Resensi Buku Hukum Perjanjian Internasional Pengertian, Status Hukum dan Ratifikasi
Judul : Hukum Perjanjian InternasionalPengertian, Status Hukum dan Ratifikasi
Penulis : DR. Eddy Pratomo, S.H., M.A.
Penerbit : P.T. Alumni, Bandung
Cetakan : 1 (Pertama), 2011
Tebal : 238
Peresensi : Mohammad Toha Yahya
Judul : Hukum Perjanjian InternasionalPengertian, Status Hukum dan Ratifikasi
Penulis : DR. Eddy Pratomo, S.H., M.A.
Penerbit : P.T. Alumni, Bandung
Cetakan : 1 (Pertama), 2011
Tebal : 238
Peresensi : Mohammad Toha Yahya
Buku ini menyoroti tiga permasalahan dasar terkait dengan pemahaman tentang Pengertian Perjanjian Internasional, Status Hukum Perjanjian Internasional dalam Hukum Nasional dan Konsepsi Ratifikasi/Pengesahan dalam Perspektif Hukum Nasional. Secara umum, buku ini menjelaskan tentang latar belakang dari tiga permasalahan tersebut dan membahas secara tuntas perjanjian internasional ditinjau dari teori dan praktik umum dalam hukum internasional, tinjauan dan praktik dalam sistem hukum nasional Indonesia, praktik perjanjian internasional oleh beberapa negara dan diakhiri dengan analisis Penulis tentang perlunya Indonesia mengadopsi suatu politik hukum dibidang perjanjian internasional berdasarkan perkembangan intensitas dan dinamika hubungan luar negeri, teori kedaulatan negara dan politik luar negeri yang bebas dan aktif yang diabdikan bagi kepentingan nasional.
Pasal 11 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain, dinilai terlalu singkat dan tidak memberikan kejelasan terhadap dokrin atau politik hukum Indonesia di bidang perjanjian internasional. Pasal ini memang tidak dimaksudkan untuk berbicara tentang perjanjian itu sendiri tetapi hanya mengatur tentang pembagian kekuasaan antara Presiden dan DPR. Atas dasar Pasal 11 UUD 1945 ini, Indonesia selanjutnya mengembangkan apa yang disebut konvensi ketatanegaraan melalui praktik praktik negara sampai akhirnya dikeluarkan Surat Presiden No. 2826 Tahun 1960 yang dikristalisasikan dengan UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
Dalam rangka pelaksanaan Pasal 20 UUD 1945, masalah perjanjian internasional juga tidak menjadi perhatian. Sebagai turunannya, UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang undangan khusunya dalam Pasal 7, tidak menempatkan Perjanjian Internasional yang telah diratifikasi ke dalam tata urutan hierarki peraturan perundang undangan. Sehingga keberadaan dan kedudukan hukum suatu perjanjian internasional dalam dalam hukum nasional tidaklah jelas. Kalaupu keberadaan ahli telah menganggap behwa kedudukannya setara dengan UU yang meratifikasinya, pandangan ini tidak mendapat dukungan yuridis. Bahkan, terdapat kalangan ahli lain yang berpendapat bahwa UU yang meratifikasi bukan menjadikan perjanjian internasional itu sebagai UU melainkan hanya mewadahi persetujuan DPR seperti yang dimaksud Pasal 11 UUD 1945. Dalam Praktik Indonesia tentang status hukum perjanjian internasional belum konsisten, kadang menerapkan teori inkorporasi dan tidak jarang pula menerapkan teori transformasi. Adanya rujukan langsung terhadap berbagai konvensi internasional tertentu oleh Mahkamah Konsstitusi atau Mahkamah Agung dalam beberapa keputusannya telah mengindikasikan bahwa Indonesia menganut teori inkorporasi. Hal ini tampak jelas ketika Indonesia melakukan rujukan langsung terhadap ketentuan UU No. 1 Tahun 1982 tentang pelaksanaan Ketentuan Konvensi Wina 1961/1963 tentang Hubungan Diplomatik dan Konsuler dalam hal pemberian pemberian fasilitas diplomatik kepada Misi Diplomatik Asing di Indonesia. Sementara itu, terdapat pula praktik umum pemberian baju hukum terhadap suatu perjanjian internasional dalam rangka mengintegrasikan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional (UU atau Perpres) dalam rangka mengintegrasikan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional, telah mengindikasikan penerapan teori transformasi. Dalam praktik Indonesia ketika meratifikasi UNCLOS Tahun 1982 dengan UU No. 17 Tahun 1985 masih diperlukan