BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Hukum keluarga dapat diartikan sebagai keseluruhan ketentuan
atau aturan-aturan yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan
kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan
orang tua, perwalian, pengampuan, keadaan tidak hadir).
Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat
antara beberapa orang yang mempunyai keluhuran yang sama. Kekeluargaan karena
perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara
seorang dengan keluarga sedarah dari istri (suaminya).
Secara luas Hukum Keluarga mencakup
atas :
1.
Keturunan
2.
Kekuasaan
orang tua
3.
Perwalian
4.
Pendewasaan
5.
Pengampuan
(Curatele)
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
KETURUNAN
a.
Anak Sah
Seorang anak
yang sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah antara ayah dan
ibunya. Dalam undang-undang ditetapkan suatu tenggang kandungan yang paling
lama, yaitu 300 hari dan suatu tenggang kandungan yang paling pendek, yaitu 180
hari. Seorang anak yang lahir 300 hari setelah perkawinan orang tuanya di anggap
sebagai anak yang tidak sah.
b.
Menyangkal
Sahnya Anak
Jikalau seorang
anak dilahirkan sebelum 180 hari setelah hari pernikahan orang tuanya, maka
ayahnya berhak menyangkal sahnya anak itu, kecuali jika ia sudah mengetahui
bahwa istrinya mengandung sebelum pernikahan atau ayah hadir dan mentanda
tangani pembuatan surat kelahiran maka si ayah di anggap telah menerima dan
mengakui anak tersebut. Pembuktian keturunan harus dilakukan dengan surat
kelahiran yang diberikan oleh Pegawai Pencatatan Sipil. Jika tidak mungkin
didapatkan surat kelahiran, hakim dapat memakai bukti-bukti lain yang dapat
menunjukkan hubungan anak dengan ayah.[1]
Hakim yang
menerima gugatan penyangkalan itu, harus ditunjuk seorang wali khusus yang akan
mewakili anak yang disangkal itu. Serta ibu si anak yang disangkal harus
dipanggil di muka hakim.
Anak yang lahir
diluar perkawinan, dinamakan “natuurlijk kind.” Ia dapat diakui atau tidak diakui oleh ayah
atau ibunya. Menurut sistem BW dengan adanya keturunan diluar perkawinan saja
belum terjadi suatu hubungan keluarga antara anak dengan orang tuanya. Barulah
dengan “pengakuan” (erkenning) lahir suatu pertalian kekeluargaan dengan
akibat-akibatnya (terutama hak mawaris) antara anak dengan orang tua yang
mengakuinya. Tetapi suatu hubungan kekeluargaan antara anak dengan keluarga si
ayah atau ibu yang mengakuinya belum juga ada. Hubungan ini hanya dapat
diletakkan dengan pengesahan anak (wettiging), yang merupakan suatu
langkah lebih lanjut lagi dari pada pengakuan.
KEKUASAAN ORANG TUA (VAN DE OUDERLIJKE MACHT)
Kekuasaan orang
tua itu mulai berlaku sejak lahirnya anak atau sejak hari pengesahannya dan
berakhir pada waktu anak itu menjadi dewasa atau kawin, atau pada waktu
perkawinan orang tuanya dihapuskan. Ada pula kemungkinan, kekuasaan itu boleh
hakim dicabut (ontzet) atau orang tua
itu dibebaskan (ontheven) dari kekuasaan itu, karena suatu alas an. Kekuasaan
itu dimiliki oleh kedua orang tua bersama, tetapi lazimnya dilakukan oleh si
ayah. Hanyalah apabila si ayah itu tidak mampu untuk melakukannya, misalnya sedang
sakit keras, sakit ingatan, sedang berpergian dengan tidak ada ketentuan
tentang nasibnya, atau sedang berada di bawah pengawasan (curatele) kekuasaan itu dilakukan oleh isterinya. [2]
Ikatan perkawinan pada dasarnya akan mengakibatkan hubungan hukum antara
hak dan kewajiban; pertama, hak dan kewajiban antara suami dan isteri ; kedua,
Hk dan kewajiban suami isteri terhadap anak anaknya; dan ketiga,
hubungan hukum dalam kaitannya dengan pihak ketiga.
Tentang kekuasaan orang tua, dituntut juga hubungan timbal balik
antara orang tua dan anak anaknya, bahwa tiap tiap anak dalam umur berapa pun
juga, wajib menaruh kehormatan dan keseganan terhadap bapak dan ibunya, si
bapak dan si ibu keduanya wajib memelihara dan mendidik sekalian anak mereka
yang belum dewasa. Kehilangan hak untuk memangku kekuasaan orang tua untuk
menjadi wali membebaskan mereka dari kewajiban, memberi tunjangan tunjangan
dalam keseimbangan dengan pendapatan mereka, guna membiayai pemeliharaan dan
pendidikan untuk anak anaknya (ex Pasal 298 KUH Perdata).[3]
1.
Hak dan
Kewajiban antar Suami Isteri
Hak dan kewajiban harus dipikul oleh
suami dan isteri dapat dibedakan menjadi dua hal, yaitu :[4]
a.
Hak dan
Kewajiban sebagai Akibat yang Timbul dari Hubungan Suami Isteri
Hak
dan kewajiban sebagai akibat yang timbul dari hubungan suami isteri meliputi
antara lain :
1). Suami isteri saling setia, saling tolong menolong dan saling
bantu membantu (Pasal 105 BW);
2). Isteri harus patuh pada suaminya (Pasal 105 BW);
3). Isteri wajib mengikuti suami (Pasal 106 Ayat 2 BW);
4). Suami wajib melindungi dan memberikan segala sesuatu yang
diperlukan isterinya, sesuai kedudukan dan kemampuannya (Pasal 107 BW);
5). Suami isteri saling mengikatkan secara timbal balik untuk
memelihara dan memdidik anak mereka (Pasal 104 BW dan Pasal 298 Ayat 2 BW).
