyak berada dalam kontrol masyarakat. Disamping itu, hak individual terhadap tanah biasanya juga dibebani beberapa kewajiban tergantung dari masyarakat dimana seseorang itu tinggal.
Hukum perkawinan, perkawinan berfungsi tidak hanya untuk memastikan kontinuitas ras manusia tetapi juga keberlangsungan masyarakat itu sendiri. Melalui perkawinan, generasi baru dari suatu keluarga dapat diciptakan, yang nantinya akan memberikan kemampuan kepada masyarakat untuk berkembang terus menerus. Tanpa adanya perkawinan kehidupan manusia akan runtuh, sebab pada akhirnya tidak akan ada seorangpun yang tersisa untuk melanjutkan tradisi trasdisi yang ada di dalam masyarakat. Perkawinan karenanya lebih dari sekedar institusi yang diciptakan untuk memproteksi masyarakat dari kepunahan. Dan karena individu tidak lain sekedar sebagai bagian dari masyarakat, perkawinan seseorang tidak lain adalah bagian dari sejarah masyarakatnya. Didalam keluarga, perkawinan seseorang dilihat dalam adat sebagai sarana untuk melanjutkan peran sosial dari orang tua, tanpa adanya anak cucu maka keturunan mereka dan karenanya konstribusi mereka dalam pengembangan masyarakat menjadi tidak ada.
Dalam masyarakat adat, perkawinan merupakan kejadian dalam hidup yang sangat penting, karena melalui perkawinan ini seorang laki laki dan perempuan secara sadar masuk menjadi anggota masyarakat dan dengan melakukan hal itu maka mereka akan memperoleh hak dan kewajiban sosial yang sama terhadap masyarakat. Perkawinan dalam adat berfungsi sebagai langkah awal untuk mendapatkan pengakuan sebagai anggota penuh dalam masyarakat. Dan kerena inti dari masyarakat adalah keluarga, maka perkawinan menjadi syarat mutlak untuk seseorang mendapatkan identitas diri dalam masyarakat tersebut. Bagi suku yang menganut endogami, kepercayaan yang berlaku adalah bahwa identitas suatu komunitas harus dijaga dari dalam, perkawina dengan suku yang sama. Sedangkan kelompok eksogami, identitas itu secara positif justru harus dilebarkan diluar anggota suku itu sendiri. Kita melihat di sini beberapa adat memandang perkawinan sebagai sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan, tidak hanya bagi kehidupan individu tetapi juga bagi masyarakat secara luas.
Hukum kewarisan, tidak terpisah pula dari aspek hukum perkawinan adalah aspek kewarisan dalam hukum adat, dimana prinsip keseimbangan dan harmoni secara jelas terefleksikan. Hukum adat kewarisan merefleksikan prinsip prinsip kehidupan yang muncul dari pemikiran komunal, dimana keluarga, sebagaimana kita lihat di atas, menjadi komponen inti dalam struktur masyarakat. Yang terdiri dari beberapa aturan yang mengatur proses pengalihan hak dan kepemilikan keluarga, baik terhadap objek material maupun immaterial, dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Proses transfer hak milik ini dengan demikian tidak difokuskan kepada kematian dari orang tua atau seseorang tertentu dalam keluarga tapi bermula semenjak terbentuknya keluarga itu sendiri.
Pemahaman terhadap hukum kewarisan adat pada umumnya bersifat konsisten, sehingga kita mendapati ketentuan ketentuan yang sifatnya seragam di barbagai daerah adat yang berbeda. Karakter yang paling umum dalam hal ini adalah kenyataan bahwa kewarisan adat tidak tergantung pada kematian orang tua untuk keberlangsunggannya. Ide hukum kewarisan adat sebagai suatu transfer hak milik yang berlangsung dalam kehidupan berkeluarga, yang sebagai tolak ukur dari pentingnya menjaga keseimbangan dalam masyarakat.
Mekanisme dari hukum kewarisan adat karenanya tidak melibatkan perhitungan tehnis dan matematis yang sangat rumit dalam hal pembagian harta tersebut. Semua ahli waris pada intinya akan menerima bagian yang sama tanpa ada perbedaan karena faktor gender, agama, umum ataupun yang lainnya. Sepanjang mereka masih berasal dari satu rangkaian genealogis yang sama, pengalihan yang vertikal terhadap hak milik dapat secara prinsip dilakukan.
