BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam sejarah bangsa Indonesia
perdagangan orang pernah ada melalui perbudakan atau penghambaan. Masa kerajaan
kerajaan di jawa, perdagangan orang, yaitu perempuan pada saat itu merupakan
bagian pelengkap dari sistem pemerintahan feodal. Pada masa itu konsep
kekuasaan raja digambarkan sebagai kekuasaan yang sifatnya agung dan mulia.
Kekuasaan raja tidak terbatas, hal ini tercermin dari banyaknya selir yang
dimilikinya. Beberapa orang dari selir tersebut adalah putri bangsawan yang
diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan. Sebagian lain adalah
persembahan dari kerajaan dan ada juga selir yang berasal dari lingkungan
masyarakat bawahyang dijual atau diserahkan oleh keluarganya dengan maksud agar
keluarga tersebut mempunyai keterkaitan dengan keluarga istana, sehingga dapat
meningkatkan statusnya. Perempuan yang dijadikan selir berasal dari daerah
tertentu. Sampai sekarang daerah daerah tersebut masih merupakan legenda.[1]
Dalam prostitution in Colonial
Java dalam DP Chandler and M.C Ricklefs bahwa prostitusi di Indonesia
mengalami puncaknya sekitar tahun 1811, yaitu pada saat pembangunan jalan dari
Anyer-Panarukan dan dilanjutkan pembangunan jalan dan stasiun kereta api oleh
Deandels. Sekarang juga masih terjadi di mana lokalisasi prostitusi dekat
stasiun kereta api. Perkembangan prostitusi kedua adalah tahun 1870 ketika
pemerintah Belanda melakukan privatisasi perkebunan atau kulturstelsef.[2]
Begitu juga periode penjajahan
Jepang, perdagangan orang berbentuk kerja rodi dan komersial seks terus
berkembang. Selain memaksa perempuan pribumi menjadi pelacur, Jepang juga banyak
membawa perempuan ke Jawa dari Singapura, Malaysia, dan Hongkong untuk melayani
perwira tinggi Jepang.[3]
B.
Rumusan
a.
Apakah faktor
faktor penyebab terjadinya perdagangan orang di Indonesia?
b.
Bagaimanakah
penegakan hukum terhadap pelaku perdagangan orang di Indonesia?
C.
Tujuan
a.
Mengetahui
berbagai faktor terjadinya perdagangan orang di Indonesia.
b.
Mengetahui
upaya hukum dalam menjerat pelaku perdagangan orang di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Aspek Hukum Tentang
Perdagangan Orang
Perdagangan secara eksplisit dalam
KUH Pidana dan Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
sebagai berikut.
Pasal 297 KUH Pidana menyatakan bahwa:
“Perdagangan wanita (umur tidak disbutkan) dan perdagangan anak
anak laki laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lamaenam
tahun.[4]
Pasal 65 Undang
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa:
“Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan
eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari
berbagai bentuk penyalahgunaan narkotik, psikotropika, dan zat aditif lainya.[5]
Hak Asasi Manusia
merupakan hak hak dasar atau hak hak pokok yang dibawa manusia sejak lahir
sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Hak hak asasi ini menjadi dasar daripada
hak hak dan kewajiban kewajiban yang lain. Hak yang melekat pada manusia, yaitu
hak hidup dengan selamat, hak kebebasan dan hak kesamaan yang sifatnya tidak
boleh dilanggar oleh siapapun juga.[6] Hak asasi manusia dihubungkan dengan kodrat, harkat, dan martabat
manusia, maka hak asasi manusia bersumber pada kodratnya sebagai makhluk Allah.
Manusia menurut
kodratnya memiliki hak yang melekat tanpa pengecualian seperti hak untuk hidup,
hak atas keamanan, hak bebas dari segala macam penindasan dan lain lain hak
yang bersifat universal disebut HAM. Istilah HAM berarti hak tersebut
ditentukan dalam hakikat kemanusiaan dan demi kemanusiaan.[7] Indonesia sebagai salah satu negara yang berdasarkan rule of
lawsangat menjunjung tinggi HAM yang diwujudkan dengan mengaturkan dalam
berbagai peraturan, diantaranya dalam Undang Undang Dasar 1945 sebagai hukum
dasar. Pada bagian pembukaan UUD 1945 mengamanatkan bahwa negara dan pemerintah
didirikan untuk melindungi segenap bagsa dan kesejahteraan umum.[8]
Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, perbudakan diartikan sama dengan hamba atau memperlakukan
sebagai budak, segala sesuatu mengenai budak belian.[9] Perdagangan orang bertentangan dengan hak asasi manusia karena
perdagangan orang melalui cara ancaman, pemaksaan, penculikan, penipuan,
kecuragan, kebohongan dan penyalahgunaan kekuasaan serta bertujuan prostitusi,
pornografi, kekerasan atau eksploitasi, kerja paksa, perbudakan atau praktik
praktik serupa. Jika salah satu cara tersebut di atas terpenuhi, maka terjadi
perdagangan orang yang termasuk sebagai kejahatan yang melanggar hak asai
manusia.
Asas yang berlaku
dalam hukum pidana adalah tidak ada pidana tanpa ketentuan yang mendahuluinya.[10] Seseorang hanya dapat dipersalahkan melakukan tindak pidana
apabila orang tersebut melakukan perbuatan yang telah dirumuskan dalam
ketentuan undang undang sebagai tindak pidana. Tidak terpenuhinya salah satu
unsur pidana tersebut mambawa konsekuensi dakwaan atas tindak pidana tersebut
tidak terbukti.
Tindak pidana
digambarkan oleh Utrecht sebagai peristiwa pidana mempunyai unsur unsur adalah
sebagai berikut.[11]
1.
Suatu ketentuan
yang bertentangan dengan hukum.
2.
Suatu kelakuan
yang diadakan karena pelanggar bersalah.
3.
Suatu kelakuan
yang dapat dihukum.
Unsur unsur tindak pidana di atas
dapat dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu[12]unsur
objektif yang terdapat di luar pelaku yang berupa perbuatan yang dilarang dan
diancam undang undang, akibat, keadaan atau masalah masalah tertentu yang
dilarang dan diancam oleh undang undang. Unsur subjektif, yaitu unsur unsur
yang terdapat dalam diri pelaku yang berupa hal yang dapat
dipertanggungjawabkan dan kesalahan.
Didalam peraturan perundang undangan
pidana peran dan kedudukan korban belum jelas dirumuskan, sehingga kurangnya
perhatian terhadap korban. Sehubungan dengan korban kejahatan perdagangan
orang, di mana kebanyakan korban perdagangan orang adalah anak dan perempuan
yang merupakan tunas, potensi, dan kelompok strategis bagi keberlanjutan bangsa
di masa depan, maka perlu diperhatikan. Korban kejahatan yang merasa kurang
mendapat perhatian atau kurang mendapat perlindungan hukum hanya salah satu
segi saja. Perlindungan hukum berkaitan dengan hak hak korban dan perlindungan
yang diberikan bersifat reaktif. Ada beberapa bentukperlindungan, yaitu
restitusi, kompensasi, rehabilitasi, dan reinteg-rasi.[13]
B.
Faktor Faktor
Terjadinya Perdagangan Orang di Indonesia
a.
