“Kepailitan Perusahaan membuat perlindungan konsumen menjadi tidak jelas”
“Kasus kepailitan PT Telkomsel dan PT Mitra Batavia”
Analisa kasus mengenai dugaan pailit PT Telkomsel memang sudah batal, tetapi bagaimana nasib ribuan dan bahkan jutaan konsumen tekomsel. Begitu pula dengan kasus dugaan pailit PT Mitra Batavia yang sudah diketok palu oleh pengadilan PN Jakarta Pusat. Keduannyasama yakni terkait kepentingan publik. Dan dengan bermacam macam alasan dan gugatan yang telah dilakukan oleh pihat penggugat yakni masing masing dari PT Prima Jaya Informatika dan ILFC dari Amerika.
Melihat kasus diatas memang sangat mengerikan kalau kita bayangkan sejenak mengenai dunia perusahaan, bisnis, dan ekonomi, dimana para perusahaan akan saling sikut menyikut untuk mencoba menjatuhkan lawan mainnya, begitulah persaingan di dunia bisnis dan semacamnya. Tetapi yang menarik dari kasus diatas adalah adakah perlindungan yang diberikan oleh perusahaan kepada konsumen? Dalam analisa kasus ini saya akan menjabarkan terlebih dahulu mengenai kepailitan dan terus akan disingkronasikan dengan perlindungan konsumen untuk mencari tahu seberapa besar peluang konsumen yang dirugikan untuk mendapatkan perlindungan serta solusi apakah yang tepat mengenai kasus ini.
Mengenai kepailitan ataupun pengertian lainnya adalah bangkrut telah dijelaskan dalam KUHPer dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132.
Adapun dasar hukumnya yakni UU No 37 Tahun 2004 tentang kepailitan. Sementara mengenai perlindungan konsumen juga diatur dalam UU No 8 Tahun 1999. Konsumen yang tidak berdaya harus dilindungi melalui hukum dan juga kebijakan perlindungan konsumen, konsumen harus menyadari hak haknya dan mau memperjuangkannya. Inilah problem permasalahannya mengenai kasus diatas dimana para konsumen yang dirugikan tidak mau menuntut hak haknya. Padahal dalam UU No 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen juga ada beberapa hak terkait perlindungan konsumen dalam kasus diatas yakni hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan penyelesaian sengketa secara patut dan juga hak untuk memperoleh ganti rugi. Pada intinya melalui undang undang perlindungan konsumen hak hak konsumen memang harus diperjuangkan dengan adanya proses yang sinergis antara para kreditur, debitur, dan juga kurator, serta konsumen dalam hal ini pihak yang perlu dilindungi. Namun memang terdapat banyak kendala terkait pengsinergian antara kepailitan dengan perlindungan konsumen karena disisi lain undang undang perlindungan konsumen mengakui tetapi di depan kasus kepailitan seolah olah perlindungan tersebut hambar dan terkesan tidak jelas. Belum lagi kerugian yang diderita oleh perusahaan PT yang pailit.
Maka dapat dikatakan bahwa undang undang kepailitan memiliki kelemaham kelemahan yaitu:
a. Tidak terdapatnya pembatasan jumlah nilai nominal utama di dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit, merupakan kekurangan dan kelemahan aturan hukum kepailitan di Indonesia.
b. Tidak diaturnya pembatasan jumlah nilai nominal utang di dalam hukum kepailitan, dilihat dari argumentasi yuridis menunjukkan bahwa terjadi penyimpangan hakikat kepailitan. Jadi dapat dikatakan bahwa dugaan dugaan kasus kepailitan terhadap PT Mitra Batavia yang terbukti pailit walaupun pihak perusahaan juga telah menyatakan kebenaran utang perusahaan yang banyak sehingga tidak mampu membayar, harus dikaji lagi karena bagaimanapun juga perusahaan harus diberikan waktu yang cukup lama untuk mengurus para konsumen setiannya yang dilanda kepanikan. Karena perusahaan itu merupakan perusahaan yang bergerak dibidang publik, jadi apabila pailit harus juga memberikan santunan jasa kepada konsumennya.