Undang undang pekawinan meletakkan,
bahwa hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
dalam pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Masing masing pihak berhak
untuk melakukan perbuatan hukum. Menurut Pasal 34 Undang Undang Perkawinan
menegaskan, bahwa: (1) Suami wajib melindungi isteri dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya; (2) Isteri
wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik baiknya; (3) Jika suami atau isteri
melalaikan kewajibannya masing masing dapat mengajukan kepada pengadilan.
b.
Hak dan
Kewajiban sebagai Akibat yang Timbul dari kekuasaan Suami
Menurut Pitlo asas maritale macht
harus dibedakan dari ketidak cakapan isteri. Asas maritale macht timbul sebagai
akibat suatu pandangan diperlukannya satu pimpinan dalam suatu keluarga dengan
memberikan wewenang kepada suami untuk mengurus sebagian besar harta kekayaan,
walaupun si isteri cakap untuk melakukannya. Sedangkan asas onbekwaamheid
timbul dari suatu pandangan kuno bahwa wanita tidak cakap mengurus harta
kekayaan sendiri sehingga perlu adanya curator yaitu suami.
Hak dan kewajiban sebagai akibat
yang timbul dari kekuasaan suami, meliputi antara lain :[5]
1)
Suami menjadi
kepala keluarga dan bertanggung jawab atas isteri dan anak anaknya;
2)
Wajib nafkah;
suami wajib memelihara isterinya; orang tua wajib memelihara dan mendidik anak
anaknya yang belum cukup umur; anak anak yang telah dewasa wajib memelihara
orang tuanya, kakek neneknya atau keluarga sedarah menurut garis lurus, yang
dalam deadpan miskin; menantu wajib memelihara mertua dan sebaliknya;
3)
Isteri
mengikuti kewarganegaraan suaminya;
4)
Isteri
mengikuti tempat tinggal suaminya;
5)
Isteri menjadi
tidak cakap bertindak;
6)
Suami berhak
mengurus dan menguasai harta perkawinan gabungan jika sebelumnya tidak diadakan
perjanjian harta perkawinan pisah;
7)
Isteri mengurus
harta kekayaan sendiri, jika sebelumnya diadakan perjanjian harta perkawinan
pisah.
2.
Hak dan
Kewajiban Suami Isteri Terhadap Anak anaknya
Secara kodrati dalam sejarah
peradaban manusia, anak anak selalu berada di bawah kekuasaan ayahnya.
Kekuasaan itu bersifat mutlak, artinya baik orang lain, maupun negara tidak
dapat melakukan campur tangan. Akan tetapi lambat laun hal tersebut berubah dan
kekuasaan tersebut semakin lama berkurang, namun masih cukup besar pula.
Sementara ibu sama sekali tidak mempunyai kekuasaan atas anak anaknya.
Konsep hukum alam tersebut tidak
langsung berpengaruh terhadap hukum Romawi yang menjadi sumber utama hukum
Perancis dan Hukum Belanda, selain itu juga Hukum Perdata Barat yang merupakan
konkordasi dengan BW Nederland.
Dengan diciptakannya Undang Undang
Perdata Anak, melalui Stb. 1927-31 jis Stb. 390-421, yang berlaku sejak 1
Oktober 1927, istilah kekuasaan ayah berubah menjadi kekuasaan orang tua.
Menurut Soetojo Prawirohamidjojo dan
Marthalena Pohan, kekuasaan orang tua haruslah mencerminkan kesadaran akan
kewajiban mereka untuk bertindak bagi kepentingan anak anaknya dan
mempertahankan keseimbangan antara hak dan kewajiban mereka untuk kesejahteraan
anak anaknya. Tentang kekuasaan orang tua diatur dalam KUHS atau KUH Perdata
(BW) Buku 1 Titel XIV Pasal 298-329, dan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 LN
1974-1 Pasal 45 s/d Pasal 49.
Dalam bab XIV KUH Perdata pada
dasarnya dibagi dalam tiga bagian, yaitu: (1) kekuasaan orang tua terhadap
pribadi anak (Pasal 298-306); (2) kekuasaan orang tua terhadap harta kekayaan
anak (Pasal 307-319); dan (3) hubungan arang tua dengan anak tanpa memandang
umur anak dan tidak terbatas pada orang tua itu saja, tetapi juga nenek dari
pihak ibu (Pasal 320-329).[6]
a.
Kekuasaan Orang
Tua terhadap Pribadi Anak
1).
Asas kekuasaan orang tua terhadap pribadi anak
Menurut
Pasal 299 BW menyatakan bahwa kekuasaan orang tua pada hakikatnya adalah
kekuasaan yang dilakukan oleh ayah dan ibu selama mereka itu terikat dalam
perkawinan terhadap anak anakny yang belum dewasa. Dari ketentuan Pasal 299
tersebut dapat disimpulkan tiga asas kekuasaan orang tua:
1).
Kekuasaan orang tua berada pada kedua orang tua dan tidak hanya pada ayah saja;
2).
Kekuasaan orang tua hanya ada sepanjang perkawinan masih berlangsung dan jika
perkawinan itu bubar, maka kekuasaan orang tua itu pun berakhir;
3).
Kekuasaan orang tua hanya ada sepanjang orang tua menjalankan kewajiban
terhadap anak anaknya dengan baik.
Merujuk pada ketentuan tersebut di atas,
maka kekuasaan orang tua terhadap pribadi anak mulai berlaku sejak lahirnya
anak atau sejak hari pengesahannya dan berakhir pada waktu anak itu menjadi
dewasa atau kawin, atau pada waktu perkawinan orang tuanya dihapuskan. Akan
tetapi, kekuasaan orang tua juga akan batal demi hukum apabila orang tua tidak
memenuhi persyaratan dimungkinkan adanya pencabutan atau pembebasan orang tua.