adanya undang undang implementasi yakni UU No. 6 Tahun 1986 tentang Perairan Indonesia yang merupakan undang undang transformasi dari ketentuan hukum nasional. Penandatanganan Letter of Intent (LQI) antara IMF dengan Pemerintah Indonesia tahun 1998 telah memicu beberapa pertanyaan tentang pengertian, status maupun proses ratifikasi suatu perjanjian internasional. Walaupun hanya berbentuk LQI, perjanjian tersebut mengatur hal yang sangat mendasar dan menyentuh berbagai kepentingan fundamental ekonomi Indonesia. LQI IMF telah memicu perdebatan seru dikalangan ahli hukum Indonesia maupun politisi dan berakhir pada munculnya amandemen terhadap Pasal 11 UU 1945 yang tercermin dalam ayat (2) yakni: “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban kauangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang undang harus dengan persetujuan DPR”. Istilah perjanjian internasional lainnya yang ditambahkan dalam ayat (2) tersebut juga semakin menimbulkan kerancuan. Munculnya judicial review dari beberapa anggota DPR RI yang mempermasalahkan Pasal 11 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2001 tentang minyak dan Gas Bumi yang berbunyi: Setiap Kontra Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada DPR dinilai bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945, semakin merefleksikan adanya ketidakjelasan tentang pengertian perjanjian internasional. Selain itu makna ratifikasi juga dipahami berbeda oleh beberapa kalangan, Hukum Tata Negara RI berdasarkan Pasal 11 ayat (1) UUD 1945, mengartikan ratifikasi sebagai prosedur internal yakni persetujuan DPR terhadap perbuatan hukum Pemerintah dalam membuat Perjanjian Internasional. Sementara itu, UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional mengartikan lebih kepada prosedur eksternal yakni keterkaitan Indonesia pada suatu perjanjian internasional. Sehingga terjadi ketakjelasan tentang kapan mulai berlakunya suatu Perjanjian Internasional dalam ranah hukum nasional. Apakah pada saat belakunya UU ratifikasi oleh DPR atau pada saat menyampaikan instrument of ratifikation oleh Pemerintah Indonesia. Di beberapa negara, sistem common law ataupun civil law, masalah pilihan politik hukum telah tuntas sejak akhir Perang Dunia ke-2, apakah melalui inkorporasi ataupun transformasi. Bahkan, Negara dengan sistem campuran, seperti Thailand, China dan Vietnam, telah menemukan sikap jika terjadi konflik antara hukum internasional dan hukum nasional, hukum internasionallah yang berlaku. Oleh karena itu, Indonesia perlu segera menerapkan pilihan hukumnya atau doktrinnya agar sejalan dengan komitmen Indonesiau untuk mengimplementasikan perjanjian internasional sesuai dengan ketentuan Pasal 26 Konvensi Wina 1969 yang menyatakan prinsip fundamental pacta sunt servanda yakni bahwa Perjanjian Internasional adalah mengikat para pihak terkait dan harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Pasal 27 Konvensi Wina Tahun 1969 juga menegaskan bahwa para pihak pada perjanjian tidak dapat menjadikan hukum nasionalnya sebagai alasan terhadap kegagalannya dalam melaksanakan ketentuan suatu perjanjian internasional. Dalam kaitan ini, Mochtar Kusumaatmadja, dalam bukunya Pengantar Hukum Internasional, Buku 1, Bagian Umum, Bina Cipta, Bandung 1990, hlm. 65-67, menyatakan bahwa: kita lebih condong kepada sistem negara negara continental Eropa yang disebut halaman terdahulu, yakni langsung menganggap diri kita terkait dalam kewajiban melaksanakan dan menaati semua ketentuan perjanjian dan konvensi yang telah disahkan tanpa perlu mengadakan lagi perundang undangan pelaksanaan. Mochtar Kusumaatmadja lebih cenderung mengarah kepada monisme primat hukum internasional, meskipun pada bagian lain, beliau juga mengatakan: “tetapi dalam beberapa hal menurut pendapat penulis buku pengundang undangan dalam undang undang nasional adalah mutlak diperlukan yakni antara lain apabila diperlukan perubahan dalam undang undang nasional yang langsung menyangkut hak warga Negara sebagai perorangan.
