RASIO
DAN WAHYU DALAM TEKNIK HUKUM
Pada waktu Nabi datang, di lingkungan
tersebut sudah ada hukum yang berlaku, maka Nabi bukan membuat tradisi hukum
baru tetapi bagaimana agar tindak tanduk kita sesuai dengan apa yang tereta
dalam kitab suci kita. Disini yang lebih ditekankan adalah aspek moral, karena
tidaklah Allah mengutus Nabi selain untuk memperbaiki akhlaq, Nabi hanya
mempunyai waktu 23 tahun untuk mengembanhkan sistem hukum, walaupun disana
masih ada berbagai masalah yang belum terpecahkan. Mengingat semakin
berkembangnya Islam ke semua belahan dunia maka kebutuhan terhadap hukum yang
bisa dielaborasikan sesuai dengan perkembangan masa terasa sangat mendesak.
Maka dibutuhkanlah ilmu fiqh. Disamping itu diperlukan juga ushul fiqh sebagai suatu
landasan sumber dari Al-Qur’an dan hadis, yang membahas tentang metodologi cara
pengambilan hukum tentu hukum yang tidak menyimpang dengan dalil dalil syara’
maka diperlukanlah ijma’ dan qiyas. Sekalilagi fungsi sunah adalah sebagai
penjelas dari Al-Qur’an yang masih membutuhkan keterangan lebih lanjut, Nabi
diposisikan sebagai legislator, dari semua permasalahan yang ada maka sumber
rujukan utama adalah hadis yang diucapkan oleh Nabi yang mengandung unsur
hukum. Sepeningalan Nabi masalah masalah berkembang lebih lengkap maka disini
munculah para ahli fiqih dengan mengunakan metode sumber hukum yang lain dengan
ijma’ dan qiyas yang lebih menekankan pada penggunaan akal (ra’y), maka dengan
metode ini ditemukan solusi pemecahan masalah yang lebih luas dengan
menggunakan deduksi analogis. Para mujtahid menggunakan akal juga atas dasar
kesadaran bahwa akal juga sifatnya terbatas karena hanya sebagai sarana untuk
menemukan hukum, hal ini demi menjaga keabsolutan dari wahyu yakni AL-Qur’an.
Para mujtahid lebih suka mengambil penyelesaian kasus dari sumbernya yakni
Al-Qu’an dari pada mengambil dari kasus baru yang telah muncul yang telah bulat
keputusannya.
Dalam perkembangannya tentu
pemikiran akal atau logika tentu akan selau berbeda beda antara ulama satu dengan
yang lain maka muncullah mazhab, yang pada prinsipnya sama yakni menggunakan
deduksi dan analogi dari suatu pemasalahan yang muncul. Selanjutnya tidaklah
cukup untuk tetap berpegang kepada metode hukum ijma’ dan qiyas karena itu
terjadi pada masa tabiin maka dibutuhkanlah suatu metode baru yang lebih
kontekstual sesuai dengan perkembangan zaman yakni : istihsan, istishlah,
maslahah al-mursalah, amal ahl al-madinah, shar’man qablana, dan ‘urf. Istihsan
lebih dikenal dengan praduga hukum, istislah lebih dikenal sebagai kepentingan
publik, sedangkan maslahah mursalah adalah lebih menekankan pada aspek
kemaslahatan yang bersifat umum, shar’man qablana adalah syariat Nabi
terdahulu, sedangkan ‘urf adalah kebiasaan yang berlaku pada sebuah mansyarakat
dan itu dianggap sebagai hukum yang harus dipatuhi oleh masyarakat yang ada
disekelilingnya.
Urf oleh para ahli hukum selau
dikesampingkan karena bahwa hukum Allah berada pada posisi yang tinggi jadi
tidak memerlukan hukum yang bersumber pada non ilahiyat. Padahal urf ini pernah
dipraktekan oleh Nabi bagaimana praktek kosamah pada waktu era Nabi yang
sekarang sudah menjadi hukum, asal sesuai dengan prinsip dasar yaitu selama
adat tidak berlawanan dengan sumber hukum yang utama yang dapat digunakan
sebagai sumber hukum sekunder dalam memecahkan suatu masalah baru, maka kita
merujuk kepada kesimpulan bahwa adat dapat digunakan sebagai sumber hukum.
Meskipun hukum Islam adalah hukum yang sakral maka tidak serta merta anti
rasio, tentu beda dengan Islam Ortodoks yang hanya mengunakan wahyu saja secara
total. Kembali kepada hukum Islam lagi lagi pengunaan akal benar benar harus
dibatasi jangan sampai keluar dari kontek yang ada. Peran hukum sekunder hanya
sebagai penafsir dari hukum yang ada dalam Al-Qur’an sejauh mana akal manusia
tunduk kepada Allah semata.
HUBUNGAN ANTARA RASIO DAN WAHYU DALAM TEKNIK HUKUM
4/
5
Oleh
Unknown