Keadilan sosial di antara para anggota keluarga muncul menjadi tujuan utama dari hukum waris adat ini karena setiap waktu pembagian harta pertimbangan utamanya bukan pada penyegeraan pembagian harta itu tetapi bagaimana harta itu dapat dibagikan dengan semaksimal mungkinmemberikan keuntungan kepada seluruh anggota keluarga dengan merata. Yang pada intinya, hukum adat memperhatikan faktor kemampuan dari anggota keluarga itu untuk semaksimalnya mendapatkan manfaat dari harta warisan dengan tidak mengesampingkan keseimbangan dan harmoni dalam hubungan keluarga tersebut.
Dari uraian di atas dapat kita katakan bahwa ciri utama hukum kewarisan adat dalam prakteknya terletak pada kenyataan masyarakat yang tidak pernah memisahkan hukum waris dengan hukum hukum lain yang berlaku dalam sistem klan yang dianut oleh komunitas bersangkutan. Dalam setiap masyarakat secara umum harta waris dilihat sebagai sebuah sumber untuk melanjutkan sistem klan yang dianut. Dalam komunitas patriarkal dan matriarkal, dimana baik salah seorang laki laki maupun perempuan yang mempunyai kekuasaan, pemberian warisan kepada kelompok gender yang tidak dominan dianggap sebagai faktor yang dapat melemahkan kepentingan dalam masyarakat, yang akibatnya dapat merusak keseluruhan masyarakat itu sendiri. Beda dengan parental yang melihat laki laki dan perempuan pada dasarnya mempunyai kedudukan yang sama.
Namun dalam prakteknya, kita melihat bahwa dalam masyarakat patrilinear, dimana kewarisan secara teoritis hanya diberikan kepada anak laki laki, anak perempuan juga biasanya menerima warisan jika mereka menjadi janda karena kematian suaminya atau menikah ketika kewarisan itu dibagikan. Yang pada intinya memang laki laki berhak menerima warisan yang nanti menjadi sumber penghasilan keluarga sebagai tanggung jawabnya. Kita juga mengenal sistem moyat, dimana harta warisan tidak dibagikan tetapi berada dalam kekuasaan bersama dari semua anak laki laki dan bukan hanya anak tertua saja, untuk digunakan sebagai sumber penghidupan seluruh anggota keluarga tersebut.
Praktek semacam itu paralel dengan tradisi kewarisan masyarakat matriarkal, dimana pihak perempuan menjadi penguasa dalam keluarga. Dibeberapa tempat, pengaturan semacam itu bersifat umum dilakukan terhadap kepemilikan tanah yang sebelumnya dimiliki oleh leluhur keluarga ibu.
Jika kedua bentuk masyarakat menentukan kepemimpina keluarga berdasarkan pada status gender tertentu, sistem parental memandang keturunan baik laki laki maupun perempuan mempunyai kedudukan yang sama. Hal ini karena dalam sistem parental ini keturunan atau ahli waris tidak dilihat hanya memiliki hubungan keluarga dari jalur sepihak saja, melainkan secara seimbang, dilihat dari dua jalur ibu dan bapak untuk mewrisi harta dari orang tua. Sistem ini dianut oleh kebanyakan masyarakat indonesia.
Terlepas dari perbedaan dari segi kewarisan karena perbedaan sistem klan sebagaimana disebut di atas, semua kelompok adat di Indonesia pada dasarnya menganut pemahaman yang sama dalam mmembedakan antara harta benda yang dimiliki oleh kedua orang tua sebelum dan sesudah perkawinan.
Memang, perbedaan antara kedua kategori kepemilikan harta tampaknya lebih kentara dalam masyarakat dimana pandangannya mengenai status gender lebih egalitarian. Konsep tentang harta bersama, yang dimiliki oleh kedua pasangan secara bersamaan, itu sendiri merupakan karakteristik yang sangat kentara dalam masyarakat parental, yang melihat suami dan istri sebagai partner yang sejajar dalam ikatan perkawinan. Dalam pandangan seperti ini klaim terhadap hak milik lebih didasarkan pada pandangan suami istri sebagai pihak yang memilki perasaan di hadapan hukum.
Hukum pidana. Prinsip keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan masyarakat adat juga menjadi karakter dari konsep hukum adat tentang hukuman. Karena adat senantiasa berdasarkan diri pada premis hubungan erat antara individu dan masyarakat, maka pembentukan sistem delik dalam masyarakat juga diarahkan oleh suatu kepercayaan bahwa semua faktor natural dan supernatural saling terkait satu dengan lainnya, sebagaimana tidak terpisahnya manusia dari makhluk hidup lainya di dunia ini. Setiap tindakan yang merusak harmoni masyarakat adalah tindakan yang keliru yang pantas untuk mendapatkan hukuman, sehingga keadaan harmoni itu dapat dikembalikan seperti sediakala. Fokus dari hukuman adat untuk menjaga keseimbangan komunitas sejalan dengan kecenderungan dari adat untuk melihat segala sesuatu yang membahayakan masyarakat sebagai tindakan kriminal yang lebih besar ketimbang tindakan yang membahayakan keamanan seseorang.