Dengan demikian, wacana terkait dengan persoalan politik hukum Indonesia sudah pernah dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, tetapi hingga kini wacana tersebut balum pernah ditindaklanjuti dengan adanya penetapan tentang politik hukum Indonesia dibidang perjanjian internasional. Maka dari itu Eddy Pratomo selaku penulis buku ini mengusulkan teori kombinasi dalam upaya untuk terus mendorong ke arah pembahasan yang lebih konkret tentang polotik hukum di bidang perjanjian internasional, sebagai berikut: “Teori hukum keleluasaan Negara yang dinamis untuk menetapkan status hukum perjanjian internasional di dalam hukum nasional melalui mekanisme teori kombinasi yang telah disediakan dalam teori inkorporasi dan transformasi. Kombinasi dimaksud dapat berupa penggunaan salah satu teori dari hukum atau kombinasi keduannya. Sehingga dalam penentuan status hukum suatu perjanjian internasional, Negara Indonesia dapat secara fleksibel menentukan sikap sepanjang memenuhi kepentingan nasional dan tidak bertentangan dengan aturan ukum kebiasaan internasional dan nasional serta dapat menciptakan kepastian hukum tentang status perjanjian internasional dalam hukum nasional Indonesia.
Buku ini hadir untuk menjawab tantangan problematika hukum nasional dengan internasional sebagai manifestasi hukum internasional di era globalisasi ini, dan wajib dibaca oleh para akademisi, dan juga menjadi referensi dasar bagi para pejabat pemerintah dalam rangka tugas tugas praktisinya khususnya dalam menjelaskan kepaa pihak negara lain tentang anatomi permasalahan perjanjian internasional di Indonesia.
Adapun kelebihan dari buku ini, Eddy Pratomo, sebagai penulis buku, secara signifikan banyak menguraikan dan mengkaji mengenai perjanjian internasional dari beberapa segi, mulai dari politik hukum suatu negara yang harus jelas, latar belakang historis politis suatu peraturan sehingga dapat menguntungkan pihak pihak yang melakukan perjanjian, juga asas asas yang digunakan dalam merumuskan suatu peraturan perundang undangan yang sesuai dengan perjanjian internasional yang telah disepakati, jika kepentingan mendesak maka hak warga negara wajib didahulukan dalam perjanjian dari pada hubungan antara pihak yang membuat perjanjian.