Faktor ekonomi
Faktor ekonomi menjadi penyebab terjadinya perdagangan manusia yang
dilatarbelekangi kemiskinan dan lapangan kerja yang tidak ada atau tidak
memadai dengan besarnya jumlah penduduk, sehingga kedua hal inilah yang
menyebabkan seseorang untuk melakukan sesuatu, yaitu mencari pekerjaan meskipun
harus keluar dari daerah asalnya dengan risiko yang tidak sedikit Menurut Biro
Pusat Statistik (BPS) tahun 2004, bahwa jumlah penduduk miskin Indonesia
mencapai 37,7 juta jiwa termasuk 13,2 juta di daerah perkotaan dari 213 juta
pendudukan Indonesia pada saat ini hidup di bawah garis kemiskinan yang
diterapkan oleh pemerintah, dengan penghasilan kurang dari Rp9.000,00 per hari
dan pengangguran di Indonesia pun semakin meningkat jumlah perharinya.[14]
b.
Faktor ekologis
Penduduk
Indonesia amat besar jumlahnya, yaitu 238 juta jiwa (sensus 2010), dan secara
geografis, Indonesia terdiri atas 17.000 pulau dan 33 provinsi. Letak Indonesia
amat strategis sebagai negara asal maupun transit dalam perkembangan orang,
karena memiliki banyak pelabuhan udara dan pelabuhan kapal laut serta letakmya
berbatasan dengan negara lain, terutama di perbatasan darat seperti Kalimantan
Barat dan dengan Sabah, Australia di bagian selatan, Timor Leste di bagian
timut, dan Irian Jaya dengan Papua Nugini.[15]
Misalnya di
Pulau Jawa, yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kepadatan penduduk di Jawa Tengah
adalah 959 jiwa pada tahun 2000, dan Jawa Tengah merupakan daerah pengirim
untuk perdagangan domestik dan Internasional. Perdagangan internasional
perempuan dan anak dengan tujuan kerja seks dan perhambaan dalam rumah tangga.
Begitu juga dengan Jawa Timur dengan ibu kota provinsi Surabaya yang merupakan
daerah pengirim, penerima, dan transit bagi perdagangan, baik domestik maupun
internasional dan sebagai salah satu daerah pengirim buruh imigran terbesar di
Indonesia, khsusnya buruh migran perempuan, hal ini peluang terjadinya
perdagangan orang.[16]
c.
Faktor sosial
budaya
Secara geografis,
Indonesia terdiri atas 17.000 pulau dan 33 provinsi. Bahasa Indonesia adalah
bahas resmi, lebih dari 400 bahasa berbeda digunakan di Indonesia. Keragaman
budaya dimanifestasikan dalam banyak macam suku bangsa, tradisi, dan pola
pemukiman yang kemudian menghasilkan keragaman gugus budaya dan sosial. Secara
keseluruhan, pola keturunan paling umum di Indonesia adalah pola bilateral,
dengan patrilineal sebagai pola keturunan kedua paling lazim, tetapi ada banyak
variasi.[17]
Menurut
Irwanto, Farid, dan Anwar bahwa adanya kepercayaan dalam masyarakat bahwa
berhubungan seks dengan anak anak secara homoseksual ataupun heteroseksual akan
maningkatkan kakuatan magis seseorang (misalnya di Ponorogo), atau adanya
kepercayaan bahwa berhubungan seks dengan anak anak mambuat awet muda, telah
membuat masyarakat melegitimasi kekerasan seksual dan bahkan memperkuatnya.[18]
Adapun menurut
Sutherland dalam Hendorojono bahwa perilaku kriminal merupakan perilaku yang
dipelajari di dalam lingkungan sosial. Semua tingkah laku dipelajari dengan
berbagai cara. Dengan kata laintingkah laku kejahatan yang dipelajari dalam
kelompok melalui interaksi dan komunikasi. Ini disebut dengan teori asosiasi
diferensial.[19]
Munculnya teori
di atas didasarkan pada 3 hal, yaitu:
1.
Setiap orang
akan menerima dan mengikuti pola pola perilaku yang dapat dilaksanakan;
2.
Kegagalan untuk
mengikuti pola tingkah laku menimbulkan inkonsistensi dan ketidakharmonisan;
3.
Konflik budaya
merupakan prinsip dasar dalam menjelaskan kejahatan.
Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa menurut teori asosiasi diferensial,
tingkah laku jahat dipelajari dalam kelompok melalui interaksi dan komunikasi,
yang dipelajari dalam kelompok kelompok tersebut adalah teknik untuk melakukan kejahatan
dan dengan alasan nilai ataupun motif yang mendukung perbuatan jahat tersebut.
Sebagaimana yang telah diungkapkan di atas bahwasanya teori tentang asosiasi
diferensial, merupakan salah satu faktor peyebab terjadinya kejahatan. Dari
apa yang telah diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa kaitan teori ini
dengan perdagangan orang tidak terlepas penyebab terjadinya melalui interaksi
dan komunikasi baik dengan orang atau melalui interaksi langsung meupun melalui
media, sehingga seseorang berusaha untuk memenuhi dorongan melalui jalan
pintas. Hal ini berkembang dan juga hidup di tengah tengah masyarakat dengan
bentuk bentuk perdagangan orang yang beraneka ragam.[20]
d.
Ketidakadaan
kesetaraan gender
Nilai sosial
budaya petriarki yang masih kuat ini menempatkan laki laki dan perempuan pada
kedudukan dan peran yang berbeda dan tidak setara. Hal ini ditandai dengan
adanya pembakuan peran, yaitu sebagai istri, sebagai ibu, pengelola rumah
tangga, dan pendidikan anak anak di rumah, serta pencari nafkah tambahan dan
jenis pekerjaannya pun serupa dengan tugas di dalam rumah tangga, misalnya menjadi
pembantu rumah tangga dan mengasuh anak. Selain peran perempuan tersebut,
perempuan juga mempunyai beban ganda, subordinasi, marjinalisasi, dan kekerasan
terhadap perempuan, yang kesemuanya itu berawal dari diskriminasi terhadap
perempuan yang menyebabkan mereka tidak atau kurang memiliki akses, kesempatan
dan kontrol atas pembangunan, serta tidak atau kurang memperoleh manfaat
pembangunan yang adil dan setara dengan laki laki. Oleh sebab itu, disinyalir
bahwa faktor sosial budaya yang merupakan penyebab terjadinya kesenjangan
gender.[21]
Dari banyak
penelitian penelitian bahwa banyak perempuan yang menjadi korban, hal ini
karena dalam masyarakat terjadi perkawinan usia muda yang dijadikan cara untuk
keluar dari kemiskinan. Dalam keluarga seorang anak perempuan seringkali
menjadi beban ekonomi keluarga, sehingga dikawinkan pada usia muda. Mengawinkan
anak dalam usia muda telah mendorong anak memasuki eksploitasi seksual
komersial, karena yang pertama, tingkat kegagalan pernikahan semacam ini
sangat tinggi, sehingga terjadi perceraian dan rentan terhadap perdagangan
orang. Setelah bercerai harus menghidupi diri sendiri walaupun mereka masih
anak anak. Pendidikan rendah karena setelah menikah mereka berhenti sekolah dan
rendahnya keterampilan mengakibatkan tidak banyak pilihan yang tersedia dan
dari segi mental, ekonomi atau sosial tidak siap untuk hidup mandiri, sehingga
cenderung memasuki dunia pelacuran sebagai salah satu cara yang paling
potensial untuk mempertahankan hidup. Kedua, pernikahan dini seringkali
mengakibatkan ketidaksiapan anak menjadi orang tua, sehingga anak yang
dilahirkan rentan untuk tidak mendapat perlindungan dan seringkali berakhir
pula dengan masuknya anak kedalam dunia eksploitasi seksual komersial. Ketiga,
adanya ketidak setaraan relasi antara laki laki dan perempuan yang membuat
perempuan terpojok dan terjebak pada persoalan perdagangan orang. Ini terjadi
pada perempuan yang mengalami perkosaan dan biasanya sikap atau respon
masyarakat umumnya tidak berpihak pada mereka. Perlakuan masyarakat itu yang
mendorong perempuan memasuki dunia eksploitasi seksual komersial. Sebenarnya,
keberadaan perempuan di dunia eksploitasi seksual komersial lebih banyak bukan
karena kemauan sendiri, tetapi kondisi lingkungan sosial budaya di mana
perempuan itu berasal sangat kuat mempengaruhi mereka terjun ke dunia
eksploitasi sosial terutama untuk dikirim ke kota kota besar.[22]
e.