Dalam kondisi normal, kekuasaa orang tua
dipegang oleh ayah sendiri. Hal ini berarti bahwa ayah adalah pihak sendiri
yang berwenang menentukan pemeliharaan, pendidikan dan agama yang harus is
berikan dan sebagainya. Namun demikian tidak menutup kemungkinan bahwa ayah dan
ibu berunding terlebih dahulu untuk memperoleh kesepakatan, walaupun pada
akhirnya ayahlah yang harus memutuskan seandainya tidak ada persesuaian
pendapat. Dari segi hukum berunding ayah dan ibu perlu diadakan oleh karena
terdapat kekhawatiran jika tidak ada persesuaian pendapat pada akhirnya hakim
harus turut campur.
Apabila terjadi pisah meja atau pisah
ranjang antara ayah dan ibu, maka menurut Pasal 246 KUH Perdata hakim sesuai
dengan tugas dan kewajibannya akan merumuskan siapakah dari keduanya yang akan
menjalankan kekuasaan orang tua.
Ibu baru akan menjalankan kekuasaan orang
tua, jika ayah dipecat atau dibebaskan untuk menjelaskan kekuasaan orang tua,
karena jelas ia berada diluar kemungkinan untuk menjalankan kekuasaan itu.
Misalnya, adalah jika ia sakit keras, tidak diketahui tempat tinggalnya, atau
tidak diketahui nasibnya. Apabila ibunya juga berada diluar kemungkinan atau
tidak berwenang menjalankan kekuasaan tersebut, misalnya dipecat atau
dibebaskan dari kekuasaan tersebut, maka pengadilan akan mengangkat seorang
wali. Jadi dalam keadaan demikianm, anak berada di bawah perwalian meskipun
perkawinan antara orang tuanya belum bubar.[7]
2 ).
Akibat kekuasaan orang tua terhadap pribadi anak
Menurut pasal 298 Ayat 1 KUH Perdata jo.
46 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974, bahwa setiap anak wajib hormat dan patuh kepada
orang tuanya. Menurut Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, ketentuan
ini lebih merupakan norma kesusilaan daripada norma hukum. Meskipun demikian,
pelanggaran terhadap ketentuan yang dilakukan oleh anak yang masih minderjaringdapat
memberikan alasan bagi ayah atau ibu yang menjalankan kekuasaan orang tua untuk
mengambil tindakan tindakan koreksi terhadap si anak. Kewajiban anak tersebut
tidak hanya berlaku pada anak anak sah, tetapi juga pada anak di luar kawin dan
berapa pun umurnya di dalam kewajibannya terhadap orang tua yang mengakuinya.
Sebaliknya orang tua wajib memelihara dan
memberi bimbingan anak anaknya yang masih belum cukup umur sesuai dengan
kemampuanya masing masing (Pasal 45 Ayat 1 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974).
Kewajiban ini merupakan dasar dari kekuasaan orang tua, dan bukan sebagai
akibat dari kekuasaan orang tua. Kewajiban tersebut disebabkan oleh adanya
hubungan antara orang tua dengan anak
yang tercipta karena keturunan.
Kewajiban yang diberikan kepada orang tua
tersebut berupa wajib nafkah (kewajiban elimentasi) yaitu kewajiban untuk
memelihara dan mendidik anak anaknya yang belum cukup umur. Hal ini berarti
bahwa, setiap anak yang belum dewasa, yaitu (1) bagi mereka yang berusia kurang
dari 21 tahun; dan (2) belum kawin. Kepada mereka ini dianggap tidak cakap
bertindak dalam lalu lintas hukum oleh undang undang. Sehingga kepadanya belum
dapat mengadakan persetujuan persetujuan: maka itu orang tualah yang wajib
menyelenggarakan segala kebutuhan.
Bagi anak yang belum mencapai 21 tahun,
hukum menjamin kepada mereka untuk dapat mengajukan permintaan pernyataan
dewasa (Pasal 419 KUH Perdata). Pernyataan dewasa atau perlunakan tersebut
dapat dilakukan melalui dua cara: Pertama, pernyataan dewasa yang
diberikan oleh Presiden (Pasal 420 KUH Perdata). Pernyataan ini diberikan jika
orang yang bersangkutan telah genap berumur 20 tahun. Dengan pernyataan dewasa
ini mereka memiliki kedudukan yang dipersamakan dengan orang dewasa, kecuali
dalam hal perkawinan yang masih memerlukan izin dari mereka yang
berkepentingan. Kedua, pemberian hak hak kedewasaan tertentu oleh
Pengadilan (Pasal 426 KUH Perdata). Pernyataan ini diberikan jika orang yang
bersangkutan telah genap berumur 18 tahun, dan harus ada persetujuan orang tua.
Dalam kasus ini merupakan suatu perlunakan terbatas, yaitu pengadilan harus
secara tegas menyebutkan hak hak apa yang diberikan kepada mereka.
Sebagai bentuk hubungan timbal balik, maka
bagi anak yang telah dewasa wajib memelihara orang tuanya dan keluarganya
menurut garis lurus ke atas dalam keadaan tidak mampu. (Pasal 299 KUH Perdata
jis Pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974).[8]
b.
Kekuasaan Orang
Tua terhadap Harta Kekayaan Anak
Kekuasaan
tehadap harta kekayaan anak diatur dalam Pasal 307-318 BW. Sedangkan dalam UU
No. 1 Tahun 1974 diatur dalam Pasal 48.