Dalam rangka pelaksanaan Pasal 20 UUD 1945, masalah perjanjian internasional juga tidak menjadi perhatian. Sebagai turunannya, UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang undangan khusunya dalam Pasal 7, tidak menempatkan Perjanjian Internasional yang telah diratifikasi ke dalam tata urutan hierarki peraturan perundang undangan. Sehingga keberadaan dan kedudukan hukum suatu perjanjian internasional dalam dalam hukum nasional tidaklah jelas. Kalaupu keberadaan ahli telah menganggap behwa kedudukannya setara dengan UU yang meratifikasinya, pandangan ini tidak mendapat dukungan yuridis. Bahkan, terdapat kalangan ahli lain yang berpendapat bahwa UU yang meratifikasi bukan menjadikan perjanjian internasional itu sebagai UU melainkan hanya mewadahi persetujuan DPR seperti yang dimaksud Pasal 11 UUD 1945. Dalam Praktik Indonesia tentang status hukum perjanjian internasional belum konsisten, kadang menerapkan teori inkorporasi dan tidak jarang pula menerapkan teori transformasi. Adanya rujukan langsung terhadap berbagai konvensi internasional tertentu oleh Mahkamah Konsstitusi atau Mahkamah Agung dalam beberapa keputusannya telah mengindikasikan bahwa Indonesia menganut teori inkorporasi. Hal ini tampak jelas ketika Indonesia melakukan rujukan langsung terhadap ketentuan UU No. 1 Tahun 1982 tentang pelaksanaan Ketentuan Konvensi Wina 1961/1963 tentang Hubungan Diplomatik dan Konsuler dalam hal pemberian pemberian fasilitas diplomatik kepada Misi Diplomatik Asing di Indonesia. Sementara itu, terdapat pula praktik umum pemberian baju hukum terhadap suatu perjanjian internasional dalam rangka mengintegrasikan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional (UU atau Perpres) dalam rangka mengintegrasikan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional, telah mengindikasikan penerapan teori transformasi. Dalam praktik Indonesia ketika meratifikasi UNCLOS Tahun 1982 dengan UU No. 17 Tahun 1985 masih diperlukan adanya undang undang implementasi yakni UU No. 6 Tahun 1986 tentang Perairan Indonesia yang merupakan undang undang transformasi dari ketentuan hukum nasional. Penandatanganan Letter of Intent (LQI) antara IMF dengan Pemerintah Indonesia tahun 1998 telah memicu beberapa pertanyaan tentang pengertian, status maupun proses ratifikasi suatu perjanjian internasional. Walaupun hanya berbentuk LQI, perjanjian tersebut mengatur hal yang sangat mendasar dan menyentuh berbagai kepentingan fundamental ekonomi Indonesia. LQI IMF telah memicu perdebatan seru dikalangan ahli hukum Indonesia maupun politisi dan berakhir pada munculnya amandemen terhadap Pasal 11 UU 1945 yang tercermin dalam ayat (2) yakni: “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban kauangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang undang harus dengan persetujuan DPR”. Istilah perjanjian internasional lainnya yang ditambahkan dalam ayat (2) tersebut juga semakin menimbulkan kerancuan. Munculnya judicial review dari beberapa anggota DPR RI yang mempermasalahkan Pasal 11 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2001 tentang minyak dan Gas Bumi yang berbunyi: Setiap Kontra Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara tertulis kepada DPR dinilai bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945, semakin merefleksikan adanya ketidakjelasan tentang pengertian perjanjian internasional. Selain itu makna ratifikasi juga dipahami berbeda oleh beberapa kalangan, Hukum Tata Negara RI berdasarkan Pasal 11 ayat (1) UUD 1945, mengartikan ratifikasi sebagai prosedur internal yakni persetujuan DPR terhadap perbuatan hukum Pemerintah dalam membuat Perjanjian Internasional. Sementara itu, UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional mengartikan lebih kepada prosedur eksternal yakni keterkaitan Indonesia pada suatu perjanjian internasional. Sehingga terjadi ketakjelasan tentang kapan mulai berlakunya suatu Perjanjian Internasional dalam ranah hukum nasional. Apakah pada saat belakunya UU ratifikasi oleh DPR atau pada saat menyampaikan instrument of ratifikation oleh Pemerintah Indonesia. Di beberapa negara, sistem common law ataupun civil law, masalah pilihan