Faktor
penegakan hukum
Inti dari arti
penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan nilai nilai yang
terjabarkan di dalam kaidah kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak
sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara,
dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.[23]
Kaidah kaidah
tersebut menjadi pedoman bagi perilaku atau sikap tindak yang diangap pantas
atau yang seharusnya. Perilaku atau sikap tindak tersebut bertujuan untuk
menciptakan, memelihara, dan memepertahankan kedamaian. Dapat juga dikatakan
bahwa penegakan hukum dalam masyarakat berarti membicarakan daya kerja hukum
dalam mengatur dan memaksa masyarakat karena ketidak serasian antara nilai,
kaidah, dan pola perilaku. Oleh karena itu, permasalahan dalam penegakan hukum
terletak pada faktor faktor yang mempengaruhi hukum itu sendiri.[24]Faktor faktor yang mempengaruhi faktor penegakan hukumnya sendiri,
faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat, dan
faktor kebudayaan.[25]
Membahas pengaturan tindak pidana
perdagangan orang, dapat dimulai dari konsep hukum alam. Hukum alam adalah
hukum yang berakar pada batin manusia, atau masyarakat, dan hukum alam itu
terlepas dari konvensi, perundang undangan, atau lain lain alat kelembagaan.[27] Hukum alam pada mulanya berasal dari konsep Yunani kuno, yaitu
setiap gerak alam semesta diatur oleh hukum abadi yang tidak pernah berubah ubah.
Perbedaan yang terjadi tentang ukuran adil selalu terkai dengan sudut pandang
pendekatannya, adil menurut hukum alam atau adil menurut hukum kebiasaan.
Aliran ini disebut Stoa/Stoica yang disampaikan oleh Zeno (336-264 SM). Zeno
memberikan gambaran yang cukup luas tentang hukum alam yang bersifat universal.
Akal merupakan pusat kendali untuk mengungkap dan menguasai segala hal,
termasuk hukum alam.[28]
Menurut sejarah, asal mula munculnya
perkembangan hukum hak asasi manusia diawali di Eropa Barat khususnya Inggris
pada tahun 1215 dengan lahirnya Magna Charta yang mengatur mengenai
pembatasan kewenangan raja dalam perbuatan perbuatan tertentu harus mendapat
persetujuan dari kaum bangsawan. Magna Charta berisi 63 pasal. Latar
belakang lahirnya Magna Charta adalah akibat kesewenang wenangan Raja
John yang memicu pemberontakan kaum bangsawan yang memaksanya mengakui hak hak
kebangsaan dari rakyat Inggris.[29]
Setelah lebih dari empat abad,
tepatnya tahun 1628 muncul Petition on Right yang merupakan petarungan antara
parlemen Raja Charles 1 yang hendak menghapuskan parlemen di Inggris, dan
kemudian pada tahun 1679 muncul reaksi terhadap kesewenang wenangan Militer
Inggris yang melakukan penagkapan warga, rakyat Inggris melakukan penekanan
terhadap parlemen Inggris untuk mengumumkan suatu dokumen yang dinamakan Habeas
Corpus. Dokumen Habeas Corpus memberi inspirasi bagi Amerika untuk
menulis konstitusinya.[30] Setelah Dokumen Habeas Corpus di Inggris pada tahun 1689
muncullah Bill of Rights, yang merupakan perundang undangan modern Inggris dan
kemudian mempengaruhi beberapa konstitusi modern di beberapa negara dunia,
diantaranya ke Amerika dan Prancis.
Pada tahun 1791 di Amerika, lahirlah
Bill of Rights, dimana lahirnya undang undang dan piagam yang berbicara
tentang hak hak dasar manusia. Hak kodrat manusia itu merupakan hak yang setara
pada manusia yang merupakan hak kodrati ciptaan Sang Pencipta (Tuhan), seperti
hak hidup, hak kemerdekaan, hak untuk mendapatkan kebahagiaan dan hak hak
lainnya. Setelah itu, organisasi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) pada tanggal
10 Desember 1948 mencetuskan Universal Deklaration of Human Rights.[31]
Beberapa peraturan hukum tersebut
semuanya bertujuan untuk melindungi HAM. Hal yang lebih spesifik adalah usaha
untuk menghapuskan praktek perdagangan orang melalui instrumen internasional. Usaha
penghapusan praktek perdagangan tersebut ditandai dengan diselenggarakannya
beberapa konvensi internasional dan konvensi mengenai perdagangan orang pertama
kali, yaitu konvensi mengenai perdagangan wanita Trafficking in women
yang diadakan di Paris tahun 1895. Sembilan tahun kemudian, pada tahun 1904, di
kota yang sama, 16 negara kembali mengadakan pertemuan yang menghasilkan
kesepakatan internasional pertama menentang perdagangan “budak berkulit putih”
yang dikenal dengan istilah International Agreement the Supression of White
Slave Traffic.[32]
Secara filosofis, hak adalah
kekuasaan yang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu. Jadi, hak
merupakan pernyataan pernyataan tentang kebutuhan dasar dan keinginan dasar.
Sedangkan, pengertian Hak Asasi Manusia menurut pandangan Utilitarian yang
merupakan ajaran bahwa tujuan dari segala tindakan manusia adalah kebahagiaan.
Kebahagiaan ini merupakan ukuran yang membedakan tindakan yang baik dan buruk.
Mazhab Utilitarian yang terkenal di Inggris dipelopori oleh tiga orang filsuf,
yaitu Jeremy Bentham, John Struart Mill dan Thomas Hobbes. Menurut Jeremy
Bentham, tujuan hukum adalah
kebahagiaan. Kebahagiaan yang sebesar besarnya ditujukan sebanyak mungkin orang.[33]
D.