Kekuasaan orang
terhadap harta kekayaan anak meliputi: (1) mengurus harta kekayaan si anak
(Pasal 307 BW); (2) bertanggung jawab atas harta kekayaan dan hasilnya, apabila
diperbolehkan (Pasal 308 BW); (3) tidak memindah tangankan harta kekayaan si
anak tanpa izin si anak atau pengadilan (Pasal 309 BW jo. Pasal 48 UUP);
Kekuasaan orang
tua ini berlaku selama ayah dan ibunya masih hidup dalam perkawinan; mereka
mempunyai hak menikmati hasil harta benda anak anaknya. Kekuasaan orang tua
berhenti apabila : (1) Anak tersebut telah dewasa (sudah 21 tahun) atau telah
kawin sebelum mencapai usia dewasa (umur 18 tahun); (2) Perkawinan orang tuanya
putus (kematian, perceraian, dan karena putusan pengadilan); (3) Kekuasaan
orang tua dipecat oleh hakim, karena: (a) pendidikannya/berkelakuan buruk
sekali; (b) telah mendapat hukuman yang telah menjadi tetap; (c) Telah
menyalahgunakan kekuasaanya orang tua atau terlalu mengabaikan kewajibannya
memelihara atau mendidik anaknya; dan (4) Pembebasan dari kekuasaan orang tua,
misalnya kelakuan si anak luar biasa nakalnya hingga orang tuanya tidak berdaya
lagi.
Jadi segala hak
dan kewajiban yang timbul antara anak dengan orang tua seperti akaibat akibat
kakuasaan bapak terhadap si anak dan harta bendanya, pembebasan dan pemecatan
kakuasaan orang tua, kewajiban timbal balik orang tua dan anak tersebut
kesemuanya diatur dalam peraturan tentang kakuasaan orang tua.[9]
1). Mengurus
harta kekayaan si anak
Bagi seorang
ayah atau ibu, menurut undang undang tidak terdapat perkecualian untuk
menjalankan kekuasaan orang tua di dalam mewakili anaknya dalam segala tindakan
perdata. Hal ini berarti bahwa perwakilan orang tua tidak hanya menyangkut
pribadi anak, akan tetapi juga meliputi harta kekayaan anak. Apa bila anak
memiliki harta kekayaan sendiri, maka kekayaan kekayaan ini diurus oleh orang
yang melakukan kekuasaan orang tua tersebut, kecuali jika mereka telah pisah
meja dan tempat tidur, dan telah diputuskan oleh hakim atas permohonan atau
atas kata sepakat suami isteri (Pasal 236 KUH Perdata).
Ada kemungkinan
bahwa anak memiliki barang barang lain yang tidak diurus oleh ayah dan ibunya
yang menjalankan kekuasaan orangtua terhadapnya, tetapi oleh seorang atau lebih
pengurus yang ditunjuk oleh pemberi hadiah atau pewaris (Pasal 307 Ayat 2 KUH
Perdata). Barang tersebut biasanya barasal dari hadiah, legaat atau warisan
dengan testament.
Menurut
ketentuan Pasal 307 Ayat 3 KUH Perdata, menyatakan bahwa pengurusan barang
barang kekayaan anak yang berasal dari hadiah , legaat atau warisan degan
testament akan berpindah kepada orang yang menjalankan kekuasaan orang tua bila
kepengurusan karena alasan apa pun hapus, yaitu karena : (1) orang yang
ditunjuk sebagai pengurus meninggal dunia; dan (2) mengundurkan diri tanpa
menunjuk orang lain sebagai penggantinya.
Kepengurusan
harta kekayaan yang dilakukan oleh orang tua yang menjalankan kakuasaan orang
tua harus dilakukan oleh seorang ayah yang baik. Bila harta kekayaan tidak
diurus dengan baik, maka ia berhak menggugat untuk kerugian yang diderita anak.
2). Bertanggung
jawab atas harta kekayaan dan hasilnya, apabila diperbolehkan bertanggungjawab atas
harta kekayaan dan hasilnya, apabila diperbolehkan.
Pada dasarnya,
ayah yang menjalankan kekuasaan orang tua atau perwalian berhak menikmati hasil
atas harta kekayaan anak anaknya. Sepanjang perkawinan ayah dan ibunya masih
berlangsung, dan mereka tidak dalam status pisah meja dan pisah tempat tidur;
normalitas ayah yang menjalankan kekuasaan orang tua, sehingga ayahlah berhak
atas penikmatan hasil. Jika ayah dan ibunya kawin dengan “kebersamaan harta”,
maka hasil harta kekayaan anak masuk dalam kebersamaan harta mereka.[10]
Jika ayah
dipecat atau dibebaskan dari kekuasaan orang tua atau perwalian, maka ibulah
yang menjalankan kekuasaan itu, sehingga ibu yang berhak atas penikmatan hasil
dari harta kakayaan anak anak yang masih minderjaring itu. Jika ayah maupun ibu
dibebaskan dari kekuasaan orang tua atau perwalian, maka kedua orang tua
tersebut bersama sama behak atas vruchgnot. Dan jika salah seorang diantara
mereka meninggal dunia atau dipecat dari kekuasaan orang tua atau perwalian,
dan kemudian orang tua yang lain melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian
dipecat, maka hal tersebut tidak mengurangi hak mereka atas penikmat hasil.
Penikmat hasil,
kekuasaan orang tua berakhir apabila; (1) anak meninggal dunia (Pasal 314 KUH
Perdata); (2) anak menjadi minderjaring (Pasal 311 Ayat 1 jo. Pasal 299 KUH
Perdata); (3) meninggalnya kedua orang tua ; (4) pencabutan kedua orang tua
dari kekuasaan orang tua; (5) meningalnya salah seorang dari orang tua dan
orang tua yang lain dipecat; dan (6) merupakan pidana terhadap isteri atau
suami yang hidup terlama, jika ia lalai
membuat daftar boedel atas kebersamaan harta menurut ketentuan Pasal 127 KUH
Perdata (Pasal 315 KUH Perdata).
3). Tidak memindahtangankan harta kekayaan si anak tanpa izin si
anak atau pengadilan
Menurut Pasal
309 KUH Perdata menyatakan bahwa orang yang menjalankan kekuasaan orang tua
tidak boleh melakukan perbuatan perbuatan yang bersifat memutuskan atas harta
kekayaan anak anaknya yang masih minderjaring tanpa memperhatikan ketentuan
yang diatur dalam Bab XV Buku Pertama KUH Perdata. Selanjutnya, berdasarkan
Pasal 393, dinyatakan bahwa orang yang menjalankan kekuasaan orang tua hanya
dapat memindahkan atau membebani barang barang anaknya hanya dengan kuasa
pengadilan.
c.