Konsumen yang dirugikan terkait dengan kasus PT Mitra Batavia ditambahlagi dengan diposisikan sebagai kreditor konkuren bahkan menjadi bagian terakhir dari pembagian budel pailit, menurut saya dalam pandangan perlindungan konsumen seharusnya perusahaan tidak membawa bawa konsumen dalam kasus kepailitan apalagi disuruh untuk bertanggungjawab atas pelunasan hutang perusahaan. Maka kita tidak boleh menyamakan antara konsumen dengan kreditor apalagi menjadi bagian terakhir dari pembagian budel pailit, seharunya konsumen mendapatkan ganti rugi yang layak berupa jasa yakni dengan cara mengalihkan penerbangan kepada maskapai penerbangan yang lainnya tanpa adanya timbal jasa dengan penuh keikhlasan untuk memjamin hak konsumennya disaat terakhir di masa masa pailit. Mengenai pemecahan masalah PT Telkomsel sepertinya tak jauh berbeda dari apa yang dipaparkan di atas, untuk memuaskan pelanggan dalam hal ini konsumen maka PT Telkomsel menurut saya harus segera membuat defense yakni dengan membutuhkan peran advokat yang disumpah untuk siap membela para konsumen yang dirugikan akibat kebijakan yang dikeluarkan. Walaupun secara keuangan PT Telkomsel terbilang sehat karena banyak sekali konsemen pelanggan Telkomsel meliputi kartu perdana, vocher, dan komunikasi interaktif lainnya. Mengenai masalah pelayanan juga harus ditingkatkan, karena setelah hampir dinyatakan pailit minimal PT Telkomsel belajar dari kasus tersebut, dan juga kebijakan yang dibuat dalam hal iklan jangan sampai meresahkan dan menyesatkan.
Dalam menangani kasus sengketa mengenai kepailitan yang paling efektif yakni dengan cara menggugat ke pengadilan tentu saja dengan prosedur atau hukum acara perdata, hal ini cocok karena banyak korban yang dirugikan dalam kasus PT Telkomsel dan PT Mitra Batavia. Konklusi Solusi berdasarkan uraian diatas;Jalan terbaik adalah dengan cara merevisi ulang UU Nomor 37 Tahun 2004 tersebut karena secara substansi memang sangat meragukan dapat menjamin kepastian hukum terkait masalah kepailitan yang ada di Indonesia. Bagaimana mungkin PT Telkomsel dengan keuangan yang sehat digugat pailit hanya gara gara utang yang tidak seberapa, ini menandakan bahwa sedemikian mudahnya hukum keadilan dibolak balikkan. Dan bila kita melihat judul dari UU Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 sangat miris yakni KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN MEMBAYAR HUTANG, dimana bila ada gugatan pailit terhadap perusahaan dapat membengkrutkan perusahaan tersebut secara tidak langsung karena ada tekana untuk melawan gugatan tersebut dan juga harus ada beban berat yakni menang di Pengadilan pada tingkat Kasasi. Bila berbicara tentang revormasi hukum di bidang bisnis memang yang harus perlu diralat dan diamandemen adalah mengenai UU No 37 Tahun 2004, dari sejarahnya pun panjang dengan melibatkan masa masa yang sulit dan terus dinamis mengikuti perkembangan zaman, maka aturannya pun harus segera diganti minimal 5 tahun sekali. Maka dengan adanya UU Kepailitan yang baru maka perlindungan terhadap konsemen akan lebih baik dan sesuai dengan harapat dan cita cita bangsa Indonesia. Dan juga sesuai dengan sila Pancasila yakni “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, dengan memaksimalkan sinergi antara keduanya bukan tidak mungkin Indonesia akan mempunyai peraturan yang berlandaskan prinsip Equality Before The Law.
Adapun dasar hukumnya yakni UU No 37 Tahun 2004 tentang kepailitan. Sementara mengenai perlindungan konsumen juga diatur dalam UU No 8 Tahun 1999. Konsumen yang tidak berdaya harus dilindungi melalui hukum dan juga kebijakan perlindungan konsumen, konsumen harus menyadari hak haknya dan mau memperjuangkannya. Inilah problem permasalahannya mengenai kasus diatas dimana para konsumen yang dirugikan tidak mau menuntut hak haknya. Padahal dalam UU No 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen juga ada beberapa hak terkait perlindungan konsumen dalam kasus diatas yakni hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan penyelesaian sengketa secara patut dan juga hak untuk memperoleh ganti rugi. Pada intinya melalui undang undang perlindungan konsumen hak hak konsumen memang harus diperjuangkan dengan adanya proses yang sinergis antara para kreditur, debitur, dan juga kurator, serta konsumen dalam hal ini pihak yang perlu dilindungi. Namun memang terdapat banyak kendala terkait pengsinergian antara kepailitan dengan perlindungan konsumen karena disisi lain undang undang perlindungan konsumen mengakui tetapi di depan kasus kepailitan seolah olah perlindungan tersebut hambar dan terkesan tidak jelas. Belum lagi kerugian yang diderita oleh perusahaan PT yang pailit.