Penegakan Hukum
Terhadap Pelaku Perdagangan Orang di Indonesia
Perdagangan manusia merupakan
fenomena regional dan global yang tidak selalu dapat ditangani secara efektif
pada tingka nasional. Sebuah respon nasional sering berakibat para pelaku
perdagangan manusia berpindah operasi ke tempat lain. Kerjasama internasional
baik multilateral maupun bilateral sangat berperan penting dalam memberantas
perdagangan orang. Kerjasama seperti ini dapat mengupas secara krisis antara
negara yang terlibat pada tahap tahap yang berbeda dalam lingkaran perdagangan
manusia.[34]
Dalam kerjasama antar negara dalam
memberantas kejahatan perdagangan orang, PBB mengeluarkan pedoman bahwa Negara
dan antarlembaga pemerintah dan organisasi nonpemerintah untuk selalu mempertimbangkan
beberapa hal yang tercantum dalam suatu Prinsip Prinsip dan Pedoman Pedoman
yang Direkomendasikan Mengenai HAM PBB kepada dewan Ekonomi dan Sosial PBB.[35]
Dengan demikian, tindak pidana
perdagangan orang yang merupakan kejahatan transnasional tidak dapat
ditanggulangi secara parsial atau secara sendiri sendiri oleh masing masing
negara. Negera negara yang tidak setuju perbudakan dan melindingi warga
negaranya harus bersatu padu bekerja sama menanggulangi dan mencegah agar tidak
terjadi perdagangan orang. Kerjasama antar pemerintah, antar LSM,
antarorganisasi mesyarakat dan perorangan dalam dan juga luar negeri harus
dibina dan dikembangkan, sehingga terbentuk kakuatan yang dapat menanggulangi
dan memberantas serta mencegah tindak pidana perdagangan orang yang
terorganisir tersebut.[36]
Dalam rangka menanggulangi
perdagangan orang di Asia diadakan kampanye regional yang merupakan bagian dari
kampanye internasional disebut Asia Againts Child Trafficking (Asia ACT) yang
dipimpin oleh Terre des Hommes, Jerman dan Federasi Internasional Terre des
Hommes. Asia ACT mendesak pemerintah atau pejabat yang berwenang untuk segera
mengimplementasikan standar standar hak asasi manusia bagi anak yang
diperdagangkan dengan cara: membuat aturan nasional dan mengesahkan atau
meratifikasi instrumen instrumen internasional, dan juga menciptakan mekanisme
regional untuk perlindungan dan rehabilitasi untuk anak, menginisiasikan dan mengimplementasikan
kerjasama bilateral dan internasional dalam upaya menulusuri , repatriasi dan
rehabilitasi para korban korban perdagangan, mengimplementasi tindakan tindakan
atau ukuran ukuran pencegahan misalnya pengurangan kemiskinan, kampanye
kesadaran komunitas, melaksanakan secara nasional juga melaksanakan secara
nasional maupun internasional tindakan polisi untuk menuntut para pelanggar.[37]
Pada tanggal 29-30 Maret 2004
diadakan Konferensi tentang Perdagangan Anak untuk tujuan seksual di Asia
Tenggara yang diselenggarakan di Medan, peserta konferensi ini berasal dari
Laos, Kamboja, Indonesia, Malaysia, Mongolia, Myanmar, Philipina, Taiwan,
Thailand, Timor Leste, Vietnam dan peserta ahli dari India dan Nepal. Peserta
tersebut menyadari bahwa perdagangan anak untuk dijadikan pekerja seks
merupakan masalah yang serius. Dalam kerangka kerja Asia Timur dan Komitmen dan
Rencana Aksi Melawan Komersialisasi Eksploitasi Seksual pada Anak di Regional
Pasifik diadopsi pada tahun 2001 dan menegakkan Agenda Stockholm untuk Aksi dan
Komitmen Global Yokohama, sehingga penting untuk diadakan kerjasama transnasional.
Hasil dari konferensi tersebut menghasilkan komitmen untuk Melawan
Komersialisasi Eksploitasi Seksual pada Anak.[38]
E.
Kebijakan Hukum
Pidana Terhadap Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Dalam sejarah politik hukum di Indonesia,
sistem hukum Indonesia dipengaruhi oleh sistem hukum kolonial Belanda yang
terbiasa dengan hukum tertulis dan terkodifikasi. Corak dan tradisi hukum
kolonial dipengaruhi oleh ajaran Positivisme Hukum, yang sampai saat ini masih
mempengaruhi sistem hukum Indonesia yang selalu melakukan unifikasi dan
kodifikasi hukum, sehingga kepastian hukum lebih terjamin karena putusan hukum
bersumber dari peraturan peraturan yang tertulis yang bekerja secara mekanik,
deterministik, dan terpisahkan dari hal hal diluar hukum. Menurut Satjipto
Rahardjo, sistem hukum warisan kolonial Belanda bersifat feodal dan liberal
karena bersifat mengatur dan membetasi hak hak yang ada pada masyarakat, dan
cenderung diskriminatif, padahal kondisi masyarakat Indonesia pluralisme.[39] Hukum sudah menjadi refleksi sejak dahulu kala, maka kegiatan
berfikir tentang hukum tidak dapat bertolak dari titik nol. Artinya, pemikiran
tentang hukum merupakan kelanjutan pemikiran hukum pada jaman dulu. Dalam
lintas sejarah, pikiran pikiran tersebut berubah sesuai dengan perkembangan
kebudayaan dan semangat zaman.[40]
Demikian juga dengan Indonesia yang
melakukan upaya pembaharuan sistem hukum sudah dimulai sejak lahirnya UUD 1945,
yang merupakan landasan, dasar dan tujuan yang ingin dicapai oleh bangsa
Indonesia yaitu kesejahteraan masyarakat. Pembaharuan yang dilakukan sebaiknya
tidak terlepas dari nilai nilai sosial dan budaya masyarakat, sehingga sesuai
dengan jiwa bangsa. Selain itu, dalam pembaharuan dan pembangunan hukum harus
berorientasi pada nilai nilai, baik nilai nilai kemanusiaan, maupun nilai nilai
identitas suatu budaya, nilai nilai moral, dan agama yang hidup dalam
masyarakat. Karena itu, pendekatan yang dilakukan dalam pembaharuan hukum harus
didasarkan pada pendekatan humanis, kultural, religius, yang rasional dan
berorientasi pada kebijakan. Oleh karena itu kebijakan hukum bukan hanya
sekedar produk hukum yang merupakan produk politik, melainkan harus
menghasilkan undang undang yang dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat.[41]
Hubungan hukum dengan pembangunan
sangatlah imperatif, karena hukum dapat membantu mengantarkan masyarakat kearah
pembangunan serta menampung akibat akibat yang timbul dari suatu pembangunan,
pembangunan selalu berhubungan dengan perubahan sosial, sehingga peranan hukum
tidak hanya mengatur, melainkan lebih luas lagi sebagai pemenuhan segala macam
kebutuhan dan juga tuntutan yang timbul dalam masyarakat. Dalam memenuhi
kebutuhan itu, tidak jarang terjadi konflik, oleh karena itu peranan hukum
dalam pembangunan adalah sebagai penunjang karena melibatkan berbagai kegiatan.