Sifat adat sebagai hukum tidak tertulis juga mempengaruhi pola hukum pidana adat ini. Para ahli belanda pada saat itu tentu tidak banyak yang memahami hal ini. Kita bisa mengatakan karenanya bahwa sistem pidana adat lebih merupakan sistem yang terbuka. Definisi dari suatu pelanggaran hukum dalam masyarakat akan berflukturasi sesuai dengan perubahan sense keseimbangan dan harmoni dalam masyarakat, sebagaimana yang ditentukan dalam prinsip dasar hukum adat itu sendiri. bentuk hukuman tentu akan bervariasi, dan tergantung kepada keputusan masyarakat ketika pelanggaran itu berlangsung. Ia bisa berwujud hukuman lahiriyah, atau hukuman mati yang paling berat, karenanya beberapa hukuman boleh jadi tidak hanya terdiri dari hukuman tunggal yang bersifat material tetapi juga ditambah dengan hukuman lain yang berfungsi untuk mengkompensasi faktor faktor imterial.
Dalam mendefinisikan konsep pelanggaran hukum dalam masyarakat adat, Lesquillier membagi pelanggaran hukum yang dikenal dalam adat ke dalam empat kategori, yang kesemuanya dipandang manggangu keseimbangan masyarakat adat. Kategori pertama terdiri dari kejahatan yang melemahkan harmoni universal, dan dalam hal ini ia membaginya menjadi kejahatan tersembunyi, contohnya : perkawinan sedarah dan terbuka, contohnya : perceraian. Kategori kedua mencakup kejahatan kejahatan lain. Menurut Lesquillier, kejahatan dalam hal ini termasuk didalamnya perbuatan yang dapat merusak keseimbangan emosional dari para anggota masyarakat, misalnya : hubungan seksual di luar nikah. Kategori ketiga meliputi, segala perbuatan yang melanggar kebiasaan masyarakat, seperti kebiasaan seorang gadis untuk tidak melangsungkan perkawinan sebelum saudara perempuannya yang lebih tua. Dan keempat termasuk di dalamnya segala perbuatan yang menyebabkan luka atau kerusakan. Contoh : kejahatan ilmu sihir.
Hukum pidana adat karenanya dapat dideskripsikan sebagai hukum yang bersifat komunal dalam pendekatannya, karena hukum adat tidak selalu ditimpakan terhadap orang yang melakukan kejahatan saja tetapi juga dapat ditimpakan kepada masyarakat dari mana orang itu berasal atau dimana kejahatan itu berlangsung. Terhadap kejahatan yang hanya memberikan akibat kepada keluarga atau individu tanpa menimbulkan kerusakan harmoni desa secara keseluruhan, maka pengurus adat biasanya akan memberikan hukuman setelah rekonsiliasi dilakukan.
Nilai nilai pidana di atas mempunyai dasar dasar filosofis untuk menjaga keseimbangan dan harmoni dalam masyarakat baik dalam hubungan antara manusia dengan alam dan hubungan alam dan dunia supernatural. Kepentingan utama dari sistem pidana adat adalah untuk menjaga keseimbangan tersebut. Bagi masyarakat ada, keseimbangan itu layaknya sebuah pohon yang ditanam, yang dari pohon itu aspek aspek hukumnya merupakan buah yang dapat dipetik.
KONTINUITAS DAN PERUBAHAN
Fleksibilitas hukum adat sejatinya tidaklah mengherankan. Hal ini tidak lain karena, sebagai tradisi hukum tak tertulis, hukum adat senantiasa mengalami perkembangan melalui interpretasi hukum. Dengan demikian kepentingan mendasar dari proses hukum disesuaikan dan dirubah sejalan dengan keadaan, dan diletakkan dalam perasaan hukum dari masyarakat itu sendiri.
Hukum adat juga merupakan hukum yang dinamik dalam hubungannya dengan perkembangan masyarakat. Dengan demikian, karena eksistensi hukum adat esensinya berurat berakar dalam rasa keadilan masyarakat, karakter hukum didalamnya mengikuti pemikiran masyarakat dalam kasus kasus tertentu. Hukum dari masyarakat adat bukanlah sesuatu yang baku dan tidak mampu berubah melainkan senantiasa berkembang sejalan dengan keinginan dan perubahan waktu dan keadaan dimana masyarakat berada.
Tradisi Hukum Chtonik (Adat)
4/
5
Oleh
Unknown