Hubungan Orang
Tua dengan Anak
Di depan telah disebutkan bahwa ayah dan ibu yang memegang
kekuasaan orang tua memiliki kewajiban memelihara dan memberi bimbingan anak
anaknya yang belum cukup umur sesuai dengan kemampuannya masing masing.
Walaupun demikian seorang anak tidak berhak menuntut suatu kedudukan tetap dari
kedua orang tuanya, dengan cara menyediakan segala sesuatu untuk sesuatu
sebelum ia kawin, atau dengan cara lain (Pasal 320 KUH Perdata).
Bentuk hubungan timbal balik dari kewajiban ayah dan ibu yang
memegang kekuasaan orang tua, maka bagi anak yang telah dewasa wajib memelihara
orang tuanya dan keluarganya menurut garis ke atas dalam keadaan tidak mampu.
Ketentuan memelihara orang tua dan keluarganya menurut garis lurus
ke atas tersebut tidak terkecuali bagi anak anak menantu laki laki atau
perempuan (Pasal 322), ataupun anak anak luar kawin dan diakui menurut undang
undang (Pasal 328) sebatas kemampuan.
Kewajiban memelihara orang tuanya dan keluarganya menurut garis
lurus ke atas bagi anak anak menantu laki laki atau perempuan akan berakhir
apabila; (1) si ibu mertua menyeburkan diri untuk kedua kalinya dalam
perkawinan; (2) si suami atau si isteri yang mengakibatkan adanya pertalian
keluarga semenda dan anak anak yang berasal dari perkawinannya dengan isteri
atau suaminya, telah meninggal dunia.[11]
3.
Hubungan Hukum
bagi Pihak Ketiga
Sebuah ikatan perkawinan penting
artinya bagi keturunan dan hubungan kekeluargaan; sedangkan bagi pihak ketiga
terutama penting untuk mengetahui kedudukan harta perkawinan dan kedudukan
anak.
Oleh hukum seseorang dianggap tidak
cakap bertindak di dalam lalu lintas apabila;
1)
Anak anak yang
belum dewasa (belum 18 tahun dan tidak lebih dahulu menikah).
2)
Orang orang
yang ada dibawah pengampuan.
3)
Wanita yang
bersuami.
Apabila seseorang yang belum dewasa
kawin, dan perkawinannya itu kemudian perkawinanya itu dibubarkan sebelum ia
berumur genap 18 tahun, maka orang itu tetap dianggap dewasa dan ia tetap
dianggap cakap bertindak dalam lalu lintas hukum.
Sebaliknya, seseorang yang cakap
bertindak, akan tetapi oleh hukum dicabut haknya untuk melakukan sesuatu
perbuatan tertentu, maka ia disebut tidak berwenang bertindak, misalnya seorang
juru lelang tidak berwenang bertindak untuk membeli barang barang tetap yang ia
lelangkan.
Adapun mengenai kedudukan anak yang
berkaitan dengan pihak ketiga sangatlah penting, karena untuk mengetahui asal
usul seorang anak sebagai ahli waris orang tuanya. Seorang anak waris yang
harus mempunyai hubungan hukum dengan pewaris agar ia berhak sebagai waris yang
sah.[12]
PERWALIAN (VOOGDIJ)
1.
Konsep Dasar
Perwalian
Perwalian berasal dari dua kata wali mempunyai arti orang lain
selaku pengganti orang tua yang menurut hukum diwajibkan mewakili anak yang
belum dewasaatau belum akil balig dalam melakukan perbuatan hukum, demikian menurut
Prof. Subekti.[13]
Pada dasarnya setiap orang mempunyai “kekuasaan berhak” karena ia
merupakan subyek hukum. Tetapi tidak setiap orang cakap melakukan perbuatan
perbuatan hukum. Secara umum, orang orang yang disebut meerderjarigheiddapat
melakukan perbuatan perbuatan hukum secara sah, kecuali jika undang undang
tidak menentukan demikian. Misalnya, seorang pria yang telah genap mencapai
umur 18 tahun sudah dianggap cakap untuk melangsungkan perkawinan.
Batasan
umur seseorang agar dianggap sebagai meerderjaring atau minderjaring tidak sama
untuk tiap negara. Menurut Pasal 330 KUH Perdata, terdapat tiga ketentuan
penting yang berkaitan dengan status hukum anak apakah sebagai meerderjaring
atau minderjaring.
Ayat 1 : batas
antara meerderjaring dengan minderjaring, yaitu 21 tahun kecuali jika :[14]
a.
Anak tersebut
sudah kawin sebelum mencapai umur genap 21 tahun; dan
b.
Perlunakan
(Pasal 419 KUH Perdata), dan selanjutnya.
Ayat 2 : pembubaran perkawinan yang terjadi pada seorang yang belum
mencapai umur genap 21 tahun, tidak berpengaruh terhadap status meerderjarigheid
yang telah diperolehnya;
Ayat 3 : Mereka yang masih minderjarigheiddan tidak berada
di bawah kekuasaan orang tua akan berada di bawah perwalian.
Anak yang berada di bawah perwalian, adalah:
A.
Anak sah yang
kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua.
B.
Anak sah yang
orang tuanya telah bercerai.
C.
Anak yang lahir
diluar perkawinan.[15]
Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau
orang lain yang sudah dewasa, yang berfikir sehat, jujur dan berkelakuan baik.[16]
Ada golongan orang yang tidak dapat diangkat menjadi wali mereka itu, ialah orang yang sakit ingat, orang yang belum
dewasa, orang yang di bawah curatele, orang yang telah dicabut kekuasaanya
sebagai orang tua, jika pengankatan sebagai wali itu untuk anak yang
menyebabkan pencabutan tersebut. Lain dari itu, Kepala dan anggota-anggota
Balai Harta Peninggalan (weeskamer) juga tak dapat diangkat menjadi wali,
kecuali dari anak-anaknya sendiri.