politik hukum telah tuntas sejak akhir Perang Dunia ke-2, apakah melalui inkorporasi ataupun transformasi. Bahkan, Negara dengan sistem campuran, seperti Thailand, China dan Vietnam, telah menemukan sikap jika terjadi konflik antara hukum internasional dan hukum nasional, hukum internasionallah yang berlaku. Oleh karena itu, Indonesia perlu segera menerapkan pilihan hukumnya atau doktrinnya agar sejalan dengan komitmen Indonesiau untuk mengimplementasikan perjanjian internasional sesuai dengan ketentuan Pasal 26 Konvensi Wina 1969 yang menyatakan prinsip fundamental pacta sunt servanda yakni bahwa Perjanjian Internasional adalah mengikat para pihak terkait dan harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Pasal 27 Konvensi Wina Tahun 1969 juga menegaskan bahwa para pihak pada perjanjian tidak dapat menjadikan hukum nasionalnya sebagai alasan terhadap kegagalannya dalam melaksanakan ketentuan suatu perjanjian internasional. Dalam kaitan ini, Mochtar Kusumaatmadja, dalam bukunya Pengantar Hukum Internasional, Buku 1, Bagian Umum, Bina Cipta, Bandung 1990, hlm. 65-67, menyatakan bahwa: kita lebih condong kepada sistem negara negara continental Eropa yang disebut halaman terdahulu, yakni langsung menganggap diri kita terkait dalam kewajiban melaksanakan dan menaati semua ketentuan perjanjian dan konvensi yang telah disahkan tanpa perlu mengadakan lagi perundang undangan pelaksanaan. Mochtar Kusumaatmadja lebih cenderung mengarah kepada monisme primat hukum internasional, meskipun pada bagian lain, beliau juga mengatakan: “tetapi dalam beberapa hal menurut pendapat penulis buku pengundang undangan dalam undang undang nasional adalah mutlak diperlukan yakni antara lain apabila diperlukan perubahan dalam undang undang nasional yang langsung menyangkut hak warga Negara sebagai perorangan.
Dengan demikian, wacana terkait dengan persoalan politik hukum Indonesia sudah pernah dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja, tetapi hingga kini wacana tersebut balum pernah ditindaklanjuti dengan adanya penetapan tentang politik hukum Indonesia dibidang perjanjian internasional. Maka dari itu Eddy Pratomo selaku penulis buku ini mengusulkan teori kombinasi dalam upaya untuk terus mendorong ke arah pembahasan yang lebih konkret tentang polotik hukum di bidang perjanjian internasional, sebagai berikut: “Teori hukum keleluasaan Negara yang dinamis untuk menetapkan status hukum perjanjian internasional di dalam hukum nasional melalui mekanisme teori kombinasi yang telah disediakan dalam teori inkorporasi dan transformasi. Kombinasi dimaksud dapat berupa penggunaan salah satu teori dari hukum atau kombinasi keduannya. Sehingga dalam penentuan status hukum suatu perjanjian internasional, Negara Indonesia dapat secara fleksibel menentukan sikap sepanjang memenuhi kepentingan nasional dan tidak bertentangan dengan aturan ukum kebiasaan internasional dan nasional serta dapat menciptakan kepastian hukum tentang status perjanjian internasional dalam hukum nasional Indonesia.
Buku ini hadir untuk menjawab tantangan problematika hukum nasional dengan internasional sebagai manifestasi hukum internasional di era globalisasi ini, dan wajib dibaca oleh para akademisi, dan juga menjadi referensi dasar bagi para pejabat pemerintah dalam rangka tugas tugas praktisinya khususnya dalam menjelaskan kepaa pihak negara lain tentang anatomi permasalahan perjanjian internasional di Indonesia.
Adapun kelebihan dari buku ini, Eddy Pratomo, sebagai penulis buku, secara signifikan banyak menguraikan dan mengkaji mengenai perjanjian internasional dari beberapa segi, mulai dari politik hukum suatu negara yang harus jelas, latar belakang historis politis suatu peraturan sehingga dapat menguntungkan pihak pihak yang melakukan perjanjian, juga asas asas yang digunakan dalam merumuskan suatu peraturan perundang undangan yang sesuai dengan perjanjian internasional yang telah disepakati, jika kepentingan mendesak maka hak warga negara wajib didahulukan dalam perjanjian dari pada hubungan antara pihak yang membuat perjanjian.
Resensi Buku Hukum Perjanjian Internasional Pengertian, Status Hukum dan Ratifikasi
4/
5
Oleh
Unknown