Menurut Sunaryati Hartono,hukum berperan sebagai sarana untuk mencegah konflik
atau apabila konflik itu sudah terjadi, maka hukum berperan sebagai sarana
untuk menyelesaikan atau mengatasi konflik dengan cara damai dan tertib.[42]
Perubahan perubahan di dalam
masyarakat dapat mengenai sistem nilai nilai, norma norma, pola pola perilaku,
organisasi, susunan lembaga lembaga sosial, stratifikasi, kekuasaan, interaksi
sosial dan sebagainya.[43]
Oleh karena itu, perubahan sosial masyarakat sangat dipengaruhi oleh faktor
faktor tersebut diatas. Mengatasi perubahan masyarakat sebagai konsekuensi dari
pembangunan, dapat dilakukan melalui perubahan nilai yang diwujudkan dalam
peraturan hukum. Pembaharuan hukum dengan menggunakan sarana hukum sesuai
dengan konsep dari Roscoe Pound dalam bukunya yakni An Introduction to the
Philosophy of law yang terkenal dengan konsep law is a tool of sosial
engineering yang merupakan inti pemikiran dari aliran Pragmatic Legal
Realism.[44]
Menurut Mochtar Kusumaatmadja, pembaharuanhukum akan dapat dilakukan melalui
sarana yang berupa suatu undang undang, yurisprudensi, atau undang undang dan
yurisprudensi sekaligus. Hal ini berarti dapat dilakukan dengan pembaharuan
sistem hukum, yaitu melalui proses legitimasi yang dilakukan oleh pembuat
undang undang dan hakim.[45]
Teori Hukum Pembangunan Mochtar
Kusumaatmadja adalah teori hukum yang mentransformasi konsep pembangunan hukum
dari Amerika yang difokuskan pada kelembagaanya, bentuk hukumnya, prosedur, dan
peradilannya. Menurut Sunaryati Hartono,
harusnya pembangunan sistem hukum dimulai dari budaya hukum nasional
yang akan mempengaruhi kakuatan dan efektifitas berlakunya dan ditetapkannya
berbagai kaidah hukum nasional. Namun menurutnya, keadaan Indonesia dewasa ini
sangat memprihatinkan karena orang Indonesia pada abad ke-21 ini cenderung
egoisme dan individualisme yang disebabkan oleh perubahan teknologi, materi,
dan kehidupan sosial yang lebih maju dan terbuka akibat kecepatan komunikasi
antar bangsa secara global, tanpa terasa juga menimbulkan pergeseran dari
identitas nasional ke identitas internasional di satu pihak (masyarakat
tradisional). Inilah ciri bahwa masyarakat sedang mengalami krisis, terutama
krisis moral yang ditandai dengan dekadensi moral, dan juga kecenderungan
otoritarianisme, dan pemiskinan spiritual. Krisis ini berdampak pada kehidupan
kemasyarakatan yang pada akhirnya dapat berimbas pada krisis hukum, krisis
kepercayaan, dan juga krisis legitimasi kekuasaan dan pada akhirnya krisis
ekonomi.[46]
Keadaan ini dapat menimbulkan
berbagai macam masalah dalam kehidupan dan bermasyarakat. Masalah dalam
kehidupan bermasyarakat dapat bermacam ragam dan bentuknya, diantaranya
keluarga dengan ekonomi yang sangat lemah dan kemiskinan, keadaan atau kondisi
keluarga dengan pendidikan yang sangat rendah, keterbatasan kesempatan kerja,
gaya hidup konsumtif, kesenjangan sosial, pertambahan penduduk yang tidak
merata, keadilan sosial, kerusakan ekologi, penyalah gunaan wewenang dan
kekuasaan, bahkan sampai pelanggaran hak asasi manusia, merupakan faktor yang
melemahkan ketahanan keluarga dan masyarakat. Sementara itu, nilai nilai sosial
budaya memperlakukan anak sekolah merupakan hak milik yang dapat diperlakukan sekehendak
orang tuanya, ketidak adilan gender, atau posisi perempauan yang dianggap lebih
rendah, masih tumbuh di tengah kehidupan masyarakat.[47]
Pemahaman masyarakat terhadap tindak
pidana perdagangan orang berhubungan dengan sikap kesadaran hukum mengenai
betapa pentingnya aturan yang berupa hukum positif, dan berhubungan pula dengan
tingkat kesadaran hukum. Karena itu, pemahaman terhadap hukum tidak hanya pada lingkup
pengertian pemberlakuan perundang undangan saja, tetapi lebih pada tataran
implementasi, sehingga dapat dipahami tindak pidana perdagangan orang tidak
hanya pada tatarann konsep, tetapi lebih diutamakan pada tataran implementasi
yang berhubungan dengan kesadaran hukum. Jika peraturan sudah dirasa sebagai
kebutuhan, maka akan terjadi perasaan hukum, sehingga suatu peraturan hukum
akan dapat berlaku sesuai kebutuhan dan bukanlah karena keterpaksaan. Dengan
demikian, tujuan hukum dan penegakan hukum akan berjalan sesuai dengan
supremasi hukum. Namun hukum tidak boleh merugikan kepentingan individu.[48]
Dewasa ini, dalam pembaharuan hukum,
Indonesia berhasil melahirkan peraturan peraturan tentang hukum hak asasi
manusia dan meratifikasi beberapa konvensi internasional, khususnya perdagangan
orang yang merupakan pelanggaran harkat martabat manusia dan perbudakan, tetapi
beberapa aturan hukum tersebut ternyata tidak membuat jera para pelaku untuk
berhenti melakukan perdagangan orang, bahkan akhir akhir ini perbuatan tersebut
cenderung menigkat. Perdagangan orang dianggap sama dengan perbudakan, yang
berarti sebagai suatu kondisi seseorang yang berada di bawah kepemilikan orang
lain.[49] Perbudakan adalah tindakan menempatkan seseorang dalam kekuasaan
orang lain, sehingga orang tersebut tidak mampu menolak suatu pekerjaan yang
secara melawan hukum diperintahkan oleh orang lain kepadanya, walaupun orang
tersebut tidak menghend- akinya. Tindak pidana perdagangan orang juga dikatakan
sebagai bentuk modern dari perbudakan manusia, yang merupakan perbuatan
terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Atas dasar itu, masalah
tindak pidana perdagangan orang menjadi perhatian serius dari beberapa negara
termasuk pemerintah Indonesia. Alasan alasan tersebut di atas, dilandasi
nilai-nilai luhur dan komitmen nasional dan internasional untuk melakukan pencegahan
dan penaggulangan sejak dini, dengan penindakan terhadap pelaku dan
perlindungan terhadap korban, diperlukan adanya kerjasama nasional, regional
dan universal, serta yang terpenting adalah kebijakan hukum.[50]
Kebijakan hukum perlu dilakukan
khususnya dalam masalah penaggulangan dan penegakan hukum terhadap tindak
pidana yang berupa perdagangan orang, agar hukum dapat berjalan secara efektif
dan sesuai dengan harapan.Menurut Mochtar Kusumaatmadja, suatu hukum tanpa kekuasaan adalah angan
angan,sedangkan kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman.[51]
Menanggulangi perdagangan orang
melalui produk hukum berupa undang undang, pada dasarnya merupakan salah satu
wujud dari kebijakan penanggulangan kejahatan atau bagian dari politik atau
kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal menurut Soedarto memiliki tiga
pengertiaan, yaitu:
1.