2.
Asas Perwalian
Ketentuan tentang perwalian diatur dalam KUH Perdata Pasal 331
sampai dengan Pasal 344 dan Pasal 50 sampai dengan Pasal 54 UU No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan.
Dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata Perwalian ini mempunyai
bebrapa asas. Pertama, asas tak dapat dibagi bagi. Kedua, asas persetujuan dari
keluarga. Ketiga, orang orang yang dipanggil menjadi wali atau yang diangkat
menjadi wali.[17]
Perwalian adalah pengawasan terhadap pribadi dan pengurusan harta
kekayaan seorang anak yang belum dewasa jika anak itu tidak berada di tangan
kekuasaan orang tua. Jadi bagi anak yang orang tuanya telah bercerai atau jika
salah satu dari mereka atau semua telah meninggal dunia , berada di bawah
perwalian. Terhadap anak di luar kawin, maka karena tidak ada kekuasaan orang
tua anak ini selalu di bawah perwalian.
Anak yatim piatu dan anak anak belum cukup umur dan tidak dalam
kekuasaan orang tua memerlukan pemeliharaan dan bimbingan; karena itu harus
ditunjuk wali yaitu orang atau perkumpulan perkumpulan yang akan
menyelenggarakan keperluan keperluan hidup anak anak tersebut (Pasal 331 BW jo.
Pasal 50 UU No. 1 Tahun 1974).[18]
a)
Asas tak dapat
Dibagi bagi
Pada setiap perwalian hanya ada satu orang wali saja (Pasal 331
BW), hal ini yang dikenal dengan istilah asas tak dapat dibagi bagi. Asas ini
mempunyai perkecualian dalam dua hal, yaitu (1) jika perwalian dilakukan oleh
ibu sebagai orang tua yang hidup terlama jika ia kawin lagi, suaminya menjadi
wali peserta (Pasal 351); dan (2) jika dirasa perlu, dilakukan penunjukan
seorang pelaksana pengurusan yang mengurus harta kekayaan minderjaringdi
luar indonesia berdasarkan Pasal 361 BW.
b)
Asas
Kesepakatan dari Keluarga
Menurut Pasal 359 BW menentukan bahwa pengadilan dapat menunjuk
seorang wali bagi semua minderjaringyang tidak berada dibawah kekuasaan
orang tua. Hakim akan mengangkat seorang wali setelah mendengar pendapat atau
memanggil keluarga sedarah atau semenda atau periparan.
Ketentuan ini mempunyai makna, bahwa keluarga harus diminta
kesepakatanya mengenai perwalian. Apabila sudah ada pemanggilan pihak keluarga
tidak datang menghadap, maka dapat dituntut berdasarkan ketentuan Pasal 54 KUH
Perdata.
c)
Orang orang
yang Dipanggil menjadi Wali
Perwalian
menurut hukum perdata terdiri dari 3 macam, yaitu :[19]
-
Perwalian
menuntut undang undang, yaitu perwalian dari orang tua yang masih hidup setelah
salah seorang meninggal dunia lebih dahulu (Pasal 345-354 KUH Perdata);
Pasal 354 KUH Perdata menentukan bahwa orang tua yang hidup terlama
dengan sendirinya menjadi wali. Ketentuan ini tidak mengadakan perkecualian
bagi suami isteri yang hidup terpisah karena perkawinan yang bubar oleh
perceraian atau pisah meja dan tempat tidur. Jadi, apabila ayah menjadi wali
setelah perceraian, dan kemudian ia meninggal dunia, maka dengan sendirinya ibu
menjadi wali atas anak tersebut.
Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang prinsip dari perwalian orang
tua. Perbedaan hanya ada dalam dua hal yaitu :
a.
Curator (Pasal
KUH Perdata)
Apabila
ayah meninggal dunia saat itu ibu dalam keadaan mengandung, maka balai harta
peninggalan menjadi pengampu atas anak yang berada dalam kandungan dengan cara
cara seperti yang telah ditetapkan dalam pengangkatan wali. Jika anak itu
lahir, maka ibu dengan sendirinya menjadi wali dan balai peninggalan harta
sebagai pihak pengampu akanmenjadi pengampu pengawas.
b.
Perkawinan Baru
Jika
ibu selaku wali kawin lagi, maka suami yang tidak dikecualikan sebagai wali dengan
sendirinya menjadi wali peserta. Suami bersama sama isterinya, yang berperan
sebagai wali ibu, harus bertanggung jawab secara tanggungrenteng terhadap semua
perbuatan yang dilakukan setelah perkawinan berlangsung.
Perwalian
peserta suami isteri akan dihapus dalam kasus kasus, antara lain: (1)
perpisahan meja dan tempat tidur atau jika terdapat perpisahan kebersamaan atau
persatuan harta perkawinan; (2) jika suami dipecat dari medevoogdij; dan
(3) jika peran wali ibu berhenti.
-
Perwalian
karena wasiat orang tua sebelum ia meninggal, yaitu perwalian yang ditunjuk
dengan surat wasiat oleh salah seorang dari orang tuanya;
Menurut Pasal 355 Ayat (1) BW, menentukan bahwa masing masing orang
tua yang melakukan kekuasaan orang tua atau menjalankan perwalian atas seorang
anak atau lebih, berhak mengangkat seorang wali atas anak anak itu jika sesudah
ia meninggal dunia perwalian itu tidak terdapat pada orang tua lain, baik
dengan sendirinya atau karena putusan hakim. Ketentuan ini mengandung makna,
bahwa masing masing orang tua menjadi wali atau memegang kekuasaan orang tua,
berhak mengangkat wali jika perwalian tersebut memang masih terbuka.