Maka dapat dikatakan bahwa undang undang kepailitan memiliki kelemaham kelemahan yaitu:
a. Tidak terdapatnya pembatasan jumlah nilai nominal utama di dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit, merupakan kekurangan dan kelemahan aturan hukum kepailitan di Indonesia.
b. Tidak diaturnya pembatasan jumlah nilai nominal utang di dalam hukum kepailitan, dilihat dari argumentasi yuridis menunjukkan bahwa terjadi penyimpangan hakikat kepailitan. Jadi dapat dikatakan bahwa dugaan dugaan kasus kepailitan terhadap PT Mitra Batavia yang terbukti pailit walaupun pihak perusahaan juga telah menyatakan kebenaran utang perusahaan yang banyak sehingga tidak mampu membayar, harus dikaji lagi karena bagaimanapun juga perusahaan harus diberikan waktu yang cukup lama untuk mengurus para konsumen setiannya yang dilanda kepanikan. Karena perusahaan itu merupakan perusahaan yang bergerak dibidang publik, jadi apabila pailit harus juga memberikan santunan jasa kepada konsumennya.
Konsumen yang dirugikan terkait dengan kasus PT Mitra Batavia ditambahlagi dengan diposisikan sebagai kreditor konkuren bahkan menjadi bagian terakhir dari pembagian budel pailit, menurut saya dalam pandangan perlindungan konsumen seharusnya perusahaan tidak membawa bawa konsumen dalam kasus kepailitan apalagi disuruh untuk bertanggungjawab atas pelunasan hutang perusahaan. Maka kita tidak boleh menyamakan antara konsumen dengan kreditor apalagi menjadi bagian terakhir dari pembagian budel pailit, seharunya konsumen mendapatkan ganti rugi yang layak berupa jasa yakni dengan cara mengalihkan penerbangan kepada maskapai penerbangan yang lainnya tanpa adanya timbal jasa dengan penuh keikhlasan untuk memjamin hak konsumennya disaat terakhir di masa masa pailit. Mengenai pemecahan masalah PT Telkomsel sepertinya tak jauh berbeda dari apa yang dipaparkan di atas, untuk memuaskan pelanggan dalam hal ini konsumen maka PT Telkomsel menurut saya harus segera membuat defense yakni dengan membutuhkan peran advokat yang disumpah untuk siap membela para konsumen yang dirugikan akibat kebijakan yang dikeluarkan. Walaupun secara keuangan PT Telkomsel terbilang sehat karena banyak sekali konsemen pelanggan Telkomsel meliputi kartu perdana, vocher, dan komunikasi interaktif lainnya. Mengenai masalah pelayanan juga harus ditingkatkan, karena setelah hampir dinyatakan pailit minimal PT Telkomsel belajar dari kasus tersebut, dan juga kebijakan yang dibuat dalam hal iklan jangan sampai meresahkan dan menyesatkan.
Dalam menangani kasus sengketa mengenai kepailitan yang paling efektif yakni dengan cara menggugat ke pengadilan tentu saja dengan prosedur atau hukum acara perdata, hal ini cocok karena banyak korban yang dirugikan dalam kasus PT Telkomsel dan PT Mitra Batavia. Konklusi Solusi berdasarkan uraian diatas;Jalan terbaik adalah dengan cara merevisi ulang UU Nomor 37 Tahun 2004 tersebut karena secara substansi memang sangat meragukan dapat menjamin kepastian hukum terkait masalah kepailitan yang ada di Indonesia. Bagaimana mungkin PT Telkomsel dengan keuangan yang sehat digugat pailit hanya gara gara utang yang tidak seberapa, ini menandakan bahwa sedemikian mudahnya hukum keadilan dibolak balikkan. Dan bila kita melihat judul dari UU Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 sangat miris yakni KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN MEMBAYAR HUTANG, dimana bila ada gugatan pailit terhadap perusahaan dapat membengkrutkan perusahaan tersebut secara tidak langsung karena ada tekana untuk melawan gugatan tersebut dan juga harus ada beban berat yakni menang di Pengadilan pada tingkat Kasasi. Bila berbicara tentang revormasi hukum di bidang bisnis memang yang harus perlu diralat dan diamandemen adalah mengenai UU No 37 Tahun 2004, dari sejarahnya pun panjang dengan melibatkan masa masa yang sulit dan terus dinamis mengikuti perkembangan zaman, maka aturannya pun harus segera diganti minimal 5 tahun sekali. Maka dengan adanya UU Kepailitan yang baru maka perlindungan terhadap konsemen akan lebih baik dan sesuai dengan harapat dan cita cita bangsa Indonesia. Dan juga sesuai dengan sila Pancasila yakni “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, dengan memaksimalkan sinergi antara keduanya bukan tidak mungkin Indonesia akan mempunyai peraturan yang berlandaskan prinsip Equality Before The Law.
Analisa Kasus Kepailitan "Kasus kepailitan PT Telkomsel dan PT Mitra Batavia"
4/
5
Oleh
Unknown