Dalam arti
sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang akan menjadi dasar dari reaksi
terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana.
2.
Dalam arti
luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk didalamnya
cara kerja dari pengadilan dan juga polisi.
3.
Dalam arti
paling luas, keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang undangan
dan badan badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma norma sentral dari
suatu masyarakat.[52]
Dari ketiga pengertian tersebut
diatas, Sudarto memberikan pengerian
singkat tentang politik kriminal,yaitu suatu usaha yang rational dari
masyarakat dalam menaggulangi kejahatan.[53]
Sarana penal policy (politik hukum
pidana) menurut Marc Ancel dalam Modern
Criminal Science adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya
mempunyai tujuan praktis untuk memungk-inkan peraturan hukum positif dirumuskan
secara baik dan untuk memberi pedoman, tidak hanya kepada pembuat undang undang
saja, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang undang, juga kepada
para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.[54]
Sedangkan dalam pengertian praktis,
politik hukum pidana merupakan segala usaha yang rasional dari masyarakat untuk
meng-atasi kejahatan. Usaha ini meliputi pembentukan undang undang dan
aktifitas aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan pengawas
lapas/pelaksana eksekusi), sesuai dengan tugas dan fungsinya masing masing.
Pada akhirnya politik hukum pidana tidak dapat bekerja sendiri, karena
berhubungan dengan penegakan hukum baik hukum perdata, hukum pidana maupun
hukum administrasi.[55]
Hal tersebut di atas merupakan
bagian dari kebijakan sosial, yaitu merupakan usaha nasional dari masyarakat untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Usaha penaggulangan kejahatan dengan
hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum.
Oleh karena itu politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari
kebijakan dari penegakan hukum. Hal ini didasarkan pada sistem peradilan pidana
yang terdiri dari sub sistem penyidikan, sub sistem penuntutan, sub sistem
peradilan, dan sub sistem pemasyarakatan.[56]
Menurut Dwidja Priyatno, pelaksanaan politik kriminal dapat dilakukan
dengan cara pemberian pidana atau pemidanaan yang juga merupakan bagan dari
penderitaan, tetapi tidak merupakan
keharusan aau kebutuhan, karena
pemidanaan dapat dilaksanakan tanpa adanya penderitaan. Atas dasat itu, harus
dibedakan antara:
a.
Penderitaan
yang sengaja dituju oleh pemberi pidana;
b.
Penderitaan
yang oleh sipemberi pidana dipertimbangkan tidak dapat dihindari; dan
Atas dasar itu, setiap perubahan
masyarakat yang tidak diikuti oleh perkembangan hukum akan mubazir, terutama
dalam proses pen-egakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan
keinginan hukum menjadi kenyataan. Adapun yang dimaksud dengan keinginan
keinginan hukum adalah pikiran pikiran badan pembuat undang undang yang
dirumuskan dalam peraturan peraturan hukum itu. Proses penegakan hukum
menjangkau pula proses pembuatannya yang merupakan perumusan pikiran yang
dituangkan dalam peraturan hukum. Hal tersebut turut menentukan bagaimana
pelaksanaan pene-gakan hukum. Oleh karena itu, penegakan hukum sebenarnya
dimulai sejak peraturan hukum yang harus dijalankan dibuat.[58]
Atas dasar itu, Muladi kemudian menyebutkan adanya suatu
hubungan antara penegakan hukum dengan politik kriminal, dan juga politik
sosial, atau penegakan hukum pidana merupakan bagian dari penaggulangan
kejahatan (politik kriminal).[59] Untuk itu, proses pene-gakan hukum terhadap perdagangan orang,
tidak hanya berpegang pada ketentuan ketentuan hukum, tetapi harus dihubungkan
dengan lingkungan sosial masyarakat. Bekerjanya hukum dalam masyarakat tidak
hanya ditekankan pada peraturan yang berlaku saja, tetapi juga dipengaruhi oleh
lingkungan sosial masyarakatnya. Demikian halnya dengan penanggulangan dan
penegakan hukum terhadap perdagangan orang, tidak hanya cukup dengan pembuatan
peraturan hukum yang melarang saja, tetapi perlu peran serta masyarakat dan
pemerintah.[60]
Sekalipun perdagangan orang sudah
diatur dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007, dan diancam dengan sanksi pidana,
tetapi dalam pelaksanaanya perbuatan ini masih banyak dilakukan, bahkan
dijadikan mata pencaharian atau sumber nafkah kehidupan keluarga. Dilihat dari
efektifitasnya, ternyata peraturan ini tidak efektif. Penye-babnya tentu
berbagai macam alasan, dapat disebabkan faktor faktor ekonomi, faktor
pendidikan, faktor lingkungan, dan faktor lainnya, sehingga proses penegakan
hukum yang tidak efektif atau ketidakper-cayaan masyarakat terhadap institusi
hukum, karena menganggap tidak akan mendapat keadilan. Perdagangan orang
sendiri juga banyak melibatkan jaringan kerja sindikat yang sulit diketahui.
Dalam hal ini, ada orang orang yang merekrut, sehingga harus diketahui kantung
kantung di mana banyak terjadi kasus perdagangan orang. Kerjasama dengan
departemen atau instansi tertentu dan yang harus ditingkatkan adalah dengan
lembaga lembaga yang bergerak dalam pemberdayaan perempuan di daerah.
Sebetulya, banyak pihak yang jika gagasan ini sudah dilakukan, maka dapat
dilakukannya secara sendiri sendiri. Gagasan perdagangan orang harus
disebarluaskan dan disosialisasi-kan dengan lebih menekankan pada meningkatkan
peranan berbagai pihak.[61]
Selain hal-hal tersebut di atas, yang
tidak kalah penting dalam penanggulangan perdagangan orang, perlu dibentuk
gugus tugas dan keterlibatan masyarakat. Tugasnya dibagi menjadi beberapa sub
gu-gus tugas, yaitu penegakan hukum, pencegahan, perlindungan korban termasuk
rehabilitasi kesehatan dan rehabilitasi sosial. Masing masing gugus tugas
dikoordinasikan oleh sektor terkait yang secara fungsi-onal mempunyai urusan
dengan gugus tugasnya masing masing. Ada pun peran serta masyarakat adalah
harus lebih menyadari bahwa per-dagangan orang itu sudah di depan mata.[62]
Pelanggaran HAM yang berupa
perbudakan, umumnya berupa perampasan kebebasan dari seseorang yang dilakukan
oleh kelompok ekonomi kuat kepada kelompok ekonomi lemah. Korban umumnya datang
dari kelompok miskin, dengan pendidikan rendah, budaya hukumdan tingkat
kesadaran hukum masyarakat yang relatif kurang. Keadaan ini akan mendukung para
traffickeruntuk melakukan eksploitasi dan perekrutan para korban melalui
legitimasi kekuasaan, sosial dan politk. Untuk menangani masalah ini, diperlukan
aturan hukum yang berfungsi untuk menyelesaikan konflik konflik yang timbul
dalam masyarakat, karena itu sifatnya harus komperhensif dan integral, aparat
penegak hukum yang tegas dan berwibawa, serta pembuat kebijakan baik tataran
perundangan maupun keputusan hukum dari hakim harus dapat bekerja sasuai dengan
tujuan hukum, yaitu mencapai keadilan dan kesejahteraan masyarakat.[63]
Atas dasar yang jelas maka,
pencegahan perdagangan orang dalam perspektif hukum HAM harus dilakukan secara
komperhensif dan integral yang dapat dilakukan melalui tataran kebijakan hukum
pidana dengan cara legislasi, eksekusi, dan yudikasi, yaitu melalui berbagai
cara, diantaranya:
1.