Dengan pengangkatan seorang wali mengakibatkan orang tua yang
mengangkat itu secara hukum tidak menjadi wali atau melakukan kekuasaan orang
tua pada saat ia meninggal (Pasal 356 BW).
-
Perwalian yang
ditentukan oleh hakim.
Pada dasarnya
perwalian dapat terjadi karena : (1) perkawinan orang tua putus baik disebabkan
salah seorang meninggal, perceraian atau karena putusan pengadilan; dan (2)
kekuasaan orang tua dipecat atau dibebaskan. Oleh sebab itu, menurut Pasal 359
BW menentukan bahwa pengadilan dapat menunujuk seorang wali bagi semua
minderjarige yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua. Hakim akan
mengangkat seorang wali yang disertai wali pengawas yang harus mengawasi
pekerjaan wali tersebut.
Sedapat mungkin
wali diangkat dari orang orang yang mempunyai pertalian darah terdekat dengan
si anak itu atau bapaknya yang karena suatu hal telah bercerai atau saudara
saudaranya yang dianggap cakap untuk itu. Hakim juga dapat menetapkan seseorang
atau perkumpulan sebagai wali.
d)
Berakhirnya
Perwalian
Berakhirnya
perwalian dapat ditinjau dari dua segi, yaitu :[20]
(1)
dalam hubungan
dengan keadaan anak.
dalam hubungan ini, perwalian akan berakhir karena : a) si anak
yang di bawah perwalian telah dewasa; b) si anak meninggal dunia; c) timbulnya
kembali kekuasaan orang tuanya; dan d) pengesahan seorang anak luar kawin.
(2)
dalam hubungan
dengan tugas wali.
Berkaitan
dengan tugas wali, maka perwalian akan berakhir karena : (1) wali meninggal
dunia; (2) dibebaskan atau dipecat dari perwalian; dan (3) ada alasan
pembebasan dan pemecatan dari perwalian (Pasal 380 BW). Sedangkan syarat utama
untuk dipecat sebagai wali, ialah karena disandarkan pada kepentingan minderjarige
itu.
Pada setiap akhir perwaliannya, seorang
wali wajib mengadakan perhitungan tanggung jawab penutup. Perhitungan ini
dilakukan dalam hal : (1) perwalian yang sama sekali dihentikan, yaitu kepada
minderjarige atau kepada ahli warisnya; (2) perwalian yang dihentikan karena
dari wali, yaitu kepada yang menggantinya; dan (3) minderjarige yang sesudah
berada di bawah kekuasaan orang tua, yaitu kepada bapak atau ibu minderjarige
itu (Pasal 409 BW).
PENGAMPUAN
(CURATELE)
1.
Konsep Dasar
Pengampuan
Istilah pengampuan berasal dari Bahasa Belanda curatele, yang
dalam bahasa inggris disebut custody atau interdiction (Peraancis). Lembaga
pengampuan sudah dikenal sejak zaman Romawi. Dalam undang undang uua meja dari
zaman itu, orang yang sakit ingatan dan juga orang orang yang pemboros yang
menyalah gunakan kecakapan berbuatnya, yang karena perbuatan perbuatanya dapat
membahayakan harta kekayaannya, maka untuk kepentingannya sendiri ada orang
lain yang mengaturnya, sehingga ia harus berada di bawah pengampuan. Dalam KUH
Perdata/BW ketentuan tentang pengampuan diatur pada Pasal 433 sampai dengan
462.[21]
Pengampuan hakikatnya merupakan bentuk khusus dari pada perwalian,
yaitu diperuntukkan bagi orang dewasa tetapi berhubungan dengan sesuatu hal
(keadaan mental atau fisik tidak atau kurang sempurna) ia tidak dapat bertindak
dengan leluasa.
Pengampuan mulai berlaku mulai saat putusan pengdilan diciptakan.
Kedudukan seorang yang telah ditaruh dibawah pengampuan, adalah seperti seorang
yang belum dewasa. Dia tidak dapat lagi melakukan perbuatan perbuatan hukum
secara sah.[22]
Seperti halnya dalam perwalian, dalam pengampuan juga dikenal
adanya asas “pembatasan kebebasan berbuat” oleh curandus, antara lain : (1)
dalam hal perkawinan, curandus yang karena boros atau mabuk, begitupun dengan
curandus yang lemah akal budi dan fiisiknya; (2) seorang curandus yang sudah
kawin dalam hal menentukan domisili harus meminta bantuan isterinya; (3) dalam
hal membuat perjanjian kawin juga harus meminta bantuan curator-nya; (4)
dilarang untuk menjadi wali; (5) dilarang menjalankan kekuasaan orang tua; (6)
tidak boleh meminta pembubaran kebersamaan harta perkawinan; dan (7) tidak
boleh meminta pembagian harta bersama karena warisan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa persamaan antara
kekuasaan orang tua, perwalian dan pengampu adalah kesesuaian mengawasi dan
menyelenggarakan hubungan hukum orang orang yang dinyatakan tidak cakap
bertindak. Sedangkan perbedaan ketiganya :[23]
Subyek
|
Perbedaan
|
Kekuasaan orang tua
|
Kekuasaan asli dilaksanakan oleh orang tuanya sendiri yang masih
terikat perkawinan terhadap anak anaknya yang belum dewasa.
|
Perwalian
|
Pemeliharaan dan bimbingan dilaksanakan oleh wali, dapat salah
satu ibunya atau bapaknya yang tidak dalam keadaan ikatan perkawinan lagi
atau orang lain terhadap anak anak yang belum dewasa.
|
Pengampuan
|
Pemeliharaan atau bimbingan dilaksanakan oleh kurator (yaitu
keluarga sedarah atau orang yang ditunjuk) terhadap orang orang dewasa yang
sebab dinyatakan tidak cakap bertindak di dalam lalu lintas hukum.
|
2.
Alasan
Pengampuan
Undang undang menyebut 3 alasan untuk pengampuan, yaitu karena :
(1) keborosan; (2) lemah akal budinya; dan (3) kekurangan daya berpikir, misal
sakit ingatan, dungu, dan dungu disertai sering mengamuk diatur dalam Pasal 433
sampai Pasal 434 BW.
Orang yang telah dewasa tetapi sakit ingatan, pemboros, lemah daya
atau tidak sanggup mengurus kepentingannya sendiri dengan semestinya,
disebabkan kelakuan buruk di luar batas atau menggangu keamanan, memerlukan
pengampuan. Oleh sebab itu, diperlukan adanya pengampu (curator); biasanya
suami jadi pengampu atas isterinya atau sebaliknya, akan tetapi mungkin juga
hakim mengangkat orang lain atau perkumpulan perkumpulan sedangkan sebagai
pengampu pengawas ialah Balai Harta Peninggalan.
Sesuai dengan Pasal 436 BW, menetapkan bahwa yang berwenang
menetapkan pengampuan, ialah pengadilan negeri yang berada di bawah pengampuan.
Adapun orang orang yang berhak mengajukan pengampuan, antara lain : (1) Bagi
yang boros, adalah setiap anggota keluarga sedarah dan sanak saudara dalam
garis kesamping sampai derajat ke-4 dan isteri/suaminya; (2) bagi yang lemah
akal budinya, adalah pihak yang bersangkutan merasa tidak mampu untuk mengurus
kepentingan sendiri; dan (3) bagi yang kekurangan daya pikir, adalah setiap
keluarga sedarah dan isteri/suami atau jaksa, dalam hal curandus tidak
mempunyai isteri/suami ataupun keluarga sedarah di wilayah Indonesia.
Penetapan di bawah pengampuan dapat dimintakan suami atau isteri,
keluarga sedarah, kejaksaan dan dalam hal lemah daya hanya boleh atas
permintaan yang berkepentingan saja. Orang yang di bawah pengampuan disebut
curandus; dan akibatnya ia dinyatakan tidak cakap bertindak.[24]
3.
Jabatan
Pengampu dan Berakhirnya Pengampuan
Seorang curandus yang mempunyai
isteri atau suami, maka isteri atau suaminyalah yang diangkat sebagai curator,
kecuali ada alasan alasan yang penting menyebabkan bahwa seyogyanya orang
lainlah yang diangkat sebagai curator (Pasal 451 BW).
Jika curandus mempunyai anak atau
anak anak yang masih minderjarige, maka menurut ketentuan Pasal 451 BW, karena
hukum curator menjadi wali anak anak tersebut, jika orang tua yang lain tidak
dapat melakukan kekuasaan orang tua.
Pengampuan berakhir apabila alasan
alasan itu sudah tidak ada lagi. Tentang hubungan hukum antara kurandus dan
kurator, tentang syarat syarat timbul dan hilangnya pengampuan dan sebagainya
itu diatur dalam peraturan tentang pengampuan, antara lain :
(1)
Secara absolut;
curandus meninggal atau adanya putusan pengadilan yang menyatakan sebab sebab
dan alasan di bawah pengampuan telah hapus.
(2)
Secara relatif;
curator meninggal, curator dipecat; atau suami diangkat sebagai curator yang
dahulunya berstatus sebagai curandus.
Dengan berakhirnya pengampuan, yang
berarti berakhirnya tugas dan kewajiban curator, hal ini membawa serta
berakhirnya tugas curator sebagai pengampu pengawas.
Berakhirnya perwalian, berlaku pula
untuk berakhirnya pengampuan di samping apa yang dijelaskan dalam Pasal 459 KUH
Perdata yang menyebutkan; “tiada seorangpun kecuali suami isteri dan keluarga
sedarah dalam garis ke atas atau ke bawah, wajib menjalankan suatu pengampuan
lebih dari delapan tahun lamanya. Setelah lampau waktu itu, bolehlah pengampuan
menunutut kebebasannya.[25]
Menurut ketentuan Pasal 141 BW,
bahwa berakhirnya pengampuan harus diumumkan sesuai dengan formalitas
formalitas yang harus dipenuhi seperti pada waktu permulaan pengampuan. Di
samping itu, bahwa ketentuan ketentuan beakhirnya perwalian seluruhnya mutatis
mutandis berlaku pula berakhirnya pengampuan (Pasal 452 Ayat 2 BW).[26]
[1]Prof. Subekti, SH, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke XX
, Jakarta: PT. Intermasa, 1985, hlm. 49.
[2] Prof. Subekti, SH, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke XX
, Jakarta: PT. Intermasa, 1985, hlm. 51.
[3]
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Cet. 2, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2004), hlm. 48
[4]
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, cet.
Ke-2, (Jakarta : Kencana, 2010), hlm. 76
[5]
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 77
[6]
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 79
[7]
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 80
[8]
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 82
[9]
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 83
[10]
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 84
[11]
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 86
[12]
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 86
[13]
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Cet. 2, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2004), hlm. 55
[14]
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 89
[15]Prof. Subekti, SH, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan ke XX
, Jakarta: PT. Intermasa, 1985, hlm. 53.
[16]
Sulistini, Elisa T. Penunjuk praktis menyelesaikan perkara perdata, 1987, hlm.
101.
[17]
Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, hlm. 56
[18]
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 88
[19]
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 89
[20]
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 91
[21]
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 92
[22]
Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, hlm. 54
[23]
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 94
[24]
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 95
[25]
Soedaryo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, hlm. 54
[26]
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 96
untuk mengunduhnya silahkan ikuti link berikut "makalah hukum kekeluargaann"
untuk mengunduhnya silahkan ikuti link berikut "makalah hukum kekeluargaann"
Makalah Hukum Kekeluargaan
4/
5
Oleh
Unknown