Memperluas
pengaturan HAM dalam hukum dasar negara (UUD);
2.
Dibentuk
peraturan perundang undangan yang khusus mengatur HAM;
3.
Diakui dan
diratifikasi perjanjian internasional mengenai HAM kedalam sistem hukum
nasional;
4.
Adanya komitmen
politik di dalam negeri melalui Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia
(RANHAM), maupun keterlibatan pemerintah Indonesia di tingkat ASEAN dan
Internasional.[64]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perdagangan orang merupakan suatu
fenomena yang sering kita jumpai di Indonesia, beranjak dari sejarah kelam
perdagangan orang di masa lampau setidaknya kita bisa mengerti dan paham akan
bahaya dari perdagangan orang tersebut. Banyak faktor yang menjadi sebab
terjadinya perdagangan orang mulai dari faktor ekonomi, faktor ekologis, faktor
sosial budaya, ketidak setaraan gender, juga faktor penegakan hukum. Setiap
manusia yang lahir di dunia ini memiliki hak asasi manusia yang melekat sejak
ia lahir sebagai anugerah dari Tuhan yang Maha Esa yang wajib dilindungi,
dijaga, dan dijunjung tinggi oleh setiap manusia. Perdagangan orang merupakan
suatu tindak kejahatan yang merampas hak seseorang, maka perlu adanya tindakan
dari para penegak hukum untuk mencegah dan memerantas perdagangan orang mulai
dari daerah daerah dengan cara membentuk lembaga yang menaungi dan melindungi
setiap perempuan dan juga anak anak. Disamping itu perlu juga adanya peraturan
perundang undangan yang mengadopsi dari berbagai perjanjian internasional yang
telah Indonesia sepakati dengan beberapa negara dalam upaya penegakan hukum.
Pada akhirnya semua komponen harus terlibat dalam upaya penegakan hukum
terhadap pelaku perdagangan orang di Indonesia, mulai dari aparat penegak
hukum, peraturan perundang undangan yang mengikat dan bisa diimplelentasika
dengan baik, juga kesadaran masyarakat akan pentingnya perlindungan terhadap
korban perdagangan orang.
B.
Saran
Saya selaku penulis mohon maaf
apabila dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan, maka diperlukan
kritik dan juga saran yang membangun demi perbaikan kedepan.
DAFTAR PUSTAKA
Kuntjoro, Memahami
Pekerja Seks sebagai Korban Penyakit Sosial, Jurnal Perempuan No. 36, 2004,
Yayasan Jurnal Perempuan, cetakan pertama, Jakarta, Juli 2004.
Indonesia,
Undang Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia, (LN Tahun 2000 No.
208, TLN No. 4026)
Farhana. 2010. Aspek
Hukum Perdagangan Orang di Indonesia.Jakarta: Sinar Grafika.
Moeljalno. 2003.
Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.
Darmodiharjo,Dardji.1978.
Orientasi Singkat Pancasila. Jakarta: Gita Karya.
Baker,Anton dan
Pudjiarto, St. Harum. RS.1999. Hak asasi Manusia Kajian Filosofis dan Implementasinya
dalam Hukum Pidana di Indonesia.Yogyakarta: Universitas Atmajaya.
Moeliono, M.AntonEd.
1994.Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Hamzah,Andi. 2005.
Asas Asas Hukum Pidana, Cetakan 1. Jakarta: Yarsif Watempone.
Utrecht,E. 1986.
Hukum Pidana 1.Surabaya: Pustaka Tinta Mas.
Lamintang,
P.A.F. dan Samosir,Djisman.1981. Tindak Pidana Tindak Pidana Khusus
Kejahatan yang Ditujukan terhadap Hak Milik dan Lain lain Hak yang Timbul dari
Hak Milik. Bandung: Tarsito.
Muladi dan Arief,
Barda Nawawi.1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Bandung: Aumni.
Hendrojo. 2005.
Kriminologi Pengaruh Perubahan Masyarakat dan Hukum. Cetakan pertama. Surabaya:
Srikandi.
Soekanto,Soerjono.2004.
Faktor Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Cet. Kelima. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Rasjidi, Lil.
Dan Sidharta, Bernard Arief. 1994. Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya.Remaja
Rosdakarya: Bandung.
Efendi, A.
Masyhur. 1993. Dimensi Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan Internasional.
Ghalia Indonesia: Bogor.
Yamin, Muhammad.
1952. Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia. Djamban: Jakarta.
Kladen,Marianus.2009.
Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Komunal Kajian atas Konsep HAM dalam
Teks-teks Adat Lamaholot dan Relevansinya terhadap HAM dalam UUD 1945. Lamalera:
Yogyakarta.
Muladi, Ed. 2005.
Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum
dan Masyarakat. Bandung: Refika Aditama.
Rianto, Sulistyowati
dkk. 2005.Perdagangan Perempuan Dalam Jaringan Pengedaran Narkotika. Jakarta:
Yayasan Obor Indoesia.
Bentham,Jeremy.2006.
Teori Perundang-undangan Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum
Pidana (The Theory of Legislation). Tej. Dalam M. Khozin. Nusamedia:
Bandung.
Raharjo,Satjipto.2009.
Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Genta Publising:
Yogyakarta.
Huijbers,Theo. 1995.
Filsafat Hukum. Kanisus: Yogyakarta.
Rahardjo,Satjipto.
2009. Membangun dan Merombak Hukum Indonesi Sebuah Pendekatan Lintas
Disiplin. Genta Publising: Yogyakarta.
Hartono,Sunaryati.
1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. Alumni: Bandung.
Soekanto,Soerjiono.
1991. Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial. Citra Aditya Bakti: Bandung.
Rasjidi, Lili
dan Rasjidi, Ira Thalia.2007. Dasar Dasar Filsafat dan Teori Hukum. Cet.
10. Citra Aditya Bakti: Bandung.
Sidharta,
Bernard Arief. 2009. Revisitasi Pemikiran Prof. Soediman Kartohadirodjo
tentang Pancasila Berkaitan dengan Pemgembangan sistem Hukum Nasional. Dies
Natalis ke-51 Fakultas Hukum Universitas Katolik. Parahyangan: Bandung,
Kansil, C.S.T
dkk. 2009.Tindak Pidana dalam Undang undang Nasional. Jala Permata
Aksara: Jakarta.
Kusumaatmadja,Mochtar.
2006. Konsep Konsep Hukum dalam Pembangunan. Cet. 2. Alumni: Bandung.
Seodarto. 1981.
Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni: Bandung.
Sudarto. 1981. Hukum
dan Hukum Pidana.Alumni: Bandung.
Arief, Barda
Nawawi. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Cet. 1. Citra Adytia
Bakti: Bandung.
Sunarso, Siswanto.
2005.Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia. Citra Adytia Bakti:
Bandung.
Priyatno,Dwidja.2005.
Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia. Refika Aditama: Bandung.
[1]Farhana, Aspek
Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm.
1.
[2] Kuntjoro,
Memahami Pekerja Seks sebagai Korban Penyakit Sosial, Jurnal Perempuan No. 36,
2004, Yayasan Jurnal Perempuan, cetakan pertama, Jakarta, Juli 2004.
[3]Farhana, Aspek
Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm.
3.
[4]Kitab Undang
Undang Hukum Pidana, diterjemahkan oleh Moeljalno, cet. 22, (Jakarta:Sinar Grafika,
2003)
[5] Indonesia,
Undang Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia, (LN Tahun 2000 No.
208, TLN No. 4026)
[6] Dardji
Darmodiharjo, Orientasi Singkat Pancasila, (Jakarta: Gita Karya, 1978),
hlm. 68.
[7]Anton Baker,
St. Harum Pudjiarto, RS, Hak asasi Manusia Kajian Filosofis dan
Implementasinya dalam Hukum Pidana di Indonesia, (Universitas Atmajaya,
Yogyakarta, 1999), hlm. 2.
[8] UUD 1945
Amandemen kedua.
[9] Anton M.
Moeliono Ed., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka, Jakarta,
1994), hlm. 156.
[10] Andi Hamzah, Asas
Asas Hukum Pidana, Cetakan 1, (Jakarta: Yarsif Watempone, 2005), hlm. 41
[11] E. Utrecht, Hukum
Pidana 1, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986), hlm. 252.
[12] P.A.F.
Lamintang dan Djisman Samosir, Tindak Pidana Tindak Pidana Khusus Kejahatan
yang Ditujukan terhadap Hak Milik dan Lain lain Hak yang Timbul dari Hak Milik,
(Bandung: Tarsito, 1981), hlm. 25.
[13] Muladi dan
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Bandung: Aumni, 1992), hlm. 78.
[14] Farhana, Aspek
Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm.
50.
[19] Hendrojo, Kriminologi
Pengaruh Perubahan Masyarakat dan Hukum, cetakan pertama, (Surabaya:
Srikandi, 2005), hlm. 78.
[20]Farhana, Aspek
Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm.
60.
[23] Soerjono
Soekanto, Faktor Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, cet. Kelima,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 5.
[24] Farhana, Aspek
Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm.
63.
[25] Soerjono
Soekanto, Faktor Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, cet. Kelima,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 8
[26] Henny Nuraeny,
Wajah Hukum Pidana Asas dan Perkembangan, (Jakarta: Gramata Publising,
2012), hlm. 138.
[27] Lil Rasjidi
dan Bernard Arief Sidharta, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya,
(Remaja Rosdakarya: Bandung, 1994), hlm.18.
[28] A. Masyhur
Efendi, Dimensi Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan
Internasional, (Ghalia Indonesia: Bogor, 1993), hlm. 9.
[29] Muhammad
Yamin, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, (Djamban: Jakarta, 1952),
hlm. 87.
[30]Marianus
Kladen, Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Komunal Kajian atas Konsep HAM
dalam Teks-teks Adat Lamaholot dan Relevansinya terhadap HAM dalam UUD 1945,
(Lamalera: Yogyakarta, 2009), hlm. 49.
[31]Muladi Ed., Hak
Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan
Masyarakat, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 217-220.
[32] Sulistyowati
Rianto dkk.,Perdagangan Perempuan Dalam Jaringan Pengedaran Narkotika,
(Jakarta: Yayasan Obor Indoesia, 2005), hlm. 13.
[33] Jeremy Bentham,
Teori Perundang-undangan Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum
Pidana (The Theory of Legislation), tej. Dalam M. Khozin, (Nusamedia:
Bandung, 2006), hlm. 2.
[34]Farhana, Aspek
Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm.
138.
[35] Ibid.
[39]Satjipto
Raharjo, Hukum Progresif Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, (Genta
Publising: Yogyakarta, 2009), hlm. 13.
[40] Theo Huijbers,
Filsafat Hukum, (Kanisus: Yogyakarta, 1995), hlm. 22.
[41] Satjipto
Rahardjo, Membangun dan Merombak Hukum Indonesi Sebuah Pendekatan Lintas
Disiplin, (Genta Publising: Yogyakarta, 2009), hlm. 95-96.
[42] Sunaryati
Hrtono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Alumni:
Bandung, 1991), hlm. 176.
[43] Soerjiono
Soekanto, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, (Citra Aditya Bakti:
Bandung, 1991), hlm. 1.
[44] Lili Rasjidi
dan Ira Thalia Rasjidi, Dasar Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Cet. 10,
(Citra Aditya Bakti: Bandung, 2007), hlm. 78-79.
[45]Ibid.,
hlm. 78.
[46] Bernard Arief
Sidharta, Revisitasi Pemikiran Prof. Soediman Kartohadirodjo tentang
Pancasila Berkaitan dengan Pemgembangan sistem Hukum Nasional, (Dies
Natalis ke-51 Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan: Bandung, 2009),
hlm. 7-8.
[47]Henny Nuraeny, Wajah
Hukum Pidana Asas dan Perkembangan, (Jakarta: Gramata Publising, 2012),
hlm. 143.
[49] C.S.T. Kansil
dkk.,Tindak Pidana dalam Undang undang Nasional, (Jala Permata Aksara:
Jakarta, 2009), hlm. 129.
[50]Henny Nuraeny, Wajah
Hukum Pidana Asas dan Perkembangan, (Jakarta: Gramata Publising, 2012),
hlm. 145.
[51] Mochtar
Kusumaatmadja, Konsep Konsep Hukum dalam Pembangunan, Cet. 2, (Alumni:
Bandung, 2006), hlm. 199.
[52]Seodarto, Kapita
Selekta Hukum Pidana, (Alumni: Bandung, 1981), hlm. 113-114.
[53] Sudarto, Hukum
dan Hukum Pidana, (Alumni: Bandung, 1981), hlm. 38
[54] Barda Nawawi
Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cet. 1, (Citra Adytia Bakti:
Bandung, 1996), hlm. 3
[55]Henny Nuraeny, Wajah
Hukum Pidana Asas dan Perkembangan, (Jakarta: Gramata Publising, 2012),
hlm. 146.
[56]
Siswanto Sunarso, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, (Citra Adytia
Bakti: Bandung, 2005), hlm. 7.
[57] Dwidja
Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, (Refika
Aditama: Bandung, 2005), hlm. 8.
[58]Henny Nuraeny, Wajah
Hukum Pidana Asas dan Perkembangan, (Jakarta: Gramata Publising, 2012),
hlm. 147.
[59] Muladi dan
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (BP
Universitas Diponegoro: Semarang, tanpa tahun), hlm. 11.
[60]Henny Nuraeny, Wajah
Hukum Pidana Asas dan Perkembangan, (Jakarta: Gramata Publising, 2012),
hlm. 148.
[61] Ibid. 148.
[63]Ibid. 149.
Makalah Perdagangan Orang di Indonesia
4/
5
Oleh
Unknown